Ads

Monday, September 3, 2018

Raja Pedang Jilid 022

Dari atas pohon Kwa Hong dapat melihat dengan jelas sekali gerakan-gerakan ular-ular itu dan hampir saja ia menjerit-jerit saking geli dan jijiknya. Tubuh Kwa Hong gemetar. Selama hidupnya belum pernah anak yang tabah ini menderita ketakutan seperti di saat itu.

Baru sekarang ia melihat bahwa anak laki-laki yang usianya hanya satu dua tahun lebih tua dari padanya itu sama sekali tidak dikejar ular-ular, juga sama sekali tidak diganggu, malah lebih patut dikatakan bahwa ular-ular itu binatang peliharaannya. Buktinya, sekarang anak laki-laki itu berdiri dikelilingi ular-ular dalam jarak satu meter.

Tiba-tiba anak laki-laki itu berhenti menyuling, menengok ke atas dan tertawa nakal melihat Kwa Hong bersembunyi di situ. Kemudian dia meniup lagi sulingnya dan….. ular-ular itu kini merayap ke arah pohon dan berebutan mereka mencoba untuk merayap naik!

Bukan main takut, geli dan jijiknya hati Kwa Hong.
“Heeeiiiii!” teriaknya kepada anak laki-laki itu. “Suruh mereka pergi…..! Usir mereka, jangan perbolehkan naik ke pohon…..!”

Akan tetapi anak itu dengan sepasang mata memancarkan sinar kenakalan, malah memperkeras bunyi sulingnya dan ular-ular itu seperti gila dalam usahanya merayap naik ke atas pohon. Beberapa ekor di antaranya yang agaknya biasa menaiki pohon, sudah berhasil naik, mengeliat-geliat makin mendekati Kwa Hong.

Hampir saja anak ini pingsan saking jijiknya. Tubuhnya terasa kaku-kaku dan kaki tangannya serasa lumpuh. la memeluk cabang pohon dan memandang ke arah ular-ular yang merayap naik itu dengan wajah pucat.

Tapi dasar Kwa Hong berhati keras seperti baja, dia tidak menangis, padahal rasa jijik dan takut membuat ia ingin sekali menjerit-jerit. Apalagi ketika seekor ular yang bersisik kehitaman dan agak panjang sudah berhasil merayap dekat dan kini, ular itu menjilat-jilat ke arah kakinya.

Kwa Hong meramkan matanya yang berkunang-kunang dan menjejakkan kakinya ke arah ular itu. Akan tetapi ular itu malah merayap ke arah kakinya. Terasa dingin dan menggeliat-geliat di betis kiri!

Tak tertahankan pula saking ngeri dan jijiknya, Kwa Hong menjerit dan….roboh terguling dari atas cabang pohon!

Pada saat itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu tubuh Kwa Hong sudah berada dalam pondongan Koai Atong!

Orang aneh ini dengan ginkangnya yang tinggi melompat dan sudah melampaui kumpulan ular, kemudian dia hendak membawa lari Kwa Hong.

“He, tunggu dulu, jangan lari!” terdengar anak laki-laki itu membentak dan….. aneh sekali, Koai Atong berhenti dan membungkuk dengan hormat kepada anak itu.

“Orang gendeng, kenapa kau lancang tangan? Apa kau kira aku sendiri tidak bisa menolongnya, ketika jatuh dari pohon?” Anak laki-laki itu nampak marah dan menegur Koai Atong.

“Maaf, Tuan Muda, maaf. Dia ini adalah sahabatku, kukira tadi akan celaka, maka aku menolongnya. Maaf…..”

Koai Atong nampaknya takut-takut dan menghormati sekali, seperti seorang anak kecil bertemu dengan anak lain yang lebih jagoan.

Anak laki-laki bermuka putih itu tersenyum mengejek.
“Apa kau ingin dihajar lagi oleh suhu (guru)?”

Kwa Hong tak dapat menahan kesabarannya lagi. Setelah sekarang Koai Atong berada disitu bersama dia, tak lagi ia takut menghadapi ular-ular itu. Apalagi ia merasa mendongkol sekali karena selain anak itu telah mengganggunya, juga sikap anak itu terhadap Koai Atong benar-benar keterlaluan sekali, di samping keheranannya melihat betapa Koai Atong agaknya amat takut dan menghormat kepada bocah bermuka puth.





