Ads

Sunday, January 6, 2019

Rajawali Emas Jilid 135

Ketika mendapat kesempatan baik, ia berhasil menggurat pergelangan tangan kanan Lai Tang sehingga guru silat pongah ini sambil berteriak melepaskan goloknya dan darah bercucuran dari luka di pergelangan tangan, luka yang tidak berbahaya tapi cukup mengeluarkan banyak darah. Oei Sun sudah menyimpan pedangnya membungkuk untuk memungut goiok lalu menyerahkannya kepada Lai Tang sambil berkata,

“Terima kasih bahwa Lai-kauwsu sudah mengalah dua kali kepadaku.”

Lai Tang menerima goloknya memandang dengan mata mendelik, mendengus sekali lalu meloncat turun dari panggung, diiringi sorak sorai tamu yang memuji-muji Oei Sun. Di tengah sorak sorai itu, sebelum Oei Sun meloncat turun kelihatan bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu seorang tosu tua sudah berdiri diatas panggung menghadapi Oei Sun. Pendeta ini berjubah kuning ringkas, dan di punggungnya tampak gagang sebuah pedang. Sambil tersenyum ia menjura dan berkata,

“Kepandaian Sicu hebat, tidak kecewa menjadj murid Thai-san-pai. Lebih-lebih ilmu pedang tadi, amat indah dilihat sungguhpun kegunaannya belum tentu sehebat keindahannya! Sicu, maukah kau memperlihatkan ilmu pedang Thai-san-pai kepada pinto (aku)?”

Melihat tosu ini, Beng San mengerutkan alisnya. Ia mengenal tosu itu yang bukan lain adalah Koai-sin-kiam Oh Tojin, dahulupun pernah membantu Tan Beng Kui, kakaknya. Dari julukannya saja, Koai-sin-kiam (Pedang Sakti Aneh), dapat diduga bahwa tosu ini adalah seorang ahli pedang dan seingat Beng San muridnya itu takkan menang menghadapi tosu ini yang lebih tinggi tingkatnya.

Akan tetapi, melihat bahwa muridnya itu tidak menolak tantangan tosu itu, sudah tentu saja ia tidak dapat menyuruh muridnya mundur sebelum mereka bergerak. Ia hanya memandang dengan alis berkerut.

Adapun Oei Sun, sebetulnya dia adalah seorang yang cukup mempunyai kesabaran. Andaikata dia yang dihina orang kiranya ia takkan mudah menjadi marah. Akan tetapi ucapan tosu itu tadi merupakan penghinaan bagi Thai-san-pai, merupakan ucapan memandang rendah ilmu pedang Thai-san-pai, maka ia menjadi penasaran dan mengambil keputusan untuk menjaga nama baik suhunya dan partainya. Iapun balas memberi hormat dan berkata,

“Tentu saja sebagai tamu Totiang berhak meminta sesuatu dan sudah menjadi kewajiban tuan rumah untuk melayanimu. Akan tetapi, siapakah Totiang ini, hendaknya sudi memberi nama yang benar agar aku Oei Sun murid Thai-san-pai, dapat terbuka mata dan mengenalnya.”

“Ha-ha-ha-ha, kau orang muda yang pandai merendah, Oei-sicu. Bagus, karena sikapmu inilah kau akan selamat dari tanganku. Ketahuilah, pinto adalah Oh Tojin, bergelar Koai-sin-kiam. Seperti kau ketahui, dari julukan pinto itu sudah sepatutnya pinto tertarik akan ilmu pedang. Nah, pergunakanlah pedangmu untuk menyerang, agar pinto dapat merasai kelihaian ilmu pedang Thai-san-pai!”

Tanpa banyak cakap lagi Oei Sun mencabut pedangnya.
“Harap Totiang suka mengeluarkan pedang Totiang”

“Ha-ha-ha!” tosu itu tertawa dengan sikap jumawa sekali. “Sudah kukatakan tadi, sikapmu menolongmu. Pinto tidak perlu menggunakan pedang karena sekali menggunakan pedang, tentu kau celaka. Jangan ragu-ragu, kau pergunakanlah pedangmu.”

