Ads

Wednesday, August 29, 2018

Raja Pedang Jilid 013

“Orang she The, tak perlu kau mengejek. Kalau betul kau masih mempunyai ilmu silat cakar bebek yang disebut Pat-hong-ciang itu, kau datanglah kesini, biar aku melihatnya.”

Orang tinggi besar itu menjawab lantang,
“Kau saja yang turun kesini kalau memang masih memiliki ilmu silat Khong-ji-ciang, siapa takut menghadapinya?”

Tidak terdengar jawabannya. Sampai lama tidak ada suara lagi dan Beng San hanya duduk sambil mengurut-urut kakinya yang terasa sakit ketika dia bergulingan tadi. Kemudian si tinggi besar itu berkata lagi.

“He, Phoa Ti, dimana kau?”

“Disini!” terdengar jawaban parau.

“Kenapa tidak turun kesini? Kau takut padaku?”

“Muka merah, jangan jual omongan busuk. Kau saja yang kesini, apakah kau tidak becus?”

Kali ini si tinggi besar yang duduk bersimpuh di dalam jurang itu tidak menjawab, sampai lama juga. Tiba-tiba dia melambaikan tangannya kepada Beng San. Anak itu segera menghampiri. Alangkah kagetnya ketika tiba-tiba tangannya dicengkeram oleh orang itu yang berbisik,

“Kau lihat keadaannya bagaimana?” sebelum Beng San maklum apa maksudnya, tiba-tiba orang itu menggerakkan kedua tangannya sambil berteriak, “He, Phoa Ti, kau terimalah anak yang kau pukul roboh tadi.”

Hampir Beng San menjerit kaget ketika tiba-tiba tubuhnya melayang keatas seperti terbang cepatnya. Ternyata dia telah dilontarkan orang demikian kerasnya sehingga tubuhnya melewati jalan kecil diatas jurang tadi dan langsung tubuhnya melayang turun ke jurang sebelah kanan jalan tanpa dia dapat mencegahnya lagi.

Beng San mengira bahwa tubuhnya tentu akan hancur, maka dia menutupkan kedua matanya, menerima nasib. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya berhenti melayang dan ketika dia membuka matanya, ternyata dia telah ditahan oleh sebuah tangan yang amat kuat. Ia diturunkan dan ketika dia memandang, ternyata bahwa yang menahan jatuhnya tadi adalah seorang laki-laki tua sekali yang bertubuh tinggi kurus.

Seperti kakek besar tadi, kakek ini pun terluka hebat, buktinya tidak dapat menggerakkan kedua kakinya pula, malah kakek ini hanya merebahkan diri saja diatas dasar jurang yang penuh rumput hijau.

Sekarang mengertilah Beng San bahwa dua orang kakek aneh ini saling bicara dari tempat masing-masing, yaitu yang seorang di dasar jurang sebelah kiri jalan sedangkan yang kedua di dasar jurang sebelah kanan jalan.

Benar-benar aneh bukan main, bagaimana dari tempat sejauh ini bisa saling bercakap-cakap dengan seorang di seberang sana? Apalagi kalau mengingat akan pengalamannya tadi ketika dilempar dari jurang sebelah dan diterima di jurang ini, dia bergidik. Celaka, pikirnya, iblis-iblis ini kiranya tidak kalah aneh dan hebatnya daripada Hek-hwa Kui-bo.

Ketika kakek itu menggerakkan tangan kanannya yang menyangga tubuh Beng San, anak ini terguling keatas rumput. Beng San mulai memperhatikan kakek ini. Kakek yang amat tua, sedikitnya enam puluh tahun usianya, tubuhnya kurus seperti cecak kering, kedua kakinya tak dapat bergerak, malah tangan kirinya buntung.

Si tangan buntung ini segera berbisik
“Eh, bocah sial. Bagaimana keadaan si tinggi besar itu?”

Diam-diam Beng San merasa mendongkol juga. Betapapun lihainya dua orang aneh ini dia merasa sudah dipermainkan seperti sebuah bola, dilempar kesana kemari maka jawabnya merengut.

“Tak lebih buruk daripada engkau. Duduk bersimpuh tak dapat berdiri.”

Tiba-tiba si tinggi kurus yang tangan kirinya buntung ini tertawa meledak dengan suaranya yang parau dan keras sampai terngiang dalam telinga Beng San.

“Ha, ha, ha, ha, The Bok Nam! Kiranya pukulanku tadi membuat kau tak berdaya di dalam jurang situ. Ha ha ha ha!”





