Ads

Sunday, December 9, 2018

Rajawali Emas Jilid 074

Ketika semua orang memperhatikan, bayangan itu adalah seorang gadis yang cantik dan gagah, yang memegang sehelai sabuk hitam yang tadi ia pergunakan untuk menyerang dua orang itu sehingga mereka terhuyung-huyung kebelakang. Pada saat berikutnya, kembali berkelebat bayangan orang dan seorang gadis lain yang juga cantik manis sudah berdiri disitu dengan sikap gagah.

Beng-lokai dan Sun-lokai kaget sekali, akan tetapi mereka menjadi marah ketika mendapat kenyataan bahwa yang menyerang mereka tadi hanyalah seorang gadis muda. Berbareng mereka mencabut pedang dan siap menerjang dua orang gadis itu.

Gadis yang memegang sutera hitam itu tersenyum mengejek, sedangkan gadis kedua juga tiba-tiba menggerakkan tangan dan tahu-tahu sebatang pedang tipis tajam telah berada di tangannya.

“Hi-hik, kalian ini dua ekor keledai tua apakah sudah bosan hidup? Cu-cici (Kakak Cu), mari kita basmi dua ekor keledai yang sudah berani kurang ajar terhadap Paman Hong ini!”

Kun Hong segera mengenal gadis pertama, seorang gadis lincah jenaka dan cantik yang bermata seperti bintang pagi. Teringatlah ia ketika ia dahulu dikerek oleh gadis ini keatas pohon mempergunakan sabuk sutera hitam itu.

“Eh… eh… kau… anak nakal… jangan berkelahi!” katanya mencegah.

Sementara itu, Hwa-i Lo-kai juga mernbentak kedua orang pembantunya,
“Beng-lokai dan Sun-lokai, harap kalian mundur dan simpan senjata!”

Suaranya berpengaruh dan tegas sehingga dua orang pembantunya yang masih penasaran itu tidak berani membantah lagi, dengan muka keruh mereka segera mundur.

Sementara itu, Kun Hong memandang kepada gadis-gadis itu, memandang heran dan keningnya berkerut. Ia mengenal gadis pertama yang dalam anggapannya adalah seorang gadis yang berwatak nakal dan jahat, suka berkelahi dan kejam. Ia merasa kuatir kalau-kalau kedatangan gadis ini lagi-lagi akan mendatangkan bencana, bunuh membunuh antara sesama manusia seperti yang ia saksikan di Hoa-san dahulu itu. Akan tetapi ia juga heran mengapa gadis itu tadi menyebutnya sebagai pamannya!

“Eh, Nona yang nakal, bagaimana kau sampai tersesat ke tempat ini dan sejak kapan aku menjadi pamanmu?” tegurnya dengan suara galak.

Gadis itu yang bukan lain adalah Kui Li Eng, berseri mukanya, matanya bercahaya jenaka dan ia tidak menjawab, melainkan ia menoleh kepada gadis kedua yang bukan lain adalah Thio Hui Cu.

“Cu-cici, benar tidak ceritaku? Paman Hong ini orangnya lucu, aneh dan keberaniannya membuat aku terheran-heran. Seorang yang tidak memiliki kepandaian silat, berani merantau sampai kesini, malah baru saja kita lihat tadi dia dikejar-kejar dua ekor keledai, tapi sedikitpun tidak takut. Agaknya disamping kelucuan dan keanehannya, diapun memiliki nyawa rangkap.”

Hui Cu yang alim dan pendiam menyembunyikan senyumnya, hanya sekilas berani menatap wajah Kun Hong, lalu mengalihkan pandangnya.

“Hee, jangan kau memperolok aku! Kau belum menjawab pertanyaanku. Sejak kapan dan berdasarkan apa kau mengaku sebagai, keponakanku?”

Senyum Li Eng melebar, membuat wajahnya yang jelita itu makin manis dan ramah. Akan tetapi dibalik keramahan dan kejenakaannya tersembunyi sifat nakal yang terpancar keluar dari sepasang matanya.

“Paman Hong yang tercinta….”

“Hush….!” Merah muka Kun Hong. “Bicara yang benar jangan berolok-olok!”

