Ads

Monday, September 3, 2018

Raja Pedang Jilid 024

“Kek, kau dan orang muda ini datang dari mana hendak ke manakah? Kiranya sudah sepatutnya kita berkenalan.”

“Heh-heh-heh, tentu saja, tentu saja. Sudah makan bersama belum saling mengenal. Aku she Tan bernama Sam, dan dia ini pembantuku bernama Hok, tidak punya she (nama keturunan) maka kuberi saja she-ku kepadanya, maka dia sekarang bernama Tan Hok. Kami tidak punya tempat tinggal tertentu, langit biru atap kami, bumi lantai kami, heh-heh- heh…..”

Semua perampok tertawa. Dalan hal tempat tinggal kakek dan pembantunya itu ternyata senasib dengan mereka.

“Apa pekerjaanmu, Kek?” Ang-bin Piauw-to bertanya lagi.

Kakek yang bernama Tan Sam itu tertawa lagi.
“Heh-heh-heh, tukang pancing….. ya betul, kami tukang pancing. Kalau bukan tukang pancing, mana dapat menikmati ikan gemuk?”

Berubah wajah Ang-bin Piauw-to yang merah, kini menjadi agak pucat. Timbul dugaannya bahwa mungkin sekali kakek dan pembantunya ini adalah tokoh bajak sungai yang terkenal. Siapa tahu? Akan tetapi dia ragu-ragu, karena andaikata betul bajak sungai, tak mungkin Phang Kwi tidak mengenalnya. Akan tetapi kalau betul seorang bajak sungai, mau apakah dia beraksi di darat?

“Tan-lopek, kalau begitu, kau mencari rejeki sepanjang Sungai Yang-ce?” Ia mencoba untuk menyelidik.

Kakek itu mengangguk-angguk.
“Tidak hanya di Yang-ce, di Huang-ho, atau pun di lautan, di darat, dimana saja ada ikan besar tentu akan kudatangi untuk kupancing. Bukankah begitu Hok-ji (anak Hok)?”

Kakek itu menepuk pundak pembantunya sambil terkekeh-kekeh. Tan Hok, pemuda raksasa itu, hanya mengangguk diam.

“Kalau begitu,” sambung Ang-bin Piauw-to dengan bernafsu sedangkan para anak buahnya mendengarkan penuh perhatian karena maklum apa yang dipikirkan oleh kepala mereka, “Tentu kau sudah kenal baik dengan Lui Cai Si Bajul Besi, dengan Kiang Hun Si Naga Sungai, dan Thio Ek Sui Si Cucut Mata Merah?” Tiga nama kepala bajak yang paling terkenal disebut oleh kepala rampok ini.

Akan tetapi kakek itu memandangnya dengan matanya yang sipit berseri seakan-akan mendengarkan orang melawak.

“Mereka itu betul-betul manusia ataukah badut-badut? Kok namanya aneh sekali. Bajul Besi? Wah, belum pernah aku melihatnya, mendengar pun belum. Kalau bajul biasa yang panjangnya tiga kali orang saja aku pernah melihatnya, malah bajul buntung (buaya tak berekor=penjahat) sering kali aku melihat, tapi bajul besi? Belum, belum pernah setua ini aku melihatnya. Lalu yang ke dua Naga Sungai? Heran sekali, tentang naga-naga ini kiranya belum pernah ada orang melihat aslinya. Pernah aku melihat gambar-gambarnya dan patung-patungnya, akan tetapi kalau bertemu kiranya hanya dalam….. mimpi! Sepanjang pendengaranku, naga itu adanya hanya di laut, kalau ada naga sungai, agaknya hanya….. belut saja!”

Kakek itu tertawa-tawa, akan tetapi para perampok itu mana berani mentertawakan Kiang Hun Si Naga Sungai?

“Kemudian apalagi tadi? Cucut Mata Merah? Ha-ha-ha tentu ikan itu tak pernah mendapatkan mangsa, terlalu lapar dan menangis sehingga matanya merah. Atau boleh jadi semalam suntuk dia pelesir di rumahnya naga sungai, tidak tidur maka matanya merah. Heh-heh-heh….. eh, Hok-ji, apakah kau pernah mendengar pula tentang bajul besi dan lain-lain itu?”

Tan Hok, yang semenjak datangnya belum pernah mengeluarkan kata-kata itu, kini memandang ke langit-langit ruangan dan menuding sambil berkata,

“Itu….. buaya kecil.”