“Keparat tak kenal mampus!” teriaknya sambil menudingkan telunjuknya ke muka anak itu. “Penjahat macam engkau harus dibasmi!”

Sambil berkata demikian Kwa Hong menyerang dengan kedua tangannya karena pedangnya sudah patah ketika ia menyerang Hek-hwa Kui-bo dahulu itu.

“Enci Hong, jangan…”

Koai Atong mencegah dan memegang lengan Kwa Hong. Hal ini membuat Kwa Hong menjadi makin naik darah. la merenggutkan lengannya dan membentak.

“Kau boleh takut kepadanya, akan tetapi aku tidak!” Dan ia terus meloncat maju, memukul ke arah dada anak itu.

Bocah yang bermuka pucat itu hanya tersenyum mengejek, sulingnya yang berbentuk ular itu bergerak ke depan dan tahu-tahu tubuh Kwa Hong menjadi kaku tak dapat bergerak lagi. Dalam segebrakan saja dan dengan gerakan yang tak terduga cepatnya, bocah muka putih itu telah menotoknya!

Koai Atong melangkah maju dan sekali tepuk pada pundak Kwa Hong, orang aneh ini telah membebaskan totokannya.

“Enci Hong, jangan lawan Tuan Muda….” orang aneh itu mencegah lagi.

Akan tetapi anak yang berwatak keras seperti Kwa Hong, mana mau sudah begitu saja setelah ia merasa diperhina orang? la marah sekali dan dengan nekat ia lalu maju menyerang lagi.

“Eh, budak perempuan, kau masih belum kapok?”

Anak laki-laki bermuka pucat itu kembali menggerakkan sulingnya. Akan tetapi tiba-tiba suling itu menyeleweng ke kiri dan tubuh Kwa Hong juga terdorong mundur seakan-akan ia didorong oteh tenaga yang tidak kelihatan. Anak laki-laki itu melangkah mundur dan berkata.

“Suhu….. dia yang menyerang teecu…..”

Ketika Kwa Hong sudah berdiri tegak, ia melihat seorang laki-laki tua bertubuh sedang, berpakaian sederhana seperti petani dengan baju yang berlengan panjang, sudah berdiri disitu sambil tersenyum-senyum. Sepasang mata orang tua ini liar bergerak-gerak ke sana ke mari.

Yang mengherankan hati Kwa Hong adalah sikap Koai Atong yang tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, sedangkan anak laki-laki tadi pun berdiri membungkuk-bungkuk.

Kakek itu seakan-akan tidak melihat orang lain, menoleh ke arah rombongan ular di belakang anak itu lalu tangan kirinya bergerak. Kwa Hong tidak tahu bagaimana terjadinya, demikian cepat gerakan ujung lengan baju orang tua itu, akan tetapi tahu-tahu seekor ular besar telah dibelit ujung lengan baju itu, kepala ular dipegang dan….. dengan lahapnya orang tua itu menggigit tubuh ular, mengambil dagingnya dan makan daging berdarah itu dengan enak sekali! Ular itu berkelojotan di tangannya, menggeliat-geliat.

Pemandangan ini amat mengerikan hati Kwa Hong yang berdiri memandang dengan mata terbelalak. Setelah menghabiskan tiga gumpalan daging, kakek itu melemparkan ular yang tadi berkelejotan dan mencoba untuk lari dari situ. Ular-ular yang lain diam tak ada yang berani bergerak.

Sekali lagi dengan cara seperti tadi, yaitu dengan ujung lengan bajunya, kakek itu menangkap seekor ular berkulit hijau yang tampaknya berbisa sekali, lalu makan daging ular hidup ini seperti tadi pula.

Setelah melemparkan sisa ular itu barulah kakek ini berpaling kepada Koai Atong dan bertanya,

“Anak besar gila, mana gurumu?”

“Hamba….. hamba tidak tahu dimana, Locianpwe. Hamba sedang hendak kembali mencari suhu…..”

Kakek itu tidak peduli lagi kepada Koai Atong, lalu memandang Kwa Hong dengan matanya yang tajam bergerak-gerak liar. Kwa Hong merasa ngeri, akan tetapi anak yang tabah ini balas memandang dengan matanya yang bening.