“Kau memang pamanku sejak aku lahir dan berdasarkan kenyataan bahwa ayahmu adalah kakek guruku. Kau anaknya, kalau bukan pamanku habis apaku? Bukan hanya aku, malah Cici Hui Cu inipun keponakanmu, karena dia adalah anak tunggal dari Supek (Uwa Guru) Thio Ki.”

Kun Hong sampai meloncat-loncat saking kaget, heran, dan bingungnya.
“Apa kau bilang? Mana bisa Suko (kakak Seperguruan) Thian Beng Tosu mempunyai anak?”

Li Eng terkikik sambil menutupi mulutnya.
“Tentu saja yang beranak bukan Supek melainkan isterinya, hi-hi-hik.”





Hui Cu tak dapat menahan geli hatinya, ditutupnya mulutnya yang kecil dengan tangan kanan.

“Ih, Eng-moi, jangan bicara tidak karuan.”

Juga muka Kun Hong tampak bodoh, matanya terbelalak lebar. Ia benar-benar tidak mengerti. Memang banyak hal yang tidak ia mengerti, diantaranya adalah tentang riwayat sukonya itu, tidak tahu sama sekali bahwa sukonya yang dahulu bernama Thio Ki itu pernah punya isteri.

“Jangan kau main-main! Apakah sepeninggalku dari Hoa-san Suko telah menikah?”

Kembali Li Eng menoleh kepada Hui Cu,
“Kau lihat, Cici. Alangkah lucunya. Di samping lucu aneh dan berani, juga ininya… kurang sekali.”

Ia menunjuk ke arah dahinya yang halus untuk menyindirkan tentang kebodohan Kun Hong.

“Paman Hong, nanti kalau sudah pulang, kau akan mendengar sendiri semuanya. Pendeknya, Cici Cu ini adalah anak tunggal dari Supek Thian Beng Tosu.”

Bukan main girangnya hati Kun Hong. Dia memang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan di samping pengetahuannya yang mendalam tentang iimu kebatinan dan filsafat yang membuatnya kadang-kadang bicara seperti seorang kakek-kakek. Mendengar ini, saking girangnya ia melompat ke depan memegang pundak Hui Cu. Dipandangnya muka nona itu dan berkatalah dia kegirangan.

“Aduh senangnya….! Aku mempunyai keponakan dan tahu-tahu sudah begini besar, begini… eh, cantik dan manisnya, Kau bernama Hui Cu? Tentu namamu Hui Cu… tapi kenapa kau tidak mirip Suko? Ah? tentu mirip ibumu.”

Memang watak Kun Hong aneh bukan main. Dalam keadaan seperti itu, tentu orang-orang akan menganggap ia gendeng atau setidaknya kurang ajar, padahal semua itu timbul dari lubuk hatinya yang benar-benar menjadi girang bukan main.

Karuan saja Hui Cu yang alim, pendiam dan pemalu menjadi merah mukanya, dan ia hanya tersenyum sedikit, memandang sekilas lalu tunduk dengan telinga merah, apalagi diketawai oleh Li Eng dan malah mendengar suara ketawa dari banyak pengemis yang hadir disitu.

“Iih, Paman Hong. Kau bikin aku mengiri. Aku bisa marah, lho! Bukan hanya Enci Cu keponakanmu, akupun keponakanmu, apa kau lupa?”

Kun Hong melepaskan pegangannya pada kedua pundak Hui Cu, lalu memandang Li Eng, keningnya berkerut.

“Dia ini puteri Suko, tentu saja seperti keponakanku sendiri. Tapi kau ini, kau bocah nakal, kau anak siapa berani mengaku sebagai keponakanku?”

Li Eng cemberut.
“Sudahlah, kalau kau tidak mau mengakui ayah bundaku, sudahlah….! Memang orang macam aku mana patut menjadi keponakanmu?”

Hui Cu merangkul Li Eng.
“Adik Eng, jangan ngambek. Eh, Paman Hong, sesungguhnya Eng-moi adalah keponakanmu karena dia adalah puteri tunggal dari Bibi Thio Bwee dan Paman Kui Lok yang sekarang sudah berkumpul di Hoa-san-pai.”

