Ads

Tuesday, August 28, 2018

Raja Pedang Jilid 009

Tanpa banyak cakap lagi Sian Hwa menyambut mereka. Dua orang mengeroyoknya dan yang dua pula kini sudah membantu si penculik tadi, mengeroyok Kwa Tin Siong. Diam-diam dua orang anak murid Hoa-san-pai ini terkejut sekali. Ternyata empat orang yang baru datang ini malah memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada penculik. Ilmu golok mereka adalah ilmu golok utara, keras dan bertenaga, gerak-geriknya juga cepat.

Sian Hwa dan Tin Siong memang mewarisi Ilmu Pedang Hoa san kiam hoat yang ampuh. Keduanya patut diberi julukan pendekar pedang Hoa san dan mereka dalam pertempuran keroyokan ini telah memperlihatkan ketangkasan.

Akan tetapi, lawan-lawan mereka yang mengeroyok juga bukan sembarangan orang, memiliki kelihaian yang tingkatnya dengan mereka hanya kalah sedikit, namun dengan pertempuran secara pengeroyokan itu tentu saja mereka lebih unggul dan mulai mendesak.

Lima puluh jurus telah lewat, Kwa Tin Siong masih dapat bertahan dan membalas serangan, akan tetapi Sian Hwa mulai lelah, mulai berkurang daya serangnya dan lebih banyak menangkis dan meloncat kesana-kemari. Gadis itu hebat sekali. Kali ini benar-benar tepat julukannya Kiam-eng-cu karena tubuhnya lenyap terbungkus sinar kedua pedangnya dan dua batang golok lawan yang menyambar-nyambar mengitari dirinya.

Kwa Tin Siong mengeluh dalam hatinya, celaka, pikirnya. Kali ini aku dan sumoi menghadapi bencana. Hal ini masih belum hebat, celakanya, anaknya pun menghadapi bencana yang hebat pula. Siapa akan melindunginya? Berpikir sampai disini dia mencoba untuk menggunakan daya lain. Tiba-tiba ia berseru keras.

“Bukankah cu-wi (tuan-tuan sekalian) ini anggota-anggota Pek-lian-pai? Ketahuilah siauwte Kwa Tin Siong dari Hoa-san-pai tidak ada permusuhan dengan Pek-lian-pai, malah tadinya hendak menggabungkan diri?”

Akan tetapi tiga orang lawannya tertawa dan seorang diantara mereka berkata mengejek,

“Anak murid Hoa-san-pai mana ada harga masuk Pek-lian-pai? Kalau mau mengaku kalah barulah kami melepaskan dan boleh belajar lagi. Lihat kelak, kalau sudah pandai baru boleh masuk Pek-lian-pai!” tiga orang itu tertawa-tawa dan menyerang.

Kwa Tin Siong adalah seorang pendekar sejati, mana dia sudi menurut kehendak tiga orang lawannya itu? Pendirian seorang pendekar, lebih baik mati daripada bertekuk lutut menerima hinaan. Dengan gemas dia mempercepat gerakan-gerakan pedangnya sehingga lawan-lawannya terpaksa berlaku hati-hati dan mundur, lalu dia berkata.

“Melihat sikap cu-wi, tak patut menjadi patriot-patriot yang anti penjajah bangsa Mongol!”

Tiga orang itu hanya tertawa lagi, dan si penculik yang sudah dilukai pundaknya berkata,

“Jangan banyak cerewet tentang urusan perjuangan. Hoa-san Sie-eng bernama besar, perlihatkan kebesaran itu. Ha-ha-ha!”

Sekarang Kwa Tin Siong betul-betul terdesak. Apalagi setelah mendengar sumoinya berseru marah karena pedang kirinya terlepas dan terlempar, dia makin gelisah. Sumoinya kini hanya melawan dengan sebatang pedang, sedangkan dua orang lawannya itu makin mendesak sambil mengeluarkan ucapan-ucapan kotor.

