Ads

Tuesday, January 8, 2019

Rajawali Emas Jilid 136

Sementara itu, Oh Tojin tak dapat menahan kemarahannya lagi.
“Anak setan, apakah kau sengaja hendak menghina pinto?”

“Aih-aih, siapa menghina, keledai tua? Siapa yang tadi mengatakan bahwa Hoa-san-pai memiliki ilmu pedang yang tiada gunanya? Kau yang menghina perguruan kami, sekarang kau berbalik bilang kami yang menghina. Hemm, sungguh tak tahu malu, tosu bau hidung kerbau!”

Memang Li Eng nakal dan pintar bicara, hal ini sudah pernah dialami oleh Kong Bu yang pada saat itu hampir terpelanting dari kursinya saking tertawa bergelak-gelak melihat lagak kekasihnya mempermainkan tosu sombong itu.

“Perempuan sombong, bocah setan apakah kau berani menghadapi pedangku?”

Sambil berkata demikian Oh Tojin mencabut pedangnya dan menggerak-gerakkan pedangnya supaya cahayanya berkilau tertimpa sinar matahari.

Li Eng memperlihatkan sikap ketakutan.
“Wah-wah, Enci Hui Cu, lebih baik kau lekas turun panggung, jangan-jangan keserempet pedang. Pedang tajam di tangan orang mabuk yang tidak mampu main pedang, benar-benar lebih berbahaya daripada di tangan seorang yang baru belajar.”

Sambil tersenyum-senyum saking gelinya Hui Cu melayang turun dari atas panggung lalu menghampiri kembali tempat duduknya, disambut tertawa lebar, semua orang yang duduk di pihak Thai-san-pai. Juga para tamu tadi terpingkal-pingkal menyaksikan ini, sehingga tempat itu benar-benar menjadi meriah seakan-akan disitu terdapat pertunjukan lawak-lawak yang pandai mengocok perut.

Kemarahan Oh Tojin tak dapat ditahannya lagi.
“Bocah setan, kau bersiaplah menghadapi pedangku. Hemm, kalau aku tidak bisa memberi hajaran kepadamu, jangan sebut aku Koai-sin-kiam lagi!”

“Eh, betulkah? Nah, biarlah kau berkenalan dengan ilmu pedang Hoa-san-pai yang kelihatan indah tapi tak berguna ini. Awas pedang!”

Tosu itu tercengang, juga para tamu karena gadis itu mengancam “awas pedang” akan tetapi belum kelihatan memegang pedang. Tiba-tiba, belum juga hilang keheranan Oh Tojin, tahu-tahu di depan mukanya berkelebat sinar seperti kilat diikuti hawa pedang yang dingin menyambat hidungnya!

“Ayaaa….” ia berseru kaget dan cepat ia mencelat ke belakang sambil menyabet-nyabetkan pedangnya ke depan untuk menjaga diri.

Ia masih berjumpalitan sambil menyabet-nyabetkan pedang dan baru berani turun ketika ia tidak merasa adanya desakan. Ketika ia berdiri kembali, ia mendengar suara tertawa ramai.

Kiranya gadis itu masih berdiri ditempatnya yang tadi hanya sekarang tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan. Hebat, pikirnya dengan hati kecut. Jurus apa yang diperlihatkan gadis ini tadi? Ia berlaku hati-hati dan tanpa menyombong lagi ia berkata,

“Majulah, aku telah siap menghadapi pedangmu.”

Li Eng tersenyum mengejek. Tiba-tiba terdengar seruan orang,
“Tahan dulu.”

Dua orang itu memandang, juga semua tamu. Kiranya Kun Hong yang berseru itu dan pemuda ini menaiki anak tangga yang menuju ke panggung dengan tergesa-gesa. Dari tempat duduknya tadi, Kun Hong sudah menyaksikan kepandaian Oh Tojin dan maklum bahwa menghadapi Li Eng, tosu itu takkan menang. Ia cukup mengenal pula watak Li Eng yang selain jenaka dan nakal, juga keras hati.

Mendengar bahwa Hoa-san-pai dihina orang, ia kuatir kalau Li Eng mendendam dan menjatuhkan tangan besi kepada tosu itu, maka tanpa dipikir panjang ia lalu berseru menahan pertempuran dan naik ke panggung, tidak dengan cara meloncat seperti yang lain, melainkan lari melalui anak tangga.

“Eng-ji, kau hendak bermain pedang dengan totiang ini, hati-hati jangan kau membunuhnya. Kau tahu aku tidak suka kau membunuh orang!”

Li Eng tertawa,
“Jangan kuatir, Paman Hong. Aku tidak akan membunuh orang ini.”

“Juga tidak melukai secara hebat.”





“Tidak, aku hanya ingin membuat dia kapok supaya tidak menghina Hoa-san-pai lagi.”

