Ads

Wednesday, August 29, 2018

Raja Pedang Jilid 015

Menjelang senja, setelah berkali-kali terdengar pertanyaan penuh ejekan, barulah Phoa Ti sadar dari lamunannya dan nampak harapan bersinar pada mukanya.

“Dapat….! Dapat olehku sekarang ….!”

Katanya girang dan cepat-cepat dia memberi pelajaran tiga jurus ilmu silat lagi kepada Beng San yang sudah siap menanti.

Bukan main girangnya hati Beng San dan kagumnya hati Phoa Ti ketika kali ini, hanya dalam waktu setengah malam saja Beng San sudah dapat mainkan tiga jurus ini dengan baik! Anak ini ternyata memang memiliki bakat luar biasa sehingga kaki tangannya lincah dan tepat sekali melakukan segala gerakan ilmu silat.

“Besok pagi-pagi kau sudah boleh mendatangi kakek The,” kata Phoa Ti girang.

“Nanti dulu, kakek Phoa Ti yang baik. Aku sudah berjanji membantumu, dan aku sudah menurut segala kehendak kalian dua orang kakek tua. Akan tetapi, sudah sepatutnya kalau aku mendengar pula apa sebabnya maka kalian bermusuhan, bahkan di tepi lebang kubur masih bertanding ilmu?”

Kakek itu bernapas panjang.
“Lekas kau berlutut, hanya sebagai muridku kau boleh mendengar ini. lekas sebelum berubah lagi pendirianku.”

Karena merasa suka kepada kakek ini Beng San tidak keberatan untuk menjadi murid, maka dia lalu memberi hormat.

“Teecu Beng San, mulai saat ini menjadi murid suhu Phoa Ti ,” katanya.

Agaknya kakek itu tidak begitu menaruh perhatian buktinya dia tidak heran mendengar anak ini tidak menyebutkan she (nama keturunan). Lalu dia menceritakan keadaannya dan keadaan The Bok Nam yang sampai mati tidak mau mengalah terhadapnya itu.

“Aku dan kakek The Bok Nam itu sebelumnya dahulu adalah dua sekawan yang amat karib dan kami berdua di dunia kang ouw pada dua puluhan tahun yang lalu terkenal dengan julukan Thian-te Siang-hiap (Sepasang Pendekar Langit dan Bumi),” demikian kakek Phoa Ti mulai dengan ceritanya. Lalu ia melanjutkan ceritanya seperti berikut .

Dua orang sekawan ini memiliki kepandaian tinggi sekali dalam ilmu silat. The Bok Nam adalah seorang tokoh dari selatan, sudah mempelajari segala macam ilmu silat selatan, sebaliknya Phoa Ti adalah ahli silat dari utara yang juga sudah mempelajari seluruh ilmu silat utara.

Setelah keduanya bertemu dan menjadi sahabat yang amat karib, keduanya lalu bertukar ilmu silat, saling mengajar sehingga keduanya akhirnya menjadi sepasang jago silat yang jarang tandingannya di dunia kang ouw. Karena kedua orang ini tukar menukar ilmu silat, maka dalam hal kepandaian mereka dapat dikatakan setingkat.

Pada masa mereka masih jaya, di dunia kang-ouw tidak ada orang yang berani menentang Thian-te Siang-hiap, tentu saja ada kecualinya, yaitu tokoh-tokoh besar ilmu silat yang jarang muncul di dunia yang pada waktu itu sampai sekarang dikenal sebagai empat datuk persilatan dari barat, timur, utara dan selatan.

Mereka ini adalah Hek-hwa Kui-bo sebagai siluman dari selatan. Dari utara adalah Siauw-ong-kwi (Setan Raja Kecil) yang amat jarang dilihat manusia lain. Jagoan nomor satu dari timur adalah Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang, yang seperti julukannya Tai-lek-sin (Malaikat Geledek) merupakan tokoh yang ditakuti. Adapun orang keempat sebagai raja tokoh barat adalah Song-bun-kwi (Setan Berkabung) yang seperti juga yang lain kecuali Swi Lek Hosiang, tidak diketahui nama aslinya.

