Ads

Monday, September 3, 2018

Raja Pedang Jilid 023

Pada masa itu, kekuasaan bangsa Mongol yang menjajah daratan Tiongkok mulai menyuram. Dimana-mana timbul kekacauan dan pemberontakan-pemberontakan kecil yang merongrong kekuasaan dan kewibawaan pemerintah Goan.

Sungai-sungai besar seperti Sungai Yang-ce atau Sungai Huang-ho, yang tadinya merupakan pusat pengangkutan perdagangan, sekarang penuh oleh bajak-bajak sungai dan perampok-perampok. Bajak dan perampok ini demikian beraninya sehingga, kalau dulu mereka hanya mengganggu perahu kecil yang tidak terjaga kuat sekarang mereka ini tidak segan-segan untuk membajak perahu besar yang dijaga, bahkan perahu pembesar Goan mereka ini berani kadang-kadang mengganggunya.

Kota dan dusun yang terletak di sepanjang Sungai Yang-ce, tidak luput daripada gangguan para bajak dan rampok ini. Oleh karena itu maka keadaannya sekarang menjadi sepi, para pedagang tidak berani lagi melakukan perjalanan seorang diri, para pengiring barang tidak berani lagi kalau tidak terjaga oleh serombongan piauwsu (pengawal barang) yang kuat. Bahkan para pembesar yang melakukan perjalanan, selalu membawa pasukan bersenjata lengkap.

Dusun Kui-lin di tepi Sungai Yang-ce termasuk Propinsi Hu-pek, tadinya merupakan dusun yang ramai dan makmur, terkenal akan pengeluaran ikannya yang besar-besar dan banyak serta hasil hutannya yang amat kaya.

Biasanya di dusun ini banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari lain daerah sehingga di pinggir sungai banyak diikat perahu-perahu besar dan di darat banyak terdapat kuda dan kereta. Akan tetapi akhir-akhir ini dusun Kui-lin juga ikut menjadi sunyi sekali. Tidak ada pedagang luar daerah yang berani datang melakukan perjalanan yang berbahaya.

Pedagang-pedagang di Kui-lin sendiri selain mengalami sepi, juga sering kali mendapat ganguan dari para penjahat sehingga berbondong-bondong mereka yang mempunyai cukup modal lalu berpindahan ke kota-kota besar. Banyak pula yang menderita gulung tikar sehingga dusun Kui-lin sekarang menjadi dusun yang sunyi, hanya ditinggali para nelayan dan petani yang tidak punya apa-apa untuk dirampok lagi.

Maka agak mengherankan kalau orang melihat adanya sebuah warung arak yang menjual macam-macam makanan setiap hari dibuka di pinggir sungai di dusun itu. Akan tetapi sebetulnya tidak aneh karena yang memiliki warung itu adalah Phang Kwi si mata satu, seorang tokoh yang terkenai dalam dunia penjahat sehingga sebagai orang segolongan dia tak pernah diganggu oleh para perampok dan bajak yang menjadi kawannya sendiri. Malah hampir semua langganan warung arak ini terdiri daripada penjahat-penjahat belaka.

Suatu pagi yang sunyi, Phang Kwi masih enak-enak tidur mendengkur, warungnya belum dibuka. Hari baru pukul enam dan biasanya kalau belum jam delapan lewat setelah matahari naik tinggi, Phang Kwi belum mau membuka warungnya. Sudah setengah tahun dia membuka warung dan tak pernah ada orang berani mengganggunya. Tidak hanya takut akan kepalan tangan yang keras dari si mata satu, akan tetapi juga takut kalau si mata satu itu melaporkan kepada kepala mereka yang kesemuanya sudah dikenal baik oleh Phang Kwi.

Pernah ada tiga orang anggauta bajak tidak mau membayar setelah makan, minum di warung itu. Phang Kwi tidak mau melayani mereka, hanya melaporkan kepada kepala bajak yang dikenalnya baik. Tiga orang anggauta bajak itu dihajar oleh kepalanya sendiri dan Phang Kwi mendapatkan uangnya. Semenjak itu, Para bajak dan rampok tidak berani lagi mengganggunya.

Akan tetapi pada pagi hari ini, selagi Phang Kwi masih tidur, pintunya digedor orang! Enam orang penunggang kuda yang bersikap kasar-kasar turun dari kuda masing-masing di depan warung.

Mereka menyumpah-nyumpah karena buruknya jalan dan karena dinginnya hawa. Seorang diantara mereka, yaitu pemimpinnya, adalah seorang bermuka merah, bertubuh tinggi besar dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar dan sekantong piauw. Dia inilah yang disebut Ang-bin Piauw-to (Golok Piauw Muka Merah), seorang kepala perampok yang terkenal kejam dan lihai ilmu silatnya.

