Ads

Tuesday, September 4, 2018

Raja Pedang Jilid 030

Aneh, sama sekali wanita itu, tidak nampak kaget atau pun kecewa. Memang, bagi seorang seperti Kim-thouw Thian-li, laki-laki yang disukainya tetap laki-laki, tak peduli dia itu belum bertunangan maupun sudah beristeri atau sudah menjadi ayah. Akan tetapi dengan kepandaiannya, ia bisa membuat kedua pipinya menjadi kemerahan.

“Siapa….. siapa dia itu, Koko? Tentu gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa?”

“Tentang kecantikannya, aku tak dapat bilang ia amat cantik, setidaknya….. eh, tidak secantik engkau. Tentang kepandaiannya, tentu saja ia lihai karena dia itu adalah orang termuda dari Hoa-san Sie-eng.”

“Ahhh, dia Kim-eng-cu Liem Sian Hwa…..?”

“Kau sudah mengenalnya, Kim Li”

“Siapa yang tidak tahu bahwa orang termuda dari Hoa-san Sie-eng adalah Kiam-eng-cu?” Bibir yang merah itu berjebi. “Hemmm, kukira bidadari dari kahyangan yang sakti!”

Merah muka Kwee Sin. la teringat bahwa Kim Li memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, mungkin tidak kalah oleh Liem Sian Hwa dan yang sudah jelas tidak kalah olehnya sendiri. Buktinya, Thio Sian yang lihai itu juga roboh oleh wanita ini. Menurut pengakuan Kim Li, Thio Sian dapat dibunuhnya di dalam hutan itu dan ditinggalkan begitu saja.

“Dia memang gadis sederhana saja…..” akhirnya dia berkata untuk mengusir rasa
jengahnya.

“Jadi kau sekarang hendak pergi kesana? Dimana sih rumah tunanganmu itu, Koko?”

“Di Lam-bi-chung. Terpaksa aku harus singgah disana memenuhi pesan suhu, setelah singgah sebentar aku akan kembali ke Kun-lun.”

“Bagus! Tujuan perjalananku juga melalui Lam-bi-chung. Kita bisa melakukan perjalanan bersama, Koko? Dekat sana ada Telaga Pok-yang, amat indah apalagi pada awal musim chun (semi) seperti sekarang ini. Kwee-koko, kalau begitu, marilah kita berangkat. Aku takkan mengganggumu, jika kau singgah di Lam-bi chung, aku akan menjauhkan diri!”

Sikap yang amat gembira dari Kim Li ini rnembuat Kwee Sin tak dapat menolak lagi. Apalagi kalau diingat bahwa dia memang akan senang sekali melakukan perjalanan bersama gadis ini. Kalau tadi dia mengajukan keberatan, itu hanya karena dia hendak menjaga nama baik gadis itu, maka sekarang mendengar bahwa gadis itupun hendak melakukan perjalanan sejurusan dengannya, dia menjadi girang bukan main.

“Li-moi, kau sebetulnya hendak pergi ke manakah?” tanyanya serius.

Akan tetapi gadis itu hanya tertawa saja, tertawa manis sambil menampar lengan Kwee Sin.

“Banyak tanya mau apa sih? Lebih baik lekas berkemas dan segera berangkat!.”

Kwee Sin tertawa senang melihat gadis itu berlari-lari ke belakang untuk mencari pelayan dan memberi tahu bahwa mereka hendak pergi meninggalkan losmen.

Dan memang benar dugaan Kwee Sin. Perjalanan yang dia lakukan bersama Coa Kim Li benar-benar amat menggembirakan hatinya. Alangkah jauh bedanya dengan perjalanan yang dia lakukan seorang diri sebelum dia bertemu dengan gadis ini.

Sebelum mereka meninggalkan dusun itu, lebih dulu Kwee Sin singgah di Sin-yang, ke rumah Bun Si Teng dan Bun Si Liong. Kim Li tidak mau turut dan menanti di luar kampung. Hal ini malah dianggap kebetulan oleh Kwee Sin, karena dia sendiri juga merasa sungkan dan malu terhadap kedua suhengnya kalau mereka ini tahu bahwa dia hendak melanjutkan perjalanan bersama seorang gadis cantik.

Bun Si Teng dan Bun Sin Liong yang sudah sembuh, merasa girang dan lega melihat munculnya Kwee Sin. Tadinya dua orang suheng ini merasa amat khawatir karena beberapa hari sute ini tidak muncul. Bun Si Teng malah sudah menyusul ke dalam hutan dan dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika di tengah hutan itu dia mendapatkan mayat Thio Sian ditangisi oleh seorang anak perempuan berusia sembilan atau sepuluh tahun!





