Ads

Tuesday, August 28, 2018

Raja Pedang Jilid 007

Pada masa itu, keadaan pemerintahan yang dipegang oleh kerajaan Goan (Mongol) sedang dikacau oleh pelbagai pemberontakan rakyat yang sudah tak kuat lagi atas penindasan penjajah Mongol.

Dimana-mana muncul perkumpulan rahasia yang menghimpun tenaga-tenaga untuk melakukan pemberontakan dan rongrongan terhadap pemerintah penjajah. Diantara puluhan macam perkumpulan rahasia ini, murid-murid Hoa-san-pai juga termasuk anggota sebuah perkumpulan yang terbesar, yaitu Pek-lian-pai (Perkumpulan Teratai Putih) yang tujuannya merobohkan pemerintah Mongol.

Kwa Tin Siong yang mempelopori kegiatan adik-adik seperguruannya, pada waktu itu sedang pergi mencari sute-sute dan sumoi-sumoinya yang berpencaran dimana-mana, malah ia sedang mencari untuk mengumpulkan tiga orang adik seperguruannya karena Hoa san Sie eng (Empat Pendekar Hoa san) harus mengadakan pertemuan di Hoa-san untuk membicarakan soal pemasukan menjadi anggota perkumpulan anti penjajah ini. ketika tiba di hutan dan mengalami peristiwa hebat ini, Kwa Tin Siong baru saja pulang dari Kwi-nam-hu bertemu dengan sutenya, Thio Wan It, yang sudah berjanji akan menghadap ke Hoa san bulan depan tanggal lima.

Juga dia sudah bertemu dengan Toat-beng-kiam Kui Keng sutenya yang ketiga dan sudah mendapat janji pula. Sekarang ia sedang menuju kearah dusun Lam-bi-chung tempat tinggal orang tua sumoinya (adik seperguruan) yaitu Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa. Setelah mengalami peristiwa hebat ini, Kwa Tin Siong mempercepat perjalanannya untuk segera kembali ke Hoa san setelah memberi tahu sumoinya tentang pertemuan Hoa-san Sie-eng di Hoa san.

Dalam waktu tiga hari saja Kwa Tin Siong dan anak perempuannya telah tiba di dusun Lam-bi-chung. Tapi apa yang mereka dapati di dusun tempat tinggal jago keempat dari Hoa san Sie eng ini? Mereka dapati Liem Sian Hwa sedang berkabung atas kematian ayahnya yang dibunuh orang seminggu yang lalu. Begitu melihat kedatangan Kwa Tin Siong, gadis itu segera menubruk dan berlutut di depan twa suheng (kakak seperguruan tertua) ini dan menangis tersedu-sedu.

Seperti telah disebutkan di bagian depan, Kwa Tin Siong merupakan jago pertama dari keempat Hoa san Sie eng yang selama ini mengharumkan nama Hoa san pai sebagai pendekar-pendekar budiman.

Liem Sian Hwa adalah tokoh keempat dan yang termuda. Akan tetapi biarpun ia termuda, baru dua puluh tahun usianya dan satu-satunya wanita diantara empat pendekar Hoa san pai itu, kepandaiannya hanya kalah setingkat oleh twa suhengnya ini, dia seorang gadis yang cantik, manis, dan sederhana sekali, maklum karena Sian Hwa adalah anak seorang miskin.

Ayahnya, Liem Ta, juga seorang guru silat yang semenjak mudanya menjadi penjual obat keliling sambil mendemontrasikan ilmu silatnya hanya untuk menarik perhatian pembeli. Ilmu silatnya adalah warisan dari ilmu silat Siauw lim, akan tetapi tidak begitu tinggi, hanya sekedar untuk ilmu pembela diri belaka.

Bertahun-tahun Sian Hwa tinggal di Hoa-san setelah ia diantar oleh ayahnya dan diterima menjadi murid oleh ketua Hoa-san-pai, Lian Bu Tojin yang melihat bahwa anak perempuan itu bertulang baik sekali, bersemangat dan cerdik.

Ayahnya tetap berkeliling obat karena sudah menjadi kebiasaan seorang yang suka merantau, tentu takkan senang kalau harus berdiam di suatu tempat. Memang benar bahwa Liem Ta sudah mempunyai sebuah rumah kecil di dusun Lam bi chung tempat kelahiran Sian Hwa, namun karena istri Liem Ta sudah lama meninggal, ia tidak tahan hidup seorang diri dan seringkali melakukan perjalanan merantau.

Ketika Sian Hwa berusia lima belas tahun, datanglah ketua Kun lun pai, yaitu Pek Gan Siansu, berkunjung ke Hoa san bersama muridnya yang bernama Kwa Sin dan yang berusia tujuh belas tahun pada waktu itu.

Pertemuan antara dua orang ketua ini menghasilkan ikatan jodoh antara Sian Hwa dan Kwee Sin yang sudah yatim piatu. Tentu saja Liem Ta diberi tahu dan duda perantau ini setelah melihat Kwee Sin yang tampan dan gagah, apalagi anak murid Kun lun pai, segera memberi persetujuannya.

