Ads

Tuesday, September 4, 2018

Raja Pedang Jilid 028

“Kwee-susiok, anggauta-anggauta Pek-Lian-pai lihai sekali dan selagi pamanku terluka, kiranya tidak baik memperluas permusuhan dengan mereka.”

Jawaban anak berusia belasan tahun ini diam-diam membuat Kwee Sin amat kagum. Benar-benar seorang anak yang sudah memiliki pandangan luas, pikirnya.

“Bagaimana lukanya, ji-suheng?”

Bun Lim Kwi menarik napas parjang.
“Berat juga, syukur dapat tertolong oleh tabib yang pandai. Biarlah nanti Susiok mendengar sendiri tentang persoalannya dari ayah…..”

“Benar juga kau, hayo kita lekas pergi ke rumahmu, ingin aku menengok Ji-suheng.”

Keduanya lalu cepat memasuki kampung dimana Bun Lim Kwi dan ayahnya tinggal. Rumah keluarga Bun cukup besar, malah memiliki pekarangan belakang yang amat luas, karena disitu dibangun kandang-kandang besar untuk binatang peliharaan dan dagangan mereka, yaitu kuda.

Sebagai Seorang pedagang kuda, Bun Si Teng telah berhasil dan makin lama kudanya makin banyak. Hampir semua orang gagah yang membutuhkan kuda, atau para saudagar kuda dari lain daerah, selalu datang menemuinya karena selain keluarga Bun jujur dan tidak pernah menghargai kuda mereka terlalu tinggi, juga kuda mereka selalu adalah kuda-kuda pilihan saking pandainya Bun Si Teng memilih kuda.

Di depan gedung yang cukup besar itu terdapat beberapa batang pohon yang rindang, mendatangkan suasana yang teduh dan enak di halaman rumah itu. Beberapa ekor ayam yang gemuk-gemuk sibuk mematuki gabah dan dedak yang berceceran di halaman sehingga suasana di tempat yang teduh itu aman dan damai, tidak membayangkan sesuatu yang menyedihkan.

Hanya sejenak Kwee Sin dapat merasai ketenteraman suasana ini karena dia segera tergesa-gesa memasuki gedung ketika teringat akan keadaan ji-suhengnya seperti yang dia dengar dari Lim Kwi.

Kedatangan Kwee Sin dan Lim Kwi disambut oleh nyonya Bun Si Teng, ibu Lim Kwi yang tergesa-gesa bertanya,

“Bagaimana Kwi-ji (anak Kwi), sudah dapatkah obatnya?”

Lim Kwi mengangguk dan nyonya itu baru melihat munculnya Kwee Sin di belakang anaknya. la segera menyambutnya dengan muka sedih dan Kwee Sin langsung menyatakan keinginannya untuk menengok Bun Si Liong yang terluka.

Beramai-ramai mereka bertiga masuk ke ruangan dalam dan di dalam kamar Bun Si Liong, orang gagah ini rebah telentang dengan muka pucat sedangkan Bun Si Teng, kakaknya, duduk di dekat pembaringan dengan wajah muram.

“Ah, kau datang, Kwee-sute? Kebetulan sekali!” kata Bun Si Teng, agak berseri wajahnya seperti mendapat pengharapan baru.

“Siauwte mendengar tentang terlukanya Ji-suheng, bagaimana keadaannya?”

Kwee Sin menghampiri pembaringan. Bun Si Liong membuka mata dan memandang kepada Kwee Sin, tersenyum duka.

“Kita kecewa, Sute….. ternyata Pek- lian-pai bukan orang-orang baik…..”

“Biarlah nanti kita berhitungan dengan mereka, Ji-suheng. Yang perlu sekarang kau berobatlah dulu agar segera sembuh,” menghibur adik seperguruan ini.

