Ads

Monday, December 24, 2018

Rajawali Emas Jilid 102

“Ah? Betulkah? Kalau begitu tentulah maling-maling besar. Bukankah kalian juga ingin mencuri barang-barang berharga dari Thai-san-pai nanti?”

Merah muka tiga orang kurus itu. Tak dapat disangkal lagi, memang mereka menerima ajakan Lam-thian Si-houw untuk merampok barang-barang hadiah di Thai-san-pai, akan tetapi hal itu bukan hanya karena barang-barang itu tentulah merupakan barang-barang pusaka yang luar biasa, melainkan juga untuk melampiaskan dendam kemarahan mereka terhadap Raja Pedang yang pernah merobohkan mereka beberapa tahun yang lalu. Niat usaha mereka ini sama sekali tidak boleh dianggap sebagai perbuatan “maling-maling kecil”!

“Kami bermusuhan dengan Tan Beng San Ketua Thai-san-pai ada sangkutan apakah denganmu? Kau siapa?” tanya seorang diantara mereka, yang tertua.

Pemuda itu tersenyum mengejek, matanya berkilat.
“Bukankah kalian tadi menganggap aku anak murid Thai-san-pai? Nah, aku memang murid Thal-san-pai. Kalian ini monyet-monyet kurus memiliki kemampuan apakah berani bermusuhan dengan Ketua Thai-san-pai? Ih, benar-benar tak tahu diri! Bercerminlah lebih dulu dan lihat, apakah monyet-monyet macam kalian ini cukup patut untuk mengganggu Thai-san-pai!”

Kemarahan Hui-liong Sam-heng-te tak dapat mereka kendalikan lagi. Sekali bergerak, mereka telah mencabut pedang mereka yang tajam berkilauan. Si Pemuda tetap tersenyum-senyum tenang, seperti seorang tua melihat kenakalan tiga orang bocah.

Tiba-tiba tiga orang kurus itu menggerakkan pedang dan berpencar mengurung pemuda itu dari tiga jurusan. Berbareng mereka memekik dan pedang mereka berkelebat menyerang. Pemuda itu berkelebat dan tiga serangan tadi mengenai tempat kosong.

“Eh, eh, kalian menggunakan jurus-jurus dari Kun-lun-pai!” pemuda itu berseru.

Tiga orang itu tertegun dan saling pandang, karena herannya menunda penyerangan mereka.

“Hemm, lucu benar. Melakukan jurus-jurus Kun-lun Kiam-hoat saja kalian masih belum becus, sudah menyerang aku. Hi-hi, melihat tingkat, kalian ini lebih patut menyebut kakek guru kepadaku!”

“Bocah sombong, kau tahu apa tentang Kun-lun Kiam-hoat?” teriak orang yang termuda.

“Eh, kalian tidak percaya? Nih, lihat!”

Pemuda itu memungut sebatang ranting kering dan memegangnya di tangan kanan seperti sebatang pedang.

“Kalian tadi menggunakan jurus Iblis Menukar Bayangan, yang seorang lagi menyerang dengan gerakan Burung Sakti Membuka Sayap dan yang ketiga dengan jurus Ayam Emas Mematuk Gabah. Bukankah begitu? Nah, jurus-jurus yang kalian mainkan tadi salah semua, bukan ilmu Kun-lun yang aseli, melainkan sudah campur aduk seperti masakan cap-cai! Kalau tidak percaya, jurus-jurus kalian tadi dapat dipunahkan semua dengan ilmu pedang Kun-lun-pai yang bernama Ilmu Pedang Lima Serangkai.”

Tiga orang Naga Terbang itu saling pandang, lalu tertawa. Memang tepat sekali ucapan pemuda itu ketika menyebutkan jurus-jurus yang mereka mainkan. Memang amat mengherankan bagaimana dalam keadaan diserang berbareng, selain dapat menyelamatkan diri, juga sekaligus pemuda itu dapat mengenal jurus-jurus mereka.

Akan tetapi mendengar bahwa pemuda itu akan menggunakan Ilmu Pedang Lima Serangkai dari Kun-lun-pai, mereka mau tidak mau tertawa. Karena ilmu pedang yang disebutkan itu adalah ilmu pedang yang paling rendah dari Kun-lun-pai, merupakan dasar pelajaran bagi para murid yang akan belajar ilmu pedang. Mana dapat dipakai untuk menghadapi mereka? Biarpun mereka bukan murid-murid aseli dari Kun-lun-pai, namun ilmu pedang Kun-lun-pai yang tinggi telah mereka pelajari dan dicampur dengan ilmu-ilmu pedang lain.

“Manusia sombong, kau agaknya sudah ingin mampus! Nah, sambutlah kami dengan Ilmu Pedang Lima Serangkai! Keluarkan pedangmu,” kata orang tertua dari ketiga Naga Terbang.