Memang Sian Hwa terdesak hebat dan lebih lagi gadis ini merasa marah bukan main karena selain pedangnya yang kiri terlepas, juga dua orang pengeroyoknya itu menggodanya dengan kata-kata yang tidak sopan. Ia berlaku nekat dan mati-matian dan hal ini mendatangkan celaka baginya. Karena terlalu bernafsu menyerang, ia menjadi lengah dan pada suatu saat, lutut kanannya kena ditendang seorang lawan. Sian Hwa menjerit dan roboh terduduk, namun ia masih memutar-mutar pedangnya sambil duduk bersimpuh sehingga dua orang lawannya tidak mampu mendekatinya.

Kwa Tin Siong yang kaget mendengar jerit sumoinya, juga menjadi lengah dan sebuah babatan golok kearah pinggangnya hampir saja membuat tubuhnya putus menjadi dua. Baiknya dia telah mengelak dan meloncat sehingga hanya paha kirinya saja yang terluka, cukup parah namun tidak cukup untuk merobohkannya.

Betapapun juga, keadaan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa sudah amat terancam dan sewaktu-waktu dapat dipastikan bahwa mereka tentu akan menjadi korban keganasan musuh-musuh mereka ini.

Pada saat itu terdengar orang tertawa dan bernyanyi-nyanyi.
“Ha, ha, ha, ho, ho,” orang itu tertawa-tawa ketika tiba di dekat tempat pertempuran, “Ada anjing-anjing berebut tulang! Anjing-anjing penjilat Mongol mengeroyok… heh-he-heh, aku tak dapat tinggal diam saja. “Heiiii! Biarkan aku ikut main-main, waah, gembira benar nih!”

Muncullah seorang laki-laki tinggi besar yang pakaiannya tidak karuan, berkembang-kembang seperti pakaian wanita dengan potongan pakaian bocah. Sikapnya juga seperti seorang anak kecil padahal wajahnya menunjukkan bahwa usianya tentu empat puluhan.





Koai Atong, memang tokoh yang sudah kita kenal inilah yang muncul. Dengan anak panah di tangannya dia menyerbu pertempuran. Pertama-tama dia menyerbu dua orang yang mengeroyok Sian Hwa. Begitu anak panah di tangannya ditangkis dua golok orang yang mencoba untuk membabat patah pedang Sian Hwa, dua orang itu mengeluarkan seruan kaget karena hampir saja golok mereka terlepas.

“Heh , heh, heh, terimalah pukulanku, kau dua hidung kerbau!”

Tangan kirinya lalu diputar-putar secara aneh dan mendorong ke depan. Dua orang itu merasa ada angin menyambar yang berbau seperti daun busuk. Mereka adalah orang-orang yang sudah banyak pengalaman, maka cepat mereka menghindar, namun tetap saja angina pukulan orang aneh itu membuat mereka terhuyung ke belakang sampai empat lima langkah!

Akan tetapi Koai Atong tidak mendesak terus. Melihat dua orang lawannya itu mundur-mundur ketakutan, sambil bernyanyi-nyanyi dia melangkah lebar menghampiri medan pertempuran Kwa Tin Siong. Juga disini dia memutar anak panahnya, beberapa kali menangkis golok tiga orang itu, lalu tangan kirinya mendorong-dorong dan robohlah seorang diantara mereka, yaitu si penculik tadi.

Yang dua terhuyung-huyung ke belakang dengan muka pucat karena merasa isi perut hendak muntah keluar. Melihat gelagat buruk, empat orang itu lalu menceplak kuda dan kabur dari situ sambil membawa tubuh si penculik yang pingsan dengan mata mendelik dan muka kehijauan. Terdengar suara mereka dari jauh,

“Koai Atong…. Koai Atong….!”

Kwa Tin Siong menarik napas lega. Luka di pahanya tidak dipedulikannya. Ia terlampau tegang mendengar nama “Koai Atong” tadi. Nama ini sudah tentu saja pernah didengarnya sebagai nama seorang diantara iblis dunia persilatan. Ia segera menjura dengan hormat kepada orang aneh itu dan berkata,

“Nama besar.. Koai.. enghiong … sudah lama siauwte mendengarnya. Hari ini enghiong menolong nyawa siauwte berdua dengan sumoi dan anakku, sungguh budi besar sekali..”

