Ads

Saturday, December 15, 2018

Rajawali Emas Jilid 082

Mendengar suara ketawa ini, wanita itu salah duga, mengira bahwa dialah yang ditertawai, maka naiklah darahnya. Kini pedangnya tidak hanya ditujukan untuk memotong telinga dari Kun Hong, malah dipergunakan untuk menyerang membabi-buta untuk merobohkan pemuda itu. Kelihatannya makin repotlah Kun Hong, terjengkang-jengkang dan terhuyung-huyung, namun tak pernah tersentuh pedang yang menyambar-nyambar itu.

“Tranggg!”

Wanita itu memekik kaget dan melompat ke belakang, tangannya terasa gemetar dan sakit. Kiranya Hui Cu sudah berdiri menghadapinya dengan pedang ditangan dan dengan sikap marah.

“Perempuan tak tahu malu! Berani kau menghina pamanku yang tak bersalah apa-apa?”

Wanita itu hanya sebentar saja kaget, lalu ia tersenyum sambil menoleh kepada empat orang temannya.

“Adik-adik, lihatlah baik-baik. Perempuan ini mengakui keparat itu sebagai pamannya, Hi-hi, siapa orangnya dapat dibohongi begitu saja? Orang muda itu usianya tidaklah tua, sebaya dengannya, juga biarpun jembel dan kotor, mukanya tidaklah buruk bagi seorang laki-laki. Hemm-hemm, bocah gunung, bilang saja dia itu kekasihmu, kami akan percaya sepenuhnya, jangan bilang pamanmu.”

“Tutup mulutmu yang kotor!”

Hui Cu yang memang tak pandai bicara itu memaki, matanya yang bening berkilat bercahaya akan tetapi kedua pipinya merah karena jengah.

“Adik-adik, mari kita beramai hajar bocah gunung ini!” wanita itu berseru dan berlima mereka siap menerjang Hui Cu dengan pedang mereka.

Gerakan mereka cukup kuat dan pasangan kuda-kuda mereka ternyata serupa, tanda bahwa mereka adalah sealiran.

“Bagus, kalian sudah bosan hidup!”

Hui Cu menggetarkan pedang di tangannya, akan tetapi tiba-tiba di belakangnya Kun Hong membentak,

“Hui Cu, tahan! Mundurlah dan simpan pedangmu, Li Eng, kaulah yang maju menghadapi kelima orang nyonya besar ini, akan tetapi ingat, jangan sekali-kali membunuh orang!”

Hui Cu kecewa akan tetapi ia tidak berani membantah kehendak pamannya, dengan mata berkilat ia menarik kembali pedangnya, menyimpannya dan melangkah mundur. Li Eng sambil tersenyum-senyurn menggantikannya maju dan gadis lincah jenaka ini maklumlah sudah tahu apa maksud pamannya menyuruh dia menggantikan Hui Cu.

Memang sesungguhnya melihat Hui Cu yang sudah marah sekali itu, Kun Hong menjadi kuatir kalau-kalau Hui Cu salah tangan membunuh orang. Apalagi dalam sebuah pertempuran yang ramai, sukarlah untuk mengalahkan lawan tanpa membunuh.

Berbeda dengan Li Eng yang ia tahu memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari Hui Cu. Apalagi Li Eng memiliki senjata istimewa, yaitu sabuk sutera yang lemas maka lebih mudahlah bagi Li Eng untuk mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya.

Anehnya, melihat pertempuran yang akan pecah ini, baik Pangeran Kian Bun Ti maupun tujuh orang jagoannya sama sekali tidak mencampurinya. Malah mereka berdiri menonton dengan wajah berseri, seakan-akan yang terjadi di depan mereka adalah sebuah adegan sandiwara yang menyenangkan dan menarik.

Hal ini saja menimbulkan kerut di kening Kun Hong dan pemuda ini mengambil keputusan bahwa kalau Li Eng sudah berhasil mengalahkan lima orang wanita galak itu, ia cepat-cepat minta pamit dan mengajak dua orang keponakannya meninggalkan tempat ini, malah harus cepat-cepat meninggalkan kota raja dengan segalanya yang serba aneh.

