Ads

Thursday, August 30, 2018

Raja Pedang Jilid 016

Pada hari kesebelas dia melihat suhunya sudah amat lemah sampai jatuh pingsan ketika memberi petunjuk kepadanya. Beng San bingung. Ia tidak suka kepada Phoa Ti seperti juga ketidak sukaannya kepada The Bok Nam.

Akan tetapi dia merasa kasihan kepada Phoa Ti yang sudah mengangkat dia sebagai murid, karena memang sikap Phoa TI lebih baik dan lebih lemah lembut daripada sikap The Bok Nam.

Disamping tubuh suhunya yang masih pingsan, Beng San duduk termenung, memutar otaknya. Tanpa sengaja dia mengingat-ingat kembali semua jurus yang sudah pernah dia pelajari dari kedua pihak dan tiba-tiba dia melihat persamaan-persamaan tersembunyi di dalam jurus-jurus kedua pihak itu, persamaan yang kalau dipandang sepintas lalu dan dimainkan jurus-jurus ilmu silat nampaknya seperti bertentangan, namun sebetulnya dapat disatukan dan dapat disesuaikan.

Phoa Ti siuman kembali menjelang fajar. Beng San segera mengemukakan pendapatnya.

“Suhu, malam tadi teecu teringat akan persamaan-persamaan yang aneh antara beberapa jurus ilmu silat suhu dan kakek The itu. Contohnya jurus kemarin itu, betapa samanya gerakannya, hanya dibalik saja, kalau jurus suhu menggunakan tangan kanan, adalah jurus kakek itu menggunakan tangan kiri. Kalau di waktu memukul dalam jurus suhu harus menyedot napas, dalam jurus kakek itu sebaliknya, meniupkan napas. Bukankah ada persamaannya yang tepat, hanya terbalik saja?”

Sejenak kakek yang sudah payah keadaannya itu termenung. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara seperti jeritan dan……. dia memuntahkan darah segar dari mulut! Beng San cepat-cepat mengurut-urut punggung kakek itu. Setelah agak reda napasnya, kakek itu berkata lemah,

“Aduh…. kau hebat….. aduh, aku bodoh sekali, Beng San Kau benar…. kau benar….. itulah sebabnya mengapa harus mempelajari kedua kitab itu, tidak boleh satu-satu. Bagus……! Sekarang kau pergilah kesana, pergunakan jurus yang kau latih kemarin, hanya sejurus, tapi cukup……kau balikkan kedudukan tangan dan tubuh, tapi kakimu kau ubah seperti yang pernah kau pelajari dari Hek-hwa Kui-bo, atau kau bikin kacau sesukamu he heh he…… hendak kulihat apakah dia masih bisa memecahkan penyerangan dari jurusnya sendiri yang dibikin rusak…..”

“Andaikata dia tidak dapat memecahkan jurus ini, lalu bagaimana suhu?”

“Dia…. uhhhh….. uuhh…. dia harus menyerahkan kitabnya…..” sukar sekali Phoa Ti mengeluarkan kata-kata karena napasnya amat sesak. “Lekaslah kau pergi….”

Kakek ini hendak melontarkan tubuh Beng San seperti yang sudah-sudah ke jurang sebelah sana, akan tetapi tenaganya sudah habis dan dia hanya bisa memberi isyarat dengan tangannya supaya Beng San memanjat sendiri ke tempat kakek The Bok Nam.

Beng San lalu memanjat tebing jurang dan dengan girang dia mendapatkan kenyataan bahwa tubuhnya ringan dan mudah saja baginya memanjat tebing itu.

Ketika dia tiba di atas, di jalan kecil yang dulu dilaluinya, dia telah bebas. Apa sukarnya kalau dia melarikan diri dari situ? Baik kakek Phoa Ti maupun kakek The Bok Nam takkan dapat lagi menghalanginya. Kedua orang tua itu sudah terlampau lemah karena keparahan luka-luka mereka.

Akan tetapi aneh, sekali ini tidak ada keinginan di hati Beng San untuk melarikan diri. Malah dia ingin sekali melanjutkan tugasnya sebagai penguji karena dia mulai merasa tertarik oleh ilmu silat. Apalagi karena hasrat hatinya telah dibangkitkan oleh cerita suhunya tentang kitab Im-yang sin-kiam-sut yang diperebutkan oleh semua ahli silat, termasuk empat besar itu.

Ketika dia menuruni jurang dimana The Bok Nam berada, dia melihat kakek ini keadaannya tidak lebih baik daripada kakek Phoa Ti. Ia menyambut kedatangan Beng San dengan mata terbelalak, lalu dia memaksa tertawa.

“Ha, ha, ha, tua bangka Phoa Ti sudah tak bertenaga lagi untuk melemparmu kesini, Beng San?” biarpun mulutnya tertawa, namun diam-diam dia bersyukur juga.

