Ads

Saturday, September 8, 2018

Raja Pedang Jilid 043

Barulah lega hati Beng San setelah suara mereka tidak terdengar lagi. Juga kakek tua itu kini tidak berlari terlalu cepat lagi, hanya mengajak Beng San berjalan melalui hutan-hutan yang besar.

“Sudah keluarkah bulan, anak yang baik?” tanya kakek itu, berhenti dan berdongak ke atas.

Beng San terheran. Apakah tak dapat melihat sendiri? Mengapa harus bertanya?
“Belum, hanya langit penuh bintang.”

“Hemmm, coba kau lihat baik-baik dimana letaknya Bintang Kak-seng (Bintang Terompet)?”

“Aku tidak tahu yang mana itu bintang Kak-seng,” jawab Beng San.

“Kalau begitu, dimana letaknya Bi-seng (Bintang Ekor)?”

Beng San makin bingung. Matanya menatap bintang-bintang di langit yang tiada terhitung banyaknya.

“Yang mana Bi-seng akupun tidak tahu.”

Kakek itu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang.
“Kiranya kau, memang belum tahu apa-apa. Ah, sudahlah. Katakan saja bintang apa yang kau ketahui?”

Beng San segera menuding ke atas dan berkata,
“Bintang-bintang Gu-seng (Bintang Kerbau) itu aku kenal!”

Memang dahulu pernah dia mendengar dari seorang hwesio di Kelenteng Hek-thian-tong tentang Bintang Kerbau ini, sekumpulan bintang terdiri dari enam buah menyerupai kepala kerbau dengan tanduknya.

Kakek itu nampak girang.
“Bagus! Coba kau tunjukkan, dimana Gu-seng itu?”

“Tuh, disana!”

“Huh, aku tak dapat melihat. Kau pegang tanganku dan tunjukkan dimana arah letaknya.”

Berdebar jantung Beng San. Kiranya kakek ini buta! la menatap wajah kakek itu. Tadinya dia menyangka bahwa kakek itu bermata sipit sekali, tidak tahunya memang selalu meram tak dapat dibuka, seorang buta!

Timbul rasa kasihan di dalam hatinya, akan tetapi juga kekagumannya makin membesar. Seorang kakek tua renta lagi buta, akan tetapi bukan main lihainya! la lalu memegang tangan kanan kakek itu dan menudingkan tangan itu ke arah kumpulan Bintang Gu-seng.

“Hemmm, kalau begitu kita harus ke kanan,” kata kakek itu sambil menggandeng tangan Beng San dan berlari lagi. “Beng San, kau ikutlah aku. Biarkan aku menggosok intan yang masih mentah, ini!”

Beng San tidak mengerti maksudnya dan hendak bertanya, akan tetapi kakek itu sudah lari lagi dengan amat cepatnya. Karena maklum bahwa kakek ini tidak jahat seperti Song-bun-kwi atau Hek-hwa Kui-bo, maka dia tidak banyak membantah dan menurut saja dibawa lari secepatnya.

“Beng San, entah apa dosa-dosamu dahulu terhadap Thian maka sekecil ini kau sudah bernasib malang, menjadi perebutan tokoh-tokoh kang-ouw. Hemmm, aku si kecil dan aku si tua bangka benar tak ada bedanya, dibenci dan diancam oleh mereka yang selalu kurang puas…..” demikianlah kakek tua yang buta itu berkata kepada Beng San.

Mereka duduk berhadapan di atas Batu-batu hitam yang halus di atas puncak yang tinggi, sedemikian tingginya sehingga seolah-olah dengan tangannya orang akan dapat menyentuh bintang-bintang di langit.





Inilah tempat sembunyi kakek itu yang disebut Ban-seng-kok (Puncak Selaksa Bintang), sebuah diantara puncak-puncak di Pegunungan Cin- ling-san. Namun puncak Ban-seng-kok ini adalah puncak yang tersembunyi karena di kelilingi jurang-jurang yang tak mungkin dilintasi manusia.

Salah satu puncak Cin-lin-san (Qinlin Mountain)

Hanya Lo-tong Souw Lee si anak tua itulah yang telah mendapatkan jalan rahasianya dengan merayap melalui jurang-jurang yang amat dalam. Tidak mengherankan apabila orang tua ini mempergunakan Ban-seng-kok sebagai tempat bersembunyi atau tempat bertapa. Puncak ini indah bukan main, penuh dengan pohon-pohon liar, bunga-bunga beraneka macam, hawanya sedang dan udaranya bersih.

Setelah melakukan perjalanan lima hari lima malam lamanya, Beng San dan kakek itu tiba di tempat ini pada senja hari tadi dan malam ini mereka duduk di luar pondok kecil tempat tinggal Souw Lee.

Beng San kagum bukan main menyaksikan pemandangan yang amat indah di waktu malam ini. Angkasa sedemikian bersihnya sehingga dia dapat melihat bintang-bintang yang memenuhi langit. Ketika mendengar ucapan kakek itu Beng San sadar daripada lamunannya.