Empat orang ini semenjak puluhan tahun tidak pernah memasuki dunia ramai, namun harus diakui bahwa diantara tokoh-tokoh besar persilatan, belum pernah ada yang berani mengganggu mereka dan mereka selalu masih dianggap sebagai empat tokoh besar yang tak terlawan.

Barulah pada dua puluh tahun yang lalu, empat orang tokoh besar ini keluar dari tempat pertapaan atau tempat persembunyian mereka untuk memperebutkan sebuah kitab pelajaran ilmu pedang peninggalan dari guru besar Bu Pun Su (Tiada Kepandaian) Lu Kwan Cu si pendekar sakti pada jaman lima ratus tahun yang lalu.

Pendekar sakti Bu Pun Su ini adalah pewaris asli daripada ilmu silat yang tiada bandingannya, yaitu kitab Im-Yang Bu-tek cin-keng dan pada lima ratus tahun yang lalu, pendekar sakti ini, sebelum meninggal dunia meninggalkan sebuah kitab ilmu pedang yang bernama Im-yang sin-kiam-sut.

Kitab ini tak pernah terjatuh ke tangan orang lain karena disimpan di dalam sebuah gua dalam bukit yang tersembunyi. Setelah bukit itu longsor pada dua puluhan tahun yang lalu, barulah batu-batu besar penutup gua itu ikut runtuh ke bawah dan tampak guanya. Seorang penggembala domba memasuki gua itu dan mendapatkan kitab Im-yang bu-tek cin-keng tadi tanpa mengerti apa isi kitab dan apa gunanya.





Akhirnya secara kebetulan sekali seorang jago silat dari golongan penjahat mendapatkan kitab ini. Kepandaiannya masih terlampau rendah untuk dapat mempelajari ilmu pedang sakti ini, akan tetapi Lui Kok , jago silat yang sombong ini, membual dan memamerkan penemuannya itu di dunia kang ouw. Hal ini sama dengan mencari penyakit sendiri bagi Lui Kok.

Mulailah para jago silat memperebutkan kitab ini, hal ini tidak aneh. Siapakah diantara para jago silat yang tidak pernah mendengar nama besar pendekar sakti Bu Pun Su Lu Kwan Cu? Bahkan empat tokoh besar dari timur, barat, utara dan selatan itupun sampai keluar dari tempat persembunyian mereka ketika mereka mendengar bahwa telah ditemukan kitab pelajaran ilmu pedang dari Bu Pun Su. Padahal urusan besar apapun juga yang terjadi di dunia kang ouw tak mungkin akan menarik hati empat tokoh besar itu.

Akan tetapi kedatangan empat besar ini terlambat. Kitab di tangan Lui Kok telah dirampas orang lain dan Lui Kok telah terbunuh. Tak seorang pun tahu siapa pembunuh Lui Kok dan siapa yang merampas kitab itu. Dengan kecewa empat besar itu kembali ke tempat masing-masing, tentu saja selama itu mereka selalu mendengar-dengar kalau ada orang muncul dengan kitab yang mereka ingin miliki itu.

Siapakah pembunuh Lui Kok? Bukan lain orang adalah Thian-te Siang-hiap, dua sekawan itulah. Kitab itu mereka rampas dan Lui Kok mereka bunuh. Kebetulan sekali kitab itu terdiri dari dua jilid, yaitu bagian Im-sin-kiam dan bagian Yang-sin-kiam.

Karena tahu bahwa empat besar yang amat mereka takuti itu juga mencari-cari kitab peninggalan Bu Pun Su, mereka lalu membagi dua kitab itu, seorang memegang sejilid dan selama ini mereka diam saja, tak pernah mengeluarkan kitab-kitab itu.

