Ads

Wednesday, August 29, 2018

Raja Pedang Jilid 011

Beng San yang tadi merasa tak berdaya dan putus asa melihat rambut yang bersih itu, diam-diam mendapatkan akal. Pada bajunya banyak terdapat kutu, hal ini dia tahu betul, dan dia tahu pula dimana kutu-kutu itu paling senang bersembunyi. Karena bajunya memang hanya sebuah, tak pernah dicuci maka banyak kutunya dan karena kebiasaan, dengan amat mudahnya dia mengambil seekor kutu baju dan pura-pura mengambil itu dari rambut Hek hwa Kui bo.

Biarpun perempuan ini seorang yang sakti dalam ilmu silatnya, karena dia duduk membelakangi Beng San dan tidak menduga sama sekali akan tipu muslihat ini, ia percaya penuh. Wajahnya agak pucat dan matanya melebar ketika ia melihat kutu kecil itu dijepit jari tangan Beng San.

“Celaka, darimana datangnya kutu busuk? Memalukan sekali. Hayo lekas bunuh dan cari lagi!”

Beng San tertawa dan memasukkan kutu busuk itu ke mulutnya. Ketika giginya menggigit terdengar suara “tesss!” dan dia meludahkan bangkai kutu busuk itu. Hek-hwa Kui-bo mengkirik penuh kengerian.

“Jahanam benar, darimana dia bisa datang ke rambutku?” tiba-tiba ia merasa kepalanya gatal-gatal sekali dan terpaksa ia menggaruk-garuk lagi, “Hayo cari terus, sampai bersih betul. Jahanam….”

“Eh, nanti dulu. jangan lupa taruhannya. Sudah dapat seekor.”

Hek hwa Kui bo melotot.
“Siapa lupa? Cerewet benar. Aku hutang sebuah ilmu silat kepadamu. Hayo teruskan sampai bersih rambutku. Nanti berapa dapatnya tinggal hitung berapa hutangku kepadamu.”

Beng San mencari lagi dan seperti tadi, dia mengambil kutu baju dan berseru girang. Hek hwa Kui bo makin mengkirik.

“Bagaimana bisa begini banyak? Celaka, jangan-jangan sudah bertelur!”

Beng San tertawa. Anak cerdik ini cepat berkata.
“Aku tidak melihat telurnya, mungkin sudah menetas semua.sudah dua ekor, Kui-bo. Jangan lupa.”

“Siapa lupa? Hayo lekas cari lagi!”

“Kui bo, aku tidak khawatir kau lupa hanya khawatir kau melanggar janji. Ada yang bilang bahwa mengikat kerbau adalah pada hidungnya, akan tetapi manusia diikat pada bicaranya. Sekali mengeluarkan ludah takkan dijilat kembali, sekali mengeluarkan sepatah kata, sampai mati takkan dipungkiri. Itulah manusia gagah dan…!”

“Cerewet! Bocah ingusan macammu mau memberi pelajaran padaku? Aku tak kan lupa, juga takkan melanggar janji. Hayo lekas habiskan kutu-kutu itu gatal semua kepalaku!” dan melihat kutu busuk kedua itu, terasa makin gatal kepala Hek hwa Kui bo.

Tadinya Beng San hendak mengeluarkan kutu sebanyak-banyaknya, akan tetapi ketika teringat bahwa belum tentu ilmu-ilmu silat yang akan diajarkan kepadanya itu menyenangkan, dia berbalik khawatir kalau-kalau malah akan menyusahkan saja. Maka setelah mendapatkan tiga ekor kutu busuk, dia berhenti dan berkata.

“Sudah habis, sudah bersih. Sekarang aku berani mempertaruhkan kepalaku bahwa di rambutmu sama sekali tidak ada kutunya seekorpun.”

Hek-hwa Kui-bo menarik napas lega, lalu membetulkan rambutnya yang tadi diawut-awut oleh anak itu. Kemudian ia memandang kepada Beng San dan tiba-tiba tertawa mengikik. Beng San sudah khawatir kalau-kalau perempuan kuntilanak ini hendak menipunya.

“Hi-hi-hi-hi-hi, aku berhutang tiga ilmu silat kepadamu? Bocah siapa namamu tadi?”

“Namaku Beng San.”

“Bocah, aku akan mengajarkan tiga macam ilmu silat kepadamu dan andaikata kau dapat mewarisi tiga ilmu silat ini, sepuluh orang anak murid Hoa-san-pai takkan mampu menangkan kau. Eh, kau bilang kau dijejali obat oleh seorang tosu yang membuat tubuhmu panas semua? Apa betul kau belum pernah belajar silat?”

“Belum pernah selama hidupku.”

“Coba kau pukul telapak tanganku ini, di waktu memukul meniupkan hawa dari mulut.”





Beng San menurut karena mengira bahwa demikian memang caranya belajar silat. Ia memukul telapak tangan wanita itu dengan tangan kanannya sambil meniupkan hawa dari mulutnya.

“Plakkk!”