“Kakek Souw Lee, orang memperebutkan sepasang pedangmu yang hebat itu, tak perlu diherankan lagi. Hanya anehnya mengapa agaknya mereka hendak membunuhmu. Adapun aku…… ah tak tahu aku mengapa mereka mati-matian hendak memperebutkan pelajaran-pelajaran yang tidak ada artinya itu?”

“Tidak ada artinya kau bilang, Heh-heh-heh, Beng San. Dalam hal ini kau lebih buta daripada mataku. Aku mengikuti ketika kau berhadapan dengan Song-bun-kwi, kemudian kau menghadapi Hek-i hwa Kui-bo. Kau cerdik sekali telah menipu mereka. Kecerdikanmu itu menarik hatiku. Memang, tak salah kalau Phoa Ti dan The Bok Nam mewariskan Im-yang Sin-kiam-sut kepadamu.” Kakek itu mengangguk-angguk dan

Beng San membelalakkan matanya saking herannya.
“Kakek Souw, kenapa kau bisa mengetahui semua itu?”

Kakek buta itu tertawa lagi.
“Siapa yang tidak tahu bahwa Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam terjatuh ke dalam tangan Thian-te Siang-hiap? Hanya tak pernah kusangka sekarang sudah terjatuh ke dalam tangan sepasang iblis itu! Kebetulan sekali aku mendengar ketika kau diserang oleh Song-bun-kwi. Angin gerakannya dan angin gerakan tanganmu biarpun lemah dapat terdengar olehku dan tahulah aku bahwa kalian mainkan ilmu silat yang belum pernah kudengar sebelumnya. Setelah kalian bicara baru aku tahu bahwa itulah Yang-sin Kiam-sut. Pantas begitu hebat.” Kembali dia mengangguk-angguk. “Kemudian kau dibawa pergi Hek-hwa Kui-bo. Aku diam-diam mengikuti dan setelah melihat sikap iblis wanita itu kepadamu, baru aku dapat mengetahui bahwa dua orang itu ternyata telah merampas kitab-kitab itu, seorang satu.”

“Betul sekali,” Beng San menarik napas panjang. “Mereka merampas kitab dan membunuh dua orang kakek Phoa Ti dan The Bok Nam. Bagiku, dua ilmu itu apa sih gunanya? Kalau lapar tidak bisa mengenyangkan perut, kalau haus tidak bisa memuaskan kerongkongan. Paling-paling bisa digunakan untuk menipu orang dan main gebuk!”

Kakek buta itu tertawa bergelak.
“Hah-hah-hah! Ketahuilah Beng San. Dua atau tiga puluh tahun yang lalu, aku sendiripun akan memaksa kau mengeluarkan dua ilmu itu kepadaku. Mungkin sekali akupun akan memaksamu, kalau perlu menyiksa malah membunuhmu.”

Beng San menjadi marah. Ternyata dia salah kira. Disangkanya kakek ini baik, tidak seperti Song-bun-kwi atau Hek-hwa Kui-bo, kiranya begini bicaranya!

“Huh, Kakek Souw. Kukira hatimu melek, tidak tahunya sama butanya dengan kedua matamu. Kau yang sudah berilmu tinggi itu dan belum kau ketahui apa semua itu kegunaannya, masih saja menginginkan ilmu yang lain dengan cara memaksa orang lain? Hemmm, sebetulnya apa sih artinya memiliki ilmu silat setinggi langit?”

“Ho-ho-ho, anak bodoh. Kalau aku tidak memiliki ilmu silat tinggi, apakah tadi tidak mampus di tangan Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo? Kalau aku tidak memiliki ilmu silat lumayan, apakah dulu-dulu tidak sudah mampus? Kepandaian silat tinggi menjamin keselamatan kita, Beng San. Di dunia kang-ouw, ilmu kepandaian yang paling penting dimiliki, karena hanya dengan kepandaian tinggi kita bisa terhindar daripada kematian di tangan orang lain.”

“Uhhh.” Beng San mencela. “Mana bisa ada aturan demikian? Kakek tua, mati atau hidup bagaimana bisa tergantung daripada ilmu silat? Kau yang pandai ilmu silat tinggi, kalau sebentar lagi mati karena tua, apakah bisa bertukar kulit menjadi muda kembali? Salah, kakek Souw. Menurut kitab-kitab kuno yang pernah kubaca dan kupelajari, mati hidup bukanlah urusan kita untuk menentukan. Kalau Thian menghendaki kematian kita, biarpun kita memiliki nyawa rangkap selaksa, toh akan mati juga tak usah menanti orang lain membunuh kita. Sebaliknya, apabila Thian menghendaki kita masih harus hidup, biar ada selaksa orang berusaha membunuh kita, kiranya takkan berhasil”

“Ya Tuhan…..!” Kakek itu menangkap tangan Beng San dengan kedua tangannya menggigil. “Anak baik….. kau mengetahui semua itu dari mana?”

