Ads

Tuesday, August 28, 2018

Raja Pedang Jilid 008

“Dan murid Kun-lun-pai yang terpandai menggunakan Pek-lek-jiu adalah…. Kwee Sin !” kata jago pertama dari Hoa-san Sie-eng ini sambil merenung.

“Betul, twa suheng.” Liem Sian Hwa menangis lagi. “Aku harus membalas dendam….! Si keparat she Kwee, kalau belum membalas kekejamanmu, aku Liem Sian Hwa takkan mau sudah….”

“Husshhh, nanti dulu, sumoi. Kau tenanglah. Tak baik menjatuhkan dakwaan kepada seseorang tanpa bukti. Apalagi saudara Kwee Sin sepanjang pendengaranku adalah seorang gagah. Sebagai seorang termuda dari Kun lun Sam hengte, agaknya tak masuk akal kalau dia melakukan pembunuhan ini. Andaikata buktinya kuat, habis apa alasannya dia mau melakukan hal ini?”

“Twa-suheng masa tidak dapat menduganya? Dia….manusia she Kwee keparat itu, setelah terlihat oleh ayah di Telaga Pok-yang, agaknya merasa malu dan takut kalau-kalau rahasianya disiar-siarkan oleh ayah. Dia dan…siluman dari Pek-lian-pai itu….tentu mengejar kesini dan membunuh ayah…”

“Kenapa begitu yakin?”

“Ayah sendiri yang mengatakan demikian, twa-suheng. Ayah masih dapat menceritakan hal ini, biarpun amat sukar dia bicara.”

Sian Hwa menghapus air matanya yang bercucuran deras ketika ia bicara tentang ayahnya.

“Menurut ayah, malam itu ayah terkejut dan terbangun dari tidur karena suara keras pada jendela. Begitu ayah melompat turun, dia roboh karena tusukan pedang yang mengarah leher, dan masih menyerempet ketika dielakkan oleh ayah. Kemudian ia terpukul pada dadanya, keras sekali membuat ayah hampir pingsan. Sebelum pingsan ayah mendengar suara ketawa seorang wanita dari luar jendela, kemudian terasa sakit pada pinggangnya karena tertusuk paku itu. Ayah masih mendengar kata-kata seorang laki-laki yang mengatakan bahwa ayah tak boleh sekali-sekali menghina seorang jagoan Kun-lun! Malah ayah mendengar pula ejekan wanita itu yang menyatakan bahwa partai Pek-lian-pai tidak mau mengampuni orang-orang yang sombong.”

Kwa Tin Siong makin terheran-heran. Bagaimana mungkin Kwee Sin melakukan hal securang itu? Apalagi dia, wanita yang katanya anggota Pek-lian-pai yang tersohor sebagai perkumpulan orang-orang gagah, patriot-patriot bangsa! Malah dia sendiri sekarang mencari tiga orang adik seperguruannya untuk diajak berunding tentang memasuki partai itu dan membantu perjuangan.

“Apakah ayahmu melihat pula laki-laki dan wanita itu?” desaknya.

“Tidak, twa-suheng. Kamar ayah gelap sekali, tidak ada penerangan. Hal ini pun menunjukkan bahwa dua orang yang datang menyerang ayah itu berkepandaian tinggi, dapat menyerang di tempat gelap secara tepat.”

“Apakah ayahmu mengenal suara saudara Kwee Sin?”

“Tentu tidak, suheng. Jarang sekali ayah bertemu dengan dia. Ah, twa suheng, kenapa kau masih ragu-ragu? Tak bisa salah lagi anjing Kwee Sin itulah yang membunuh ayah dibantu seorang siluman dari Pek-lian-pai. Twa-suheng, hanya para suhenglah yang kiranya dapat membantu siauw moi menuntut balas atas kematian ayah secara penasaran ini….”

“Siapakah orangnya yang tak kan ragu-ragu, sumoi. Dua hal yang amat berlawanan dengan dugaan dan pendengaran. Jago muda Kun-lun… dan seorang anggota Pek-lian-pai…….ah , kalau bukan kau yang tertimpa hal ini, agaknya sukar untuk percaya….”

Tiba-tiba mereka dikejutkan suara jeritan di luar rumah.
“Tidak…! Pergi…..!” itulah suara Kwa Hong !

Kwa Tin Siong mencelat dari kursinya keluar pintu, diikuti Sian Hwa yang juga meloncat dengan amat lincahnya. Bagaikan terbang melayang keduanya meloncat keluar dan melihat sebuah Pek-lian-ting (Paku teratai putih) seperti yang dipergunakan orang melukai ayah Sian Hwa tertancap pada daun pintu depan! Dan Kwa Hong sudah tidak tampak lagi, hanya terdengar derap kaki kuda lari cepat menjauhi tempat itu.

“Cepat, twa-suheng, kejar….!”

