Ads

Tuesday, September 4, 2018

Raja Pedang Jilid 027

Kim-thouw Thian-li mengusap-usap pipi pemuda itu, dan berkata,
“Jangan berduka, anak manis. Biar kusembuhkan kau dan kau ikutlah aku.”

Jari tangannya yang haius itu menotok pundak dan punggung dan di lain saat Tan Hok sudah pulih kembali tenaganya dan dapat bergerak seperti biasa. Akan tetapi ketika dia melihat wanita itu merangkulnya dan hendak membantunya berdiri dengan sikap yang mesra, dia merasa juga bahwa hal ini tidak sewajarnya dan bukan sepatutnya. Maka dia meronta dan melepaskan diri.

“Tan Hok, mari kau ikut pergi ketempatku. Mulai detik ini kau selain menjadi muridku, juga menjadi….. teman ‘baikku’,” kata Kim-thouw Thian-li dengan senyum dan lirikan mata yang genit memikat.

Tan Hok tidak mengerti maksudnya,
“Aku tidak bisa ikut denganmu, juga aku tidak mau ikut. Kau sudah membunuh guruku, mana bisa aku menjadi muridmu? Apalagi menjadi teman baik. Mulai sekarang, kau adalah musuhku.”

Kim-thouw Thian-li kaget dan kecewa.
“Orang goblok! Aku kasihan dan suka kepadamu, ingin menolongmu. Masa kau tidak mau terima?”

Tan Hok berulang-ulang menggeleng-geleng kepalanya.
“Tidak bisa….. tidak bisa….. sekarang aku kalah olehmu, lain kali mungkin aku bisa menang untuk membalas perbuatanmu terhadap suhu…..’

Dari kecewa wanita itu menjadi marah.
“Keparat, kau memang lebih suka mampus. Kalau kau memberatkan gurumu, nah, kau ikutlah dia ke neraka!”

Setelah berkata demikian, Kim-thouw Thian-li menyerang dengan totokan maut. Tan Hok yang menganggap wanita ini musuh besarnya, sudah bersiap-siap dan cepat menangkis.

Kim-thouw Thian-li penasaran dan melakukan serangan bertubi-tubi. Tingkat kepandaian wanita ini sudah lebih tinggi daripada Tan Sam, mana bisa Tan Hok melawannya? Baru tiga jurus saja pemuda ini sudah terjungkal oleh sebuah tendangan. Kim-thouw Thian-li melangkah maju, menggerakkan selendangnya hendak memukul ke arah kepala Tan Hok.

“Kim Li, tahan…..! Jangan bunuh orang…..!” tiba-tiba terdengar suara keras dari luar warung dan seorang pemuda yang tampan dan gagah melompat masuk.

Kim-thouw Thian-li menahan serangannya dan cepat sekali muka yang beringas itu kembali penuh senyum dan lirikan manis. la segera berpaling dan menyambut kedatangan pemuda itu dengan girang.

“Kwee-koko (Kakak Kwee), kau sudah menyusul kesini? Ah, aku sedang menghajar seorang jahat!”

Dengan langkah terayun menarik wanita itu menghampiri pemuda muka putih itu sambil tersenyum-senyum, lalu memegang lengannya.

Pemuda itu menoleh ke arah Tan Hok, mukanya mernperlihatkan rasa malu karena sikap mencinta wanita itu diperlihatkan di depan orang lain.

“Pergilah dan ubah jalan hidupmu, jadilah orang baik-baik,” katanya kepada Tan Hok.

Dengan mata masih melotot penuh kemarahan Tan Hok pergi meninggalkan warung. Hatinya panas dan mendongkol sekali kepada wanita itu yang selain sudah membunuh gurunya, melukainya juga melakukan fitnah kepada dirinya terhadap pemuda muka putih yang menolongnya itu.

Sebaliknya, biarpun dia menganggap pemuda tampan itu pun bukan orang baik-baik, namun Tan Hok seorang yang jujur dan tahu akan budi orang, maka dia merasa berhutang nyawa kepada pemuda yang dia tahu bernama keturunan Kwee itu.

Setelah Tan Hok pergi, Kim-thouw Thian-li menggandeng tangan pemuda itu sambil menyandarkan tubuhnya. Diajaknya pemuda itu duduk menghadapi meja.

“Kwee-koko, kenapa kau menyusul kesini? Dan janganlah muram selalu, bukankah ada Siauw-moi (Adinda) di sisimu? He, tukang warung! Lekas sediakah arak terbaik dan masaklah daging apa saja yang ada. Cepat!”





Pemuda itu seperti orang kehilangan semangat menurut saja ditarik dan diajak duduk bersanding di atas kursi menghadapi meja. Wajahnya yang tampan nampak muram, akan tetapi matanya agak bersinar ketika dia menghadapi pelayanan Kim-thouw Thian-li yang ramah dan penuh cinta kasih mesra.