Ia mendapat kenyataan bahwa selain menderita pukulan yang melukai sebelah dalam dada, suhengnya ini pun menderita luka parah pada pundak dan lambungnya akibat senjata rahasia paku yang terkenal dipergunakan oleh perkumpulan Pek-lian-pai, yaitu Pek-lian-ting.

Nyonya Bun Si Teng sibuk memasak obat untuk adik iparnya dan Bun Si Teng lalu menceritakan dengan singkat kepada Kwee Sin tentang terjadinya peristiwa itu.

“Beberapa pekan yang lalu disini datang seorang yang mengaku sebagai utusan Pek-lian-pai yang membutuhkan dua puluh ekor kuda yang baik. Aku dan Liong-te (adik Liong) karena merasa simpati mendengar nama baik Pek-lian-pai sebagai perkumpulan para patriot, dengan senang hati memilihkan dua puluh ekor kuda dengan harga serendah-rendahnya. Malah ketika orang itu, yang mengaku bernama Thio Sian, menyatakan kagum melihat kuda tungganganku sendiri, aku dengan rela hati menyerahkan kuda itu kepadanya sebagai tanda persahabatan.





Orang she Thio itu minta kepada kami berdua supaya suka mengantarkan kuda ke dalam hutan yang tiga puluh li jauhnya dari sini. Karena ingin berkenalan dengan tokoh-tokoh Pek-lian-pai, aku sendiri bersama Liong-te berangkat pada tiga hari yang lalu untuk mengantar kuda-kuda itu ke sana. Celaka sekali…..”

Bun Si Teng yang bertubuh tinggi besar seperti pahlawan Kwan In Tiang di jaman dahulu ini mengepalkan tinjunya yang besar dan menggertak gigi. Kwee Sin mendengarkan penuh perhatian.

“Baru saja kami memasuki hutan menggiring dua puluh ekor kuda, tiba-tiba muncul lima orang berpakaian putih-putih dan mereka menyerang kami dengan paku-paku Pek-lian-ting. Tentu saja kami dapat menyelamatkan diri dari serangan gelap ini dan sebelum kami dapat bertanya mengapa mereka melakukan hal itu, mereka telah maju mengeroyok. Terpaksa aku dan Liong-te melakukan perlawanan. Lima orang itu bersenjata golok dan ilmu silat mereka cukup lihai. Akan tetapi aku dan Liong-te tidak gentar dan dapat melayani mereka dengan baik, malah dengan gabungan ilmu pedang kami dapat mendesak mereka.”

Kwee Sin mengepal tinju dan amat tertarik. la cukup maklum akan kelihaian kedua orang suhengnya, apalagi kalau mereka menggabungkan ilmu pedang mereka, kiranya takkan mudah dikalahkan orang, biarpun dengan pengeroyokan.

Twa-suhengnya, Bun Si Teng, amat pandai bersilat pedang dan ditambah lagi dengan permainan sebatang busur besar di tangan kiri merupakan seorang gagah yang sukar dicari bandingnya.

Adapun Bun Si Liong yang bertubuh tegap bermuka hitam itu, di tangan kanan memegang pedang sedangkan tangan kiri memegang golok. Ilmu pedangnya dicampur dengan ilmu golok sehingga gerakan-gerakannya amat sukar diduga lawan.

Kalau dua orang ini bergabung menjadi satu, bukan main kuatnya.
“Lalu bagaimana, Twa-suheng? Bagaimana Ji-suheng sampai bisa terluka ?” tanya Kwee Sin penasaran.

“Menyakitkan hati benar!” Bun Si Teng menggebrak meja. “Orang-orang Pek-lian-pai memang pengecut dan jahat. Setelah kami mulai mendesak, tiba-tiba terdengar suara ketawa seorang wanita, ketawanya nyaring dan merdu, akan tetapi tidak kelihatan orangnya. Kau tahu sendiri, Ji-suhengmu biarpun gagah perkasa, selalu amat takut dan gugup kalau berhadapan dengan wanita. Mendengar suara ketawa ini, agaknya dia gugup sekali maka ketika dari tempat yang tidak diketahui datang menyambar paku-paku Pek-lian-ting, dia kurang cepat dan terluka oleh sebatang paku.”

