Ads

Monday, September 10, 2018

Raja Pedang Jilid 048

“Minggir, jembel-jembel busuk, menggir!”

Suara kaki banyak kuda berdetakan, didahului bentakan-bentakan dan teriakan-tenakan kasar dari para penunggangnya. Orang-orang dusun yang sedang berjalan menuju ke sawah ladang, cepat-cepat berlari minggir agar jangan sampai di seruduk kuda yang berlari cepat di jalan dusun yang kecil itu.

Ternyata barisan kuda ini adalah sepasukan berkuda tentara negeri yang berpakaian keren dan bersenjata lengkap. Tinggi besar kuda-kuda itu, gagah dan tinggi besar pula para penunggangnya.

Sambil tertawa-tawa para serdadu Mongol ini mempergunakan cambuk untuk secara main-main mencambuk kanan kiri kepada orang-orang desa yang sudah menjauhkan diri sampai ada yang kesakitan dan ketakutan sehingga terjatuh ke dalam selokan sawah!

Seorang kakek kena didorong kaki seorang penunggang kuda dan kakek itu terjengkang roboh ke dalam tanah berlumpur. Ketika dia merangkak bangun, tubuhnya yang kurus terbungkus lumpur, menakutkan. Semua kejadian ini disambut gelak terbahak dari pada serdadu itu.

Seorang wanita muda menjerit-jerit ketika ia disambar oleh tangan yang kuat dan tahu-tahu ia telah berada di atas kuda, dipeluk oleh seorang serdadu yang kurang ajar. Wanita itu meronta-ronta, menjerit-jerit sedangkan serdadu yang menangkapnya itu tertawa-tawa menggoda, sikapnya kurang ajar dan tidak ada kesopanan sama sekali. Di depan dan belakang, para serdadu lainnya tertawa-tawa gembira.

Saking takut dan jijiknya, wanita muda itu akhirnya pingsan di atas pangkuan serdadu. itu. Setelah wanita itu pingsan, agaknya tidak ada kegembiraan lagi bagi serdadu itu maka tubuh wanita itu lalu didorong turun dari atas kuda, jatuh berdebuk di atas tanah berdebu.

“Setan! Iblis kejam!” Seorang anak laki-laki berlari menolong wanita itu.

“Jembel cilik, minggir kau!” Seorang serdadu mengayun cambuknya.

“Tar! Tar!”

Cambuk menghantam muka anak itu yang berdiri dengan berani dan matanya melotot. Cambukan dua kali itu seperti tak dirasainya dan dia memandang serdadu-serdadu yang melarikan kuda sambil mengepal-ngepalkan tinjunya yang kecil. Wanita itu masih menangis terisak-isak di depannya. Akhirnya debu tebal saja yang ditinggalkan serdadu-serdadu itu yang jumlahnya tiga puluh orang lebih.

“Keparat…..!” Anak berpakaian jembel itu, Beng San memaki dan membangunkan wanita tadi, “Sudahlah, Cici, jangan menangis dan pulanglah. Masih baik kau tidak mereka culik tadi.”

Para penduduk yang melihat sikap Beng San, merasa heran dan juga kagum.
“Anak, kau berani sekali,” seorang kakek berkata sambil mengangguk-angguk. “Kalau saja pemuda-pemuda kita seperti kau ini, takkan sukar membebaskan tanah air daripada penjajah-penjajah keji seperti mereka…..” Sambil terbungkuk-bungkuk kakek itu berjalan melanjutkan tujuannya ke sawah ladang.

Beng San masih terengah-engah saking marahnya. Baru sekali ini dia menyaksikan keganasan serdadu-serdadu Mongol kalau beraksi di dusun-dusun. Seorang petani lain berjalan di sisinya dan bercerita betapa serdadu-serdadu itu lebih kejam lagi kalau bermalam di suatu dusun.

Mereka merampoki bahan makan, merampas segala benda berharga, menculik gadis-gadis dusun dan isteri orang, membunuh pemuda-pemuda yang berani melawan. Pendeknya, rakyat kecil mengalami neraka dunia kalau kedatangan serdadu-serdadu ini. Apalagi mereka itu biasanya lalu disambut oleh pembesar setempat dan tuan-tuan tanah setempat yang mempergunakan kekuasaan mereka untuk rnemeras para petani yang sudah amat miskin.

“Keparat,” pikir Beng San. “Kalau aku sudah kuat, kuhajar mereka itu.”

Setelah meninggalkan perkampungan ini, Beng San berlari cepat, mengejar ke arah perginya barisan berkuda tadi. Ia sudah berada dekat kaki Gunung Hoa-san dan kebetulan sekali barisan berkuda itu sejurusan dengan dia. Menjelang tengah hari dia memasuki sebuah hutan besar di kaki Gunung Hoa-san.