“Anak bernyali besar, siapa ayahmu?”

“Ayah bernama Kwa Tin Siong, berjuluk Hoa-san It-kiam,” jawab Kwa Hong.

Kakek itu mendengus.
“Huh, anak murid Hoa-san-pai. Apa becusnya? Akan tetapi nyalimu besar, tulangmu baik.”

Tiba-tiba dia membalik kepada anak muka putih tadi.
“Kin-ji, lain kali kau tidak boleh mengganggu anak yang bernyali besar ini. Tak tahu malu, kau!”

“Ampun, Suhu…..”

“Hayo usir semua cacing ini!”

Anak bermuka putih yang bernama Kin itu segera meniup sulingnya dan semua ular itu merayap pergi. Sebentar saja bersihlah tempat itu, bahkan dua ekor ular yang sudah hilang sebagian dagingnya tadi pun kini sudah merayap pergi memasuki semak-semak.

“Koai Atong, kenapa kau membawa-bawa anak ini?” bentak lagi kakek itu kepada Koai Atong.

Koai Atong mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Enci Hong ini….. dia sahabat baik teecu, hendak teecu susulkan kepada ayahnya di Hoa-san…,.”

“Baik, kau tidak lekas pergi menanti apa lagi?”

Koai Atong memberi hormat berkali-kali dan berkata,
“Terima kasih, Locianpwe….. terima kasih…..”

la lalu berdiri, menyambar lengan Kwa Hong dan membawanya lari dari tempat itu. Kwa Hong berkali-kali bertanya tentang kakek aneh itu, akan tetapi Koai Atong tidak mau menjawab. Setelah mereka lari sepuluh li lebih jauhnya, barulah Koai Atong melepaskan tangan Kwa Hong dan berhenti, napasnya terengah-engah.

“Aduh….. hampir saja….. hampir saja celaka…..”

Mungkin karena rasa takut dan ngerinya, orang yang biasanya bersikap seperti kanak-kanak ini sekarang agak lebih normal sikapnya.

“Ada apa, Koai Atong? Siapakah kakek itu? Siapa pula bocah yang memelihara ular itu?” Kwat Hong bertanya.

Koai Atong berkali-kali menarik napas panjang lalu duduk di atas tanah.
“Dia adalah Siauw-ong-kwi, tokoh terbesar dari utara, amat lihai dan ganas. Kau lihat tadi makanannya saja ular hidup. Bocah itu muridnya, lihai sekali, biarpun masih kecil tapi kepandaiannya tidak kalah olehku! Namanya Giam Kin. Hati-hatilah kau kalau bertemu dengan dua orang itu.”

Setelah agak reda takutnya, timbul kembali sifat kanak-kanak dari Koai Atong. la mulai tertawa-tawa dan berkata,

“Menyenangkan sekali ular-ular itu, ya? Kalau kita bisa menyuling seperti dia, waaah, senangnya!”

Kwa Hong bergidik.
“Menyenangkan apa? Menjijikkan. Hih, hanya anak setan yang bermain-main dengan segala macam ular. Eh, Koai Atong, sekarang hayo lekas antar aku ke Hoa-san. Kalau kau tidak mau, aku pun tidak sudi lagi menjadi temanmu.”

“Heh-heh-heh, Enci Hong. Tentu saja kuantar. Biarlah kalau suhu akan marah karena lama aku tidak kembali, paling-paling akan digebuk pantatku. Hayo, mari kugendong kau!”

Dengan cepat sekali Koai Atong menggendong Kwa Hong di punggungnya dan orang aneh ini lalu menggunakan kepandaiannya untuk cepat berlari menuju ke Hoa-san. Diam-diam Kwa Hong makin ngeri kalau mengenangkan peristiwa tadi. Kalau Koai Atong yang sudah begini lihai takut kepada orang tua itu, sampai berapa hebat kepandaian Siauw-ong-kwi? Dan anak bermuka putih itu, benarkah lebih lihai daripada Koai Atong?

Tentu saja dia tidak tahu bahwa tak mungkin anak bernama Giam Kin itu lebih lihai daripada Koai Atong, hanya karena Koai Atong amat takut kepada Siauw-ong-kwi, maka dia berkata demikian.

**** 022 ****





No comments:

Post a Comment