Li Eng yang dapat menangkap maksud hati pamannya, dengan gerakan tenang sekali meloloskan sabuk suteranya yang hitam panjang, menggulungnya di tangan kanan. Dengan senyum dikulum dan mata berseri ia memandang kepada lima orang puteri di depannya itu, menatap seorang demi seorang, lalu berkata dengan suaranya yang nyaring dan mengandung ejekan,





“Eh, lima orang nenek siluman betina, sungguh kau tak tahu diri. Kalau tidak paman kami yang menaruh kasihan, bukankah sekarang kalian berlima sudah menjadi bangkai di bawah pedang enci-ku?”

Li Eng memang berani bersikap demikian karena ia sudah tahu pasti bahwa lima orang ini bukanlah lawan Hui Cu, apalagi lawan dia. Dari gerakan orang pertama ketika menyerang Kun Hong tadi saja tahulah dia bahwa lima orang wanita ini hanya lagaknya saja hebat, pada hakekatnya tidak memiliki kepandaian berarti.

Dimaki sebagai nenek dan siluman betina, karuan saja lima orang selir Pangeran itu menjadi marah bukan main. Tanpa banyak cakap lagi mereka berlima menerjang maju sambil menggerakkan pedang menyerang Li Eng.

Li Eng tidak mau berlaku sungkan lagi. Kedua tangannya bergerak, sinar hitam berkelebat dan terdengarlah bunyi,

“tar-tar-tar-tar!” berulang kali.

Lima orang pengeroyoknya itu belum pernah selama hidupnya mengalami pertempuran seperti ini. Mereka merasa seakan-akan ada petir menyambar-nyambar diatas kepala dan berturut-turut lima batang pedang melayang jauh terlepas dari pegangan lima orang wanita itu.


Li Eng menggerakkan sabuk suteranya yang menyambar-nyambar dari atas ke bawah mengeluarkan bunyi melecuti muka dan tubuh kelima orang pengeroyoknya.

“tar-tar-tar-tar-tar!”

Lima orang wanita itu menjerit-jerit, perih dan sakit kulit yang terkena cambukan, lalu sambil menutupi muka dengan tangan, mereka lari meninggalkan tempat itu kembali kedalam. Amat lucu melihat mereka lari dikejar sabuk sutera yang masih sempat mencambuki tubuh belakang mereka, membuat mereka memindahkan tangan dari muka ke tubuh belakang yang sakit semua dihajar cambuk!

“Cukup, Li Eng!”

Kun Hong berteriak dan Li Eng menyimpan kembali sabuknya, lalu berdiri di dekat pemuda ini.

“Harap Paduka memaafkan keponakanku.” Kun Hong menjura. “Dan perkenankan kami bertiga mohon diri, hendak melanjutkan perjalanan.”

Pangeran Kian Bun Ti menggerak-gerakkan tangan, lalu tertawa,
“Ah, Saudara Kun Hong apakah marah karena peristiwa tadi? Mereka berlima hanyalah selir-selirku yang bodoh, yang merasa diri sendiri pintar. Kalau mereka tadi bersikap kurang ajar, biarlah sekarang juga kusuruh masukkan kedalam penjara.”

Mendengar ini terkejutlah Kun Hong.
“Ah, tidak… tidak… mereka tidak apa-apa, Pangeran. Tak usah dihukum….”

“Baiklah, dan untuk menebus kelancangan mereka, biarlah mulai sekarang mereka berlima menjadi pelayan dua orang keponakanmu ini.”

Pucat muka Kun Hong sedangkan Hui Cu dan Li Eng saling pandang, masih belum mengerti apakah sebetulnya maksud hati dan kehendak Pangeran yang tampan dan selalu tersenyum-senyum itu.

Lagi-lagi Kun Hong menjura dan bicara sepertl orang yang belum mengerti akan maksud pangeran itu,

“Banyak terima kasih atas anugerah Paduka kepada dua orang keponakan saya, juga terima kasih atas penyambutan serta kehormatan besar yang kami bertiga telah menerima dari Paduka. Akan tetapi terpaksa kami bertiga mohon diri, Pangeran. Perjalanan kami masih jauh dan harus kami lanjutkan sekarang juga.”