Selagi dia terlongong dan heran karena tidak melihat sutenya di dekat tempat itu, terdengar suara keras, disusul berkelebatnya bayangan tinggi besar dan dilain saat mayat itu bersama gadis cilik telah lenyap dari situ.

Bun Sin Teng kaget dan lari mengejar ke arah berkelebatnya bayangan, akan tetapi dia hanya melihat dari jauh seorang hwesio tinggi besar memondong gadis kecil itu sambil mengempit mayat Thio Sian, berjalan dengan langkah lebar akan tetapi cepat seperti terbang!

Melihat tangan kiri hwesio itu memanggul sebatang dayung, Bu Si Teng menjadi pucat karena dia pernah rnendengar tentang seorang sakti yang menjadi orang nomor satu di dunia timur, yaitu Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang. Apa betul pertapa yang puluhan tahun tak pernah turun gunung itu sekarang tiba-tiba muncul disitu?

Setelah mendengar cerita Kwee Sin yang telah berhasil merobohkan Thio Sian dengan pertolongan seorang nona pendekar yang bernama Coa Kim Li, dua orang saudara Bun itu menarik napas lega.

“Sungguh sayang sekali bahwa kita dihadapkan kenyataan yang amat pahit dan mengecewakan. Pek-lian-pai yang tadinya kita anggap sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang berjiwa patriotik, ternyata sekarang hanyalah merupakan perkumpulan orang-orang jahat belaka. Sute, kau harus memberi laporan yang jelas kepada suhu, agar orang tua itu tenang hatinya dan tidak akan menyalahkan kita kalau kita tidak membantu Pek lian-pai,” kata Bun Si Teng kepada sutenya

Setelah menyatakan bahwa dia hendak lekas-lekas kembali ke Kun-lun-pai dan singgah di Lam-bi-chung seperti yang dipesankan suhunya, Kwee Sin meninggalkan dusun Sin-yang, berjalan cepat sekali keluar kampung untuk menjumpai sahabat barunya, nona Coa Kim Li. Akan tetapi dia menjadi kaget dan kecewa, juga gelisah karena tidak melihat nona itu yang tadi duduk menantinya di bawah sebatang pohon.

“Aduh, celaka Kemana dia. Jangan-jangan aku ditinggalkan. Jangan-jangan dia kesal karena aku tadi terlalu lama di rumah suheng…..”

la duduk di bawah pohon itu dengan kening berkerut. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari belakang pohon. Kwee Sin cepat melompat dan menengok, wajahnya berseri matanya bersinar-sinar.

“Kim Li…..!”

Saking girangnya melihat nona itu ternyata tidak pergi meninggalkannya, Kwee Sin memegang kedua lengannya dan hampir saja dia merangkulnya.


Kim Li tersenyum dan matanya bersinar-sinar.

“Kwee-koko, kenapa kau tadi bermuram di bawah pohon?” Kim Li menggoda.

“Kukira kau telah pergi meninggalkan aku.”

“Eh, jadi kau sedih kalau kutinggalkan ?”

“Sedih…..? Tentu saja….. eh, aku….. aku….”

Kwee Sin baru merasa bahwa tanpa disadarinya dia telah kena umpan, dipancing keluar perasaan hatinya.

Kim Li tertawa, menarik lengan Kwee Sin sambil berkata,
“Sudahlah, hayo kita melanjutkan perjalanan.”

Kwee Sin tersenyum-senyum, membiarkan saja tangannya digandeng sehingga mereka berdua sambil berjalan bergandengan tangan, seperti sepasang kekasih. Tanpa dia sadari, Kwee Sin sudah mulai roboh, masuk dalam perangkap yang dipasang gadis cantik itu. Terlalu pandai Kim-thouw Thian-li memikat dengan wajahnya yang cantik ataukah terlalu hijau Kwee Sin dalam menghadapi kelihaian siasat wanita cantik?

Dengan melalui perjalanan yang penuh kegembiraan bagi Kwee Sin, kegembiraan hidup yang baru kali ini dia rasakan, akhirnya mereka tiba di Telaga Pok-yang dan mereka berdua, seperti sepasang pengantin baru, berpesiar naik perahu di telaga ini.

Sering kali Kwee Sin terheran-heran melihat bahwa gadis ini ternyata mempunyai pengaruh besar dimana-mana. Ketika hendak memasuki daerah telaga, tampak serombongan tentara yang mencegat para pelancong, lalu memeriksa dengan teliti.

