Ads

Saturday, September 8, 2018

Raja Pedang Jilid 044

Kakek Souw Lee mengelus-elus kepala Beng San.
“Anak baik, banyak persamaan nasib antara kita. Kau harus meninggalkan aku, demi untuk kebaikanmu sendiri, juga untuk kemajuanku. Aku hendak bertapa menebus semua penyelewenganku yang dahulu, membersihkan pikiran dan hati. Dan kau, kau masih muda, kau harus mencari kemajuan dalam hidupmu. Kalau kau tinggal disini, amat berbahaya. Kau tahu, banyak tokoh jahat yang amat lihai mencari aku.

“Kenapakah, Kakek Souw Lee? Kenapa mereka mencarimu?”

Souw Lee mengeluarkan sepasang pedangnya.
“Karena inilah, sepasang Liong-cu Siang-kiam inilah. Untuk jaman ini, sepasang pedang ini termasuk pedang keramat yang ampuh dan jarang mendapatkan tandingnya. Pedang ini dahulu pusaka dari seorang pendekar besar bernama Sie Cin Hai yang dijuluki Pendekar Bodoh. Kau lihat yang panjang ini dan pada gagangnya terdapat huruf JANTAN, nah, inilah yang dipakai oleh pendekar itu. Adapun yang pendek dan berhuruf BETINA ini dahulu dipakai oleh pendekar wanita yang terkenal berjuluk Ang I Niocu (Nona Baju Merah). Akan tetapi, hal itu sudah terjadi ratusan tahun yang lalu. Kemudian, setelah beberapa keturunan, sepasang pedang ini lenyap. Banyak tokoh kang-ouw mencari, akan tetapi tak seorang pun tahu dimana lenyapnya pedang itu. Akhirnya akulah yang mendapatkannya, kucari dari gudang istana kaisar!”

“Ah…..!” Beng San berseru kaget dan kagum.

“Semenjak itulah aku selalu dicari-cari oleh para tokoh kang-ouw. Yang lain-iain tidak ada artinya bagiku, akan tetapi orang-orang seperti Song-bun-kwi, Hek-Hwa Kui-bo, Siauw-ong-kwi dan Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang, mereka itu amat berbahaya. Karena itu akhirnya aku menyembunyikan diri disini. Akupun sudah mendengar tentang Thian-te Siang-hiap yang sudah mendapatkan Im-yang Sin-kiam dan ingin aku mencari mereka untuk merampasnya. Akan tetapi Thian menghukum aku, agaknya dosaku terlalu banyak. Aku sudah terlalu tua sampai kedua mataku buta, namun belum juga aku dibebaskan dari dunia ini.”

Kakek itu menarik napas panjang dan dia berdongak ke atas seakan-akan dengan matanya yang buta dia mencari-cari Thian di atas!

“Kakek Souw, biarlah aku menemanimu disini. Aku suka tinggal disini dan aku suka melayanimu.”

Kembali Souw Lee mengelus-elus kepala Beng San.
“Tidak bisa, Beng San. Akan berbahaya sekali. Setelah aku dilihat oleh Song-bun-kwi dan Hek-hwa i Kui-bo yang tadinya menyangka aku sudah mampus karena tua, apakah mereka dan yang lain-lain akan sudah begitu saja sebelum merampas Liong-cu Siang-kiam ini? Ah, mereka tentu akan muncul dan aku tidak mau melihat kau terbawa-bawa, apalagi memang kaupun dikehendaki mereka.”

“Pergi ke manakah? Aku sebatang-kara…..” Suara Beng San terdengar sedih dan bingung.