Andaikata kakek Phoa Ti masih sanggup melemparkan Beng San, kiranya dia sendiri yang takkan kuat menerima tubuh itu. Kemarin saja ketika dia menerima Beng San, kedua tangannya merasa pegal dan sakit-sakit karena terlampau banyak dia menggunakan tenaganya yang sudah hampir habis.

“Bukan dia tak bertenaga,” kata Beng San membela suhunya, “Hanya aku sendiri yang mau memanjat, tak suka aku dilempar-lemparkan kesana kemari seperti bola.”





Kembali The Bok Nam tertawa dan dari sikap ini saja Beng San mengetahui bahwa keadaan suhunya lebih buruk daripada kakek tinggi besar ini.

“Nah, ilmu cakar bebek apalagi yang kau bawa kali ini? lebih baik Phoa Ti mengaku kalah dan memberikan kitabnya kepadaku.”

Pada saat itu terdengar suara Phoa Ti, suara yang parau sekali seperti babi mengorok,
“The Bok Nam, seorang gagah sejati takkan menarik kembali janjinya. Kalau engkau tidak bisa memecahkan jurusku, kau harus memberikan kitab itu….” Tiba-tiba suara itu berhenti seakan-akan yang bicara dicekik lehernya.

The Bok Nam menjadi pucat.
“Celaka,” katanya. “Kakek Phoa Ti diserang….”

Tiba-tiba dia mengeluh dan tubuhnya yang tadinya duduk bersimpuh terguling roboh. Beng San kaget sekali karena tadi samar-samar dia melihat cahaya putih berkelebat. Sekarang tahu-tahu disitu telah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh kecil kurus seperti tengkorak hidup.

Orang ini usianya sudah enam puluhan tahun, mukanya pucat seperti mayat dan pakaiannya pun putih semua seperti orang sedang berkabung. Orang itu tertawa-tawa seperti orang gendeng.

Beng San benar-benar heran sekali karena dia tadi tidak melihat orang itu melayang masuk, bagaimana tahu-tahu bisa berdiri disitu? Ketika dia melirik kearah The Bok Nam, kakek tinggi besar ini memandang dengan mata terbelalak kepada mayat hidup itu.

“Song…… bun kwi (Setan Berkabung)……. kau…… kau curang….., menyerang orang yang terluka…” akan tetapi The Bok Nam tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba orang tinggi kurus yang bermuka mayat itu sekali bergerak sudah sampai didekatnya dan diguling-gulingkannya tubuh The Bok Nam, kedua tangannya mencari-cari.

Sebentar saja dia sudah mendapatkan apa yang dicarinya dan mencabut keluar sebuah kitab kecil dari dalam saku baju orang she The yang sudah tak berdaya itu. Semua ini berjalan cepat sekali sehingga Beng San hampir tak dapat mengikuti dengan matanya. Melihat betapa secara kejam dan kurang ajar sekali si muka mayat itu mempermainkan The Bok Nam, timbul kemarahan dalam hati Beng San. Dengan mata berkilat dia melompat maju dan menudingkan telunjuknya ke hidung si muka mayat.

“Menyerang dan merampas barang orang yang sedang sakit, mana bisa disebut perbuatan gagah? Tak tahu malu sekali engkau, Song bun kwi!’ sikap dan kata-kata Beng San seperti sikap seorang tua memarahi orang muda, maka tampak lucu sekali.

Akan tetapi Song bun kwi terbelalak dan mengerikan sekali, matanya tiba-tiba hanya kelihatan putihnya saja seperti mata iblis! Beng San sampai bergidik ketakutan menyaksikan muka yang bukan seperti muka manusia lagi itu.

Tiba-tiba setan berkabung itu tertawa, disusul suara orang seperti orang menangis dan akhirnya dia benar-benar menangis! Akan tetapi hanya sebentar saja tangisnya terhenti dan dia berkata kepada Beng San,

“Dua puluh tahun lebih tidak mendengar orang memaki dan memarahiku, tidak mendengar orang mencelaku. Ha, anak baik. Orang seperti kau inilah baru patut disebut orang.”

Setelah berkata demikian, dia menggerakkan kedua kakinya dan melesatlah sinar putih keluar dari jurang itu.

Beng San melongo. Gerakan yang demikian cepat sampai seperti menghilang ini mengingatkan dia akan Hek hwa Kui bo. Diam-diam dia bergidik. Kenapa ada orang-orang berkepandaian sehebat itu sampai seperti iblis-iblis saja?

Ia mendengar The Bok Nam mengeluh dan ketika menengok, dia melihat orang tua itu napasnya empas-empis. Tersentuh perasaan welas asihnya. Beng San segera berlutut, mengeluarkan daun obat yang sering kali dia dapat dari suhunya, memeras daun itu dan memasukkannya kedalam mulut The Bok Nam. Kakek itu nampak heran, akan tetapi makan daun itu dan warna merah menjalar ke pipinya yang sudah pucat. Kemudian dia menghela napas panjang.