Pemuda itu membolang-balingkan ranting di tangannya.,
“Menghadapi ilmu pedang cap-cai kalian itu untuk apa harus menggunakan pedang. Dengan ranting ini dan dengan Ilmu Pedang Lima Serangkai, aku akan menghadapi kalian. Majulah!”

Selama mereka hidup, tiga orang ini belum pernah dihina seperti sekarang. Mereka malu sekali kalau harus mengeroyok seorang pemuda yang hanya bersenjata ranting. Akan tetapi karena sikap pemuda itu benar-benar amat menghina, mereka tidak mempedulikan aturan-aturan di kalangan kang-ouw lagi dan serentak mereka menyerang, mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang paling lihai. Bagaikan tiga ekor naga terbang, pedang mereka berubah menjadi gulungan sinar panjang yang menyambar dari tiga jurusan kearah pemuda itu.





Alangkah besar keheranan mereka ketika pemuda itu benar-benar mainkan Ilmu Silat Pedang Lima Serangkai! Mereka menahan gelak ketawa mereka dan dengan sungguh-sungguh mereka menyerang untuk merobohkan pemuda sombong ini.

Akan tetapi, ranting yang digerakkan secara lambat dan perlahan itu kiranya benar-benar dapat menyusup diantara pedang mereka sedemikian rupa dan mengancam jalan darah pergelangan tangan mereka bertiga!

Tentu saja mereka tidak mau membiarkan jalan darah yang terpenting ini tertotok dan tidak pernah jurus serangan mereka dilanjutkan. Nampaknya memang lucu sekali. Tiap kali seorang diantara mereka menusuk atau membacok, sebelum serangan ini mengenai tubuh Si Pemuda, sudah buru-buru ditarik kembali oleh penyerangnya untuk diubah dengan jurus lain.

“Ha-ha, lihat, bukankah ilmu pedang cap-cai kalian ini tidak ada gunanya sama sekali?” pemuda ini masih dapat mengejek ketika ia melompat kesana kemari untuk memapaki setiap serangan dengan totokan-totokan yang betul-betul dilakukan sesuai dengan jurus-jurus Ilmu Pedang Lima Serangkai!

Tiga orang itu betul-betul dibikin bingung dan tidak mengerti. Akhirnya mereka penasaran, malu dan marah sekali, lalu melakukan serangan bertubi-tubi secara nekat dan lebih gencar.

Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan seruan panjang, ranting di tangannya berkelebat cepat sekali dan dilain saat ia sudah melompat keluar dari gelanggang pertempuran sambil tertawa-tawa.

Kun Hong kagum bukan main, akan tetapi enam orang teman penjahat itu menjadi merah muka mereka melihat betapa Hui-liong Sam-heng-te itu ternyata berdiri seperti patung, dalam sikap masing-masing, sikap orang bersilat. Mereka telah kaku tak dapat bergerak karena masing-masing telah kena ditotok oleh pemuda itu.

Melihat hal ini, Kang Houw Si Twako melangkah maju mendekati tiga orang yang telah tertotok itu, lalu berseru tiga kali sambil menotok dengan dua jari tangannya. Seketika terbukalah jalan darah tiga orang yang segera mengeluh dan roboh terguling.

Demikian hebatnya pengaruh totokan pemuda itu sehingga tubuh mereka terasa lemas dan baru beberapa lama kemudian mereka dapat berdiri kembali. Akan tetapi mereka sekarang seperti tiga ekor naga yang sudah dicabuti kuku dan siungnya, tidak berani lagi mengeluarkan suara.

Sementara itu, Si Pemuda dengan lagak sombong lalu berkata,
“Eh, bagaimana sekarang? Apakah Lam-thian Si-houw juga hendak memperlihatkan kuku dan taringnya? Kalau begitu, majulah dan rasai kelihaian anak murid Thai-san-pai sebelum kalian tak tahu diri berani naik ke Thai-san.”

Wajah Kang Houw menjadi merah. Ia merasa marah, penasaran, dan malu sekali. Benarkah pemuda ini anak murid Thai-san-pai? Kalau hanya anak murid yang masih muda saja begini lihai, ah, kiranya takkan mungkin bergerak di Thai-san.

“Tuan Muda, sebenarnya, siapakah kau?”

“Hi-hik, sudah kalian tahu, anak murid Thai-san-pai, mengapa tanya-tanya lagi?”

Bi Houw Si Muka Tikus melangkah maju.
“Twako, biarkanlah Si-te mencoba-coba bocah ini.” Twakonya mengangguk.

“He-he, Si Muka Tikus yang suka merayap ke penginapan!” seru Si Pemuda. “Apakah kehendakmu? Lebih baik kau ajak tiga orang saudaramu itu maju bersama, supaya segera beres urusan ini!”

Bi Houw mencabut pedangnya yang ternyata adalah pedang pasangan yang berhiaskan benang-benang merah.

“Bocah mulut besar, tuanmu saja sudah cukup untuk memenggal lehermu.”

