Ads

Monday, September 3, 2018

Raja Pedang Jilid 025

Tan Sam memandang kepada pembantunya.
“Wah, cialat (celaka). Sambitannya kebetulan sekali kena tengah-tengahnya. Hok-ji, mari kita menyambit berbareng saja, untung-untungan, tidak kena daun juga asal bisa kena kaki bajul buntung!” Kakek ini tertawa lagi, lalu menghitung, “Satu….. dua…..”

Sikapnya lucu sekali, menyambit dengan tangan kanan tapi kaki kanan di depan, demikian pula orang muda raksasa itu.

“….. tiga…..!”

Dua buah piauw meluncur ke depan, akan tetapi terdengar gelak terbahak ketika para perampok melihat dua buah piauw itu meluncur dengan berputar, tidak lurus dan mengenai dinding jauh di kanan kiri daun.

“Aduh…..!”

“Aaauuuuuhhh…..!”

Dua orang yang berdiri di kanan kiri tempat itu mengaduh-aduh dan keduanya meloncat-loncat dengan sebelah kaki karena kaki yang sebelah lagi ternyata terkena hantaman piauw yang membalik!

Untungnya hanya terkena kepala piauw sehingga hanya menjendul saja, namun cukup mendatangkan rasa nyeri. Dan anehnya, yang terkena hantaman piauw ini adalah dua orang yang tadi hendak menyerang Tan Sam dan Tan Hok!

Dua orang itu marah-marah, akan tetapi karena teman-temannya mentertawakannya dan menganggap bahwa kejadian itu hanya karena kebodohan Tan Sam dan pembantunya yang tidak becus melempar piauw, mereka terpaksa menahan kesakitan dan menahan kemarahan.

Ang-bin Piauw-to tertawa terpingkal pingkal sambil menyimpan uang di atas meja.
“Nanti dulu!” kata kakek Tan Sam “Mari kita bertaruh lagi. Penasaran hatiku kalau belum bisa menang!”

Kepala perampok itu memandangnya dengan heran. Sudah miringkah otak kakek ini, pikirnya,

“Boleh, berapa taruhannya?

“Semua perak di atas meja itu” tantang Tan Sam.

“Bagus, perlu ditambah?”

“Sesukamu, kalau masih ada padamu, keluarkan semua.”

Sekarang para perampok itu sibuk mengeluarkan perak dari saku masing-masing karena mereka ingin mendapat bagian dalam pertaruhan ini sehingga sebentar saja di atas meja terkumpul banyak perak. Malah Phang Kwi juga menguras semua peraknya.

Melihat perak yang banyak itu, Tan Sam terpaksa mengeluapkan sebagian potongan emasnya karena peraknya sendiri tidak cukup banyak.

“Bagaimana cara pertandingan?” tanya Tan Sam. “Apakah masih seperti tadi!”

“Boleh saja.” jawab Ang-bin Piauw-to yang merasa yakin akan kemenangannya. “Akan tetapi, orang tua, apakah kau tidak akan menyesal? Kau sama sekali tak pandai menyambitkan piauw.”

“Siapa bilang? Piauwmu yang buruk sekali, tapi aku sudah tahu rahasianya sekarang. Disambitkan ke arah sasaran, menyeleweng ke kiri. Kalau mau mengenai sasaran dengan tepat, tinggal menyambit ke arah kirinya dengan ukuran jarak tertentu, masa tidak akan kena?” Para perampok tertawa lagi mendengar teori yang aneh ini.

“Nah, kau lihat. Aku mulai!” kata Ang-bin Piauw-to sambil mengayun tangannya.

“Nanti dulu!” Tan Sam mencegahnya.

“Aku mau melihat dulu piauwmu, apakah sama dengan piauw yang kau berikan padaku ini.”





“Tentu saja sama!” jawab kepala rampok itu marah sambil memperlihatkan piauwnya yang beronce merah.

“Ah, tidak boleh sama, nanti kau bisa akui sambitanku sebagai piauwmu kan celaka.”

Sambil berkata dernikian kakek itu mencabuti ronce-ronce benang merah pada piauwnya sehingga piauw itu berubah gundul dan buruk.

