Ads

Tuesday, September 4, 2018

Raja Pedang Jilid 029

“Jangan kau bersikap pura-pura,” katanya mengejek. “Kau sudah berani menipu Kun-lun Sam-hengte, menipu kedua suhengku, malah melukai ji-suhengku dengan pengeroyokan pengecut. Ketahuilah, aku Kwee Sin takkan membiarkan orang macam engkau menghina ji-suheng begitu saja!”

Orang itu sambil tersenyum lalu menjura.
“Eh, kiranya Pek-lek-jiu Kwee-enghiong yang datang. Sudah lama mendengar nama besar Kwee-enghiong, dan aku yang bodoh Thio Sian juga sudah beruntung sekali berkenalan dengan kedua saudara Bun yang gagah…..”

Mendongkol sekali hati Kwee Sin.
“Orang she Thio, jangan berpura-pura menjual mulut manis. Awas pedangku!”

la merasa dipermainkan dan khawatir kalau-kalau dijebak maka cepat dia mengirim serangan.

“Eh, eh, benar-benar berdarah panas!”

Orang itu dengan mudahnya mengelak Kwee Sin mendesak lagi dengan pedangnya sehingga mau tidak mau Thio Sian mencabut golok dan menangkis.

“Kau hendak menguji kepandaian? Baiklah, tiada halangannya di tempat sunyi kita bermain-main, biar kita penuhi syarat perkenalan dengan bertanding lebih dulu.”

Di lain saat kedua orang itu sudah bertanding seru. Diam-diam Kwee Sin harus mengakui kehebatan lawannya yang memiliki golok yang amat cepat dan kuat. Payah dia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun tetap saja dia tidak mampu mendesak lawan-nya. Dia mulai gelisah. Kalau ada seorang lagi saja teman lawannya, dia tentu celaka dan takkan dapat menang. Oleh karena itu dia mulai melakukan pukulan-pukulan tangan kiri, yaitu pukulan Pek-lek-jiu yang amat ampuh.

“Ayaaa….. kau benar-benar hendak mengambil nyawa orang tak berdosa?” Thio Sian nampak terkejut dan cepat mengelak. “Mari kita bicara dulu.”

Tapi Kwee Sin mana mau berhenti? Malah menyerang makin gencar dengan pedang dan pukulan-pukulannya. Tiba-tiba Thio Sian juga melakukan penyerangan dengan tangan kirinya, melakukan pukulan-pukulan jarak jauh untuk menandingi Pek-lek-jiu dari jago muda Kun-lun-pai itu.

Pada saat itu cuaca sudah mulai gelap. Pertempuran sudah berlangsung hampir seratus jurus. Berkali-kali Thio Sian minta dihentikan, namun Kwee Sin tidak mau peduli.

Tiba-tiba berkelebat bayangan kecil berwarna merah ke arah Thio Sian. Orang ini terkejut menangkis dengan goloknya. Bayangan itu ternyata sehelai saputangan dan Thio Sian mengeluarkan seruan kaget, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.

“Aaahhhhh….. kau….. kau bersekutu dengan dia……?”

la mengeluh dan tiba-tiba tangan kirinya melayangkan beberapa buah Pek-lian-ting ke arah Kwee Sin. Penyerangan ini tiba-tiba datangnya. Kwee Sin sudah berusaha menghindarkan diri, namun sebatang paku Pek-lian-tin denga tepat sekali menancap di jalan darah dekat lehernya. Pandang matanya gelap dan Kwee Sin mengeluh perlahan lalu roboh pingsan!

Ketika Kwee Sin membuka matanya sambil mengeluh kesakitan, dia menjadi heran dan kaget karena mendapatkan dirinya sudah rebah di atas pernbaringan dalam sebuah kamar yang berbau harum. Lehernya terasa panas dan sakit sekali, sampai berdenyut kepalanya. Namun dia memaksa diri bangun duduk.

Terdengar pintu kamar berderit terbuka, lalu tertutup lagi. Kwee Sin menoleh dan….. matanya terbelalak lebar ketika dia melihat seorang wanita muda cantik sekali memasuki kamar itu sambil tersenyunn manis.

“Kau….. kau siapakah…..?”

Kwee Sin hendak melompat turun. Wanita itu melangkah ringan dan cepat, tahu-tahu sudah berada di pinggir pembaringan, lalu menjura dan berkata, dengan kata-kata yang sopan dan merdu.