Memang daerah ini terkenal sebagai daerah para tokoh pemberontak, maka pemerintah Mongol mengadakan penjagaan yang teliti. Akan tetapi ketika mereka ini melihat Coa Kim Li, mereka memberi hormat dan tidak mengganggu gadis itu bersama Kwee Sin.

Dalam keheranannya Kwee Sin bertanya apa sebabnya gadis ini seakan-akan memiliki kekuasaan, akan tetapi Kim Li hanya tersenyum dan berkata,

“Cacing-cacing tanah macam mereka masih dapat mengenal orang baik-baik, itu masih untung. Andaikata mereka berani mengganggu kita berdua, apakah mereka akan dapat hidup terus dengan kepala menempel di leher?”

Karena pandainya Kim Li menjawab dan menyimpan pertanyaan, pandainya ia merayu, Kwee Sin tidak mendesak terlebih jauh. Mereka berpesiar sampai puas di Telaga Pok-yang yang amat indah itu.

Sama sekali Kwee Sin tidak tahu bahwa gerak-geriknya di telaga ini diketahui oleh calon mertuanya, Liem Ta ayah Liem Sian Hwa! Dan seperti telah dituturkan di bagian depan, Liem Ta pulang sambil marah-marah dan menyatakan di depan puterinya bahwa pertunangan dengan Kwee Sin diputuskan!

Ketika Kwee Sin menyatakan keinginannya kepada Kim Li untuk menengok ke dusun Lam-bi-chung, ke rumah calon isterinya, Kim Li tersenyum pahit dan berkata.

“Guru adalah setingkat dengan ayah, kata-katanya harus ditaati. Kau hendak mentaati pesan gurumu, pergilah kau singgah ke rumah keluarga Liem. Akan tetapi aku tidak bisa ikut pergi kesana. Selamat berpisah, Kwee-koko. Harap kau tidak melupakan Coa Kim Li!”

Setelah berkata demikian, sekali meloncat gadis itu lenyap dari depan Kwee Sin. Pemuda ini menyesal sekali dan hendak mengejar, akan tetapi dia maklum bahwa tak mungkin dia mengejar Coa Kim Li yang berkepandaian lebih tinggi dari padanya.

Dengan kecewa, kehilangan kegembiraan dan malas-malasan dia lalu pergi seorang diri ke Lam-bi-chung. Karena masih mengharapkan untuk dapat melihat Kim Li kembali ke Po-yang, dia tidak meninggalkan telaga itu sebelum menanti sampai tiga hari. Barulah dia pergi ke Lam-bi-chung setelah pada hari ke empat dia masih belum melihat kembali Kim Li. Dengan hati berat dia berjalan ke dusun Lam-bi-chung untuk menengok rumah Liem Sian Hwa.

Akan tetapi, apa yang dia dapatkan di rumah itu? Rumah yang tertutup dan tidak ada penghuninya. Masih ada tanda-tanda berkabung di depan pintu rumah kosong itu. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia mendapat keterangan dari para tetangga bahwa calon mertuanya, Liem Ta, telah didatangi penjahat dan terbunuh ketika Liem Sian Hwa sedang pergi!

Sudah dituturkan di bagian depan bahwa Liem Sian Hwa menyusul ke Pok-yang untuk membuktikan dengan mata kepala sendiri penuturan ayahnya tentang Kwee Sin dan seorang wanita. Sayang bahwa ia tidak bertemu dengan dua orang itu dan ketika ia pulang, ayahnya sudah terluka dan tewas.

Kita kembali kepada Kwee Sin yang menjadi kaget dan berduka sekali. Ia mendapat keterangan lagi bahwa Liem Sian Hwa setelah kematian ayahnya lalu pergi bersama seorang laki-laki gagah perkasa yang disebut suhengnya. Kwee Sin dapat menduga bahwa Liem Sian Hwa tentulah pergi bersama seorang diantara tiga orang suhengnya, yakni orang-orang dari Hoa-san Sie-eng.

“Betapapun juga, aku harus mencarinya,” pikir Kwee Sin. “Kasihan sekali Sian Hwa, aku harus menyatakan penyesalanku dan menghiburnya.”

Dalam berpikir demikian ini dia membayangkan wajah Sian Hwa. Akan tetapi heran sekali wajah gadis itu berangsur-angsur berubah menjadi wajah Kim Li yang tersenyum-senyum dan membujuk rayu!






No comments:

Post a Comment