Sementara itu, semua orang yang mendengarkan percakapan ini menjadi bengong dan terheran-heran sejenak, lalu meledaklah suara ketawa mereka. Sikap Kun Hong seakan-akan seorang nenek bawel yang memberi nasehat cucunya, justeru sikap kedua orang ini menimbulkan kesan bahwa mereka amat memandang rendah kepada Oh Tojin.

Kalau sampai pemuda halus itu melarang gadis keponakannya membunuh atau melukai berat kepada tosu itu, bukankah itu hanya boleh diartikan bahwa Si Pemuda ini sudah yakin akan kemenangan keponakannya? Inilah yang lucu dan tentu saja Oh Tojin menjadi marah dan mendongkol sekali.

Dari tempat duduknya, Beng San berbisik kepada Li Cu,
“Kulihat Kun Hong ini benar-benar seorang pemuda yang luar biasa wataknya, dan halus budi pekertinya.”

Li Cu tersenyum.
“Dia seperti bayanganmu di waktu kau masih muda.” Kedua suami isteri itu saling pandang lalu tersenyum.

Sementara itu, Kun Hong lega hatinya dan kembali ia menuruni anak tangga meninggalkan panggung, Oh Tojin membanting-banting kakinya.

“Orang-orang Hoa-san-pai memang benar-benar sombong sekali! Kau tidak boleh membunuhku, tidak boleh melukai aku? Lihat, sebaliknya pintolah yang akan merobohkanmu dalam beberapa jurus saja. Lihat pedangku!”

Pedangnya berkelebat menyambar ke arah Li Eng dengan gerakan yang penuh kemarahan. Tapi ia tertegun karena selain pedangnya mengenai angin belaka, juga gadis di depannya itu telah lenyap dari depan matanya. Selagi ia bingung, ia mendengar suara ketawa lirih di belakangnya. Cepat ia membalik sambil mengayun pedang menyerang lagi. Tapi kembali ia kehilangan lawannya yang ternyata dengan gin-kang yang luar biasa telah lenyap dan sudah berada di belakangnya. Berkali-kali ia menyerang tapi hasilnya sama dan tak pernah ia dapat melihat lawannya yang cepat sekali gerakannya, seperti setan.

Suara ketawa dan seruan kagum terdengar disana sini ketika para tamu menyaksikan gerakan tubuh gadis itu yang memang luar biasa cepatnya, melebihi cepatnya gerakan pedang lawan. Tosu itu mulai marah, tapi diam-diam hatinya mengecil,

“Hai, bocah setan. Jangan hanya melarikan diri, bertandinglah secara berdepan kalau kau memang laki-laki!”

“Hi-hik, tosu bau, apakah kau sudah-gila? Aku memang seorang wanita, bukan seorang laki-laki!”

Suara ketawa makin riuh-rendah menyambut kelakar ini dan wajah Oh Tojin makin merah. Kini ia melihat gadis itu berdiri tegak di depannya dan ketika ia menyerang lagi, Li Eng sengaja tidak mau mengelak melainkan menggunakan pedangnya untuk menangkis dan balas menyerang.

Ia sengaja mengeluarkan kepandaiannya, pedangnya berkelebat cepat seperti kilat menyambar-nyambar sehingga dalam belasan jurus saja Oh Tojin terdesak hebat, mengelak dan menangkis kesana kemari tanpa dapat membalas sedikitpun juga.

“Tosu bau, kau bilang ilmu pedang Hoa-san-pai tiada gunanya? Nah, rasakanlah ilmu pedang yang kumainkan ini inilah Hoa-san Kiam-hoat!”

Oh Tojin memang pernah menyaksikan ilmu pedang Hoa-san-pai, akan tetapi selama hidupnya tak pernah ia mengira bahwa Hoa-san Kiam-hoat dapat dimainkan seperti ini hebatnya. Diam-diam ia terkejut dan menyesal sekali. Wajah yang tadinya merah sekarang menjadi pucat, napasnya terengah-engah dan makin sibuklah ia menangkis hujan ujung pedang yang tak terhitung banyaknya itu.

“Koai-sin-kiam Oh Tojin, jagalah serangan ilmu pedang Hoa-san-pai ini!” gadis itu berseru keras dan pedangnya makin hebat menekan.

Oh Tojin berteriak kaget, jenggotnya terbabat putus dan beterbangan ke bawah dan pada detik berikutnya ia memekik kesakitan, tangannya berdarah dan pedangnya terlepas dari pegangan!

Sambil mengerang kesakitan tosu ini melompat turun dari panggung dan terus melarikan diri tanpa menoleh lagi. Terdengar sorak-sorai riuh-rendah, sebagian menyoraki tosu yang lari itu, sebagian lagi bersorak karena melihat Li Eng memperlihatkan pertunjukan hebat, yaitu pedangnya sudah dapat menyambar pedang tosu itu dan pedang lawan itu sekarang terputar-putar seperti kitiran di ujung pedangnya! Melihat lawannya lari tunggang-langgang, Li Eng berseru,

“Oh Tojin, ini pedangmu, terimalah kembali….!”