“Dor-dor-dor-dor-dor! Buka pintu, Phang Kwi, kura-kura yang malas!” seorang diantara anggauta rombongan ini menggendor pintu sambil memaki-maki.

Phang Kwi kaget di dalam kamarnya. Setelah terbangun dan mendengarkan dengan penuh perhatian, tukang warung ini mengomel panjang pendek.

“Bedebah…… setan alas…… Sepagi ini mengganggu orang yang sedang enak tidur. Minta dihancurkan kepalanya setan itu!”

Dengan langkah lebar dan muka merengut, Phang Kwi menuju ke pintu warungnya dan membuka daun pintunya. Akan tetapi mukanya yang merengut itu disambut gelak tawa oleh enam orang itu.

“Ha-ha-ha, kura-kura malas she Phang baru munculkan kepalanya!”





“He, Phang tua, ada tuan-tuan besar datang kau tidak lekas sambut, orang macam apa kau ini?”

“Phang Kwi, kau cuci muka dulu dan cuci tangan, baru keluarkan arak hangat’.”

Phang Kwi mulai hilang kerut mukanya, apalagi ketika dia melihat pimpinan rombongan yang bermuka merah. Segera dia menjura dan berkata.

“Ahai, kiranya Ang-twako yang datang berkunjung. Silakan masuk dan duduk. He, teman-teman, kalian baik-baik saja? Mana oleh-olehnya untuk aku?”

“Oleh-oleh apa? Jaman Sedang sukar begini. Tapi nanti sebentar…..”

“Sssttt, Lo-tan, tutup mulutmu!” Si muka merah membentak dan pembicara itupun tidak melanjutkan kata-katanya.

Beramai-ramai mereka memasuki warung arak dan Phang Kwi sibuk melayani mereka, menghangatkan arak dan menghangatkan beberapa macam kue. Tentu dia tidak jadi marah karena mereka ini adalah teman-teman baiknya, teman-teman “seperjuangan” ketika dia dahulu masih menjadi anak buah dan pembantu Ang-bin Piauw-to di dalam hutan.

Memang Phang Kwi ini dahulunya juga bukan orang baik-baik, selain pernah menjadi anak buah Ang-bin Piauw-to menjadi perampok pernah pula dia menjadi anggauta bajak sungai.

“Mana daging ikan?” Si muka merah bertanya ketika melihat bahwa hidangan yang dikeluarkan hanya roti kering dan beberapa macam kue saja. “Aku mendengar daerahmu ini mengeluarkan ikan yang enak.”

“Wah, sukar sekarang ini, Twako. Para nelayan hanya mencari ikan untuk perut mereka sendiri saja. Aku pun hanya bisa membeli kalau memesan lebih dulu.”

“Masa begitu? Biar kami mencari di pinggir sungai!”

Tiga orang anggauta perampok segera pergi keluar dan tak lama kemudian ribut-ributlah di pinggir sungai ketika secara kasar para perampok ini merampas ikan-ikan yang baru saja didapatkan oleh beberapa orang nelayan.

Seorang nelayan muda yang berusaha untuk membela haknya mendapat hadiah bacokan sehingga dia rebah mandi darah. Nelayan-nelayan lain menjadi ketakutan dan mereka ini hanya bisa menarik napas panjang dan menggertak gigi sambil menolong kawan mereka ketika tiga orang ini pergi membawa ikan-ikan besar sambil tertawa-tawa.

Sementara itu, Phang Kwi mendekati Ang-bin Piauw-to sambil berbisik.
“Ang-twako, apakah yang dimaksudkan oleh Lo-tan tadi?”

Ang-bin Piauw-to tersenyum.
“Sebetulnya bukan rahasia, hanya tidak enak kalau dibicarakan di luar warungmu. Kami sedang menanti lewatnya serombongan pedagang yang membawa barang dua kereta banyaknya. Mereka akan lewat di dusun ini, entah siang nanti entah sore hari.”

Berseri Phang Kwi.
“Hebat. Akan tetapi kenapa mereka itu berani bepergian di waktu begini? Benar aneh. Tentu ada pengawal-pengawal yang kuat…..”

Ang-bin Piauw-to mengeluarkan suara mengejek.
“Hah, apa artinya pengawalan dari lima orang piauw-su (pengawal) Pek-coa-piauwkok?”

“Betapapun juga, harap Twako berhati-hati. Kalau orang sudah berani melakukan perjalanan di saat seperti sekarang, tentu mereka itu mempunyai andalan.”

“Sudahlah, kalau kau takut jangan ikut-ikut. Kalau kau mau membantu tentu kau mendapat bagian.”

“Siapa takut? Dengan Twako disini siapa yang takut lagi? Ha-ha-ha!”