Pemuda itu mengulur lehernya yang kecil panjang, seperti lagak seekor kura-kura.
“Iihh, leher hanya sebuah hendak dipenggal? Habis kemana mencari gantinya nanti? Jangan sembrono, tikus, jangan-jangan ekormu malah yang akan kau penggal sandiri.”

“Bangsat, lihat pedang!” Dua gulung sinar pedang menyambar ke arah pemuda itu yang berseru lucu,

“Hayaaaa, ada tikus bermain siang-kiam (pedang pasangan). Jangan-jangan buntutmu sendiri yang akan putus!”

Karena melihat betapa pemuda itu dengan mudah dapat menghindarkan diri dari sambaran sepasang pedangnya. Bi Houw mempercepat gerakan pedangnya yang menyambar-nyambar dari atas kebawah dan dari kiri kekanan atau sebaliknya. Mengagumkan sekali gerakan pemuda itu. Bagaikan sebuah, bayang-bayang saja, tubuhnya tak pernah terbabat pedang. Atau, lebih tepat seperti asap saja tubuhnya, selalu menyelinap diantara sinar pedang dengan gerakan seenaknya.

“Awas, pedangmu beradu!” pemuda itu berseru diantara bacokan-bacokan itu dan “traaanggg!” benar saja, dengan sentuhan-sentuhan dan sentilan di belakang telapak tangan Si Muka Tikus membuat pedang kanan Bi Houw itu menyeleweng dan membentur pedang kirinya sendiri.

“Iihhh!” Bi Houw sampai melompat kaget atas kejadian yang luar biasa ini, namun ia tidak menghentikan serangannya, bahkan makin gencar ia membabat.

“Awas, buntutmu putus!”

Entah bagaimana pedang yang tadinya menyambar leher pemuda itu, tahu-tahu menyelonong balik dan membabat leher Bi Houw sendiri. Tentu saja Bi Houw kaget bukan main dan menahan gerakan tangannya itu. Akan tetapi, agaknya tangan kanannya sudah tidak mau menurut perintah hatinya sehingga… “brettt” kepalanya terbabat pedang membuat ikat kepala dan rambutnya putus, membuat ia setengah gundul!

“Heh-heh-heh, tikus gundul… tikus gundul….!”

Bi Houw yang marah hendak menubruk dengan pedangnya, namun tahu-tahu ia merasa tubuhnya terlempar ke belakang dan pedangnya terlepas dari kedua tangan. Ia berusaha untuk menahan diri, namun tidak kuat dan tubuhnya menggelinding terus. Tahu-tahu tubuhnya tertahan sesuatu dan ketika ia melihat, ternyata yang menahannya itu adalah sepasang pedangnya yang entah dari mana datangnya tahu-tahu sudah menancap di atas tanah dan menahan tubuhnya yang menggelinding tadi!

Dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi dahinya, Si Muka Tikus ini berdiri dan mencabut sepasang pedangnya, kemudian ia hanya dapat memandang pemuda itu dengan mata melotot tanpa berani membuka suara.

“Bocah, kau benar-benar menghina orang!” terdengar seruan dan orang ketiga dari Lam-thian Si-houw yang tampan dan berusia tiga puluhan lebih, menerjang maju sambil meloloskan senjatanya, yaitu sebuah cambuk baja yang panjang.

“Eh, kau ini gembala bebek hendak berlagak? Lebih baik kakakmu yang matanya juling itu kau suruh maju!”

Pemuda itu mengejek sambil menudingkan telunjuknya kearah orang kedua yang berambut putih, bertubuh bongkok dan bermata juling.

“Sombong, rasakan cambukku !”

Orang ketiga bernama Teng Houw ini segera menyerang, cambuknya mengeluarkan bunyi tar tar keras dan ujung cambuk bergerak-gerak menyambar diatas kepala pemuda ini. Ia hanya mengerling kearah ujung cambuk dan sama sekali tidak mau mengelak kalau ujung itu belum mendekati tubuhnya benar.

Agaknya ia maklum bahwa si pemegang cambuk itu hanya menyembunyikan cambuknya dan mengamang-ngamangkan untuk menggertak saja. Melihat hal ini, teng Houw menjadi panas hatinya. Seperti juga saudara-saudaranya, ia tadinya merasa jengah untuk menyerang seorang pemuda bertangan kosong dengan cambuknya yang sudah amat terkenal ganas dan entah sudah berapa banyak lawan direnggutnya. Kiranya pemuda aneh itu hanya tersenyum-senyum dan memandang cambuknya seperti sebuah benda mainan yang tiada harganya.

“Awas senjata !”

Akhirnya ia berseru dan kali ini cambuknya betul-betul menerjang dengan serangan yang amat dahsyat dan ganas. Namun, pemuda itu masih tersenyum-senyum ketika tubuhnya mulai bergerak mendahului gerakan cambuk dan sedikitpun juga ujung cambuk tak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Malah ia masih mengejek ke arah si mata juling yang maju mendekat dengan maksud mempelajari gerakan-gerakan pemuda lihai itu.






No comments:

Post a Comment