Memang sudah menjadi watak setiap orang manusia di dunia ini, selalu merasa berat dan sayang kepada diri sendiri, tidak mau kalah dan mengharapkan bahwa dirinya akan menjadi orang yang paling pandai, paling mulia, dan sebagainya.

Demikian pula watak ini dimiliki pula oleh The Bok Nam dan Phoa Ti. Diam diam mereka mempelajari isi kitab, The Bok Nam mempelajari bagian yang disimpannya yaitu bagian Yang-sin-kiam, sedangkan Phoa Ti mempelajari Im-sin-kiam.

Sampai bertahun-tahun mereka mempelajari kitab masing-masing akan tetapi alangkah kecewa mereka bahwa diantara dua kitab itu ada hubungannya yang amat dekat. Hanya mengetahui Yang-sin-kiam saja tanpa mempelajari Im-sin-kiam, tak kan dapat mereka memperoleh inti sari daripada pelajaran Im-yang sin-kiam-sut yang hebat itu.

Memang betul bahwa dari kitab-kitab itu masing-masing telah memperoleh kemajuan pesat sekali dalam ilmu silat mereka, namun kepandaian Im-yang sin-kiam-sut yang mereka inginkan itu tidak dapat mereka pelajari tanpa kitab yang satu lagi.

Demikianlah, mulai timbul persaingan diantara mereka yang tadinya menjadi sahabat karib. Dan hal inipun sudah menjadi watak manusia. Banyak sudah peristiwa dalam hidup terjadi, dimana dua orang yang tadinya bersahabat karib, dapat menjadi retak persahabatan mereka oleh karena perebutan harta, kedudukan, kepandaian maupun cinta kasih. Padahal semua itu hanyalah akibat, akibat daripada sifat ingin senang sendiri dan ingin menang sendiri, pendeknya sifat egoistis yang menempel pada diri tiap orang manusia.

Mula-mula Phoa Ti yang mendatangi sahabatnya dan minta pinjam kitab. Akan tetapi The Bok Nam tidak mau memberikan, hanya mau kalau kitab di tangan Phoa Ti itu diberikan dulu kepadanya untuk dipinjam, baru sesudah itu dia akan meminjamkan kitabnya.

Phoa Ti mengusulkan agar kitab itu ditukar saja agar keduanya dapat mempelajari bersama, akan tetapi The Bok Nam yang tidak ingin dikalahkan oleh sahabatnya tidak setuju.

Akhirnya terjadilah pertengkaran dan malah timbul persetujuan diantara mereka bahwa siapa yang lebih tinggi ilmunya, dialah yang berhak membaca kedua kitab lebih dulu. mulai saat itulah mereka sering kali mengadu ilmu, sampai berhari-hari.

Akan tetapi tingkat mereka memang sama. Biarpun Phoa Ti sudah mempelajari Im-sin-kiam, akan tetapi The Bok Nam juga sudah mempelajari Yang-sin-kiam sehingga kepandaian mereka sama-sama memperoleh kemajuan yang hebat.

Hal ini terjadi sampai dua puluh tahun, sampai mereka sudah menjadi kakek-kakek tetap saja tidak ada yang mau mengalah. Pada hari itu, mereka kembali mengadu kepandaian di atas jalan kecil yang diapit-apit oleh dua jurang. Akibatnya, saking hebatnya pertempuran mereka, keduanya terluka dan roboh terguling ke dalam jurang, seorang di kanan seorang di kiri sampai akhirnya Beng San datang dan anak ini mereka pergunakan untuk melanjutkan “adu kepandaian” itu.

“Demikianlah, Beng San, muridku,”

Phoa Ti menutup ceritanya kepada muridnya yang baru dia angkat, yaitu Beng San yang mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Baru sekarang aku merasa menyesal sekali mengapa sampai terjadi persaingan seperti ini. The Bok Nam adalah seorang sahabat yang baik. Sayang, dia membiarkan keinginan timbul di hatinya, keinginan untuk menjadi orang yang terpandai.”