Lima tahun kemudian mereka telah tamat belajar. Sian Hwa menjadi seorang pendekar gagah, menjadi seorang termuda dari Hoa-san Sie-eng yang terkenal di seluruh dunia kang ouw. Adapun Kwee Sin juga menjadi seorang jago muda Kun-lun-pai yang tak kalah tersohornya. Dia adalah seorang termuda pula dari Kun-lun Sam-hengte (Tiga saudara dari Kun lun), yaitu bersama dua orang suheng yang bernama Bun Si Teng dan Bu Si Liong.

Demikianlah keadaan Sian Hwa sepintas lalu, dan sebagai pendekar-pendekar gagah, baik Sian Hwa maupun Kwee Sin tidak tergesa-gesa melangsungkan pernikahan, malah bertemu muka pun jarang sekali kedua tunangan ini.

Betapapun juga tiap kali keduanya bertemu muka mungkin setengah tahun sekali, jalinan cinta kasih diantara mereka makin erat. Dan pada waktu cerita ini terjadi, Liem Sian Hwa sudah kembali ke rumahnya di Lam-bi-chung, sedangkan Kwee Sin seperti biasanya pergi merantau sebagai seorang pendekar muda yang bercita-cita melepaskan tanah air dan bangsa daripada penindasan penjajah Mongol.





Pada suatu hari Liem Ta pulang dari merantaunya. Kali ini dia tidak pergi terlalu jauh maka dalam waktu setengah bulan dia sudah pulang. Begitu datang ke rumah, dia sudah marah-marah dan memanggil Sian Hwa.

Gadis ini segera menghampiri ayahnya yang nampak tak senang dan marah-marah itu, penuh keheranan karena biasanya ayahnya amat sayang kepadanya dan tidak pernah marah.

“Sian Hwa mulai sekarang hubunganmu dengan manusia she Kwee itu putus sampai disini saja! Biar besok aku pergi naik ke Hoa-san untuk memberi tahu gurumu. Pertunanganmu dengan manusia she Kwee itu harus putus!”

Kalau ada halilintar menyambarnya di saat itu, kiranya Sian Hwa takkan sekaget ketika mendengar perkataan ayahnya ini. Kedua pipinya yang biasanya kemerahan itu kini menjadi pucat. Akan tetapi sebagai seorang pendekar wanita yang gagah ia bersikap tenang ketika bertanya,

“Apakah sebabnya ayah menjadi marah-marah seperti ini? Tentu telah terjadi sesuatu yang membuat ayah menjadi marah.”

“Terjadi sesuatu?” Liem Ta membentak. “Sudah terlalu lama terjadinya, sudah terlalu lama orang itu menipu kita, menipumu! Pantas saja sampai sekarang belum juga ada ketentuan tentang hari baikmu. Huh, kiranya manusia itu bermain gila!”

Mulai khawatir hati Sian Hwa, sepasang alisnya yang hitam bergerak-gerak.
“Ayah, apakah sebenarnya yang telah terjadi?” hatinya benar-benar mulai merasa tidak enak karena ia sudah menduga bahwa pasti terjadi sesuatu dengan diri tunangannya, Kwee Sin.

“Manusia she Kwee itu ternyata bukan orang baik-baik, Sian hwa. Biarpun dia itu murid Kun-lun-pai, biarpun dia seorang diantara Kun-lun Sam-hengte namun sekarang ia telah tersesat. Dia bergulung-gulung dengan seorang wanita jahat, kalau tidak salah wanita itu seorang dari perkumpulan Ngo lian kauw yang dipimpin iblis. Mataku sendiri melihat dia bermain gila secara tak tahu malu dengan wanita genit dan cabul itu. Sudahlah, pendeknya aku tidak rela anakku menjadi istri seorang laki-laki yang bergulung-gulung dengan wanita cabul!”

Dapat dibayangkan betapa kaget dan sedihnya hati Sian Hwa. Akan tetapi ia masih menahan-nahan perasaan dan bertanya sambil lalu,

“Aneh sekali kenapa orang bisa begitu tak tahu malu, ayah? Dimanakah ayah melihatnya… eh mereka itu?”

“Dimana lagi kalau tidak di Telaga Pok-yang! Bermain perahu, bernyanyi-nyanyi, minum-minum, uh……….. pendeknya, terlalu!”

Ayah ini menyumpah-nyumpah dan kembali menyatakan besok akan berangkat ke Hoa-san untuk minta ketua Hoa-san membatalkan perjodohan Sian Hwa dengan Kwee Sin.

Akan tetapi pada keesokan harinya, Liem Ta membatalkan kepergiannya ke Hoa-san karena melihat bahwa anak gadisnya telah pergi secara diam-diam malam hari itu.