Sekali ia mengerakkan pedang di tangannya, maka pedang lawan yang tadinya berputar cepat seperti kitiran itu terlempar melayang ke arah Oh Tojin yang sedang berlari.

Hebat sekali bidikan Li Eng karena dengan tepat gagang pedang itu menimpa kepala orang dan jatuh ke bawah. Sejenak Oh Tojin pucat saking kagetnya akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa kepalanya tidak bocor, ia cepat memungut pedangnya dan terus melarikan diri meninggalkan tempat itu diikuti gelak tawa para penonton.

Gelak tawa para penonton sirap kembali ketika mereka melihat seorang tosu tua telah meloncat ke atas panggung. Tosu inipun berpakaian kuning dan rambutnya panjang digelung keatas. Biarpun pakaiannya kuning sederhana sebagai tosu, namun rambutnya dihias dengan lima bunga teratai dan pada bajunya terdapat tanda-tanda jasa dari istana.

Inilah Thian It tosu, seorang diantara tujuh orang pengawal Pangeran Mahkota Kian Bun Ti, juga seorang tokoh Ngo-lian-kauw dan pernah menjadi tangan kanan Kim-thouw Thian-Li. Melihat naiknya tosu ini, Kun Hong yang mengenalnya menjadi tidak enak hatinya, lalu berkata perlahan tapi cukup keras untuk didengar oleh Beng San,

“Heran betul, dia itu seorang diantara pengawal-pengawal istana Pangeran Mahkota, mau apa kesini?”

Kagetlah Beng San mendengar ucapan Kun Hong ini dan ia memandang penuh perhatian. Ia maklum dari tanda bunga teratai itu bahwa tosu ini adalah seorang tosu Ngo-lian-kauw, akan tetapi apakah munculnya ini sebagai tokoh Ngo-lian-kauw, ataukah sebagai pengawal istana Pangeran? Tosu itu telah menjura kearah tuan rumah dan berkata, suaranya rendah parau membayangkan Iwee-kang tinggi,

“Pinto Thian It Tosu ingin sekali berkenalan dengan ilmu silat Thai-san-pai. Syukur kalau Ketua Thai-san-pai sendiri berkenan memberi petunjuk karena pinto sudah lama mendengar nama besarnya”

Sin Lee segera menghadap Ayahnya,
“Ayah, biarlah saya menghadapi tosu ini.”

Beng San mengangguk. Iapun ingin memperkenalkan putera-puteranya kepada para tokoh kang-ouw yang datang dari pelbagai tempat itu. “Boleh, kau hati-hatilah, dia itu seorang Ngo-lian-kauw, pandai menggunakan senjata rahasia dan pandai ilmu sihir, biasanya curang, maka kau yang waspada. Juga karena dia orang istana, jangan sampai membunuh.”

Sin Lee mengangguk dan ketika kakinya mengenjot tanah, tubuhnya dari tempat itu langsung melayang ke atas panggung dengan kedua lengan tangan dikembangkan. Sorak-Sorai menyambut kehadirannya dan Thian It Tosu kaget sekali menyaksikan cara melompat yang sepertl burung raksasa ini. Ia memandang pemuda tanpan gagah itu penuh selidik, lalu menegur,

“Orang muda, caramu meloncat tadi tidak sama dengan gaya loncatan para anak murid Thai-san-pai tadi. Siapakah kau dan pinto menantang Thai-san-pai atau ketuanya, kenapa kau yang maju?”

“Thian-It Tosu, memang betul wawasanmu aku bukan anak murid Thai-san-pai, akan tetapi Ketua Thai-san-pai adalah ayahku dan karena kau tadi menantang ayahku, sudah sepatutnya kalau aku mewakilinya untuk menghadapimu. Thian-It Tosu, kau sendiri sekarang ini berdiri disini mewakili siapakah? Kalau kau sebagai tokoh Ngo-lian-kauw datang menantang, bukanlah hal aneh dan akan kulayani. Akan tetapi karena aku mendengar bahwa kau telah menjadi seorang pengawal istana Pangeran Mahkota, maka kedatanganmu ini sebagai pangawal Istana, harap kau turun lagi saja. Kami orang-orang dunia persilatan tidak mempunyai urusan dengan kaki tangan kota raja.”

Terdengar sorakan gembira menyambut ucapan ini, tanda bahwa sebagian besar orang kang-ouw memang tidak melibatkan diri dengan orang-orang pemerintah. Wajah Thian It Tosu menjadi merah karena sekaligus pemuda ini membuka kedoknya.

Pada saat itu terdengar lengking tinggi dan diatas panggung berkelebat bayangan orang, tahu-tahu disitu telah berdiri seorang yang tua sekali. Alangkah kaget dan gentarnya semua tamu ketika mengenal nenek ini sebagai tokoh yang dianggap manusia iblis, bukan lain adalah Hek-hwa Kui-bo!






No comments:

Post a Comment