Ads

Wednesday, August 29, 2018

Raja Pedang Jilid 012

Beng San takut bukan main, akan tetapi dia cerdik. Cepat-cepat dia berkata
“Hek-hwa Kui-bo, perutku lapar sekali, semalam penuh putar-putar di dalam hutan mencari makanan tidak ada. Aku tersesat sampai sini…”

Hek hwa Kui bo memandang tajam,
“Kau bukannya hendak lari?”

“Tiga macam ilmu belum kuhafal sempurna, bagaimana aku berani mati meninggalkan tempat ini? seorang laki-laki sudah berjanji….” Ia tidak melanjutkan kata-katanya karena memang tadinya dia bermaksud hendak lari.

Hek hwa Kui bo tertawa ganjil, sepasang matanya bersinar-sinar.
“Kau pelajari saja baik-baik, dalam beberapa hari tak kan sukar menangkap binatang hutan untuk dimakan.”

Beng San memasuki hutan kembali dan dia mendengar dari jauh wanita itu menggerutu,

“Anak tahan uji …”

Sekarang yakinlah hati Beng San bahwa tak mungkin dia dapat pergi tanpa diketahui wanita sakti yang aneh itu. Nyawanya terancam bahaya maut kalau dia berani pergi. Tidak ada lain pilihan lagi baginya, kecuali mulai mempelajari tiga macam ilmu itu.

Mula-mula dia melakukan Samadhi untuk meyakinkan ilmu Thai hwee seperti yang dia pelajari dari wanita itu. Dan benar saja, baru setengah malam dia duduk semadhi, dia merasa ada hawa panas sekali berkumpul di perutnya, makin lama makin panas sampai dia tidak dapat menahan lagi dan terguling pingsan! Ketika dia siuman kembali, dia menderita hawa dingin yang luar biasa, membuat tubuhnya seakan-akan menjadi beku.

Teringatlah dia semua pengalamannya di dalam hutan ketika dia bertemu dengan Kwa Hong. Begini pula penderitaannya. Kenapa setelah sekarang mulai melatih diri dengan ilmu yang dia pelajari dari Hek hwa Kui bo, agaknya penyakit aneh itu timbul kembali?

Beng San memiliki ketabahan dan kenekatan, daya tahan lahir batinnya amat kuat. Biarpun dia menderita banyak siksaan dari latihan pertama ini, dia lanjutkan terus. Tiga empat hari pertama setiap kali siulian paling lama satu malam dia tentu roboh pingsan. Akan tetapi pada hari kelima dia tidak pingsan lagi, ia tidak tahu bahwa akibatnya, mukanya makin lama menjadi makin merah dan akhirnya menjadi hitam seperti pantat kwali. Namun dia yang tak pernah melihat bayangan mukanya sendiri, tidak tahu akan hal ini!

Sebulan kemudian dia mulai dengan pelajaran kedua. Ketika dia mulai melatih pernapasan menurut ilmu Siu-hwee (Simpan Api), dia merasa bahwa hawa panas yang dia dapat dari ilmu pertama itu berkumpul di pusarnya, lalu berpindah-pindah ke dadanya dan terasalah dada kirinya sakit seperti di tusuki jarum. Ia nekat terus dan akhirnya rasa sakit hebat itu menghilang dan sebulan kemudian, dia hanya merasa seakan-akan dalam dadanya tertekan sesuatu.

Bulan ketiga dia pergunakan untuk melatih diri dengan ilmu pukulan yang disebut Ci-hwee (Mengeluarkan Api). Ilmu pukulan ini terdiri dari tiga jurus gerakan. Gerakan pertama menghantam kedua tangan dengan jari-jari terbuka kearah tanah di depan kakinya, kemudian gerakan kedua menghantam ke depan dan gerakan ketiga menghantam keatas. Gerakan-gerakan ini dilakukan dengan pemindahan kaki kanan kiri, yang satu di depan yang lain di belakang. Sederhana sekali akan tetapi ternyata amat sukar dilakukannya.

Baiknya Beng San sudah memperhatikan dengan teliti sekali dan akhirnya dia dapat melakukan gerakan-gerakan ini dengan baik pula setelah berlatih siang dan malam selama satu bulan.

Tiap kali dia melakukan pukulan-pukulan dengan jari tangan terbuka, dia merasa dadanya tertekan agak enakan, seakan-akan agak berkurang tekanannya. Ia tidak tahu bahwa itu disebabkan karena ada hawa Yang kang keluar sehingga mengurangi tekanan hawa mujijat itu yang kini berkumpul di dadanya dan mengancam pekerjaan isi dadanya.