Kwa Tin Siong tidak berani menyebut orang itu Koai Atong yang berarti anak setan, maka diubahnya menjadi Koai enghiong (orang gagah Koai). Akan tetapi Koai Atong yang diberi hormat itu longang-longong, memandang ke kanan kiri dan berbalik dia bertanya.

“Eh, kau ini bicara kepada siapa?”

Kwa Tin Siong melengak.
“Kepadamu Koai enghiong ..”

“Namaku Koai Atong, mana ada enghiong-enghiong segala, enghiong itu apa sih? Sayang, main-main sedang ramai-ramainya, mereka pergi. Licik benar. Eh, dia apamu? Anakmu?” ia menuding kearah Sian Hwa yang masih duduk bersimpuh dan sedang berusaha membetulkan sambungan lututnya yang kena tendang tadi.

“Bukan, dia sumoiku, dan anakku..” tiba-tiba muncul Kwa Hong berlari-lari. Anak ini gembira sekali nampaknya.

“Aku anaknya! Orang aneh, kau jempol sekali!” Kwa Hong memandang kagum dan mengacungkan jempol tangannya keatas. “Hanya dengan memutar tangan kiri dan menggertak sudah bisa mengusir anjing-anjing itu. Jempol!” ia lalu meniru-niru gerakan tangan kiri Koai Atong tadi yang diputar-putar dan dipakai mendorong-dorong.

“Ha, ha, ha, ha,!” Koai Atong tertawa terpingkal-pingkal “Kau pintar menari, ya? Bagus, ya?” ia pun lalu menari-nari dan memutar-mutar tangannya sambil melirik-lirik dan tersenyum-senyum hingga seperti seorang yang sedang pandai melagak dan manja.

Tentu saja ini hanya sikapnya dan melihat keadaannya dia lebih pantas disebut orang gila yang segila-gilanya.

Melihat orang itu menari-nari lucu, Kwa Hong tertawa mengikik sambil menutupi mulutnya. Sian Hwa dan Kwa Tin Siong tidak berani tertawa karena mereka maklum akan kelihaian dan keanehan orang kang ouw ini. Koai Atong juga berhenti menari.

“Orang aneh, kau benar-benar hebat. Kau telah menolong bibiku dan ayahku. Terima kasih, ya ?” kata Kwa Hong.

“Aku tidak senang kepada mereka,” kata Koai Atong merengut. “Mereka itu anjing-anjing Mongol.”

“Koai enghiong ..” bantah Kwa Tin Siong. “Mereka itu adalah orang Pek-lian-pai, apa betul penjilat Mongol?”

“Tak peduli Pek-lian-pai atau Hek-lian-pai penjilat-penjilat Mongol aku tak suka.”

“Koai Atong, kau betul!” Kwa Hong berseru girang. “Aku pun tidak suka kepada mereka.”

Koai Atong kelihatan girang sekali, seperti seorang anak-anak yang bertemu dengan kawan baik.

“Bagus, kita cocok. Mari ikut aku pergi main-main. Aku banyak mengenal tempat yang bagus-bagus!”

Koai Atong menyambar tangan Kwa Hong dan sebelum Kwa Tin Siong dan Sian Hwa sempat mencegah, orang aneh itu sudah berlari cepat sekali dengan langkah-langkah yang lebar sambil menggandeng Kwa Hong.

“Koai enghiong tunggu… ! Jangan bawa pergi anakku!”

Kwa Tin Siong berseru sambil mengejar. Juga Sian Hwa ikut mengejar, akan tetapi karena paha Kwa Tin Siong sudah terluka sedangkan lutut Sian Hwa masih membengkak, keduanya tak dapat berlari cepat dan sebentar saja sudah tidak kelihatan lagi bayangan orang tinggi besar itu bersama Kwa Hong.

“Celaka …!” Kwa Tin Siong membanting-banting kakinya dan nampak berduka sekali.