Oei Sun mendongkol sekali.
“Totiang sendiri yang minta, harap jangan menyesal. Lihat pedang!”

Pedangnya berkelebat menyambar dan tosu itu dengan gerakan yang baik dan cepat sekali telah berhasil menghindarkan diri.

Oei Sun menyerang terus dengan hati-hati, namun benar-benar tosu di depannya ini tidak dapat dipersamakan dengan Lai Tang yang sombong tadi. Gerakan tosu ini ringan sekali dan berdasarkan ilmu silat yang tinggi. Geseran-geseran kakinya teratur dan biarpun bertangan kosong, belum pernah pedang Oei Sun dapat menyentuh bajunya.

“Hemmm, Oei Sun terlalu sungkan, kalau ia bersungguh-sungguh melakukan serangan maut, tosu badut itu tentu akan repot,” kata Li Cu yang duduk di sebelah kiri suaminya.

Beng San mengangguk.
“Memang, mendengar bahwa tosu itu tidak akan mencelakakannya, cukup membuat Oei Sun sungkan, melukainya juga. Kesalahan besar, terhadap orang yang begitu tinggi hati harus memberi hajaran. Betapapun juga, Oei Sun bukanlah lawannya.”

Tosu itu benar-benar mempermainkan lawannya. Sambil mengelak dan meloncat kesana kemari, mulutnya terus mengoceh.





“Ah, jurus ini seperti jurus Hoa-san-pai. Orang muda, sudah banyak ku ketahui tentang ilmu pedang, banyak yang kelihatannya indah dan bagus tapi tidak berisi, seperti misalnya ilmu pedang Hoa-san-pai itu. Memang bagus dipandang, tapi kalau dipergunakan dalam pertempuran, tidak ada gunanya.” Ia mengelak kekiri dan menyambung. “Seperti jurusmu ini, apa gunanya. Lihat inilah gerakan istimewa yang disebut Udang Sakti Mencapit Ikan!”

Pada saat itu, pedang Oei Sun menyambar dari atas ke bawah membacok pundaknya. Oh Tojin miringkan tubuh dan pada saat pedang itu menyambar di dekat tubuhnya, tangan kanannya bergerak dan tahu-tahu punggung pedang benar-benar telah di “capit” oleh dua buah jari tangannya yang telah ditekuk.

Hebatnya, betapapun Oei Sun berusaha membetot kembali pedangnya, ia tidak, berhasil karena capitan atau jepitan kedua jari tangan yang ditekuk itu benar-benar amat kuat seperti jepitan baja!

“Ha-ha-ha, inilah jurus saktiku, Oei-sicu. Tangan kirimu masih bebas, apakah kau hendak memukul? Bisa, tapi jagalah capit saktiku,” kata tosu itu sambli tertawa-tawa.

Oei Sun tentu saja tidak mau mengalah secara demikian. Biarpun pedangnya sudah dijepit dan tak dapat ia tarik kembali, namun ia belum boleh dibilang kalah. Mendengar tantangan ini, ia lalu menggerakkan tangan kirinya memukul bukan kearah tubuh tosu itu melainkan kearah tangan yang menjepit pedangnya.

Usaha ini ia lakukan agar tangan itu suka melepaskan jepitannya dan pedangnya dapat terlepas. Akan tetapi sekarang tosu itu menggerakkan tangan kirinya pula dan… “capp” lengan tangan Oei Sun pada pergelangannya kena dijepit pula sehingga sekarang Oei Sun tak dapat menggerakkan kedua lengannya sama sekali! Jepitan pada pergelangan itu mengakibatkan rasa nyeri yang menusuk jantung

“Ha-ha, Oei-sicu, apakah kau belum menerima kalah?”