Empat bulan lewat ketika Beng San memberanikan diri keluar dari hutan. Dia tidak tahu dimana batas kesempurnaan mempelajari ilmu-ilmu itu, maka dia main untung-untungan saja. Kalau nanti ketemu Hek-hwa Kui-bo dan dia diuji dia akan mainkan sebaik-baiknya. Andaikata dinyatakan belum sempurna, bagaimana nanti sajalah.

Selama empat bulan dia sudah merasa seperti terhukum. Tubuhnya tak pernah terasa enak lagi, selalu dia diserang hawa panas yang kadang-kadang membuatnya seperti gila.





Dengan latihan-latihan itu, Hek hwa Kui bo telah menambah hawa Yang-kang di badannya dan kalau dulu Tenaga Im-kang akibat serangan Koai Atong lebih kuat, sekarang setelah dia berlatih tenaga Yang-kang yang lebih kuat di tubuhnya maka tidak lagi dia terserang hawa dingin, melainkan selalu kepanasan.

Ia seperti seorang yang selalu menderita demam panas, akan tetapi bukan panas biasa, melainkan panas yang takkan tertahankan orang biasa, dan dia tentu sudah mati dulu-dulu kalau di badannya tidak terkandung racun dari jeng tok yang mengandung hawa Im.

Agaknya memang nasib Beng San harus menderita hebat waktu kecilnya. Memang agak aneh apa yang dia alami semua ini. Tiga butir pil buatan Siok Tin Cu itu sebetulnya cukup untuk membunuh nyawa tiga orang dan kekuatan hawa Yang-kang dari tiga butir pil itu semua terkandung di dalam tubuh Beng San. Seharusnya dia mati karena ini, akan tetapi siapa kira secara kebetulan sekali dia diserang oleh Koai Atong yang berotak miring sehingga tubuhnya kemasukan hawa Im-kang yang malah lebih kuat daripada hawa Yang-kang itu.

Dan sekarang, Hek-hwa Kui-bo yang tidak tahu tentang penyerangan Koai Atong dan bermaksud membunuhnya dengan memperkuat hawa Yang dengan latihan-latihan itu, ternyata hanya menambah hawa panas sehingga bisa mengimbangi hawa dingin dari racun hijau. Dan karenanya, biarpun mukanya menjadi gosong hitam dan dadanya seperti terbakar, biarpun keselamatan nyawanya tetap terancam, namun Beng San masih hidup dan dapat tahan sampai sekian lamanya!.

Alangkah girang hati Beng San ketika dia tidak melihat munculnya Hek-hwa Kui-bo. Setelah keluar dari hutan itu berdebar hatinya saking girangnya. Benar-benar dia tidak melihat bayangan wanita itu. Di samping kegirangannya, dia pun merasa mendongkol sekali.

“Siluman kuntilanak jahat,” gerutunya. “Aku telah ditipunya. Disuruh mempelajari ilmu siluman selama berbulan-bulan dan dia ternyata tidak menjaga disini. Dasar bodoh, kalau tahu begini, siapa sudi menjadi monyet didalam hutan berbulan-bulan?” sambil memaki-maki Hek hwa Kui bo di dalam hatinya, Beng San melanjutkan perjalanan.

Karena dia berada di daerah pegunungan dan disitu tidak terlihat adanya dusun atau orang lewat, dia lalu berjalan kemana saja tanpa tujuan tertentu. Akan tetapi semua pengalamannya itu mendatangkan keinginan di dalam hatinya untuk mempelajari ilmu silat yang betul-betul dan yang tinggi agar dia dapat mencegah orang lain melakukan penghinaan atas dirinya. Kalau teringat kepada Kwa Hong, dia masih mendongkol sekali.

Pada hari ketiga, ketika dia merasa amat haus dan dia minum air, dia menjadi kaget setengah mati ketika melihat mukanya di dalam air. Aduh celaka, kenapa mukanya menjadi hitam seperti setan? Beng San tak percaya lalu pindah ke air yang lebih jernih untuk melihat mukanya sendiri. Akan tetapi tetap saja, mukanya jelas nampak hitam seperti pantat kwali.

“Celaka….ah, mukaku jadi begini …” tak terasa lagi anak ini menangis tanpa mengeluarkan suara, hanya air matanya mengucur deras.

Setelah memutar otak, dia mencela diri sendiri.
“Ah, kenapa aku karus menangis? Kenapa bersedih? Menilai orang bukan melihat warna mukanya, demikian kata para pujangga. Ada lagi yang bilang bahwa roman muka tidak mencerminkan keadaan hati dan watak. Aku boleh buruk, boleh hitam, mengapa pusing? Malu….? Malu kepada siapa? Huh, …..!” dan tiba-tiba dia mendengar suara cecowetan.

Ketika dia memandang, dia melihat agak jauh, diatas pohon terdapat dua ekor lutung hitam, sepasang binatang itu duduk dan saling mencumbu, kelihatan akur dan saling mencinta.