Tiga orang perampok yang sudah menempatkan ikan tadi datang dan makin gembiralah kawanan perampok ini makan minum sambil menikmati daging ikan yang empuk dan gurih.

Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki kuda dan tampak seorang tua bongkok bermuka lucu turun dari seekor keledai yang tua pula. Keledai itu sudah tua, tidak ada rambutnya lagi karena dimakan gudig, telinga kiri tinggal sepotong, telinga kanan panjang sekali, punggungnya juga bongkok seperti penunggangnya itu. Di dekat keledai berdiri seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, bermuka bodoh dan bermata sayu.

“Heh-heh-heh, sedap sekali baunya gurih, enak…!”

Kakek itu terbongkok-bongkok berjalan memasuki warung arak dulu tapi pemuda tadi yang nampaknya tidak segembira kakek itu. Melihat bahwa diantara tujuh orang yang sedang makan minum itu ada seorang yang berdiri menyambutnya, kakek itu tahu bahwa yang berdiri itu tentulah pemilik warung, maka dia segera berkata.

“He, sahabat. Lekas kau sediakan ikan yang gemuk, dimasak seperti yang sedang kalian makan itu. Wah, baunya gurih sekali. Cepetan, untuk dua orang!”

Phang Kwi memandang dengan muka mendongkol. Melihat pakaiannya, sudah terang bahwa kakek dan pemuda itu orang-orang miskin, apalagi kalau dilihat bahwa yang ditunggangi kakek itu hanya seekor keledai tua, tidak dimuati apa-apa di punggungnya.

Sekarang Phang Kwi sedang menjamu makan teman-teman lamanya, dan dia sudah minum banyak arak, tentu saja keberaniannya bertambah dan kegalakannya memuncak.

“Jangan mengemis disini, aku tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada kalian!” katanya sambil bertolak pinggang.

Pemuda yang bermuka bodoh dan bermata sayu itu tiba-tiba melemparkan sebuah kantong di atas meja. Suaranya gemerincing dan kakek itu sambil tertawa-tawa membuka kantong.

“Kami tidak mengemis, heh-heh-heh, kami membeli, sahabat.”

Bukan hanya mata Phang Kwi yang melotot lebar, juga enam pasang mata Ang-bin Piauw-to dan kawan-kawannya melebar yang dibuka oleh kakek itu ternyata berisi potongan-potongan emas dan perak!

“Orang tua, ikan tidak ada lagi,” kata Phang Kwi, masih terheran-heran.

“Sahabat tua, kalau tidak menjadi celaan marilah duduk makan bersama kami. Ikan disini cukup banyak.” Tiba-tiba Ang-bin Piauw-to berkata dengan ramah kepada kakek itu.

Si kakek menutup lagi kantongnya, memasukkannya dalam saku baju pemuda tadi dan sambil tertawa-tawa dia lalu maju menghampiri meja para perampok dan duduk di dekat Ang-bin Piauw-to. Pemuda tinggi besar itu duduk di sampingnya.

“Heh-heh-heh, kalian orang-orang mengerti aturan. Memang bertemu di jalan harus saling menyalam, tapi bertemu di meja makan harus saling menawarkan makanan. Hah-hah-hah!”

Tanpa malu-malu lagi kakek itu lalu “menyikat” masakan ikan dan arak yang dihidangkan. Juga pemuda itu dengan gembulnya, seakan-akan dia tak pernah makan masakan sesedap itu, mencontoh perbuatan kakek tadi.

Para perampok saling melirik. Diam-diam mereka mendongkol sekali karena dua orang itu, biarpun yang satu tua bangka dan kurus bongkok sedangkan satunya lagi pemuda tinggi besar, akan tetapi takaran makannya ternyata tidak berbeda, keduanya gembul sekali.

“Mari minum lagi, sahabat tua.”

Ang-bin Piauw-to mengisi terus cawan arak di depan kakek itu. Phang Kwi yang maklum akan maksud kawannya ini, sambil tersenyum juga mengisi cawan arak di depan pemuda itu, sehingga kakek dan pemuda itu tanpa mereka ketahui telah “diloloh” oleh kawanan perampok.

Makin banyak minum arak, kakek itu makin gembira dan tertawa-tawa akan tetapi sebaliknya, pemuda raksasa itu makin pendiam. Sementara itu, para perampok makin sering saling lirik dan tersenyum-senyum karena maklum bahwa dengan “umpan” ikan dan arak mereka akan mendapatkan “ikan besar”.

Yang membuat mereka mendongkol adalah dua orang itu. Biarpun sudah banyak menenggak arak, belum juga roboh atau mabuk. Akan tetapi, Ang-bin Piauw-to bersikap sabar dan mengajak kakek itu mengobrol.






No comments:

Post a Comment