Semua orang memandang dan meledaklah ketawa mereka. Yang disebut buaya kecil itu bukan lain adalah seekor cecak yang merayap di atas. Tiba-tiba cecak itu, mungkin karena kaget mendengar orang-orang tertawa riuh, melepaskan kotoran dan….. kebetulan sekali tahi cecak jatuh ke dalam cawan arak Ang-bin Piauw-to!

“Keparat…..!” Ang-bin Piauw-to memaki marah.

“Ha-ha-ha-heh-heh, sobat muka merah, buaya kecil memberi hadiah kepadamu. Heh-heh-heh!” Tan Sam tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar air matanya.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa keras sekali, suara ketawa Tan Hok yang sejak tadi muram saja. Ketawanya keras dan mendadak, akan tetapi matanya tetap sayu.





“Yang kecil memberi hadiah yang besar aneh”

Ang-bin Piauw-to dengan marah mengambil sebatang senjata piauw. Senjata ini kecil saja, panjangnya satu dim, ujungnya runcing, kepalanya bundar dengan ronce-ronce merah. Begitu tangannya digerakkan, senjata ini melayang ke atas ke arah cecak.

“Aduh bagusnya, apa yang melayang itu.” Si kakek menunjuk dengan jarinya ke arah piauw yang melayang menyambar cecak.

“Cappp.”

Senjata runcing itu menancap, bukan di badan cecak melainkan di pian, beberapa sentimeter jauhnya dan binatang yang amat ketakutan dan kaget.

“Ha-ha-ha, tidak keha…… tidak kena…..!”

Semua orang terheran, lebih lagi Ang-bin Piauw-to. Jarak antara tempat dia duduk dan cecak itu takkan lebih dari pada lima meter, mengapa sambitannya tidak kena? Biasanya, dalam jarak seratus langkah, tak pernah piauwnya tidak mengenai sasaran, apalagi sasaran tak bergerak seperti cecak itu.

Kawan-kawannya mengira bahwa dia terlalu banyak minum. Akan tetapi Ang-bin Piauw-to sendiri tidak merasa demikian. Mungkin aku terlalu marah, pikirnya. la mengambil piauw ke dua dan

“Serrrrr….. Cappp!” kembali piauwnya menancap pian dan kali ini ekor cecak itu terbawa piauw tertancap pada papan, sedangkan cecaknya sendiri yang sudah buntung lari dan lenyap.

“Ha-ha-ha!” Tan Sam tertawa sambil tiada hentinya sejak tadi dia menudingi cecak. “Buaya kecil menjadi bajul buntung kecil, ha-ha-ha, cocok benar. Sayangnya dia masih berlari dengan empat kaki, kalau dengan dua kaki lebih lucu lagi!”

“Buaya kecil dicaplok buntutnya oleh yang besar, sudah biasa!” kata Tan Hok seperti bicara pada diri sendiri, wajahnya tetap bodoh dan matanya sayu.

Dua orang perampok marah bukan main. Terang bahwa si kakek itu mengejek, dan bocah itu malahan menghina. Seorang perampok yang bertubuh pendek kecil mencengkeram ke arah pundak Tan Sam, sedangkan perampok lain yang bertubuh tinggi besar, tapi tidak sebesar tubuh Tan Hok raksasa muda itu, mengangkat kepalan tangannya yang besar untuk memukul kepala Tan Hok.

Kakek dan pemuda itu agaknya tidak berdaya dan tentu akan celaka kalau terkena serangan-serangan tadi, akan tetapi Ang-bin Piauw-to membentak.

“Mundur kalian'” Ketika dua orang anak buahnya mundur, dengan senyum mengejek ia berkata, “Dua orang ini tamu agung kita, jangan diganggu dulu.”

Dalam kata-kata ini terkandung ejekan atau sindiran bahwa belum tiba saatnya untuk “turun tangan”. Kemudian dia berpaling kepada Tan Hok sambil bertanya.

“Orang muda, kau tadi mau maksudkan bahwa aku adalah buaya besar? Begitukah?”

Hening sejenak, para kawanan perampok mendelik ke arah Tan Hok yang memandang bodoh, sedangkan Tan Sam hanya tersenyum-senyum sambil mainkan matanya. Jawaban Tan Hok benar tak disangka-sangka orang yang tentu saja mengharapkan jawaban “ya” atau “tidak”. Akan tetapi dengan suaranya yang lantang pemuda raksasa itu menjawab.

“Tuan bermuka merah, kau ini merasa menjadi buaya ataukah bukan?”

“Tentu saja bukan!”