“Harap Taihiap tenang dan jangan kaget, biarlah Siauw-moi memberi penjelasan ..”





”Tapi….. tapi tak pantas sekali kita…. berada disini…..”

“Sssssttt……”

Manis sekali ketika wanita itu menaruh telunjuk di depan mulut dan bibirnya mengeluarkan suara ini untuk mencegah pemuda itu membuat berisik.

“Taihiap, jangan ribut-ribut, kalau terdengar para pelayan losmen dan para tamu, kita malah akan mendapat malu. Dengarlah Siauw-moi bicara…..”

Wanita itu dengan sikap sopan tapi amat manis menarik lalu duduk di atas bangku depan pembaringan sambil memberi isyarat dengan tangannya agar Kwee Sin berbaring kembali.

“Kau berbaringlah, lukamu masih belum sembuh dan perlu beristirahat.”

Karena memang kepalanya berdenyut-denyut dan pening, Kwee Sin terpaksa menurut dan membaringkan badan, biarpun hatinya merasa tidak enak sekali. Dia seorang gagah, bagaimana sekarang bisa berada sekamar dengan seorang gadis cantik jelita? Benar-benar memalukan dan mencemarkan namanya!

“Taihiap, secara terpaksa sekali aku membawamu ke dalam losmen ini. Kau terluka hebat oleh paku Pek-lian-ting. Kau pingsan, lukamu parah, tepat mengenai jalan darah besar di leher. Tanpa mendapat pengobatan yang cepat dan tepat, keadaanmu akan berbahaya sekali. Di dalam hutan yang sunyi, bagaimana aku dapat menolongmu? Karena itu secara terpaksa sekali aku membawamu ke losmen ini, menyewa sebuah kamar.”

“Tapi….. tapi…..,” Kwee Sin memprotes, “Mengapa hanya sekamar? Padahal, kau dan aku….. laki-laki dan wanita, sungguh tak patut…..”

Wajah wanita itu menjadi merah sekali, terutama di kedua pipinya, membuat ia nampak makin jelita.

“Maaf, Taihiap. Aku….. aku terpaksa mengaku bahwa kita….. kita ini suami isteri…..”

“Ahhh!” Kwee Sin terkejut dan hendak bangun, tapi lehernya sakit sekali dan dia rebah kembali.

“Terpaksa, Taihiap. Kalau aku tidak mengaku demikian, tentu akan menimbulkan kecurigaan. Aku mengaku suami isteri yang berpesiar, lalu kau mendapat kecelakaan jatuh dari kuda. Setelah aku mengaku bahwa kita adalah suami isteri, tidak ada seorang pun yang memperhatikan atau menaruh curiga.”

Kwee Sin diam saja. la merasai kebenaran omongan wanita ini. la melirik dan melihat wanita itu menyusuti dahi dengan sehelai saputangan merah. Tiba-tiba dia teringat dan dia memaksa diri duduk.

“Kau….. kaukah yang menyerang dan merobohkan Thio Sian dan yang rnenolongku?”

la memandang tajam, ragu-ragu. Wanita itu merah lagi kedua pipinya, ketika mengangguk, tersenyum dan berkata perlahan,

“Sudah sepatutnya kita saling tolong-menolong, apalagi menghadapi seorang penjahat besar seperti tokoh Pek-lian-pai itu. Ketika aku melihat seorang Pek-lian-pai bertempur melawanmu, tanpa ragu-ragu aku memihak kepadamu, Taihiap. Tidak tahu, siapakah nama Taihiap yang mulia?”

Sambil duduk Kwee Sin cepat-cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat.
“Ah, kiranya Nona adalah penolongku. Terima kasih banyak, Nona sudah menolong dan menyelamatkan nyawaku. Aku yang bodoh bernama Kwee Sin dan bolehkah aku mengetahui nama besar Taihiap (Nona Pendekar)?”

“Aku bernama….. Kim Li, she (nama keluarga) Cou. Kwee-taihiap, karena aku sudah terlanjur mengaku suami isteri, untuk melenyapkan kecurigaan orang, kuharap kau jangan menyebut lihiap….. sebut saja namaku, dan….. dan kalau boleh aku lebih suka menyebutmu Kwee-koko (Kakanda Kwee)…..”

Berdebar jantung Kwee Sin, akan tetapi pada saat itu juga lehernya terasa nyeri bukan main sampai kepalanya berdenyut-denyut. la meramkan matanya dan mengeluh perlahan.