Oei Sun adalah murid seorang pendekar sakti, mana bisa dia menyerah kalah sebelum roboh? Ia menggeleng kepala, lalu kaki kanannya bekerja, menendang keras ke depan. Tapi tiba-tiba tubuhnya terdorong ke belakang dan karena kakinya sedang menendang, otomatis ia terjengkang dan roboh, pedangnya masih dalam jepitan tangan tosu lihai itu yang tertawa-tawa bergelak. Sekali tangan kanannya bergerak, pedang yang dijepit itu sudah menancap ke atas papan panggung sampai setengahnya!

Oei Sun merayap bangun, berdiri dan menjura kepada tosu itu,
“Aku Oei Sun mengaku kalah, tingkat Totiang lebih tinggi daripadaku.”

Setelah berkata demikian, Oei Sun mengerahkan tenaga mencabut pedangnya dan meloncat turun, memberi hormat kepada suhunya dengan wajah muram.

Beng San hanya menegurnya singkat,
“Lain kali jangan terlalu sungkan berhadapan dengan lawan, Oei Sun!” Murid itu mengangguk dan berdiri di pinggiran.

Pada saat itu, Li Eng sudah di depan Beng San dan berkata,
“Paman, aku akan menghadapi Si Sombong itu!”

Anehnya, ia berlari-lari menghampiri panggung berdua dengan Hui Cu. Beng San tidak keberatan, namun terheran-heran dan ingin mencegah dua orang gadis itu naik bersama. Apa maksud Li Eng? Apakah hendak mengeroyok? Adanya Beng San memberi persetujuan, karena ia maklum akan isi hati gadis itu.

Tadi Oh Tojin menyebut-nyebut dan memburuk-burukkan nama Hoa-san-pai, sudah sepatutnya kalau gadis itu membela nama baik perguruannya dan ia maklum bahwa dengan kepandaiannya itu, Li Eng sudah pasti akan dapat mengatasi Oh Tojin. Akan tetapi, kalau gadis itu hendak maju berdua mengeroyok Oh Tojin, ah, hal itu amat memalukan Hoa-san-pai! Sebelum ia sempat mencegah, dua orang gadis itu sudah melompat keatas panggung dengan gerakan ringan dan cepat, khas gerakan Hoa-san-pai.

Pada saat itu, para tamu sedang bersorak dan bertepuk tangan memuji Oh Tojin. Tosu ini setelah mendengar Pujian orang, menjadi girang sekali dan lagaknya dibuat-buat. Ia menjura ke empat penjuru dan berkata nyaring,

”Tidak ada harganya untuk dipuji! Pinto belum memperlihatkan kepandaian karena menghadapi seorang lemah, mana ada kesempatan memperlihatkan kepandaian aseli?”

Akan tetapi tepuk tangan makin bergemuruh dan ia mengira bahwa orang-orang itu memuji-muji dia, tidak tahunya yang disoraki adalah gerakan dua orang gadis muda yang cantik-cantik dan yang gerakannya benar-benar mengagumkan itu. Ia cepat menoleh, memandang dan senyumnya melebar.

“Aha, kiranya Thai-san-pai mempunyai pula murid-murid wanita yang cantik dan pandai! Tentunya kalian lebih pandai daripada Oei Sun tadi. Akan tetapi kalian maju berdua, ini bagus sekali. Memang sepatutnya… bagus sekali kalian maju berdua jadi berimbang dan agar jangan dikatakan bahwa aku orang tua mau menang sendiri. Ha-ha-ha!”

Li Eng tertawa-tawa dan Hui Cu yang pendiam hanya berdiri tegak. Tadi memang Li Eng yang membisikkan akalnya untuk menggoda tosu ini. Sebenarnya ia tidak setuju, akan tetapi karena ia maklum akan kenakalan Li Eng dan pula memang ia mendongkol mendengar betapa tosu ini menghina Hoa-san-pai, di samping kepercayaannya akan kelihaian Li Eng, maka ia menuruti kehendak adiknya itu.