“Kalau bukan ya sudah, kenapa masih ribut-ribut lagi?”

Phang Kwi si pemilik warung tak dapat menahan ledakan ketawanya, akan tetapi seketika dia berhenti tertawa seperti jangkerik terinjak ketika Ang-bin Piauw-to melotot kepadanya. Kepala perampok ini menoleh ke arah Tan Sam dan berkata.

“Kakek Tan Sam, kau mentertawakan perbuatanku menyambit cecak dengan piauw, mengapa?”

Tan Sam tertawa lagi, tertawa bebas lepas.
“Selain cecak itu menjadi lucu kehilangan buntutnya, juga aku heran mengapa kau tidak mengarah kepalanya, melainkan buntutnya!”

Diam-diam Ang-bin Piauw-to menjadi malu sekali sampai mukanya menjadi makin merah. Orang lain tidak ada yang tahu bahwa sambitannya yang kedua kalinya tadi sebenarnya memang gagal. Tadi dia mengarah kepala binatang itu, aneh sekali entah mengapa kali ini dia selalu gagal. Bukan kepala yang terkena melainkan buntutnya.

“Orang tua she Tan, apakah kau juga pandai menyambit dengan piauw?”

Kakek itu longang-longok, nampak bingung.
“Piauw itu apa sih?”

Semua perampok tertawa besar Ang-bin Piauw-fo mengeluarkan dua batang piauwnya dari kantong.

“Inilah yang disebut piauw. Ketahuilah, nama julukanku adalah Ang-bin Piauw-to, karena aku pandai menyambit piauw dan main silat dengan golok.”

Kakek dan pemuda itu mengambil piauw tadi seorang satu, melihat-lihat dan nampaknya kagum.

“Hok-ji, apa kau bisa menyambitkan piauw ini?” tanya kakek itu kepada pembantunya.

“Apa sukarnya menyambit? melempar saja!” katanya. Kembali perampok tertawa lebar.

“Bertaruh….. bertaruh…..” kata beberapa orang serentak.

“Boleh sekali…..!” Tan Sam terkekeh. “Mari bertaruh menyambit dengan piauw ini. Berapa taruhannya?”

Ang-bin Piauw-to hendak mempermainkan dua orang itu, maka sambil tersenyum dia lalu mengeluarkan seadanya perak yang disimpan di kantongnya, menaruh di atas meja.

“Hanya ini milikku, hayo keluarkan perakmu. Biar aku kalian keroyok berdua.”

“Baik.” Kakek itu mengeluarkan sejumlah perak yang sama banyaknya, menaruh di atas meja, lalu memandang kepala rampok itu. “Mengeroyok bagaimana maksudmu?”

“Kita pasang sehelai daun pada dinding itu, dalam jarak lima puluh langkah, kita masing-masing melempar sebatang piauw ke arah daun yang dijadikan sasaran Kau dan pembantumu masing-masing menyambit satu kali, andaikata ada seorang diantara kalian yang bisa mengenai daun, dianggap kena, biarpun yang seorang lagi menyeleweng sambitannya. Aku hanya menyambit satu kali saja.”

“Akur!”

Kakek itu, nampak gembira dan mengedip-ngedipkan matanya kepada pemuda raksasa dengan muka yang jelas memperlihatkan keyakinan untuk memenangkan pertandingan ini.

“Kau sambitlah lebih dulu.”

Daun sebesar telapak tangan ditempelkan pada dinding warung itu dan jarak lima puluh langkah diukur. Para perampok dan pemilik warung dengan gembira berdiri di kanan kiri, agak jauh dari tempat sasaran. Setelah mengeluarkan piauwnya, kepala rampok itu sambil tersenyum-senyum lalu berkata.

“Lihat sambitanku!”

Tangan kanannya bergerak dan piauw itu lalu meluncur seperti anak panah, cepat sekali sampai hampir tidak kelihatan, tahu-tahu telah menancap di tengah daun. Tepuk tangan kawan-kawannya menyambut keahlian ini dan Tan Sam mulai plonga-plongo, saling pandang dengan pembantunya.

“Waaah, kok bisa kebetutan kena di tengah-tengahnya…..” ia mengeluh.

Para perampok tertawa.
“Kakek bodoh, mana ada ucapan betulan? Memang Twako berjuluk Ang-bin Piauw-to, seratus kali sambit pasti seratus kali kena!” kata seorang anggauta perampok. “Hayo lekas kau sambitkan piauwmu, dan kau juga, badut muda!”






No comments:

Post a Comment