Wanita itu yang bukan lain adalah Kim-thouw Thian-li atau Ngo-lian-kauwcu ketua Ngo-lian-pai, segera menghampiri. Dengan mesra dan halus ia menaruh telapak tangannya diatas kening Kwee Sin dan berkata merdu.

“Kau mulai terserang demam, Kwee-koko. Akan tetapi tidak apa, kau tidurlah, biarlah kumasakkan obat untukmu.”


Dengan amat teliti wanita ini merawat Kwee Sin. Sikapnya penuh kasih dan mesra, selama dua hari dua malam tak pernah meninggalkan kamar itu, tak pernah tidur.

Biarpun sedang menderita demam, Kwee Sin masih ingat akan semua ini dan diam-diam dia merasa amat terharu dan berterima kasih. Belum pernah selama hidupnya dia mempunyai seorang yang begini baik terhadap dirinya, bahkan tunangannya sendiri, nona Liem Sian Hwa, belum pernah bersikap sedemikian manis dan penuh kasih. Kwee Sin adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam menghadapi godaan wanita.

la belum mampu membedakan antara kasih sayang yang murni dengan kasih sayang seperti yang dikandung dalam hati seorang wanita seperti Kim-thouw Thian li. Tak dapat disangkal bahwa biarpun masih muda, Kwee Sin sudah banyak sekali pengalamannya dalam dunia kangouw, namun tentang cinta kasih, dia benar-benar masih hijau dan hatinya masih bersih sehingga dia menganggap sikap wanita itu sebagai cinta yang benar-benar murni.

Betapapun juga, Kim-thouw Thian-li benar-benar jatuh hati kepada pemuda jago Kun-lun-pai ini. Melihat sikap Kwee Sin yang bersih dan jujur, yang selalu sopan dan tidak sekali-kali mau melanggar kesusilaan, wanita ini merasa malu dan takut sendiri untuk bersikap terlalu genit.

Namun dengan kepandaiannya membujuk rayu, ia berhasil juga mendatangkan rasa haru dalam hati Kwee Sin dan mulailah dalam hati pemuda ini timbul penyesalan mengapa dia tidak diikatkan jodoh dengan seorang gadis seperti Coa Kim Li ini!

Pada hari ke tiga, Kwee Sin sudah sembuh kembali. la lalu menghaturkan terima kasih kepada Coa Kim Li atau yang sesungguhnya berjuluk Kim-thouw thian-li itu.

“Adik Kim Li,” katarwa terharu, “aku merasa berhutang budi kepadamu. Kalau aku Kwee Sin tak mampu membalas budimu, biarlah Thian yang akan membalasnya. Sekarang kita harus berpisah, aku akan melanjutkan perjalananku dan aku tidak berani mengganggu kau lagi.”

Kim-thouw Thian-li tersenyum manis, akan tetapi sinar matanya memperlihatkan kedukaan hatinya,

“Kwee-koko, mengapa kita harus berpisah? Apakah salahnya kalau kita melakukan perjalanan bersama? Koko, aku….. entah mengapa, selama hidupku belum pernah aku mempunyai seorang….. sahabat seperti kau. Aku….. agaknya akan sukar sekali bagiku untuk berpisah dari sampingmu.”

Kwee Sin makin terharu, apalagi ketika dia melihat dua butir air mata jernih turun dari sepasang mata yang indah itu. Dipegangnya kedua tangan Kim Li dan suaranya menggetar,

“Kim Li, percayalah, aku pun mempunyai perasaan seperti yang kau rasai itu. Kau satu-satunya wanita yang selama hidupku amat baik kepadaku. Akan tetapi….. kurasa tidak sepatutnya kalau kau seorang gadis gagah perkasa melakukan perjalanan bersama seorang laki-laki. Akan tercemar nama baikmu. Ke dua…..”

“Kwee-koko, peduli apa sama anggapan umum? Kita orang-orang gagah tidak perlu mendengarkan gonggongan anjing-anjing di tepi jalan!”

Kwee Sin tersenyum pahit.
“Betul kata-katamu, akan tetapi mau tidak mau kita harus menghindarkan dugaan yang bukan-bukan. Selain itu, yang ke dua….. aku harus berterus terang kepadamu.Kim Li moi-moi, aku….. aku sebenarnya sudah….. sudah bertunangan…..”






No comments:

Post a Comment