Hek-hwa Kui-bo merasa telapak tangannya dijalari hawa panas. Terang itulah tenaga Yang-kang yang keluar dari kepalan Beng San.

“Hemmm, sekarang kau pukul lagi dengan tangan kiri sambil menahan napas.”

Beng San menurut, memukulkan kepalan tangan kiri kearah telapak tangan itu sambil menahan napas. Hek hwa Kui bo merasa telapak tangannya menerima hawa dingin yang lebih kuat daripada hawa panas tadi. Diam-diam ia terheran-heran. Bagaimana di dalam tubuh anak ini terdapat dua macam hawa Yang-kang dan Im-kang tanpa diketahui oleh anak itu sendiri. Dan kenapa seorang anak yang tidak pernah belajar silat bisa mempunyai dua macam hawa ini dan tidak mati karenanya?

Di dalam tubuh setiap orang manusia memang pada dasarnya sudah terdapat dua macam hawa yang bertentangan itu, akan tetapi tidak sehebat ini.

“Dengar baik-baik. Kau akan kuberi pelajaran tiga macam ilmu silat. Akan tetapi ada syarat-syaratnya. Pertama, kau tidak boleh mengaku Hek-hwa Kui-bo sebagai gurumu.”

Beng San merenggut.
“Siapa yang kepingin mengaku kau sebagai guru? Syarat ini cocok dengan pikiranku.”

“Kedua, kau harus berdiam terus di dalam hutan ini sebelum kau hafal benar tiga macam ilmu silat itu. Tergantung kepada otakmu. Kalau kau berotak udang dan beku, sampai sepuluh tahun belum hafal, kau tidak boleh keluar. Begitu keluar akan kubunuh kalau kau belum hafal.”

Beng San segera memprotes,
“Aturan apa ini? aku tidak sudi. Kalau begitu, sudahlah, siapa yang kegilaan akan ilmu silat? Aku tidak usah belajar saja.”

Hek hwa Kui bo tertawa mengejek dan saputangannya bergerak-gerak.
“Kau boleh tidak belajar, akan tetapi nyawamu kucabut. Kau kira aku seorang yang suka menjilat ludah sendiri? Aku sudah berjanji, kau harus menerima tiga macam pelajaran ilmu silat dan kau harus pula memenuhi syarat-syarat itu atau………..kau boleh mampus.”

Beng San memang bocah yang nakal dan berani, akan tetapi diapun amat cerdik. Sekarang sedikit banyak dia sudah mengenal watak kuntilanak ini yang selalu membuktikan omongannya, maka dia lalu berkata,

“Baiklah, mempelajari ilmu silatmu atau tidak adalah sama saja! Apa sih gunanya? Kukira ilmu silatmu itu pun tidak akan ada artinya bagiku!”

Hek-hwa Kui-bo kena dibakar perutnya.
“Tarrr!!” saputangannya berkelebat menyambar mengeluarkan suara keras, ujungnya melewati kepala Beng San dan menghantam sebuah batu di dekatnya.

Alangkah kagetnya anak itu ketika melihat betapa pingir batu itu gompal dan remuk seperti dihantam palu besar yang kuat dengan keras sekali.

“Kau bilang tidak ada gunanya? Apa kepalamu lebih keras dari batu itu?” kata Hek hwa Kui bo mendelik.

Beng San kagum sekali dan mulailah timbul keinginan dalam hatinya untuk memiliki kepandaian seperti ini akan tetapi ia memperlihatkan sikap acuh tak acuh menyaksikan kehebatan wanita itu. Dia malah menarik napas panjang dan berkata,

“Apa artinya kelihaian ilmu silat kalau toh aku takkan mungkin dapat mempelajarinya? Aku tidak pernah belajar silat, bagaimana sekarang bisa mempelajari ilmu silatmu kalau tidak kau pimpin sendiri?”

Hek-hwa Kui-bo tertawa mengikik,
“Kau tentu bisa, pasti bisa. Aku memiliki tiga macam ilmu silat yang mudah dipelajari, biarpun oleh seorang tolol seperti kau. Pertama, adalah ilmu siulian (Samadhi) yang disebut Thai-hwee (Api Besar) untuk mendatangkan kekuatan tenaga dalam berdasarkan Yang-kang. Dalam menjalankan ilmu ini tubuhmu akan terasa panas sekali seperti terbakar, kau harus dapat menahan ini. Kedua, adalah ilmu pernapasan yang disebut Siu-hwee (Memelihara Api) untuk membikin hawa Yang kang di badanmu memasuki semua pembuluh darah dan membikin badanmu kebal.”

“Apa artinya semua ini?” Beng San mencela. “Mana orang harus belajar supaya diri kuat dan tahan dipukul, apa selanjutnya aku hanya disuruh menjadi bahan pukulan? Aku ini kau ajari cara memukul batu seperti tadi.”

