Ads

Friday, December 28, 2018

Rajawali Emas Jilid 114

“Menyesal sekali bahwa dahulu itu aku tidak sempat pula menolongmu dari tangan kakek itu, Nona, karena kakek itu memang lihai sekali. Terpaksa aku hanya dapat mengajak Nona Hui Cu pergi,” jawab Sin Lee yang tadi merasa tersindir mengapa dahulu itu yang ditolongnya hanya Hui Cu seorang.

Sementara itu, Kun Hong memandang kepada Sin Lee dengan mata tajam penuh selidik. Ia mengenal ilmu silat pemuda ini dan karena otaknya yang cerdik ia lalu membuat rangkaian dan dugaan.

Gurunya, Bu-beng-cu sudah lama meninggal dunia dan kiranya sampai matipun guru besar itu tidak pernah menerima murid, buktinya ilmunya ditinggalkan dalam bentuk kitab. Kalau ada orang lain mampu mewarisi Kim-tiauw-kun, tentulah melalui burung rajawali emas itu. Dan Kim-tiauw-kun yang dimainkan pemuda ini kacau-balau dan tercampur dengan ilmu-ilmu silat lain, malah ada pula ilmu silat Hoa-san-pai di dalamnya.

Satu-satunya orang selain dia, yang ada hubungannya dengan rajawali emas, seperti yang ia dengar dari dua orang murid keponakannya, hanyalah Kwa Hong, kakak perempuannya lain ibu itu. Jadi pemuda ini… kiranya takkan terlalu ngawur kalau ia menduga bahwa pemuda ini tentulah anak dari Kwa Hong!

“Saudara Sin Lee she Tiauw, bukan? Bagus, she yang bagus akan tetapi juga jarang ada. Membikin aku teringat akan burung rajawali raksasa. Eh, Saudara Tiauw Sin Lee, pernahkah kau melihat seekor burung rajawali emas raksasa yang memakai kalung mutiara?”

Berubah wajah Sin Lee. Jantungnya berdebar keras. Tadi ketika diperkenalkan, ia mendengar bahwa orang muda yang halus gerak-gerik dan tutur sapanya ini bernama Kwa Kun Hong putera Ketua Hoa-san-pai. Ini saja sudah membuat ia berdebar-debar karena Kwa Kun Hong yang berdiri di depannya ini adalah adik ibunya! Adik lain ibu, jadi adik tirinya, Kwa Kun Hong ini adalah paman tirinya sendiri.

Akan tetapi tentu saja ia tidak berani memperkenalkan diri dengan sesungguhnya. Ia adalah anak Kwa Kun Hong dan kepergiannya ke Thai-san mempunyai maksud menyeret Tan Beng San ke hadapan ibunya. Orang-orang muda ini sedang menuju ke Thai-san, agaknya mempunyai hubungan baik dan erat sekali dengan Ketua Thai-san-pai. Kalau ia mengaku dan menceritakan maksudnya, sudah tentu akan terjadi hal-hal tidak enak sekali. Oleh karena itu ia tetap memalsukan shenya. Siapa kira disini ia bertemu dengan paman tirinya, yang entah dengan cara bagaimana, agaknya mengetahui rahasianya!

Bagaimana paman tirinya ini tahu tentang kim-tiauw? Sudah tentu saja ia mengenal rajawali emas yang berkalung mutiara. Siapa tidak mengenal kalau kalung yang berada dileher burung itu adalah dia sendiri yang memasangnya?

Mendengar ini, baik Hui Cu maupun Li Eng menjadi kaget dan heran, lalu memandang kepada Sin Lee. Terutama sekali Li Eng. Sebagai seorang gadis yang cerdik sekali, ia dapat menghubung-hubungkan sesuatu.

“Kalau pernah melihat kim-tiauw berkalung mutiara tentu pernah melihat… dia!” Ia memandang tajam.

Hui Cu mendengar ini mengeluarkan seruan tertahan. Betulkah dugaan Li Eng bahwa pemuda penolongnya dan yang sekaligus perampas hatinya ini ada hubungan dengan… dia yang dimaksudkan tentu Kwa Hong?

Adapun Sin Lee ketika mendengar ucapan Kun Hong dan kemudian Li Eng, melihat pula pandang mata Hui Cu dan yang lain-lain, berubah air mukanya. Tidak mengakui tentang kim-tiauw bukanlah hal yang sukar baginya, akan tetapi bagaimana ia bisa tidak mengakui tentang ibunya sendiri? Ia menjadi gugup dan gelisah karena rahasianya hampir terbongkar.





“Aku… aku… ah, tidak tahu siapa yang kalian maksudkan… setelah Nona Hui Cu bertemu dengan kalian, biarlah aku pergi!” Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan ia sudah melompat jauh sekali.

“Saudara Sin Lee….!”

Tak terasa lagi Hui Cu berseru memanggil dan lari mengejar, namun ia segera menahan kakinya dan mukanya berubah merah ketika teringat bahwa sikapnya ini benar-benar telah membuka perasaan hatinya, sedangkan disitu terdapat Kun Hong dan Li Eng!

Dari jauh, lapat-lapat terdengar suara pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu,
“Nona Thio Hui Cu, selamat tinggal, kelak kita pasti akan saling bertemu kembali….”

“Engci Hui Cu, jangan kuatir, aku yakin kau akan bertemu lagi dengan dia. Hemm, dia baik sekali kepadamu, Cu-cici.” Li Eng lalu tertawa dan Hui Cu menjadi makin merah mukanya.

“Adik Eng, jangan kau main-main!”

“Siapa main-main, memang dia… eh, hebat sekali, bukan begitukah pendapatmu?”

“Kau… nakal….!”

Hui Cu maju dan mengulur tangan hendak mencubit pipi Li Eng yang menggodanya. Li Eng mengelak dan menjerit-jerit.

“Eh… eh, jangan… uhh, kenapa marah-marah? Lihat, tuh dia datang kembali!”

Seketika Hui Cu berhenti dan menengok kearah perginya pemuda tadi. Ketika tidak melihat siapa-siapa, ia menjadi makin jengah, maklum bahwa sekali lagi ia digoda oleh adik misan yang nakal itu.

“Sudahlah, jangan bergurau saja Kita harus bersyukur bahwa akhirnya kita bertiga dapat berkumpul kembali dengan selamat.”

Sambil melanjutkan perjalanan, tiga orang muda ini lalu saling menuturkan pengalaman mereka masing-masing.

**** 114 ****





No comments:

Post a Comment