Ia mendengar suara berisik dari dalam hutan. Ketika dia mendekat, jelas terdengar pekik kesakitan bercampur teriak kemarahan diselingi suara senjata tajam beradu. Jelas bahwa terjadi pertempuran besar-besaran di tengah hutan itu.





Beng San cepat menyelinap diantara pohon-pohon yang besar, mendekati tempat pertempuran sambil mengintai. Ringkik banyak kuda mengingatkan dia akan barisan serdadu-serdadu Mongol. Celaka, pikirnya, tentu setan-setan Mongol itu kembali mengganggu penduduk dekat hutan sini. Akan tetapi, mengapa penduduk berada di dalam hutan besar? Ah, mungkin pemburu-pemburu.

la cepat berindap ke tengah hutan dan akhirnya terlihatlah olehnya pertempuran hebat terjadi di tempat terbuka. Benar saja dugaannya. Para serdadu Mongol itu tengah bertempur melawan sekumpulan orang-orang yang bersikap gagah dan rata-rata pandai ilmu silat. jumlah orang-orang gagah itu hanya belasan orang sehingga setiap orang dikeroyok oleh dua atau tiga orang serdadu Mongol.

Perang tanding itu hebat sekali. Banyak serdadu Mongol sudah roboh mandi darah. Akan tetapi mereka adalah serdadu-serdadu yang terlatih dan rata-rata amat kuat sehingga belasan orang gagah itu terdesak juga, malah di antaranya ada yang terluka.

Tiba-tiba terdengar aba-aba keras dan para serdadu Mongol itu mengeluarkan panah tangan dan serentak menyerang dengan anak-anak panah mereka yang terkenal berbahaya. Serangan mendadak ini membikin para orang gagah menjadi kacau-balau dan tiga orang terjungkal roboh.

“Anjing-anjing Mongol rasakan pembalasan kami!”

Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan muncullah seorang pemuda tinggi besar bersama enam orang lain dari jurusan selatan. Mereka datang dan terus menyerbu. Hebat sekali serbuan pemuda tinggi besar dan teman-temannya ini. Sisa orang-orang gagah yang dikeroyok tadi timbul kembali semangat mereka melihat datangnya bala bantuan.

Perang tanding makin berkobar dan sekarang para serdadu Mongol yang kocar-kacir dihantam dari kanan kiri. Mereka sudah mulai ketakutan dan mencoba-coba untuk melarikan diri. Akan tetapi, tiap seorang serdadu Mongol berhasil meloncat ke punggung kuda dan melarikan kuda itu, tentu dia disambar oleh beberapa buah senjata rahasia paku dan robohlah dia dari atas punggung kuda.

Beng San yang mengintai dan menonton semua pertandingan ini, menjadi girang dan berdebar hatinya ketika melihat pemuda tinggi besar itu.

“Dia adalah Tan Hok,” pikirnya gembira. “Benar-benar dia gagah perkasa.”

Memang hebat sepak terjang Tan Hok. Dia paling besar diantara teman-temannya dan golok ditangannya mengamuk seperti seekor naga. Mayat serdadu-serdadu Mongol roboh bergelimpangan dan sebentar saja setelah datang Tan Hok dan teman-temannya ini, serdadu-serdadu itu dapat dirobohkan semua.

Beberapa orang serdadu dapat melarikan diri dengan kuda mereka yang kuat dan cepat, biarpun mereka tidak terluput daripada luka-luka, namun mereka tidak mengalami nasib seperti kawan-kawan mereka yang bergelimpangan tak bernyawa lagi di hutan itu.

“Pasukan besar musuh tentu akan menyusul kesini, kita harus cepat-cepat pergi. Kumpulkan teman-teman yang tewas. Cepat, saudara-saudara!”

Tan Hok memberi aba-aba dan dari tempat sembunyinya, Beng San memandang dengan kagum. Sekarang pemuda raksasa itu tidak kelihatan bodoh lagi, melainkan tangkas dan dihormati teman-temannya.

Semua orang gagah itu bekerja. Ada yang mengubur mayat teman-temannya, ada yang merawat teman-teman yang terluka, ada yang mengumpulkan senjata-senjata rampasan, ada yang mengumpulkan kuda-kuda tinggi besar tunggangan para serdadu tadi. Adapun Tan Hok sendiri memasang sebuah bendera kecil di batang pohon, bendera tanda perkumpulan Pek-lian-pai, bendera kecil bergambar teratai putih!

“Tan-twako…..!” Beng San meloncat keluar dan memanggil.

Semua orang terkejut. Seorang anggauta Pek-lian-pai cepat melompat mendekati Beng San dan membentak,

“Mata-mata Mongol, tangkap!”