“Tak perlu gelisah. Bukankah sebelum kau bertemu denganku, kaupun sudah sebatangkara? Aku akan memberi surat, kau berikan suratku ini kepada seorang sahabat baikku, yaitu Lian Bu Tojin ketua Hoa-san-pai. Kau tentu akan mendapat perlindungan disana dan kau akan aman. Akan tetapi ingat, biarpun terhadap seorang sahabat lama seperti Lian Bu Tojin, aku tidak percaya kepadanya mengenai persoalan Im-yang Sin-kiam-sut dan tentang Liong-cu Siang-kiam. Ingat, semua pelajaran yang sudah kuturunkan kepadamu itu merupakan kunci untuk membuka pintu gerbang persilatan bagimu. Kau harus melatih siulian dan pernapasan. Dengan latihan yang tekun, kau akan dapat menguasai tenaga dalam Im dan Yang di dalam tubuhmu yang amat kuat itu. Kau akan dapat mengatur tenaga itu menurut sesukamu dan disesuaikan dengan Ilmu Silat Im-yang Sin-kiam-sut. Akan tetapi, jangan sekali-kali kau perlihatkan kepada orang lain, kau simpan rahasia itu. Sekali-kali tak boleh diketahui orang lain sebelum sempurna latihanmu. Kalau kau melanggar pesanku ini dan sampai rahasiamu diketahui orang, ah….. kau akan menghadapi seribu satu macam bencana.”

Beng San ragu-ragu.
“Kakek Souw, aku tidak mengenal ketua Hoa-san-pai itu. Bagaimana kalau aku tidak betah tinggal disana? Bagaimana kalau dia tidak mau menerimaku?”

“Mustahil dia takkan mau menerimamu. Dia orang baik dan suratku akan menjamin dirimu. Kau boleh bekerja apa saja disana. Atau, andaikata kau tidak suka disana setelah kau melihat keadaan, kau boleh saja pergi turun gunung, tapi jangan muncul di tempat umum. Lebih baik kau kembali menjadi kacung di Hok-thian-tong, bersembunyi sambil melatih diri sampai menjadi kuat betul. Setelah itu, baru kau boleh datang kesini. Kau sudah kuberi tahu Gua Ular yang berada di lereng itu. Nah, di sanalah kau cari pedang ini. Sementara ini sebelum kau kuat, kau tidak boleh membawa pedang ini dan juga aku perlu untuk menjaga diri. Kelak, pedang ini kuberikan kepadamu. Nah, kau berangkatlah, Beng San. Letak Hoa-san-pai sudah kuterangkan kepadamu.”





Sedih hati Beng San. Akan tetapi apa daya? la harus memenuhi permintaan kakek ini. la datang sebagai tamu, kalau tuan rumah sudah mengusirnya, apa yang dapat dia lakukan?

Setelah menerima sehelai surat yang ditulis secara cakar ayam oleh kakek buta ini, Beng San lalu pergi dari tempat itu, melalui jalan rahasia yang ditunjukkan oleh kakek kepadanya.

Setelah keluar dari tempat persembunyian Lo-tong Souw Lee, Beng San lalu melakukan perjalanan cepat. Kebetulan dia lewat di dusun tempat tinggal hartawan Kwi dimana dia dahulu bersama Tan Hok menghadapi serbuan ular yang dikerahkan Giam Kin.

Heran sekali dia melihat dusun yang tiga bulan yang lalu sudah amat sunyi itu sekarang sama sekali kosong. Rumah gedung Kwi-wangwe? sudah menjadi puing bekas terbakar. Ia menduga bahwa ini tentu perbuatan Tan Hok yang merasa marah sekali kepada hartawan pelit itu.

Dugaannya hanya sebagian saja betul. Memang ketika Beng San dahulu mengejar Giam Kin, Tan Hok terus mengamuk. Betapapun juga gagahnya, dia tentu celaka dikeroyok oleh tukang-tukang pukul yang amat banyak itu, kalau saja tidak keburu datang serombongan orang Pek-lian-pai yang kebetulan lewat disitu.

Tentu saja para anggauta Pek-lian-pai ini mengenal Tan Hok yang menjadi murid Tan Sam, seorang tokoh Pek-lian-pai. Segera mereka ini menyerbu dan membantu Tan Hok sehingga tuan tanah dan hartawan itu bersama kaki tangannya yang selalu mempraktekkan penindasan dan kekejaman dapat dibasmi, harta bendanya dirampas dan rumahnya dibakar. Tan Hok lalu pergi ikut rombongan ini meninggalkan dusun itu.