Ucapan yang penuh keheranan dan kekaguman ini membuat Beng San menjadi malu.
“Dari hwesio-hwesio di Kelenteng Hong-thian-tong. Sejak kecil aku menjadi pelayan di kelenteng itu dan menerima jejalan pelajaran filsafat dari kitab-kitab kuno.”

Kakek itu menarik napas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Alangkah ganjilnya. Seorang anak kecil mempelajari ilmu batin dan mendapatkan inti sarinya untuk dipakai dalam hidup. Manusia-manusia tua bangka seperti aku dan yang lain-lain, mempelajari ilmu kebatinan untuk mendapatkan kekuatan mempertinggi kepandaian silat. Benar-benar menyeleweng….. benar-benar tersesat…..” la lalu merangkul Beng San dan menangis terisak-isak!

Tentu saja anak sekecil Beng San belum mengerti betul apa sebetulnya yang dipikirkan dan apa artinya kata-kata kakek ini. la mengira bahwa kakek itu telah melakukan perbuatan keliru dan kini merasa menyesal, maka untuk menghiburnya dia mengutip ujar-ujar kuno lagi,

“Kakek Souw, pernah para suhu mengatakan kepadaku bahwa insyaf dan menyesal akan kesesatan diri sendiri termasuk kebajikan. Jauh lebih baik insyaf dan menyesal daripada bangga dan menyombongkan diri sendiri.”

Kakek itu makin terharu lalu mengusap-usap kepala Beng San.
“Anak baik….. anak baik….. kuharap dalam beberapa pekan ini kau suka mengulang semua pelajaran yang pernah kau pelajari dari para suhu (guru) di Kelenteng Hok-thian-tong itu. Phoa Ti dan The Bok Nam benar ketika memilih kau sebagai ahli waris. Sayang mereka tidak ada waktu untuk menurunkan dasar-dasar ilmu silat. Beng San, kau harus menurut kata-kataku, kau harus tekun bersiulian (samadhi). Semua itu untuk memperkuat tubuh dalammu dan mengimbangi ilmu-ilmu tinggi yang sudah kau miliki. Kalau tidak demikian, kau akan celaka, sebelah dalam tubuhmu akan rusak binasa.”

Tadinya Beng San tidak begitu tertarik, akan tetapi oleh karena kakek itu bermaksud baik dan memang di dunia ini dia sebatangkara, untuk menyenangkan hati kakek buta itu dia menyanggupi.

Demikianlah, mulai malam hari itu juga, Beng San mengeluarkan semua hafalannya tentang kitab suci di jaman dahulu, sebaliknya dia menerima petunjuk-petunjuk dari kakek sakti itu tentang samadhi, latihan napas, Iweekang, khikang, dan lain-lain yang berhubungan dengan ilmu silat.

Terjadi perubahan besar pada diri kakek buta itu setelah setiap hari dia mendengar kata-kata filsafat dari kitab-kitab kuno yang diucapkan oleh Beng San. la nampak lebih tenang, wajahnya selalu berseri dan berkali-kali dia menyatakan bahwa sekarang dia rela mati, tidak takut mati lagi.

Beng San memang banyak menghafal kitab-kitab yang pernah dia baca di Kelenteng Hok-thian-tong. Selain kitab-kitab Agama Buddha seperti Dhammapada dan lain-lain, dia juga membaca dan menghafal isi kitab Upanisad dan kitab-kitab Su-si-ngo-keng pelajaran Nabi Khong Cu.

Kurang lebih seratus hari kemudian, Beng San sudah mempelajari semua ilmu yang diturunkan oleh kakek buta itu kepadanya. Tentu saja yang dia pelajari dan hafalkan hanya teorinya, adapun tentang prakteknya, baru sedikit-sedikit dia latih di bawah petunjuk kakek Souw Lee. Pagi hari itu kakek Souw Lee berkata.

“Beng San anak baik. Semua pengertianku tentang ilmu batin yang dihubungkan dengan ilmu silat, tentang siulian, Iweekang dan khikang, semua telah kuajarkan kepadamu. Hanya tinggal kau tekun melatih diri saja. Berkat hawa Im-Yang di dalam tubuhmu yang amat luar biasa, ditambah bakat dan ketekunan, kau tentu akan mendapat kemajuan pesat dan besar, jauh lebih besar daripada aku sendiri. Mulai hari ini, kau harus pergi tinggalkan aku.”

Beng San kaget. la sudah mulai betah tinggal di tempat sunyi itu bersama kakek Souw Lee. Kenapa sekarang disuruh pergi? Hampir Beng San menangis ketika dia berkata.

“Kakek Souw, kenapa kau mengusirku? Apa salahku? Kakek yang baik, biarkanlah aku berada disini mengawanimu…..”






No comments:

Post a Comment