Kwa Tin Siong melompat keatas kudanya dan Sian Hwa berlari-lari menuju ke halaman belakang rumahnya untuk mengambil kudanya pula. Di lain saat kakak beradik seperguruan ini sudah melakukan pengejaran. Sebentar saja Kwa Tin Siong tersusul oleh kuda tunggangan Sian Hwa seekor kuda tunggang yang amat baik dan pilihan.





Dua orang pendekar ini adalah jago tertua dan termuda dari Hoa-san Sie-eng. Selain ilmu silat mereka yang tinggi, juga dalam hal menunggang kuda mereka adalah ahli-ahli yang jarang bandingannya. Apalagi Sian Hwa yang memang sejak kecilnya diajak merantau ayahnya dan semenjak kecilnya gadis ini sudah suka sekali menunggang kuda. Setelah melalui kurang lebih lima li, akhirnya suara derap kuda yang mereka kejar itu makin jelas terdengar, tanda bahwa kuda itu tak jauh lagi terpisah.

“Sumoi, kau kejar terus, aku hendak mendahuluinya memotong jalan.”

Biarpun masih amat muda, baru dua puluh tahun, namun pengalaman Sian Hwa di dunia kang ouw sudah cukup luas. Maka sedikit kata-kata twa-suhengnya ini cukup ia ketahui maksudnya. Ia tahu bahwa untuk menangkap seorang penculik anak-anak lebih aman dipergunakan siasat, yaitu disergap dari belakang. Kalau secara berterang, mungkin akan gagal karena si penculik dapat mempergunakan anak yang diculik untuk mengancam.

Ia hanya mengangguk dan Kwa Tin Siong lalu membedal kudanya, mengambil jalan memutar hendak memotong jalan baiknya ia sudah mengenal betul jalan di daerah tempat tinggal sumoinya ini, maka tanpa ragu-ragu, dia tahu kemana arah jalan yang diambil oleh si penjahat di depan itu. Jalan itu menikung kekanan dan agak memutar, maka kalau dia memotongnya melalui kebun dan hutan kecil, dia akan dapat mendahului si penjahat.

Tak lama kemudian Sian Hwa sudah dapat melihat penculik itu. Kuda yang ditunggangi penculik itu bukan kuda baik, nampak sudah lelah sekali, apalagi ditunggangi dua orang seperti Kwa Hong. Anak perempuan itu tampak lemas dan tidak bergerak atau bersuara lagi.

“Bangsat rendah, hendak lari kemana kau!”

Sian Hwa mencabut siang kiam (sepasang pedang) tipis dan mempercepat larinya kuda.

Penculik itu, seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun bertubuh kecil bermata lebar ketika mendengar suara wanita lalu menoleh, ia tercengang melihat bahwa yang mengejarnya hanya seorang gadis cantik yang masih amat muda, lalu tiba-tiba ia menahan kudanya dan tertawa sambil mencabut goloknya.

“Aha kiranya ada nona manis ingin main-main dengan aku,” katanya dengan senyum mengejek.

Suaranya menunjukkan bahwa dia seorang dari utara. Dengan gerakan yang gesit sekali orang itu meloncat turun dari kuda setelah menurunkan Kwa Hong yang dia gulingkan keatas tanah. Gadis cilik itu agaknya tertotok jalan darahnya, lemas seperti orang pingsan. Dengan tenang orang itu lalu berdiri menghadang Sian Hwa yang datang membalapkan kudanya.

“Penculik hina, hari ini pedang nonamu akan mengantar nyawamu ke neraka.”

Sian Hwa berseru dan tiba-tiba tubuhnya melayang meninggalkan punggung kudanya yang masih berlari. Bagaikan seekor burung wallet nona ini sudah menggerakkan pedangnya dan langsung menyerang penculik itu dengan gerakan sepasang pedang yang menyambar-nyambar!

Hebat benar sepak terjang nona Liem Sian Hwa yang berjuluk Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang) ini dan tidak mengecewakan ia berjuluk demikian karena betul-betul sepasang pedangnya merupakan segunduk sinar yang menutupi tubuhnya ketika ia melompat sambil menyerang.

“Bagus….!”

Laki-laki itu mau tak mau memuji melihat ketangkasan gerakan gadis ini. cepat dia menangkis dengan golok yang diputar seperti payung di depan tubuhnya.

“Trang … …tarang …!” bunga api muncrat kesana kemari ketika sepasang pedang itu bertemu dengan golok.

Dari getaran pada tangannya maklumlah Sian Hwa bahwa lawannya ini biarpun bertubuh kecil namun bertenaga besar juga. Begitu kedua kakinya berada di tanah, nona ini lalu menggenjot tanah dan tubuhnya berkelebat kesebelah kiri orang itu, pedangnya kembali berkelebat.