“Ahhh…..!” Kwee Sin berseru, penasaran dan juga heran.

“Paku-paku yang menyambar kali ini dilepas oleh orang yang berilmu tinggi,” kata Bun Si Teng menjelaskan. “Ketika aku menangkis paku-paku itu dengan pedangku, telapak tanganku sampai tergetar. Melihat adikku terluka, aku memutar senjata dan mengamuk dengan nekat. Untuk sementara mereka itu tak dapat mengganggu Liong-te. Akan tetapi….. lagi-lagi suara wanita itu yang berseru agar lima orang pengeroyok itu mendesak aku, kemudian wanita yang bersembunyi itu menyuruh para pengeroyok itu mendesak dari satu jurusan, dari depan saja supaya jangan mengepung.

Kemudian agaknya dia sendiri menghujankan paku-paku Pek-lian-ting kepadaku. Aku menjadi terdesak hebat, malah berada dalam keadaan berbahaya. Seorang diantara para pengeroyok mendapat kesempatan untuk menyerang Adik Liong yang sudah terluka.

Liong-te masih dapat melawan, akan tetapi lagi-lagi sebatang paku melukainya, kini di bagian lambungnya dan yang pertama tadi melukai pundaknya. Luka-luka ini yang ternyata kemudian mengandung racun, membuat dia seperti lumpuh sehingga dia kena pukulan pada dadanya.”

“Keparat…..!” Kwee Sin berkata gemas

“Melihat keadaan adikku terancam, aku menyerbu ke arah adikku dan berhasil merobohkan penyerangnya itu dengan busurku. Entah dia mampus atau tidak, akan tetapi setidaknya kepalanya tentu retak!” Bun Si Teng gemas.

“Kemudian aku mengambil keputusan untuk menyelamatkan Liong-te, karena musuh terlampau kuat. Aku berhasil menyambar tubuh Liong-te dan kubawa lari pulang. Kuda-kuda itu mereka rampas dan ketika pada keesokan harinya aku membawa beberapa orang murid mengunjungi hutan, disitu sudah tidak ada seorang pun anggauta Pek-lian-pai.”

Kwee Sin menepuk pahanya dengan marah.
“Ah, kalau tahu begitu, si kurang ajar tadi takkan kulepaskan begitu saja!”

Bun Si Teng memandang heran.
“Siapa yang kau maksudkan, Sute?”

Kwee Sin lalu menceritakan tentang penunggang kuda yang tadi hampir saja mencelakai Bun Lim Kwi. Mendengar ini berkerut alis Bun Si Teng.

“Hemmm, kalau begitu mereka itu selain bermaksud merampas kuda, juga sengaja hendak memusuhi keluargaku. Ah, kebetulan kau datang, Sute. Aku sudah melakukan penyelidikan dan mendengar bahwa manusia bernama Thio Sian itu berada di dusun Hek-siong-san tak jauh dari sini. Aku tadinya hendak mencarinya disana untuk membuat perhitungan. Sekarang kebetulan kau datang sehingga hatiku agak lega meninggalkan rumah. Siapa tahu selagi aku pergi, mereka datang membikin kacau sedangkan Liong-te masih belum sembuh. Kau bisa mewakili aku menjaga di rumah.”

“Twa-suheng, kurasa Twa-suheng saja yang menjaga rumah, biar aku yang mewakili Suheng mencari jahanam Thio Sian itu di Hek-siong-san. Sudah terang bahwa Pek-lian-pai amat curang, kalau Suheng sendiri yang pergi kesana, jangan-jangan mereka akan mengatur jebakan karena mereka sudah mengenalmu. Akan tetapi kalau aku yang pergi, mereka belum mengenalku, maka kiranya akan lebih leluasa bagiku untuk bergerak. Hanya saja, harap Suheng memberi gambaran yang jelas tentang rupa orang she Thio itu.”