Dari seberang sana terdengar jawaban,
“Tak usah banyak cerewet kalau anak itu sudah mengobrol yang bukan-bukan. Kalau kau memang masih punya ilmu kepandaian datanglah kesini, aku tidak takut!”

Mendengar ini, si tinggi kurus yang bernama Phoa Ti itu terdiam. Tiba-tiba matanya bersinar-sinar aneh ketika dia memandang Beng San.

“Bagus,” katanya perlahan, matanya tidak pernah lepas dari tubuh Beng San, “Tulang dan darahmu cukup baik. Kau bisa menjadi penguji dan penentu kalah menang antara aku dan The Bok Nam.” Setelah berkata demikian dia berteriak lagi.

“He, orang she The. Seorang gagah tidak perlu berpura-pura. Kau terluka tak dapat keluar dari jurang, aku pun demikian. Akan tetapi kita masih seri, belum ada yang kalah atau menang. Sekarang ada saksi bocah tolol ini. Mari kita adu kepandaian melalui bocah ini!”

Dari sana sampai lama baru terdengar jawaban yang merupakan pertanyaan,
“Apa maksudmu?”

“Ha, kau tolol seperti bocah ini. Aku akan ajarkan dia beberapa jurus Khong-ji-ciang, kemudian dia datang padamu, menyerangmu dengan jurus itu, hendak kulihat apakah kau mampu memecahkannya. Demikian pula kau boleh turunkan Pat-hong-ciang, ilmu cakar bebek itu kepadanya, hendak kupecahkan. Siapa tidak mampu memecahkan sejurus serangan, dia boleh mengaku kalah disaksikan setan-setan jurang. Bagaimana?”

Terdengar sorak gembira dari sebelah sana.
“Bagus! Memang betul, burung yang mau mati suaranya paling indah. Kau pun yang sudah hampir mampus ternyata mampu mengeluarkan kata-kata bagus. Hayo lekas, kau turunkan ilmumu Khong-ji-ciang cakar ayam itu.”

Beng San yang mendengar ini pula tentu saja dapat menangkap maksud mereka. Sebetulnya di dalam hati, dia merasa girang juga karena hendak diajari dua macam ilmu yang pasti hebat ini, akan tetapi karena sebetulnya keinginannya belajar silat hanya karena marah kepada mereka yang sudah menghinanya, maka keinginan itu tidak berapa besar.

Sekarang dalam keadaan marah kepada dua orang kakek yang mempermainkannya seperti bola dan sekarang hendak menggunakan dia untuk bertempur, dia menjadi makin dongkol lalu berkata keras.

“Aku tidak sudi mempelajari ilmu cakar bebek dan cakar ayam!” setelah berkata demikian, dia hendak keluar dari jurang itu, mendaki tebingnya yang licin oleh rumput basah.

Akan tetapi baru setinggi semeter lebih, dia merasa tubuhnya seperti ditarik orang dan tanpa dapat ditahan lagi terpelantinglah dia kebawah. Ia menoleh, tidak melihat ada orang di dekatnya kecuali kakek buntung yang masih rebah miring tapi jatuhnya empat lima meter dari tempatnya. Ia mendaki lagi, kembali terpelanting malah lebih keras dari tadi. Tiga empat kali dia terpelanting tanpa mengetahui sebabnya.

Kakek itu tertawa mengejek dan makin panas hati Beng San. Sekarang dia mendaki lagi, akan tetapi mukanya menoleh memandang kearah kakek itu. Sampai hampir dua meter dia memanjat dan terlihatlah kakek itu menggerakkan tangan kanannya kearahnya dan…. dia tertarik lalu terpelanting ke bawah.

Bukan main marahnya. Dihampirinya kakek itu dan dibentaknya.
“Kau orang tua menghina anak-anak, apa tidak malu. Punya kepandaian hanya untuk mengganggu anak-anak, apa ini bisa dibilang gagah?”

Tiba-tiba kakek itu mengulur tangannya dan tahu-tahu leher Beng San sudah dijepitnya.
“Anak bodoh, anak setan. Kalau kau tidak mau membantu kami mengadu, kau boleh tinggal disini menemani aku mampus.”

Beng San anak yang cerdik akan tetapi dia pun bandel bukan main. Diancam mati anak ini tidak takut malah menantang,

“Kakek bau, kau mau bikin mampus aku? Hemmmm, mau bunuh boleh bunuh, kalau kalian ini dua orang kakek bau tidak takut mampus, apakah akupun takut mati? Kau sudah tua tidak mencari jalan terang, tua-tua mau memupuk dosa, rasakan saja nanti di neraka jahanam!”