Tentu saja para perampok terheran-heran dan tertawa geli. Piauw yang dipergunakan kepala rampok itu tidak mempunyai sirip, maka untuk meluruskan jalannya diberi ronce-ronce itu sebagai imbangan. Sekarang kakek itu mencopoti ronce-roncenya, bagaimana bisa menyambit dengan baik?

“Bagus, kau pintar, orang tua,” kata Ang-bin Piauw-to mengejek. “Sekarang sudah jelas, piauw yang beronce punyaku yang gundul punyamu. Nah, siapa menyambit lebih dulu? Dan apakah pembantumu juga ikut”

“Tak usah, cukup aku sendiri. Menyambitnya harus berbareng, kau dan aku baru adil namanya.”

Karena yakin akan kemenangannya dan mengira bahwa dia berhadapan dengan seorang tua goblok yang berkepala batu, Ang-bin Piauw-to tidak banyak membantah.

“Berbareng pun baik,” katanya mengejek sambil bersiap-siap.

Daun baru sudah dipasang pada dinding dan kedua orang itu sudah siap. Anehnya, kalau Ang-bin Piauw-to mengincar sasaran daun, adalah kakek itu tidak menghadapi daun, bahkan tidak melihatnya sama sekali, melainkan sebelah kanan daun yang diincar.

Sambil tertawa-tawa para perampok rnenyingkirkan diri jauh-jauh agar jangan terkena piauw kakek yang kesasar lagi.

“Aku menghitung sampai tiga, baru lepas,” kata kakek itu.

Lawannya mengangguk sambil tersenyum mengejek.
“Satu…… dua…… tiga…..!!” ;

“Serrr!”

Piauw meluncur dari tangah Ang-bin Piauw-to, cepat dan lurus ke arah daun yang menempel pada dinding. Di samping ini, juga piauw di tangan kakek itu telah dilemparkan, berputaran dan berjungkir-balik seperti lagak badut di panggung. Piauw ini berjungkir-balik dan berputar-putar, mula-mula menuju ke arah kanan akan tetapi piauw yang tidak ada ronce-roncenya ini makin mengacau jalannya, tiba-tiba membelok ke kanan dan makin cepat saja jalannya.

Di dekat daun, kedua piauw itu bersilang, terdengar suara nyaring dan dua piauw itu menancap pada dinding, sebuah tepat di tengah-tengah daun dan yang sebuah lagi jauh dari daun!

Semua orang bersorak tertawa, akan tetapi wajah Ang-bin Piauw-to yang merah tiba-tiba menjadi pucat dan semua temannya juga serentak menghentikan suara ketawa mereka setelah memandang jelas ke arah daun yang kini terpaku oleh piauw itu. Apa yang mereka lihat?

Ternyata piauw yang menancap pada dinding menembus daun itu adalah piauw yang tidak beronce merah, sedangkan piauw yang menyeleweng ke sisi adalah piauw beronce! Tegasnya, yang tepat mengenai daun adalah yang terlepas dari tangan kakek Tan Sam!

“Ha, bagus sekali! Sambitan yang bagus dan tepat. Kita menang!”

Tan Hok memuji dan tangannya yang besar segera diulur untuk mengambil tumpukan perak di atas meja yang tadi dipertaruhkan. Para perampok hanya berdiri bengong, bingung tak tahu harus berbuat atau berkata apa.

“Sraaattt!”

Tiba-tiba nampak sinar berkilauan dan tahu-tahu Ang-bin Piauw-to sudah mencabut golok besar dari pinggangnya. Golok ini amat tajam sehingga sinarnya berkilauan ketika dikelebatkan.

“Jangan ambil!” seru kepala rampok itu dan sinar goloknya menyambar ke arah tangan Tan Hok yang diulur untuk mengambil perak tadi.

Nampaknya pemuda raksasa itu kaget dan menarik tangannya. Untung baginya, karena golok itu meluncur terus dan “crak!” meja itu terbabat putus menjadi dua, tumpukan perak berserakan Jatuh ke atas lantai.