Memandangi rumah gedung hartawan Kwi yang sudah menjadi tumpukan puing itu, Beng San terkenang kepada Tan Hok. la amat suka kepada pemuda raksasa muda itu yang jujur dan gagah, apalagi yang senasib dengannya, tiada orang tua dan tiada tempat tinggal. Akhirnya dia menghela napas dan meninggalkan tempat itu

Tiba-tiba berkelebat bayangan merah di depannya, Beng San membelalakkan matanya ketika melihat seorang anak perempuan berpakaian merah berdiri disitu, tersenyum-senyum ramah dari matanya bersinar-sinar seperti bintang pagi.

Beng San terbelalak bukan saking kagum melihat gadis cilik yang mungil ini sekarang, melainkan saking gelisah dan takutnya. la maklum bahwa bocah ini ada hubungannya dengan Song-bun-kwi, entah muridnya entah anaknya atau pelayannya. Akan tetapi yang jelas, tiga bulan yang lalu bocah ini muncul, lalu muncul pula Song-bun-kwi.

“Kau siapakah? Siapa namamu dan kau datang kesini mau apa?”

Beng San bertanya, suaranya halus karena tak mungkin orang dapat bersikap galak terhadap seorang anak manis yang tersenyum-senyum ramah dengan matanya bersinar gemilang itu.

Anak berbaju merah itu tersenyum lebar dan seketika Beng San teringat akan wajah Kwa Hong. Biarpun ada perbedaan besar antara Kwa Hong dan anak ini, yaitu Kwa Hong galak sekali tapi anak ini ramah-tamah penuh senyum akan tetapi kalau tersenyum mereka ini itu sama. Sama manisnya, bahkan bentuk wajahnya hampir sama. Apalagi pakaian mereka. Agaknya dua orang anak itu memiliki kesukaan yang sama terhadap warna merah.

Ditanya oleh Beng San, anak itu hanya tertawa-tawa, kemudian ia menggandeng tangan Beng San, ditarik-tarik ke sebuah pohon. Memang di sekitar rumah gedung hartawan Kwi terdapat banyak pohon bunga yang beraneka warna. Sebagian besar dari pohon-pohon ini ikut terbakar, akan tetapi pohon besar di sebelah kanan gedung itu masih berdiri tegak dan pada saat itu di puncak pohon terdapat banyak kembangnya yang berwarna kuning.

Setelah tiba di bawah pohon itu, anak perempuan tadi melepaskan tangan Beng San, lalu sambil tersenyum ia menunjuk ke atas, ke arah kembang. Dengan jari-jari tangannya yang mungil dan terpelihara bersih itu ia memberi tanda supaya Beng San mengambilkan bunga untuknya!

Ada rasa perih menusuk hati Beng San oleh gerakan-gerakan jari tangan ini. la menjadi terharu. Memang ketika pada pertama kali melihat anak perempuan ini Song-bun-kwi memberi tanda dengan tangan, dia sudah menduga bahwa anak ini gagu. Sekarang melihat anak ini mengajak dia “bicara” dengan gerakan-gerakan tangan, dia menjadi terharu sekali.

Akan tetapi di samping keharuan ini, diapun terheran-heran karena dia sudah menyaksikan sendiri betapa gadis ini amat lihai, gerakannya cepat laksana burung dan untuk mengambil bunga di pohon sedemikian saja tentu akan dapat dilakukannya sendiri, mengapa sekarang minta dia yang memetikkannya?

Betapapun juga, melihat sepasang mata itu memandang penuh permintaan, dengan sinar yang lembut dan luar biasa itu, tak dapat dia menolaknya. la mengangguk sambil tersenyum, lalu seperti seekor kera, Beng San memanjat pohon itu naik ke atas. Gerakannya ringan dan dia merasa amat mudah memanjat pohon Itu. Sebentar saja dia sudah sampai di puncak lalu memetik setangkai bunga yang dianggapnya paling segar dan baik.

Sepasang mata anak itu bersinar-sinar ketika ia menerima kembang dari tangan Beng San. Dengan cekatan dipakainya kembang itu di atas rambutnya yang hitam, kemudian ia memasang gaya di depan Beng San, membalik ke sana ke mari seakan-akan hendak memamerkan kecantikannya dengan hiasan bunga di kepalanya itu. Kemudian setelah berputaran di depan Beng San, ia berdiri menghadapi Beng San dan sepasang matanya bertanya bagaimana pendapat Beng San setelah ia memakai kembang.