“Perjalanan itu boleh dibatalkan atau ditunda!” Suara Pangeran itu kini terdengar sungguh-sungguh dan ketus. “Saudara Kun Hong, mulai saat ini aku mengangkat Li Eng sebagai selir pertama dan Hui Cu sebagai selir kedua dan kedudukan mereka merangkap sebagai selir pengawal pribadiku!”

Baru sekaranglah dua orang dara remaja itu tahu akan maksud hati Pangeran itu. Muka mereka otomatis menjadi merah seperti udang direbus, mata mereka berkilat saking marah dan jengah, keduanya tanpa terasa telah meraba gagang pedang.

Dengan dahi berkerut-kerut saking gelisah dan bingungnya, Kun Hong menjura berulang-ulang kepada Pangeran Mahkota itu, lalu bertanya,

“Pangeran, semenjak nenek moyang kita dahulu, bangsa kita selalu memegang teguh peraturan dan kesopanan. Dua orang keponakanku ini masih mempunyai orang tua, maka kiranya untuk urusan ini sebaiknya kalau Paduka berurusan dengan ayah bunda mereka seperti lazimnya. Sekarang, karena kami bertiga mempunyai tugas yang penting dan perjalanan masih jauh, perkenankanlah kami mengundurkan diri dan keluar dari sini.”

“Ha-ha-ha, Saudara Kun Hong benar-benar mengagumkan, hafal akan segala pelajaran filsafat dan ujar-ujar kuno. Aku sama sekali tidak melanggar peraturan, karena bukankah kau ini paman dari mereka? Seorang paman, dalam hal ini, boleh menjadi wakil dan pengganti orang tua, karena itu, dihadapanmu aku mengajukan pinangan untuk menjadikan dua orang nona ini sebagai selir-selirku yang terkasih. Adapun kau sendiri, sesuai dengan bakat dan kepintaranmu, kuangkat menjadi pembesar yang mengurus perpustakaan istana!”

Tujuh orang jagoan itu mengeluarkan seruan kagum dan mereka segera mejura kepada Kun Hong sambil bersuara saling tunjang,

“Kionghi, kionghi (selamat)! Begini muda sudah menerima anugerah pangkat yang tinggi. Juga kionghi kepada dua orang Li-hiap ini!”

Akan tetapi Kun Hong cepat mengangkat kedua tangan dan menggoyang-goyangnya tanda bahwa ia menolak kesemuanya itu. Juga Li Eng dan Hui Cu sudah hampir tak dapat menahah kemarahan mereka.

Mereka merasa terhina sekali oleh sikap Pangeran ini yang begitu mau menang sendiri, mengambil orang sebagai selirnya tanpa bertanya, baik kepada yang bersangkutan maupun kepada orang tuanya. Apakah dikiranya mereka itu seperti lima orang wanita tadi, dan dianggap sebagai perempuan murahan belaka?

“Terpaksa saya tidak dapat menerima semua itu, Pangeran. Pertama, saya yang muda mana berani mewakili orang tua mereka? Apalagi dalam soal perjodohan. Sama sekali saya tidak berani! Kedua, saya merasa amat bodoh dari tidak terpelajar, bagaimana saya berani menerima kedudukan dari Paduka? Tidak, sungguhpun saya berterima kasih sekali, namun terpaksa saya menolak dan harapan saya hanya perkenan Paduka agar kami bertiga dapat pergi dari sini.”

Merah wajah Pangeran Mahkota Kian Bun Ti. Selama hidupnya baru kali ini ia menghadapi orang-orang yang tidak lekas-lekas berlutut menghaturkan terima kasih setelah ia beri anugerah seperti itu.

Wanita mana yang tidak ingin, bahkan saling berebut untuk menjadi selir terkasih dari Pangeran Kian Bun Ti yang terkenal muda, tampan, halus budi, dan calon kaisar? Laki-laki mana yang tidak ingin menjadi pembesar dan kedudukannya diberi sendiri oleh Pangeran Mahkota?

Akan tetapi, pandang matanya tidak buta, pendengarannya tidak tuli, kali ini benar-benar dua orang dara muda, yang hendak diambil menjadi selirnya itu malah berdiri dengan muka marah sedangkan orang yang hendak diangkatnya menjadi pembesar perpustakaan malah menampik! Saking heran, marah dan kecewanya, Pangeran ini hanya berdiri dengan muka merah dan mata terbelalak.






No comments:

Post a Comment