Beng San tertawa,
“Mukaku pun hitam seperti muka lutung. Siapa bilang muka jelek? Lihat itu, bagi mereka akan jeleklah andaikata muka kawannya itu putih tidak hitam. Hitam atau putih apakah perbedaannya? Baik dan buruk, dimana garis pemisahnya?”

Beng San tanpa disengaja sudah mengeluarkan ujar-ujar dan filsafat-filsafat kuno yang pernah dibacanya di dalam kelenteng Hok-thian-tong ketika dia masih menjadi kacung kelenteng.

Akan tetapi, biarpun ujar-ujar itu tentu saja belum dapat dimengerti oleh anak yang baru berusia sepuluh tahun ini, sedikitnya pada saat itu menjadi hiburan baginya, melenyapkan rasa duka dan kecewanya melihat bayangan mukanya yang hitam seperti muka lutung. Setelah puas minum dan mencuci muka, dia melanjutkan perjalanan.

Pada suatu pagi dia tiba di lereng sebuah gunung yang hijau. Ketika dia sedang berjalan hati-hati sekali di jalan kecil yang amat sunyi itu, tiba-tiba dia mendengar suara dua orang bercakap-cakap jelas di sebelah depannya.

Ia mengangkat muka akan tetapi tidak melihat ada orang. Ia berjalan cepat dan tibalah dia di sebuah jalan kecil. Di kanan kiri jalan itu terdapat jurang yang panjang dan curam. Dan di tempat inilah dia mendengar suara dua orang bercakap-cakap dengan jelas sekali, akan tetapi tidak kelihatan orangnya!

Biarpun hari sudah terang tanah, matahari sudah naik tinggi, namun bulu tengkuk Beng San berdiri juga saking seramnya. Bagaimana ada dua orang bercakap-cakap di depannya, seperti di kanan kirinya akan tetapi tidak melihat orangnya! Ia berdiri seperti patung dan mendengarkan dua suara orang yang saling jawab di kanan kirinya itu.

“Phoa Ti, kalau tidak keburu terjerumus disini, sekali mengenal pukulanku ilmu silat Pat-hong-ciang (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin), kau tentu mampus!” demikian terdengar suara dari sebelah kiri Beng San, suara yang terbawa angin dari kiri tanpa kelihatan orangnya.

Segera suara dari kanan menjawab
“Ha-ha-ha, orang she The, dari sini pun tercium mulutmu yang bau. Kalau tadi aku berlaku hati-hati sedikit dan tidak sampai terjerumus kesini, dengan ilmu silatku Khong-ji-ciang (Ilmu Silat Hawa Kosong) yang belum kukeluarkan, kau akan mampus lebih dulu.”

Beng San bingung sekali. Suara dari kiri terdengar kecil melengking, sedangkan yang dari kanan besar dan parau. Suara apalagi kalau bukan suara setan atau iblis? Masa kalau ada orangnya, tidak kelihatan sedangkan suaranya begitu jelas terdengar olehnya. Atau jangan-jangan semacam kuntilanak yang kejam itu, Cuma kali ini pria. Beng San yang sudah mengalami hal-hal tidak enak dengan Hek-hwa Kui-bo, menjadi ketakutan dan segera dia berlari pergi.

Tiba-tiba dari sebelah kanan terdengar suara yang parau tadi,
“Eh siapa diatas?”

Beng San mempercepat larinya. Tiba-tiba dari sebelah kanannya menyambar semacam hawa yang amat kuat dan tak tertahankan lagi tubuh Beng San tergelincir kedalam jurang di sebelah kiri jalan!

Tubuh anak itu bergulingan ke bawah. Untung baginya tidak ada batu-batu disitu dan jurang itu ternyata merupakan tanah lembek sehingga biarpun tubuhnya sakit-sakit, dia tidak menderita luka parah.

“Ha, ha, ha!” terdengar suara melengking tinggi tadi tertawa, kini dekat sekali. “Kau benar lihai, Phoa Ti, dalam keadaan luka parah masih mampu memukul roboh orang. Akan tetapi kau akan malu kalau melihat bahwa yang kau robohkan hanya seorang anak kecil berusia sepuluh tahunan. Ha, ha ha ha!”

Beng San cepat menengok dan terlihatlah olehnya seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka merah duduk bersimpuh di dasar jurang.


Benar-benar menggelikan melihat seorang bertubuh begini besar akan tetapi suaranya luar biasa tinggi dan kecil seperti suara perempuan. Orang itu sudah tua sekali mukanya penuh keriput dan agaknya terluka hebat, buktinya sukar menggerakkan kedua kakinya.

Tiba-tiba terdengar suara yang jelas, suara parau tadi tanpa kelihatan orangnya sehingga Beng San melupakan sakit -sakit pada tubuhnya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.






No comments:

Post a Comment