“Dua puluh tahun berkukuh tidak mau memperlihatkan kepada sahabatku Phoa Ti, sekarang terampas Song bun kwi….., hemmmmm, ini namanya hukuman bagi si orang yang tidak ingat kepada sahabat baiknya….”

Ia terengah-engah dan dari kedua matanya bercucuran air mata. Baru kali ini Beng San melihat kakek yang keras hati ini menangis dan dia menjadi terharu.

“Orang tua, dua puluh tahun kitab itu berada di tanganmu, tentu sudah kau pelajari semua isinya. Terampas orang lain apa ruginya?”

Tiba-tiba kakek itu tampak bersemangat, matanya bercahaya.
“Kau betul…….. eh, Beng San, kau betul….. bantu aku duduk…. …eh, pukulan Setan Berkabung itu hebat…..”

Beng San membantu kakek itu duduk bersila seperti tadi sebelum dia roboh terguling oleh pukulan jarak jauh Song bun kwi.

“Lekas kau berlutut, kau sekarang menjadi muridku. Kau akan kuwarisi seluruh Yang-sin-kiam.”

Karena merasa kasihan kepada kakek ini yang dia tahu dari perasaannya takkan dapat hidup lebih lama lagi, Beng San lalu berlutut dan menyebut.

“Suhu………”

“Dengar baik-baik. Yang-sin-kiam hanya terdiri dari delapan belas pokok gerakan yang dapat dipecah menjadi ratusan jurus menurut bakat dan daya cipta orang yang telah mempelajarinya. Nah, kau hafalkan satu demi satu.”

“Nanti dulu, The suhu. Teecu hendak melihat dulu keadaan Phoa Ti suhu disana…….”

The Bok Nam tercengang.
“Kau menjadi muridnya…..? ah, betul sekali sahabatku she Phoa itu. Kau harus pula mewarisi Im-sin-kiam, begitu baru lengkap sehingga kelak ada tandingannya si Setan Berkabung…..” setelah mendapatkan persetujuan kakek itu, Beng San lalu memanjat keatas untuk melihat kakek Phoa Ti.

Akan tetapi dia mendengar suara aneh yang melengking-lengking seperti suara orang menangis. Ketika dia tiba diatas dia melihat dua bayangan berkelebat diatas jalan kecil dan ternyata bahwa Song-bun-kwi sedang bertanding melawan Hek-hwa Kui-bo!

Song-bun-kwi bersenjata sebuah suling yang mengeluarkan suara menangis itu, sedangkan Hek hwa Kui bo bersenjata saputangan suteranya. Pertempuran itu berjalan seru seperti dua ekor kupu-kupu beterbangan akan tetapi biarpun gerakan mereka begitu ringan seperti terbang saja, angin dari pukulan mereka menyambar-nyambar sehingga Beng San tak kuat menahan. Anak ini terguling dan dengan ketakutan dia bersembunyi di balik sebuah batu besar sambil mengintai.

Tidak lama kemudian pertandingan itu berlangsung karena keduanya sambil berkelahi sambil berlari-lari dan sebentar saja lenyaplah dari pandangan mata. Hanya suara tangis suling itu lapat-lapat masih terdengar dari jauh. Setelah suara suling itu pun lenyap, barulah Beng San berani muncul dan berlari-lari menuruni jurang.

Hatinya berdebar penuh kegelisahan ketika dia melihat Phoa Ti sudah menggeletak dengan napas senin kemis. Ia cepat menubruk dan menolong, dan ternyata keadaan kakek ini sama dengan keadaan The Bok Nam, terluka hebat oleh pukulan Hek Hwa Kui Bo.

“Bagaimana, suhu …..?” Beng San berbisik ketika melihat suhunya membuka mata.

“Ah, celaka….. celaka…. Kitab Im-sin-kiam dirampas Hek-hwa Kui-bo…..” Phoa Ti berkata lemah sambil meramkan mata, mukanya berduka sekali, “Beng San, nyawaku takkan dapat tinggal lama lagi di tubuhku yang rusak dan terluka berat. Lekas kau bersiap, hendak kuturunkan kepadamu isi Im-sin-kiam yang terdiri dari delapan belas pokok gerakan…..”

Beng San tak mau banyak membantah. Melihat bahwa keadaan Phoa Ti lebih payah, dia cepat-cepat mempelajari ilmu silat pedang yang diturunkan kakek itu kepadanya. Tentu saja dia hanya dapat menghafalnya, tidak dapat melatih secara baik karena tidak ada waktu baginya.

Namun dengan mudah dia dapat mempelajari inti sarinya. Hal ini bukan hanya karena Beng San memang seorang anak yang cerdas akan tetapi terutama sekali karena dia pernah mempelajari jurus-jurus Khong-ji-ciang yang inti sarinya memang bersumber kepada Im-sin-kiam sehingga mudahlah baginya untuk menghafal pokok-pokok gerakan yang inti sarinya sudah dikenalnya itu.






No comments:

Post a Comment