“Ah”, pikirnya dengan hati duka, “Kasihan kau, Sian Hwa, kau tentu pergi menyusul ke Pok-yang untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Lebih baik lagi, lebih baik kau menyaksikan sendiri agar tidak penasaran hatimu …”

Dugaan Liem Ta memang benar. Karena tak dapat menahan panasnya hati, gadis itu malam-malam pergi dari rumahnya menuju ke Telaga Pok-yang yang tidak berapa jauh letaknya dari dusunnya, hanya perjalanan tiga hari.

Akan tetapi ketika ia tiba di telaga itu, tidak terdapat tunangannya itu diantara sekian banyaknya para pelancong. Ia bertanya kesana kemari dan selagi ia mencari keterangan, tiba-tiba seorang tukang perahu yang berkumis panjang mendekatinya.

“Nona hendak mencari siapakah?”

Sian Hwa berterus terang.
“Aku mencari seorang teman, wanita cantik yang berpesiar disini bersama seorang pemuda yang…” ia tak sudi menyebut tampan dan menambahkan, yang mukanya putih…”

Tiba-tiba tukang perahu itu nampak sungguh-sungguh dan berkata perlahan-lahan
“Apakah wanitanya itu seorang anggota Pek-lian-pai (Partai Teratai Putih) …?”

Sian Hwa terkejut. Pada masa itu, dimana Negara sedang kacau dan banyak perkumpulan-perkumpulan rahasia bertujuan merobohkan pemerintah, nama Pek-lian-pai amat terkenal sebagai perkumpulan besar yang berpengaruh. Sebagai seorang pendekar tentu saja Sian Hwa bersimpati terhadap perkumpulan Pek lian pai ini maka dapat dibayangkan betapa kagetnya mendengar pertanyaan si tukang perahu.

“Hemmmmm …..” ia meragu, “Mungkin demikian. Apakah kau melihat mereka?”

“Yang laki-laki muda tampan bermuka putih, menggantung pedang di punggung seperti Nona sekarang ini, bukan?”

“Ya….ya ….”

Tukang perahu itu tertawa.
“Ah, pengantin baru seperti mereka itu kemana lagi kalau tidak berpesiar ke tempat-tempat indah? Kebetulan sekali ketika mereka berpesiar disini, mereka selalu mempergunakan perahuku, Nona. Aahhh, benat-benar pasangan yang cocok, mesra dan saling mencinta ….”

“Ngaco!” Sian Hwa membentak marah sehingga tukang perahu itu nampak ketakutan. “Katakan saja, dimana mereka berada?”

“Nona yang pakai teratai putih di rambutnya itu……. dan pemuda tampan itu…..kemarin sudah pergi dari sini. Menurut yang kudengar dari percakapan mereka, si pemuda hendak mengajak nona itu pergi ke dusun Lam-bi-chung……dan…”

Sian hwa tidak melanjutkan pendengarannya, ia berkelebat pergi dan lari cepat menyusul kembali ke Lam-bi-chung. Ia tidak melihat betapa seperginya, tukang perahu berkumis panjang itu tertawa mengejek.

Alangkah mengkalnya hati Sian Hwa ketika ia tidak dapat menyusul dua orang itu, buktinya sampai di dusun Lam-bi-chung, ia tidak melihat dua orang itu dan dapat dibayangkan betapa marah dan kagetnya ketika ia melihat ayahnya sudah rebah dengan luka-luka parah pada tubuhnya! Ia datang tepat di pagi hari dan ternyata ayahnya malam tadi diserang orang.

“Siapakah yang menyerangnya, sumoi? Dan apakah…. Apakah ayahmu meninggal akibat penyerangan itu?”

Tanya Kwa Tin Siong yang sejak tadi mendengarkan penuturan adik seperguruannya itu dengan sabar. Kwa Hong dia suruh main di luar rumah karena dia rasa kurang baik anak-anak mendengarkan urusan besar.

Liem Sian hwa menyusut air matanya.
“Ayah hanya dapat bertahan sehari saja, twa suheng. Luka-lukanya berat dan….dan itulah yang membuat hatiku amat sakit. Ayah menderita tiga macam luka, yang pertama adalah tusukan pedang dekat leher, kedua adalah luka karena sebatang paku berkepala bunga teratai putih…..”

“Hemmmm, pek-lian-ting (paku teratai putih)…” diam-diam Kwa Tin Siong terheran-heran karena itulah paku tanda rahasia anggota perkumpulan pek lian pai! “Dan luka yang ketiga?”

Tiba-tiba wajah Sian Hwa pucat sekali.
“Yang ketiga adalah akibat pukulan Pek-lek-jiu… dari Kun lun pai …”

Kwa Tin Siong hampir melompat saking kagetnya.

“Apa ..?”

Sian Hwa berkata dengan sungguh-sungguh.
“Aku sudah memeriksa dengan teliti sekali, suheng. Tentu kau masih ingat dahulu suhu pernah menuturkan secara jelas sekali tentang Pek-lek-jiu Kun-lun-pai itu termasuk tanda-tanda bekas pukulannya. Aku merasa yakin bahwa dada ayah telah dipukul orang dengan ilmu pukulan Pek-lek-jiu (Pukulan Geledek) dari Kun-lun-pai…”






No comments:

Post a Comment