Siapakah pemuda yang bermuka putih tampan ini? Bukan lain orang, dia ini adalah orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte yang bernama Kwee Sin berjuluk Pek-lek-jiu (Tangan Geledek)! Dia inilah tunangan Kim-eng-cu Liem Sian Hwa anak murid Hoa-san itu.

Biarpun yang termuda diantara murid Pek Gan Siansu, ketua Kun-lun-pai, namun Kwee Sin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, telah mewarisi ilmu pedang Kun-lun yang terkenal di dunia persilatan.

Usianya baru dua puluh dua tahun dan semenjak kecilnya Kwee Sin yang sudah tak berayah ibu itu tinggal di puncak Kun-lun melayani suhunya Karena inilah maka dia menjadi murid terkasih dari ketua Kun-lun-pai.

Hanya kadang-kadang gurunya yang sudah tua dan menganggap Kwee Sin seperti putera sendiri itu memberi kesempatan kepada Kwee Sin untuk turun gunung dan meluaskan pengalaman di dunia ramai.

Perkenalan Kwee Sin dengan ketua Ngo-lian-kauw itu belum lama. Terjadi beberapa bulan yang lalu ketika Kwee Sin sedang turun gunung memenuhi tugas yang diserahkan kepadanya oleh suhunya, yaitu mencari tahu keadaan dunia ramai tentang pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah Mongol.

Pek Gan Siansu, ketua Kun-lun-pai, di waktu mudanya juga seorang pejuang, seorang patriot. Maka sekarang mendengar tentang pergerakan orang-orang gagah yang menentang kekuasaan pemerintahan penjajah, semangatnya terbangun, dia menjadi gembira sekali.

Akan tetapi dia sudah terlalu tua untuk turun gunung sendiri, usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, maka dia lalu menyuruh muridnya itu untuk turun gunung melakukan penyelidikan.

“Setelah kau turun gunung melakukan penyelidikan, jangan lupa untuk singgah di rumah calon mertuamu di Lam-bi-chung.” pesan ketua Kun-lun-pai ini kepada muridnya. “Aku sudah tua, ingin melihat kau menikah tahun ini juga.”

Kwee Sin menjadi merah mukanya. Selalu mukanya yang putih tampan itu menjadi merah sekali setiap kali orang bicara atau mengingatkan dia akan tunangannya, Liem Sian Hwa. Merah karena jengah, jengah karena bahagia setiap kali dia terbayang akan wajah tunangannya itu, yang cantik sederhana, bersemangat dan gagah perkasa.

Dia sendiri seorang yang berjiwa pendekar, maka mempunyai tunangan yang amat terkenal namanya sebagai seorang lihiap (pendekar wanita), orang termuka dari Hoa-san Sie-eng yang dikagumi dan disegani, tentu saja dia merasa amat bahagia. la sudah membayangkan betapa kelak dengan Sian Hwa di sampingnya, mereka akan merupakan sepasang pendekar yang akan menjadi pembela kebenaran dan keadilan serta menjunjung tingggi nama baik Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Anak-anak mereka tentu akan menjadi pendekar-pendekar besar pula.

Setelah bersiap-siap, tidak lupa membawa pedangnya yang selama mi membuat dia terkenal, pemuda ini turun gunung dengan penuh kegembiraan. la menuju terus ke selatan dan timur, menjelajahi kota-kota besar, mendengar dengar dan mencari keterangan.

Banyak dia mendengar tentang pergerakan patriotik dari perkumpulan-perkumpulan rahasia yang timbul seperti jamur di musim hujan, terutama sekali tentang sepak terjang Pek-lian-pai yang paling gigih melakukan perlawanan terhadap pemerintah penjajah. Maka tidak mengherankan apabila dia merasa simpati terhadap perkumpulan itu dan ingin dia mengadakan hubungan. Namun, perkumpulan Pek-lian-pai ini ternyata amat rahasia, tidak mudah diketahui siapa pemimpinnya dan dimana dia dapat menemui anggautanya.

Pada suatu hari Kwe Sin tiba di Sin-yang dan dia mengunjungi tempat tinggal kedua suhengnya, yaitu Bun Si Teng dan Bun Si Liong, orang pertama dan ke dua dari Kun-lun Sam-hengte.

Selagi dia enak-enak berjalan dan tiba di jalan perempatan di luar kampung tempat tinggal suheng-suhengnya, dari jauh dia melihat seekor kuda hitam yang ditunggangi seorang laki-laki setengah tua berbaju putih datang membalap dari jurusan timur.

Pada saat itu juga, dari sebelah utara datang pula berlari cepat seekor kuda yang ditunggangi seorang anak laki-laki berusia belasan tahun, antara tiga belas atau empat belas tahun yang bertubuh kekar dan gagah.

