Ads

Tuesday, August 28, 2018

Raja Pedang Jilid 010

“Aduh…. Aduh, berhenti…. ..berhenti aku tidak bisa bernapas….Kui-bo, berhenti ….!”

Beng San berteriak teriak dengan napas sengal-sengal. Bukan main cepatnya tubuhnya dibawa pergi sampai angin menyesakkan pernapasannya dan tangannya yang terbelit ujung saputangan juga amat sakitnya.

Tiba-tiba Hek-hwa Kui-bo berhenti dan begitu melepas saputangannya ia menangkap tangan kanan Beng San dan membentak.

“Kau pernah belajar silat kepada siapa?”

Aneh sekali, kalau tadi ia bersikap manis dan genit di depan Beng San, kini dia berubah menjadi galak dan suara serta pandang matanya penuh ancaman.

Beng San seorang bocah tabah dan ndugal (nakal) mana ia kenal takut? Ia mengerahkan tenaga dan berusaha menarik tangannya, akan tetapi tak berhasil, malah cekalan wanita itu makin erat.

“Aku tak pernah belajar silat” jawab Beng San akhirnya karena tangannya yang dipegang terasa sakit.

“Bohong! Kalau tidak mengaku akan kupatahkan tanganmu!” ia memijat makin keras sehingga terdengar bunyi “Kretekk…” pada tangan Beng San.

Anak itu meringis kesakitan. Baiknya wanita itu tidak sampai mematahkan tulang-tulang tangannya, akan tetapi tangannya terasa sakit sekali. Anehnya wanita itu nampak terheran-heran dan memandang tajam.

“Iblis cilik, kalau tak pernah belajar silat, kau tentu sudah mampus. Di tubuhmu ada hawa panas darimana kau peroleh?”

Diam-diam Beng San terheran-heran. Wanita ini aneh sekali, juga kepandaiannya seperti iblis. Mungkin betul-betul kuntilanak, bukan manusia. Kalau manusia, bagaimana agaknya bisa tahu segala?

“Aku pernah disiksa makan sebuah pil oleh seorang tosu bau bernama Siok Tin Cu …”

Wanita itu melepaskan pegangannya dan dengan terheran-heran ia menatap wajah Beng San, lalu kembali ia memegang tangan yang tadi dicengkeram dan kini tangan itu diperiksanya baik-baik.

“Aneh….aneh…kau dipaksa makan pil oleh Siok Tin Cu? Lalu bagaimana?”

“Badanku terasa panas seperti dibakar, selanjutnya aku pingsan dan ketika sadar kembali, aku merasa tubuhku dingin sekali seperti direndam dalam es!”

“Bohong ….!” Hek-hwa Kui-bo menampar dan Beng San terjungkal.

Akan tetapi anak itu bangun lagi, membuat Hek-hwa Kui-bo makin heran. Kenapa anak ini memiliki daya tahan yang begini luar biasa?

“Kau bilang badanmu panas sampai pingsan, bagaimana setelah sadar menjadi dingin?”

Kini Beng San marah-mrah. Perempuan atau siluman ini keterlaluan sekali. Dengan metenteng dia berdiri dan membentak,

“Kau ini jahat benar! Mau bertanya atau mau tak percaya? Kalau tidak percaya, jangan bertanya. Pukul boleh pukul, mau bunuh boleh bunuh, kenapa membuat capai mulut, Tanya-tanya segala, kalau tidak percaya!”

Hek-hwa Kui-bo makin terheran dan kagum. Belum pernah ia bertemu dengan seorang bocah seaneh ini. dia sendiri seorang tokoh besar yang sering kali diherani dan dikagumi orang, akan tetapi sekarang ia malah heran dan kagum kepada seorang bocah!

Hal ini memang ada sebab-sebabnya. Hek-hwa Kui-bo adalah seorang tokoh besar yang jarang mau berurusan dengan dunia ramai, apalagi memperdulikan seorang bocah seperti Beng San ini. Hanya saja, ketika tadi ia melihat Beng San ia menyaksikan hawa kemerahan yang terang sekali terbit dari hawa Yang kang yang amat kuat dari tubuh bocah ini maka ia mengerti bahwa anak ini adalah seorang ahli Yang kang atau setidaknya di dalam tubuhnya terkandung sesuatu yang mengeluarkan hawa itu.

Karena sudah menjadi wataknya tidak suka melihat orang-orang lihai di dunia ini disamping dia sendiri dan muridnya, maka timbul maksud hatinya untuk membunuh Beng San. Maka tadi ia sengaja membawa lari Beng San dengan cepat untuk membunuhnya, karena pegangannya tadi mengandung saluran tenaga mematikan.