“Eh, tosu tua yang bernama Oh Tojin berjuluk Koai-sin-kiam! Kami berdua ini juga menjadi tamu-tamu Thai-san-pai dan kami naik kesini karena kau tadi menyingung nama Hoa-san-pai, perguruan kami!”

“Ha-ha-ha, anak murid Hoa-san-pai, ya? Aha, kalian naik mau apakah? Jangan main-main, biarpun ilmu pedang Thai-san-pai yang diperlihatkan bocah tadi tidak berapa hebat, akan tetapi kalau ditandingi dengan ilmu pedang Hoa-san-pai saja kiraku belum tentu kalian akan dapat mengalahkan.” Tosu itu memotong ucapan Li Eng.

“Bukan begitu, Totiang. Kami berdua tadi mendengar ocehanmu tentang keburukan ilmu pedang Hoa-san-pai yang hanya indah dilihat tetapi tidak ada gunanya. Apakah betul begitu anggapanmu?”

Oh Tojin gelagapan mendengar pertanyaan ini. Sebetulnya ia berani mencela Hoa-san-pai, karena ia tidak melihat adanya tokoh-tokoh Hoa-san-pai di tempat itu. Sekarang muncul dua orang gadis muda ini yang mengaku sebagai murid Hoa-san-pai, sedangkan ia sudah terlanjur mengeluarkan kata-kata mencela ilmu pedang Hoa-san-pai, terpaksa ia tidak dapat mundur lagi.

“Kalau betul begitu, kalian mau apakah? Apakah kalian bisa membuktikan bahwa ucapanku tadi tidak benar?” tantangnya sambil pringas-pringis.

Li Eng tersenyum, bukan main manisnya kalau dia tersenyum sambil mainkan kedua matanya itu.

“Totiang, tentang keburukan ilmu pedang Hoa-san-pai, kami sendiri tidak akan menyombong dan aku yang muda tidak berani membantah. Akan tetapi gerakanmu tadi ketika menjepit pedang Oei-Enghiong agaknya tidak menang hebatnya dengan jurus Hoa-san-pai yang bernama Kepiting Sakti Mencapit Ikan!”

Tosu itu melengak.
“Tidak bisa jadi! Ilmu mencapit dengan dua buah jari itu adalah ciptaanku, mana bisa Hoa-san-pai memiliki ilmu seperti itu? Dan bukan kepiting melainkan udang sakti. Jangan kau main-main!”

“Hi-hik, siapa main-main? Kau mau bukti? Lihatlah! Eh, Enci Hui Cu, kau cabut pedangmu dan bacok aku seperti yang dilakukan Oei-enghiong tadi!” kata Li Eng kepada Hui Cu.

Mau tidak mau Hui Cu menahan ketawanya sehingga ia tersenyum-senyum lalu mencabut pedangnya dan dengan gerakan perlahan dan lambat sekali ia membacok kearah Li Eng. Dengan lagak dibuat-buat seperti lagak tosu tadi, Li Eng mengelak dan ketika pedang itu begitu lambat menurun di dekatnya ia lalu mencapit pedang itu dengan kedua jari tangannya yang ditekuk.

Gerakannya begitu persis dengan gerakan tosu tadi, akan tetapi karena baik bacokan maupun jepitan dilakukan perlahan dan lambat sekali, terang bahwa dua orang gadis cantik itu mempermainkan Si Tosu.

Meledaklah suara ketawa para tamu, bahkan para tokoh-tokoh besar yang melihat pertunjukan ini tidak dapat menahan ketawa mereka. Benar-benar seorang bocah yang nakal sekali, pikir mereka.

Li Cu tak dapat menahan ketawanya, menutupi mulut dengan saputangannya, sedangkan Beng San tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Cui Bi terkekeh-kekeh memegangi perut, juga Sin Lee dan Kong Bu terbahak-bahak. Hanya Kun Hong yang menggeleng-geleng kepala sambil menggerutu.

“Kurang ajar sekali dia… kurang ajar sekali….”






No comments:

Post a Comment