Mendengar kata-kata Kwee Sin ini, Bun Si Teng mengangguk-angguk. Tak dapat disangkal pula, ucapan Kwee Sin ini memang benar sekali. Selain itu, dia sudah percaya akan kepandaian sutenya ini yang tidak berbeda jauh dengan kepandaiannya sendiri.

Betapapun juga, menjaga di rumah kiranya merupakan kewajiban yang tidak kalah pentingnya, pula amat berbahaya karena selain harus melindungi anak isterinya, dia harus pula melindungi adiknya yang sedang sakit.

“Baiklah, Kwee-sute. Akan tetapi kau harus hati-hati benar karena biarpun mengenai kepandaian silat kiranya kau tak usah khawatir menghadapi mereka, namun mereka itu licik dan curang sekali. Untuk mengenal orang she Thio itu mudah saja. Perawakannya kurus tinggi, kumisnya kecil panjang dan di atas pipi kanannya terdapat sebuah tahi lalat merah. la bicara dengan lidah utara.”

Setelah mendapat penjelasan dari suhengnya, Kwee Sin lalu pergi melakukan tugasnya, mencari musuh besar suhengnya itu ke dusun Hek-siong-san. Dusun itu kecil saja, akan tetapi ternyata tidak mudah bagi Kwee Sin untuk mencari Thio Sian. Agaknya tidak ada yang mengenal orang ini di Hek-siong-san.

Akhirnya dia mendapat keterangan tentang orang ini dari seorang pemilik warung arak.
“Orang tinggi kurus berkumis kecil dan ada tahi lalatnya merah di pipi kanan? Ah, benar, dia pernah membeli arak disini, malah tadi aku lihat dia lewat disini menuju ke timur.”

Mendengar keterangan ini, Kwee Sin mengucapkan terima kasihnya dan cepat dia melakukan pengejaran ke timur. Di sebelah timur dusun ini terdapat sebuah hutan kecil. Tanpa ragu-ragu Kwee Sin memasuki hutan ini, biarpun hari sudah mulai senja. Hutan pohon siong yang menghitam kulitnya itu nampak gelap. Ia melihat hutan itu sunyi saja, bahkan tidak nampak seekor binatang hutan.

Tiba-tiba dia mencium bau asap dan melihat asap membumbung tinggi dari sebelah kiri. Berindap-indap dia mendekati dan dengan girang dia melihat seorang laki-laki menghadapi api unggun. Laki-laki ini cocok dengan gambaran diri Thio Sian dan lebih girang lagi hatinya karena melihat laki-laki ini seorang diri saja, tidak ada orang lain di situ. Dengan berani dan gagah Kwee Sin lalu meloncat mendekati dan berdiri dengan tangan bertolak pinggang.

“Orang she Thio, bersiaplah membuat perhitungan atas perbuatanmu yang pengecut dan curang!” bentaknya sambil mencabut keluar pedangnya.

Orang tinggi kurus itu tersenyum, lalu bangkit berdiri dengan tenang.
“Payah kau mencari-cari aku di Hek-siong-san, lalu mengejar kesini atas keterangan tukang penjual arak. Dapat bertemu setelah aku membakar daun-daun kering ini. Eh, orang muda yang gagah, apa perlunya kau mencari aku Thio Sian?”

Kwee Sin kaget sekali. Kiranya orang yang dicari-carinya ini telah lebih dulu tahu akan kedatangannya. Benar berbahaya. Diam-diam dia mengerling ke kanan kiri untuk mencari kalau-kalau orang ini sudah memasang jebakan. Ia merasa gentar juga, namun sebagai seorang pendekar dia tidak mau memperlihatkan ini.






No comments:

Post a Comment