Alangkah herannya ketika melihat Beng San hanya tersengal-sengal saja dan tidak mati. Lebih-lebih lagi herannya ketika ia meremas tangan Beng San, ada daya tahan yang luar biasa yang mencegah tulang-tulang anak itu remuk. Inilah luar biasa!

Dia sendiri seorang ahli Yang kang, masa tak dapat menguasai hawa di tubuh anak ini? demikianlah, maka Hek Hwa Kui bo jadi ingin sekali mengetahui keadaan Beng San.

Disamping ini, ada juga rasa sukanya kepada bocah ini. bocah aneh yang amat pemberani, bahkan yang suara cegahannya sudah membuat ia menurut, yaitu ketika ia hendak membunuh Kwa Tin Siong dan puterinya. Ada pengaruh yang amat ganjil dalam suara anak ini ketika mencegahnya tadi.

“Anak baik, mau bunuh kau apa sukarnya? Akan tetapi aku ingin tahu lebih dulu kau ini murid siapa?”

“Aku bukan murid siapa-siapa,” jawab Beng San tak acuh.

“Siapa namamu?”

“Beng San.”

“Siapa orang tuamu?”

“Oang tuaku…? Orang tuaku adalah…Huang ho (sungai Kuning).”

Kembali Hek Hwa Kui bo melengak. Siapa tak kan heran mendengar jawaban aneh ini.
“Jangan main-main! Dimana kedua orang tuamu? She apa?”

“Orang tuaku dimakan banjir Huang ho, siapa she-nya aku tak tahu. Eh, kuntilanak, mau apa kau main tanya-tanya terus ? pergilah!”

Makin kagum Hek Hwa Kui bo. Ia melihat muka Beng San kotor sekali sehingga agak sukar baginya untuk melihat cahaya muka anak ini yang agak kehijauan dan agak kemerahan.

“Kau kotor sekali. Pergilah mencuci muka.”

“Tidak mau”.

Akan tetapi, kembali ujung saputangan panjang di tangan Hek Hwa Kui bo bergerak dan tahu-tahu tubuh Beng San terlempar jauh dan…jatuh kedalam sebuah anak sungai tak jauh dari situ.

Beng San gelagapan dan meronta-ronta. Akan tetapi kemudian dia mendapat kenyataan bahwa air anak sungai itu amat jernih, maka timbul kegembiraannya dan dia malah mandi tanpa membuka pakaian! Dia tidak memperdulikan lagi kepada Hek-hwa Kui-bo. Tak lama kemudian ia merasa tubuhnya dingin bukan main. Beng San menjadi ketakutan, khawatir kalau-kalau penyakit kedinginan seperti kemarin menyerangnya lagi. Cepat-cepat dia merayap naik dari anak sungai itu. Ternyata Kui-bo masih menunggu disitu sambil memandang kepadanya dengan mata tak berkedip.

Setelah muka dan tubuh Beng San bersih dari debu dan kotoran, apalagi akibat dinginnya air membuat hawa Im-kang menyerangnya lagi dan kulit mukanya menjadi kehijauan,

Hek-hwa Kui-bo menjadi bengong. Sama sekali itu bukan tanda bahwa di dalam tubuh anak ini terkandung hawa Yang, melainkan sebaliknya, kini penuh hawa Im yang aneh! Bukan main, luar biasa sekali ini! Hek-hwa Kui-bo tanpa terasa lagi menggaruk-garuk rambut di kepalanya.

Beng San masih mendongkol. Tubuhnya dingin betul dan pakaiannya semua basah kuyup. Semua ini adalah karena perbuatan kuntilanak itu. Maka dia lalu menghampiri dan memaki.

“Kuntilanak galak, kau pun harus mandi!”

Merah muka Hek-hwa Kui-bo, merah karena malu! Memang orang aneh, disuruh mandi begitu saja timbul pikiran bahwa alangkah memalukan kalau ia harus mandi di depan anak laki-laki ini.

“Kurang ajar, aku sudah cukup bersih. Tak perlu mandi.”

Tiba-tiba Beng San tertawa bergelak. Ia mendapat kesempatan utnuk membalas menghina orang atau siluman ini.

“Bersih katamu? Ha, ha, ha ! rambutmu penuh kutu busuk, masih berani bilang bersih?”

Merupakan pantangan bagi Hek-hwa Kui-bo kalau ia dicela orang, apalagi tentang kebersihan atau kecantikannya. Entah sudah berapa banyaknya orang mati di tangannya hanya karena kesalahan mulut menyatakan bahwa ia sudah tua, tidak cantik dan lain celaan lagi. Sekarang ia pun amat marah, akan tetapi karena pribadi Beng San menimbulkan keheranan dan kekaguman, ia tidak segera turun tangan, hanya bertanya dengan suara dingin.