Tan Hok dan Tan Sam berdiri bengong, akan tetapi para perampok tertawa bergelak.
“Twako, untuk bereskan budak ini, cukup serahkan padaku,” kata anggauta perarnpok yang tadi hendak menyerang Tan Sam. “Aku harus membalasnya untuk kakiku.”

“Betul, Twako, anjing tua inipun bagianku!” kata perampok yang kakinya terkena hantaman piauw Tan Sam tadi.

Ang-bin Piauw-to hanya tersenyum dan melangkah mundur, lalu mengambil perak yang tersebar di lantai.

“Ah, jangan….. jangan bunuh mereka disini. Warungku takkan laku lagi” Phang Kwi mencegah khawatir.

“Diam!” bentak kepala perampok dan Phang Kwi mundur ketakutan.

Dua orang perampok itu dengan mulut menyeringai sudah menghampiri Tan Sam dan Tan Hok dengan sikap mengancam sekali. Tan Hok nampak tenang saja karena kebodohannya, agaknya tidak mengerti bahwa dirinya terancam. Akan tetapi Tan Sam nampak ketakutan.

“He, kalian ini mau apa? Dan perak-perak itu….. aku yang menang mengapa diambil…..?”

“Kau dan pembantumu akan kami bunuh!.” bentak perampok yang menghadapinya.

“Aduh….. kenapa begitu? jangan…..” si tua mengeluh, lalu menengok kepada Tan Hok. “Celaka, Hok-ji, belum sampai ke neraka sudah bertemu setan-setan pencabut nyawa di bumi…..”

Melihat sikap ketakutan ini, dua orang itu makin gembira dan sombong.
“Kau takut? Hayo lekas minta ampun'”

Tan Sam melirik ke arah pembantunya.
“Hok-ji, tidak ada lain jalan, biarlah kita memberi hormat minta ampun.”

Ia lalu menjura dan mengangkat kedua kepalan tangan ke depan dada, diikuti oleh Tan Hok.

Terjadi hal aneh. Dua orang perampok yang menghadapi kakek dan pembantunya ini tiba-tiba terhuyung mundur seakan-akan tubuh mereka ditiup angin keras dari depan! Semua orang terheran-heran dan dua orang perampok itu makin marah.

Memang, di dunia ini hanya orang-orang bodoh saja berani bersikap sombong dan membanggakan kepandaiannya sendiri. Makin sombong dia, makin bodohlah dia sesungguhnya, bodoh karena mengira bahwa di dunia ini hanya merekalah orang-orang pandai. Andaikata dua orang ini tidak begitu sombong, agaknya kebodohan mereka tidak akan membutakan mata mereka.

“Keparat, jangan main-main. Sekali tangan kami bergerak, pecah kepala kalian!” bentak perampok yang mengancam Tan Hok. “Hayo kalian berlutut minta ampun, baru kami akan pikir-pikir untuk meringankan hukuman kalian!”

Kembali Tan Sam melirik ke arah Tan Hok.
“Apa boleh buat, Hok-ji, mari berlutut.” Keduanya lalu berlutut di depan dua orang itu dan menyoja.

“Aduhhh…..!”

“Ahhhhh…..!”‘

Rasa ulu hati dua orang perampok itu seperti disodok toya baja rasa ulu hati mereka. Mereka terjengkang ke belakang, roboh dan muntah darah segar.

“Celaka!!”

Ang-bin Piauw-to baru sadar bahwa dua orang aneh itu sebetulnya memiliki kepandaian dan cara mereka menjura kemudian berlutut sambil mengirim serangan itu merupakan bukti bahwa mereka memiliki sinkang dan Iweekang yang tinggi! Akan tetapi, juga karena kesombongannya, kepala perampok ini mengandalkan jumlah kawan yang banyak, dicabutnya goloknya sambil memberi aba-aba.

“Keroyok! Bunuh dua ekor anjing ini!”

Kawan-kawannya, juga dibantu oleh Phang Kwi, mencabut senjata masing-masing dan dikepunglah kakek dan pembantunya itu. Kini Tan Sam tidak mau berpura-pura lagi. la tertawa dan berseru.






No comments:

Post a Comment