Ia sudah sengaja mempergunakan ginkangnya untuk mengalahkan lawan dengan kecepatan gerakannya. Siapa kira, orang ini pun ternyata cepat sekali dapat memutar tubuh sambil membabatkan golok ke pinggang Sian Hwa. Terpaksa Sian Hwa menangkis dengan pedang kirinya, pedang kanan menusuk kearah dada dengan gerak tipu Kwan-kong-sia-ciok (Kwan kong memanah batu).

Sekarang kagetlah orang itu, tidak berani lagi dia tertawa-tawa. Ternyata nona muda ini hebat ilmu pedangnya, cepat, gesit dan tak terduga serangannya. Ia cepat menjengkangkan diri ke belakang berjungkir balik lalu menghadapi lawannya dengan hati-hati.

Pertempuran seru segera terjadi dan pada saat itu muncullah Kwa Tin Siong dari belakang pohon-pohon. Girang hati pendekar ini melihat bahwa anaknya hanya tertotok dan tidak mengalami kecelakaan, maka dia cepat meloncat dan membebaskan totokan pada tubuh anaknya lebih dulu karena dia melihat bahwa sepasang pedang sumoinya ternyata mampu menahan gerakan golok yang aneh dan lihai dari penculik.

Setelah Kwa Hong sembuh kembali dan ia menyuruh anaknya ini duduk bersila dan mengatur napas membereskan kembali jalan darahnya, Kwa Tin Siong melompat ke medan pertempuran sambil berseru,

“Sumoi serahkan penjahat ini kepadaku!”

Sebetulnya Sian Hwa tidak pernah terdesak oleh lawannya, akan tetapi maklum betapa twa-suhengnya marah karena orang ini telah menculik puterinya, ia meloncat keluar dan membiarkan twa suhengnya menghadapi penculik itu.

“Tahan, sobat!”

Kwa Tin Siong mengulurkan pedang menahan golok lawan. Ia mengerahkan tenaganya sehingga golok lawannya itu tertahan dan tak dapat bergerak lagi. Lawannya kaget sekali dan menatap tajam.

“Kau ini siapakah dan seingatku, diantara aku Kwa Tin Siong dan kau tidak pernah ada permusuhan apa-apa. Kenapa kau datang dan menculik anakku?” Tanya pendekar itu yang tidak mau menurunkan nafsu amarah.

Orang itu tertawa mengejek.
“Aku…..aku hanya ingin menguji sampai dimana nama besar Hoa-san Sie-eng!”

Kwa Tin Siong mengeryitkan keningnya.
“Kau sudah mengenal nama kami tentulah seorang kang ouw. Kulihat kau menggunakan Pek-lian-ting, apa hubunganmu dengan Pek lian pai? Sobat, harap kau jangan main-main dan mengakulah terus terang apa sebetulnya kehendakmu dan siapa namamu yang besar.”

Tiba-tiba terdengar orang itu bersuit keras sekali dan goloknya berkelebat menyerang Kwa Tin Siong. Tentu saja pendekar ini marah sekali. Tak pernah diduganya bahwa orang akan berlaku begini rendah, padahal dia sudah cukup bersikap jujur dan menghormat.

“Bagus, kiranya kau hanya sebangsa pengecut curang!” serunya dan sekali tangkisan ia dapat membikin golok orang itu terpental kemudian desakan pedangnya yang sekaligus menyerang bertubi-tubi sampai empat lima jurus membuat orang itu mundur-mundur tak mampu balas menyerang.

Memang hebat ilmu pedang Kwa Tin Siong dan tidak percuma dia menjadi orang pertama dari Hoa-san Sie-eng. Gerakan-gerakannya mantap dan matang, tenaga Iweekangnya juga sudah tinggi sehingga baru belasan jurus saja si penculik itu sudah harus meloncat kesana kemari dan menangkis sedapatnya. Kembali ia bersuit keras dan kali ini tiba-tiba dari arah timur hutan terdengar suitan-suitan semacam yang agaknya menjawab suitan si penculik tadi.

Mendengar ini Kwa Tin Siong berseru,
“Awas, sumoi, kawanan penculik datang!”

Liem Sian Hwa memang sudah siap. Ia menyuruh Kwa Hong bersembunyi di balik sebatang pohon besar, sedangkan ia sendiri lalu menjaga disitu dengan sepasang pedang di kedua tangan.

Terdengar seruan kesakitan dan penculik itu terhuyung ke belakang dengan pundak berdarah. Ternyata pundaknya kena disambar pedang sehingga terbabat kulit dan dagingnya. Namun ia masih sanggup melawan sehingga Kwa Tin Siong masih belum juga dapat merobohkannya.

Pada saat itu terdengar suara banyak kuda penunggang kuda. Mereka adalah empat orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, gerakan mereka tangkas dan begitu sampai disitu, keempatnya lalu melompat turun dan mencabut golok.






No comments:

Post a Comment