Hek-hwa Kui-bo tertawa,
“Tolol kau. Dua macam pelajaran itu adalah pokok daripada semua pelajaran silat. Yang ketiga, adalah ilmu pukulan yang kusebut Ci-hwee (Keluarkan Api), terdiri dari tiga jurus pukulan yang mengandung hawa Yang-kang. Nah, kau perhatikanlah sekarang semua petunjukku dan pelajari baik-baik. Aku hanya sudi memberi kesempatan belajar sehari semalam saja, setelah itu kau harus belajar sendiri.”

Demikianlah, wanita aneh ini sengaja menurunkan cara bersamedhi dan latihan pernapasan yang semata-mata hanya utnuk memperbesar daya Yang-kang di tubuh Beng San.

Perbuatan ini sebetulnya amat licik dan jahat. Bagi orang lain, mungkin sekali ilmu-ilmu ini akan mendatangkan tenaga dalam tubuh yang luar biasa. Akan tetapi seperti telah diketahui di dalam tubuh Beng San pada waktu itu sedang mengalir hawa panas yang luar biasa, yang tentu akan menghanguskan jantungnya akibat ditelannya tiga butir pil buatan tosu Siok Tin Cu. Kalau saja dia tidak terkena pukulan Jing tok ciang dan terkena racun hijau akibat serangan Koai Atong.

Hek-hwa Kui-bo tidak tahu akan serangan Koai Atong ini, akan tetapi wanita sakti ini cukup maklum bahwa tiga butir pil Yang tan itu secara aneh sekali telah ditahan kekuatannya oleh semacam hawa Im yang berada di tubuh Beng San. Melihat ini, biarpun ia tidak mampu memaksa Beng San mengaku, wanita ini mempunyai dugaan bahwa tentulah Beng San ini murid seorang sakti lain.

Hal ini amat tidak disukainya. Sudah menjadi watak Hek-hwa Kui-bo untuk tidak mau mengalah terhadap orang lain. Siok Tin Cu adalah cucu muridnya, karena guru tosu itu, ketua Ngo lian kauw, yaitu yang bernama Kim-thouw Thian-li (Dewi Kepala Emas) adalah murid tunggalnya.

Ketika mendengar bahwa Yang-Tan yang ditelan bocah ini tidak mematikannya, timbul perasaan di hati Hek-hwa Kui-bo maka ia sekarang sengaja mengajarkan dua macam ilmu itu untuk memperbesar dan memperkuat hawa Yang di tubuh anak ini agar pertahanan hawa Im di tubuhnya kalah.

Tentu saja Beng San yang tidak tahu apa-apa tidak mengandung hati curiga dan dengan penuh ketekunan dan ketelitian dia memperhatikan segala petunjuk wanita itu. Dasar bocah ini berotak cerdas dan terang sekali, menjelang senja jadi baru saja setengah hari Hek hwa Kui bo memberi petunjuk, dia sudah mengerti baik bagaimana harus melakukan latihan Thai-hwee, Siu-hwee, dan Ci-hwee.

Diam-diam Hek-hwa Kui-bo terkejut bukan main dan kagum sekali. Belum pernah ia melihat bocah secerdas ini otaknya. Akan tetapi memang Hek-hwa Kui-bo yang aneh. Hal ini bukan menimbulkan rasa sayang kepadanya, melainkan ia makin membenci dan iri hatinya. Dia sendiri dulu tidak memiliki kecerdasan seperti ini.

“Nah, kau boleh tekun melatih diri dengan tiga macam ilmu ini. Jangan sekali-kali berani keluar dari hutan kalau belum memiliki ilmu yang kuajarkan. Kalau kau melanggar, kau kubunuh!”

Setelah berkata demikian, sekali berkelebat wanita ini telah lenyap dari depan Beng San. Anak ini berhati lega. Mungkin ia akan menjaga di luar hutan, pikirnya. Akan tetapi kalau sampai dua tiga hari, apakah ia akan sabar menjaga terus? Pula hutan ini begini besar, kalau aku keluar dari lain jurusan, bagaimana mungkin dia bisa tahu? Dengan pikiran ini, dia enak-enak saja tidak mau melatih diri, malah segera memilih tempat untuk tidur yang aman dan enak, yaitu diatas sebatang pohon yang amat besar.

Pada keesokan harinya, dia juga tidak melatih diri, melainkan berjalan-jalan di dalam hutan, memilih tempat yang banyak ditumbuhi pohon-pohon berbuah agar tidak sukar lagi dia mencari kalau perutnya terasa lapar.

Sampai dua hari Beng San hanya berkeliaran di dalam hutan tidak mau melatih diri. Dan pada malam ketiga, malam yang amat gelap, dia berjalan keluar dari hutan, mengambil jurusan yang berlawanan agar tidak diketahui oleh Hek hwa Kui bo. Hutan itu amat lebat sehingga menjelang fajar dia baru bisa keluar dari hutan.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba ia mendengar suara ketawa nyaring dan cekikikan, suara ketawa kuntilanak! Dan sebelum dia sempat melihat darimana datangnya suara itu, tiba-tiba orangnya sendiri telah berkelebat dan berdiri di depannya dengan saputangan panjang itu diputar-putar dengan sikap mengancam sekali.






No comments:

Post a Comment