“Kau bilang rambutku penuh kutu busuk? Apa buktinya?”

Beng San masih tertawa-tawa.
“Kau tadi menggaruk-garuk kepalamu, itulah tanda bahwa rambutmu banyak mengandung kutu busuk! Aku berani bertaruh bahwa disitu bersarang banyak kutu busuk dengan telur-telurnya…”

Saputangan di tangan Hek Hwa Kui bo bergerak dan tahu-tahu ujungnya telah melibat leher Beng San! Baiknya wanita aneh ini hanya menakut-nakuti saja, kalau ia menggunakan tenaga, dalam sedetik leher itu akan putus! Namun Beng San maklum bahwa nyawanya terancam, maka cepat dia mengerahkan tenaga dan berseru.

“Membunuh anak kecil, huh, mana bisa dibilang gagah? Mengalahkan musuh tangguh baru bisa dibilang gagah, akan tetapi mengalahkan diri sendiri lebih gagah lagi!” saking takutnya dia mengeluarkan ujar-ujar Kwa Hongong Hu Cu yang dicampur dengan kata-katanya sendiri.

Ujung saputangan itu mengendur dan Hek Hwa Kui bo tertawa.
“Siapa sudi mengambil nyawa tikusmu? Hayo buktikan omonganmu, kau carilah kutu busuk itu di rambutku. Kalau tidak ada seekor pun hidungmu akan kupotong, tak perlu kuambil nyawamu!”

Bukan main kagetnya hati Beng San. Dipotong hidungnya lebih celaka daripada diambil nyawanya. Apa nanti jadinya kalau dia seterusnya harus hidup tanpa hidung, menjadi manusia yang menakutkan dan menjijikkan? Dan biarpun dia masih kecil, dia tahu bahwa wanita kuntilanak ini pasti akan membuktikan omongannya.

“Hayo cepat!”

Hek-hwa Kui-bo membentak sambil duduk diatas rumput. Terpaksa Beng San lalu berlutut di belakangnya dan mulai mencari kutu busuk diantara rambut yang hitam, halus dan bersih serta berbau harum kembang itu. Mana ada kutu busuk diantara rambut yang begitu terpelihara rapih dan bersih?

“Enak saja,” ia menggerutu, “Taruhan yang tidak adil. Kalau tidak ada kutu busuknya, kau memotong hidungku. Bagaimana kalau ada kutu busuknya? Aku tidak punya apa-apa, hidungku adalah barang yang paling kusayang, kalau itu kutaruhkan, habis apa taruhanmu? Apakah kau juga mempertaruhkan hidungmu?”

Hek-hwa Kui-bo tak terasa lagi meraba hidungnya yang mancung. Tak mungkin ia mengorbankan hidungnya. Ia berpikir-pikir lalu berkata sambil tertawa mengejek,

“Yang paling berharga padaku adalah kepandaianku. Aku pertaruhkan kepandaianku. Setiap kali kau memperoleh kutu busuk, kuhadiahkan sebuah ilmu silat kepadamu.”

“Hah, untuk apa ilmu silat?” Beng San berkata.

Perempuan aneh itu menengok dan matanya berapi.
“Anak tolol! Kalau kau menerima satu macam saja ilmu silatku, apa kau kira orang-orang macam ayah anak Hoa san pai itu mampu mengganggu dan menghinamu?”

Beng San memutar otaknya. Betul juga. Wanita ini lihai bukan main. Alangkah baiknya kalau dia bisa memiliki kelihaian seperti wanita ini. Dia sebatang kara di dunia ini, sudah sering kali dihina orang. Jangan kata lagi orang-orang kota yang sering kali mengusirnya seperti anjing padahal dia tidak mengganggu mereka. Buktinya saja yang baru saja terjadi, tosu bau Siok Tin Cu itu menghinanya, kemudian Kwa Hong …

“Baik,” katanya, dan tak lama kemudian jari-jari tangannya mencabut sesuatu diantara rambut Hek hwa Kui bo.

“Dapat seekor …!” katanya gembira setengah bersorak.

Hek-hwa Kui-bo tersentak kaget, cepat memutar tubuh. Ia melihat diantara jari telunjuk dan ibu jari tangan Beng San terjepit seekor kutu hitam kemerahan yang menjijikan. Kakinya banyak dan jalannya miring-miring. Meremang bulu tengkuk Hek hwa Kui bo. Seorang perempuan seperti dia, yang semenjak kecil jangan kata mempunyai kutu rambut, melihat pun belum, mana bisa membedakan antara kutu rambut dan kutu baju? Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa ia kena ditipu oleh anak nakal ini.






No comments:

Post a Comment