Kwee Sin terkejut sekali melihat datangnya dua ekor kuda yang berlari seperti terbang ini pada saat yang sama. Tikungan jalan perempatan dari timur dan utara itu tertutup oleh segerombolan pohon sehingga kedua penunggang kuda itu tentu saja tidak dapat melihat kedatangan masing-masing, dan mungkin juga tidak dapat mendengar derap kaki kuda yang lain karena berisik oleh derap kaki kuda sendiri. Kwee Sin yang datang dari selatan melihat dengan jelas akan hal ini dan timbul kekhawatiran hatinya kalau-kalau dua ekor kuda itu akan bertemu dan beradu di perempatan.

Hal yang dia khawatirkan terjadi. Dua ekor kuda itu berlari cepat sekali dan sebentar saja sudah mendekati perempatan. Setelah berada dalam jarak dekat sekali, Kwee Sin berseru,

“Awas….. ”

Dua ekor kuda itu sudah dekat dan tak mungkin dapat dicegah lagi terjadinya tabrakan yang mengerikan. Dua orang penunggang kuda itu, laki-laki setengah tua berpakaian putih dan pemuda remaja yang berkuda putih, melihat pula akan ancaman bahaya ini.

“Ouw-ma (kuda hitam), naik…..!”

Laki- laki setengah tua itu berseru dan mendadak kudanya mengeluarkan ringkikan keras dan tubuhnya melompat tinggi melangkahi kuda putih yang berlari cepat. Namun setinggi-tingginya lompatan kuda yang mendadak itu, biarpun dapat melangkahi seekor kuda, agaknya diantara empat kakinya tentu akan menendang penunggang kuda putih, anak laki-laki tadi.

Kwee Sin merasa ngeri dan tak berdaya untuk menolong, matanya terbuka lebar dan jantungnya berdebar.

Hanya sedetik kejadian itu. Kuda hitam melompati kuda putih, keempat kakinya hampir menyentuh punggung kuda putih dan selamat melompati kuda yang menerobos bawahnya. Debu mengebul tinggi dan….. Kwee Sin tidak melihat lagi anak laki-laki tadi di atas punggung kuda putihl

“Celaka…..!” serunya, mengira bahwa anak tadi tentu telah terkena tendangan kuda dan terlempar dalam keadaan tewas atau sedikitnya terluka hebat.

Akan tetapi dia segera melongo saking kagum dan herannya setelah melihat bahwa anak itu ternyata secara lihai sekali pada saat kudanya dilompati kuda lain, telah menggantungkan diri di bawah perut kuda dan sekarang dalam keadaan selamat dia telah membalikkan tubuhnya duduk kembali di atas punggung kuda.

Namun anak itu agaknya kaget juga. la menahan kendali kudanya dan menghentikan kuda itu wajahnya agak pucat. Akan tetapi laki-laki setengah tua itu hanya menoleh sambil tertawa bergelak, terus mencambuk kudanya, membalap makin cepat.

“Kurang ajar, berhenti kau!” Kwee Sin melompat hendak mengejar penunggang kuda hitam.

“Kwee-susiok (Paman Guru Kwee), jangan kejar dia.”

Tiba-tiba anak laki-laki tadi berseru. Kwee Sin kaget dan menghentikan larinya. la menoleh dan memandang anak itu lebih teliti.

“Eh, kiranya kaukah ini, Lim Kwi?” la berlari menghampiri dengan girang. “Pantas saja begini lihai menunggang kuda, kiranya kau”

Anak itu melompat turun dan memberi hormat. Dia memang Bun Lim Kwi, putera tunggal Bun Si Teng, jago pertama dari Kun-lun Sam-hengte! Sebagai seorang pedagang kuda, tentu saja Bun Si Teng dan adiknya, Bun Si Liong, selain memiliki ilmu silat tinggi sebagai keturunan Kun-lun-pai, juga telah mempelajari ilmu memelihara kuda dan ilmu menunggang kuda. Bun Lim kwi tentu saja juga mempelajari ilmu ini, maka tadi berkat ilmunya menunggang kuda, dia terluput daripada maut yang mengerikan.

“Lim Kwi, kau dari mana dan mengapa kau nampak berduka? Pula, kenapa kau tadi mencegah aku mengejar bangsat itu?” Kwee Sin mengajukan pertanyaan bertubi-tubi.

“Kwee-susiok, memang ada pertaliannya antara pertanyaan-pertanyaanmu tadi. Paman Bun Si Liong terluka parah oleh seorang anggauta Pek-lian-pai, saya pergi ke Twi-ciu membeli obat untuk paman. Dan orang tadi….. dia itu melihat kepandaian dan pakaiannya yang serba putih, agaknya juga seorang anggauta Pek-lian-pai yang memusuhi kami…..”

“Ahhh…..” Kwee Sin berkata penasaran. “Kalau betul dia itu memusuhi keluargamu, kenapa kau malah mencegah aku mengejar dan memberi hajaran kepadanya? Apakah luka ji-suheng (kakak seperguruan ke dua) amat parah?”






No comments:

Post a Comment