Phoa Ti tercengang dan cengkeramannya pada leher anak itu mengendur. Matanya terbelalak kaget dan heran.

“Apa? Kau anak masih begini kecil tidak takut mati? Hemmmm, agaknya lebih banyak kesengsaraan kau derita daripada kesenangan.”

“Senang apa? Hidup hanya menjadi permainan orang, malah sekarang menjadi korban kegilaan dua orang kakek yang sudah mau mati,” jawab Beng San.

Tiba-tiba Phoa Ti tertawa bergelak suara ketawanya begitu keras sampai bergema di atas jurang.

“He, orang she Phoa. Kau tertawa-tawa dan tidak lekas kirim anak itu kesini memamerkan ilmu cakar bebekmu apa sudah miring otakmu?”

“Ha, ha, ha, The Bok Nam. Anak ini sama sekali tidak tolol atau gila, malah dia lebih gila daripada yang gila. Anak yang aneh sekali, dan kau tidak ada sepersepuluh anak ini. He-he-hehe!”

Beng San hanya melongo menyaksikan kelakuan yang aneh itu dan lebih lagi keherannya ketika dia melihat kakek buntung itu tiba-tiba menangis! Di dasar hati Beng San terpendam sifat welas asih yang besar, yang dulu dihidupkan oleh pelajaran-pelajaran di dalam kelenteng oleh para pendeta budha. Sekarang melihat kakek itu menangis, tak terasa lagi matanya menjadi merah dan dia menyentuh lengan yang tinggal sebelah itu.

“Orang tua, kenapa kau menangis sedih? Apa kau takut mati?”

“Sudah berani hidup kenapa takut mati? Yang kutakuti bukan matinya, akan tetapi…. ah, di seberang kematian yang penuh rahasia …”

Anak sekecil Beng San, mana tahu akan segala perasaan seperti ini? Ia hanya dapat merasa bahwa kakek ini benar-benar amat gelisah dan berduka. Makin tebal rasa kasihan di hatinya.

“Kakek, apa yang dapat kulakukan untuk menolongmu! Katakanlah barangkali aku dapat menolong…”

Akan tetapi Phoa Ti masih menangis terus dan Beng San sudah berlutut sambil menghibur. Tiba-tiba kakek itu menghentikan tangisnya dan wajahnya menperlihatkan harapan besar.

“Anak baik, kau bisa menolongku! Yang membuat aku takut menghadapi kematian adalah The Bok Nam. Dia juga terluka dan mau mati. Aku tidak ada muka bertemu dengan dia di seberang kematian kalau aku belum bisa mengalahkannya. Maka kau tolanglah aku, Nak, tolonglah supaya aku bisa menang dalam pertarungan ini dan mendapat muka terang.”

Beng San terheran-heran. Akan tetapi melihat sinar mata yang penuh permohonan itu dia tidak tega menolak,

“Baiklah akan kucoba. Tapi bagaimana?”

Seketika itu kakek itu bangkit semangatnya. Biarpun dia sudah tidak dapat bangun lagi, namun tangan kanannya membuat gerakan-gerakan penuh gairah.

“Kau perhatikan baik-baik. Aku akan menurunkan tiga jurus lihai dari ilmu silatku Khong-ji-ciang. Lihat ini, dua buah jariku ini adalah gerakan-gerakan kaki yang harus kau lakukan dalam jurus pertama.”

Kakek itu lalu menekuk tiga jari tangannya dan mendirikan jari telunjuk dan tengah seperti sepasang kaki. Kedua jari itu, seperti sepasang kaki bergerak-gerak maju mundur secara teratur sekali.

“Nah, kau lakukan dulu gerakan kaki ini, jurus pertama yang disebut jurus Khong-ji khai-bun (Dengan hawa kosong membuka pintu).”

Karena bersungguh-sungguh hendak menolong kakek ini, Beng San memperhatikan dengan seksama, lalu dia berdiri dan meniru gerakan-gerakan itu. Mula-mula tentu saja kaku dan keliru, akan tetapi dengan tekun dia mempelajari dengan petunjuk kakek itu. Kemudian dia diberi tahu tentang gerakan tangan dan tubuhnya. Kakek itu nampak bersemangat sekali, berkali-kali memuji,

“Tulang bersih, bakat baik….”

Pujian ini memperbesar semangat Beng San dan membuat kakek itu tak mengenal lelah.






No comments:

Post a Comment