Mau tak mau Beng San tersenyum. Alangkah akan bahagianya kalau dia mempunyai adik atau seorang teman semanis ini, semanja ini, yang begitu mengharukan sikap dan gerak-geriknya. la lalu tersenyum dan mengangkat ibu jari tangan kanannya tinggi-tinggi tanda bahwa gadis cilik itu benar-benar jempol.

Gadis cilik itu mengerti gerakan ini, sarnbil mengeluarkan suara yang mirip tawa ia memegang kedua tangan Beng San, lalu mengajak Beng San berputar-putar menari di bawah pohon.

Bukan main gembiranya gadis cilik itu, ia menari-nari dengan gerakan lincah sehingga mau tidak mau Beng San ikut pula menari-nari dan tertawa-tawa. Selama hidupnya belum pernah dia merasai kegembiraan seperti kali ini dan tak terasa pula dua butir air mata menitik turun ke atas pipinya. Kegembiraan dan kebahagiaan yang luar biasa mendatangkan keharuan yang tak dapat ditahannya pula.

Tiba-tiba gadis itu berhenti, memandang kepada Beng San dengan matanya yang bening, penuh keheranan dan pertanyaan. Kemudian jari-jari tangannya diangkat ke atas, dengan halus diusapnya dua butir air mata itu dari pipi Beng San, lalu dia menggeleng-geleng kepala perlahan seakan-akan hendak berkata bahwa Beng San tidak boleh menangis.

Dalam keadaan yang aneh ini, dimana tidak ada sepatah pun kata-kata keluar dari mulut kedua orang anak itu, Beng San seakan-akan dapat mengerti semua, seakan-akan dapat menjenguk isi hati dan pikiran gadis cilik itu, bahwa gadis itu dapat pula merasai kesengsaraannya, kesunyiannya, bahkan mereka itu senasib sependeritaan dan ada kecocokan yang membuat keduanya menaruh kasihan satu kepada yang lain.

Dari jauh terdengar suara melengking tinggi, suara tangisan. Gadis cilik berbaju merah itu menjadi pucat, tangannya dingin menggigil dan cepat sekali ia menarik tangan Beng San, diajaknya berlari-lari ke arah bekas rumah gedung yang sudah menjadi tumpukan puing.

Dengan gerakan tiba-tiba gadis itu mendorong tubuh Beng Sang menerobos ke bawah tumpukan kayu-kayu hangus sambil menunjuk-nunjuk supaya anak itu bersembunyi. Tadinya Beng San bingung tidak mengerti, akan tetapi setelah suara melengking itu makin dekat, dia mengerti apa artinya itu. Song-bun-kwi datang!

Cepat dia lalu menyelundup ke bawah kayu dan arang, bersembunyi di bawah puing. Akan tetapi dasar dia seorang anak yang tabah dan nakal, dalam bersembunyi dia mengintai ke luar.

Suara melengking seperti orang menangis itu makin lama makin keras dan berhenti, tahu-tahu di depan gadis itu sudah berdiri seorang laki-laki. Song-bun-kwi dengan muka kelihatan tak senang! Mukanya merah dan matanva melotot, kedua tangannya menggerak-gerakkan jari-jari tangan sambil menatap wajah gadis cilik itu.

Anak perempuan itu kelihatannya takut-takut, berkali-kali menggeleng kepalanya. Kembang di atas rambutnya ikut bergoyang-goyang dan ini agaknya yang menarik perhatian Song-bun-kwi. Sekali renggut dia telah menjambak rambut anak itu dan ditariknya kembarng tadi.

Anak itu terpelanting dan tentu akan terbanting keras kalau saja tidak lekas poksai (bersalto) sehingga ia hanya terhuyung-huyung dan kaget saja. Matanya memperlihatkan sinar duka ketika kembang tadi hancur di tangan Song-bun-kwi.






No comments:

Post a Comment