“Suhu (guru), apakah selama ini tokoh tokoh besar dari empat penjuru itu tidak pernah datang untuk merampas kitab?” Tanya Beng San.

“Tidak, kami amat rapat menyimpan rahasia ini, karena kami tahu betul bahwa kalau sampai empat tokoh besar itu muncul mengganggu kami, kami akan celaka. Hanya kalau kami atau seorang diantara kami sudah dapat mempelajari Im-yang sin-kiam-sut, kiranya kami akan kuat menghadapi mereka.”

Beng San teringat akan Hek-hwa Kui-bo, maka dia lalu berkata,
“Suhu, belum lama ini teecu (murid) bertemu dengan Hek hwa Kui bo dan ….”

Tiba-tiba pucatlah muka Phoa Ti mendengar ini. dengan tangannya yang hanya sebelah itu dia memegang pundak Beng San dengan erat, lalu katanya.

“Apa….? Dia…? Celaka……tentu dia sudah mendengar akan hal kitab itu. Kalau tidak, tak mungkin dia muncul…..coba kau ceritakan tentang pertemuan itu.”

Dengan singkat Beng San lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia bekerja di dalam kelenteng sampai bertemu dengan berbagai pengalaman pahit itu. Gurunya mendengarkan dengan geleng kepala. Kemudian dia berkata sambil menarik napas panjang.

“Tak salah lagi, tentulah setelah aku dan The Bok Nam mengeluarkan ilmu silat Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam untuk mengadu kepandaian. Dia itu, kuntilanak itu, tentu telah mendengar dan menduga bahwa kami berdua yang menyimpan kitab Bu Pun Su thai-sucouw. Lekas, hari sudah akan pagi. Kau harus usahakan betul supaya jurus-jurus yang kau pelajari itu dapat menangkan The Bok Nam agar dia suka memberikan kitab Yang-sin-kiam kepadaku. Lekas jangan sampai terlambat. Kalau seorang diantara empat setan itu muncul, celakalah…..”

Demikianlah, Beng San melanjutkan tugasnya sebagai penguji kedua orang kakek itu. The Bok Nam benar-benar hebat. Semua jurus yang dikeluarkan oleh Phoa Ti dia dapat memecahkannya, padahal jurus dari ilmu silat Khong-ji-ciang itu adalah jurus-jurus yang diciptakan oleh Phoa Ti berdasarkan kitab Im-sin-kiam.

Sebaliknya, Phoa Ti juga dapat memecahkan semua jurus yang dikeluarkan The Bok Nam, jurus-jurus ilmu silat Pat-hong-ciang yang inti sarinya diambil oleh orang she The itu dari kitabnya, Yang-sin-kiam.

Beng San adalah seorang anak yang amat cerdik. Sampai sepuluh hari dia menjadi penguji dan selama sepuluh hari itu dia sudah melatih diri dengan lima belas jurus dari Khong-ji-ciang dan lima belas jurus dari Pat-hong-ciang!

Ia melihat betapa makin hari kedua orang kakek itu makin lemah karena luka mereka dalam pertempuran itu memang hebat sekali. Apalagi sekarang dalam memberikan petunjuk kepada Beng San, mereka harus mengerahkan tenaga Iweekang.

Yang senang hatinya adalah Beng San karena untuk menjalankan semua pelajaran jurus-jurus yang harus dia bawa kesana kemari ini mengandung hawa-hawa murni dari Yang-kang dan Im-kang, maka tentu saja kedua macam hawa yang amat memenuhi dadanya itu makin kuat dan makin dapat diatur.

Gerakan-gerakan dalam melakukan jurus-jurus ilmu silat itu membuka jalan darahnya sehingga makin lama dia merasa tubuhnya enak dan kuat, bahkan kekurangan tidur dan makan tidak mengganggunya sama sekali.






No comments:

Post a Comment