Akan tetapi Tan Hok segera berseru,
“Ah, bukankah kau Adik Beng San?” la berlari menghampiri dan mencegah teman-temannya menangkap Beng San, malah segera memperkenalkan, “Inilah anak ajaib Beng San, adikku yang amat gagah berani. Eh, Adik Beng San, kau dari mana tiba-tiba muncul di tempat ini?”

“Tan-twako, aku tadi melihat semua kejadian ini. Aku tidak tahu kenapa kau dan teman-temanmu mencegat dan membunuh serdadu-serdadu ini biarpun aku ketahui betapa kejam dan jahatnya mereka. Akan tetapi….. kalau kau dan teman-temanmu, hanya mengubur mayat kawan sendiri ini disini, kau telah melakukan dua macam kesalahan.”

Semua anggauta Pek-lian-pai melengak mendengar ini. Masa seorang anak kecil hendak menasehati orang-orang Pek-lian-pai? Akan tetapi Tan Hok yang sudah banyak melihat keanehan pada diri anak ini, dengan sabar berkata,

“Kau-jelaskanlah, Adik Beng San. Kesalahan-kesalahan apakah itu?”

“Pertama, kau melanggar perikemanusiaan kalau kau tidak mau mengubur mayat para serdadu ini. Bukankah dahulu kau mengubur semua mayat orang-orang kelaparan yang menggeletak di pinggir jalan?”

Tan Hok menarik napas panjang.
“Lain lagi. Mereka itu adalah mayat-mayat bangsaku yang sengsara, yang kelaparan karena pemerasan kaum penjajah seperti anjing-anjing Mongol ini. Sebaliknya, mereka ini adalah musuh-musuh besar rakyat, untuk apa aku harus mengubur mereka?”

“Tan-twako, kau keliru. Yang kau benci adalah perbuatan mereka. Sekarang mereka sudah mati, tidak bisa berbuat apa-apa lagi, apakah mayat-mayat itupun masih dibenci?”

“Kau memang aneh. Di dalam perang, kalau orang harus mengubur mayat musuh, bisa kehabisan waktu untuk mengubur saja! Dalam perang memang begitu, adikku, jangankan mayat musuh, mayat teman-teman sendiri kadang-kadang? tidak ada waktu untuk mengurusnya. Dan apakah kesalahanku yang ke dua?”

“Kalau kau tidak mengubur mayat-mayat ini dan membiarkan mereka berserakan disini, kau akan membikin celaka Hoa-san-pai. Bukankah mayat-mayat serdadu ini berada di kaki Gunung Hoa-san? Kalau sampai terlihat oleh pasukan negeri, sudah tentu mereka akan mengira bahwa Hoa-san-pai yang melakukannya…..”

“Kan sudah kuberi tanda bendera kecil disini,” bantah Tan Hok.

“Betapapun juga, kejadiannya di kaki Gunung Hoa-san, tentu Hoa-san-pai akan terlibat. Kalau mereka ini dikubur, tidak akan ada bekasnya lagi dan Hoa-san-pai akan terbebas daripada sangkaan.”

Sambil berkata demikian Beng San lalu mulai menggali lubang untuk mengubur mayat dua puluh orang lebih banyaknya itu.

Adapun Tan Hok dan kawan-kawannya , dengan kagum sekali mendengar ucapan Beng San tadi. Akhirnya mereka harus pula membenarkan ucapan itu. Bukankah ada golongan yang memang sengaja hendak memburukkan nama Pek-lian-pai dan mengadu Pek-lian-pai dengan lain-lain perkumpulan? Memang tidak baik sekali kalau kelak pemerintah penjajah memusuhi Hoa-san-pai karena urusan perang di kaki Gunung Hoa-san kali ini, membuat Hoa-san-pai mengalami bencana karena perbuatan Pek-lian-pai.

“Saudara-saudara, hayo bantu Adik Beng San mengubur bangkai-bangkai anjing penjajah ini!” kata Tan Hok dengan suaranya yang keras.

Mereka segera turun tangan dan sebentar saja mayat-mayat itu sudah dikubur semua. Tiba-tiba seorang diantara mereka berlari datang dan berkata.

“Sepasukan anjing Mongol sudah datang!”

Mereka semua mendengarkan dan betul saja, dari jauh terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali. Tan Hok segera berunding dengan teman-temannya.

“Kita pancing mereka memasuki Lembah Pek-tiok-kok (Lembah Gunung Bambu Putih). Cepat kumpulkan kuda!” Akhirnya keputusan ini diambil dan beramai-ramai mereka meninggalkan tempat itu.

“Adik Beng San, kau harus ikut kami kali ini!” kata Tan Hok sambil menggandeng tangan anak itu.

Karena Beng San amat tertarik dan kagum kepada rombongan orang-orang gagah ini dan ingin melihat apa yang hendak mereka lakukan terhadap para pengejar, pasukan musuh itu, maka dia menurut saja dan ikut berlari-lari dengan yang lain.






No comments:

Post a Comment