“Jangan berduka, twa suheng. Biarpun amat aneh, kurasa orang itu takkan mengganggu Hong ji. Dia seperti seorang anak-anak mendapatkan teman dan mengajak Hong ji bermain-main. Dia lihai sekali, pasti mampu menjaga Hong-ji baik-baik.”

Kwa Tin Siong menarik napas panjang.
“Aku tidak mengkhawatirkan dia mengganggu Hong-ji, juga tentang penjagaan, kiranya dia akan lebih baik dari padaku karena kepandaiannya lebih tinggi. Sudah banyak aku mendengar tentang Ban-tok-sim Giam Kong dan muridnya itu, Koai Atong. Siapa yang tidak ngeri mendengar nama mereka? Mereka itu benar bukan tergolong orang-orang jahat akan tetapi mereka aneh sekali dan kadang-kadang melakukan perbuatan yang tak terduga-duga. Bagaimana hatiku tidak akan khawatir? Kapan aku dapat bertemu kembali dengan anakku? Ketika mengucapkan kalimat terakhir ini, wajah Kwa Tin Siong nampak berduka sekali, membuat sumoinya terharu.

“Suheng, kalau begitu, mari kutemani kau mengejarnya. Mustahil takkan tersusul, dia kan sering kali berhenti untuk bermain-main. Kalau kita membujuknya tak berhasil, kita bisa menggunakan kekerasan.”

Kwa menggeleng kepala.
“Percuma sumoi. Kita masih menderita luka. Pula agaknya Hong-ji juga senang bermain-main dengan orang itu. Buktinya ketika dibawa pergi tadi diam saja. Sudahlah biar hitung-hitung menambah pengalaman anak itu. Kita mempunyai persoalan yang amat penting sekarang. Aku merasa ragu-ragu dan kecewa sekali menyaksikan sepak terjang orang-orang Pek-lian-pai.”

Sian Hwa yang tadi pikirannya penuh oleh keadaan Kwa Tin Siong, sekarang teringat akan urusannya sendiri. Ia menggertak gigi.

“Memang betul, suheng. Hampir saja kita sendiri pun menjadi korban keganasan Pek-lian-pai. Sudah jelas sekarang bahwa Pek-lian-pai sengaja memusuhi aku dan suheng, pendeknya memusuhi Hoa san pai.”

Kwa Tin Siong mengangguk-angguk.
“Kupikir juga begitu. Tak mungkin secara kebetulan saja mereka mengganggu kau dan aku. Hemmmm, anehnya, mereka itu beranggota banyak sekali, mempunyai banyak mata-mata, apakah tidak tahu bahwa murid Hoa-san-pai tadinya bersimpati kepada mereka dan berniat membantu? Sumoi, kita tidak boleh berlaku secara sembrono. Lebih baik kita berunding dua orang suhengmu, kemudian kita minta nasehat suhu.”

Sian Hwa setuju.

“Kalau begitu, mari kita kembali ke Hoa-san, suheng, aku pun tidak betah tinggal di rumah, ingin bertemu para suheng dan minta bantuan membalaskan sakit hatiku.”

Kakak beradik seperguruan itu lalu meninggalkan tempat tadi dan langsung mereka berdua melakukan perjalanan ke Hoa-san. Andaikata mereka itu bukan kakak beradik seperguruan, juga tidak sedang berada dalam keadaan berduka berhubung dengan urusan masing-masing, tentu mereka akan merasa sungkan juga melakukan perjalanan berdua saja.

Seorang laki-laki dan seorang gadis, biarpun yang pria sudah berusia empat puluh tahun sedangkan yang wanita baru dua puluh tahun, namun si pria cukup tampan sehingga mereka merupakan pasangan yang cocok.

Tentu saja bagi mereka sendiri tidak apa-apa karena memang semenjak Sian Hwa masih kecil, baru berusia sepuluh tahun, dia sudah menjadi adik seperguruan Kwa Tin Siong. Mereka melakukan perjalanan cepat karena ingin segera sampai di Hoa san.

**** 009 ****





No comments:

Post a Comment