“Begitukah?”

Kun Hong sampai berteriak keras saking girangnya, lalu ia menyambar tangan Li Eng, ditariknya dan seperti gila ia menari-nari sambil menggandeng tangan gadis itu mengelilingi lapangan.

“Bagus, kau puteri mereka? Ha, ha, mereka jadinya masih hidup dan sudah kembali ke Hoa-san-pai? Aduh senangnya!”

“Hish… apa-apaan kau ini, Paman Hong?” Li Eng menjadi malu juga karena ia dipaksa menari-nari tidak karuan, “Dilihat banyak orang, apa tidak malu? Hayo kita pergi dari sini, kembali ke Hoa-san. Sukong mengharap-harap kembalimu.”

Kun Hong melepaskan gandengannya.
“Akupun hendak kembali, apalagi sekarang setelah semua berada disana.”

Kun Hong lalu menoleh kepada Sin-eng-cu Lui Bok yang sejak tadi hanya melihat dan mendengarkan sambil tersenyum-senyum gembira.

Terhadap kakek ini Kun Hong menjura dan berkata,
“Susiok, perkenankan teecu pergi, karena teecu harus kembali ke Hoa-san.”

Sin-eng-cu Lui Bok tersenyum dan berkata,
“Pulanglah, Kun Hong dan berbahagialah kau. Akupun akan mencapai kebahagiaan di puncak Bukit Kepala Naga, mendekati mendiang Suheng yang bijaksana.”

Setelah berkata demikian, Sin-eng-cu Lui Bok berjalan membungkuk-bungkuk sambii memutar-mutar tongkatnya, biarpun kelihatannya jalan seenaknya, namun sebentar saja ia sudah lenyap dari pandangan mata.

Kun Hong berpaling kepada Hwa-i Lo-kai dan menjura.
“Pangcu, harap maafkan kalau kedatanganku ini mengganggu urusanmu. Setelah Susiok pergi, urusan antara dia dan Pangcu sudah habis, perkara pemilihan ketua terserah kepadamu.” Ia menoleh kepada Li Eng dan Hui Cu dan berkata gembira,

“Hayo, anak-anak! Hui Cu dan… eh, kau yang nakal siapa namamu?”

Dua orang gadis itu menutupi mulut dengan geli melihat sikap Kun Hong yang lucu dan tolol ini.

“Paman Hong, namaku Kui Li Eng, jangan lupa lagi!”

“Hayo kita pergi dari sini!” kata lagi Kun Hong.

Akan tetapi Hwa-i Lo-kai segera melangkah maju dan menjura sambil berkata,
“Nanti dulu, Siauw-sicu. Aku atas nama Hwa-i Kai-pang menerima usul Locianpwe Lui Bok tadi untuk menyerahkan Hwa-i Kai-pang ke dalam bimbinganmu. Aku mengangkat kau sebagai ketua baru dari Hwa-i Kai-pang!” Sin-cio The Kok atau Hwa-i Lokai adalah seorang yang amat luas pandangannya.

Memang ia bercita-cita membuat perkumpulan Hwa-i Kai-pang menjadi perkumpulan yang kuat dan sekarang ia melihat kesempatan yang amat baik untuk memperkuat perkumpulannya itu. Pemuda ini terang adalah seorang luar biasa, sungguhpun kelihatannya tidak memiliki kepandaian ilmu silat, namun memiliki pribadi tinggi dan pengetahuan luas.

Apalagi yang mengusulkan supaya pemuda ini diangkat menjadi ketua adalah seorang tokoh besar, yaitu Sin-eng-cu Lui Bok yang ternyata masih susiok pemuda ini. Sekarang, melihat sepak terjang dua orang gadis itu, jelas bahwa pemuda ini selain murid keponakan Sin-eng-cu Lui Bok, kiranya masih mempunyai hubungan erat dengan Hoa-san-pai. Kalau Hwa-i Kai-pang dapat mengangkat pemuda ini menjadi ketua, bukankah berarti bersekutu dengan Sin-eng-cu dan Hoa-san-pai sehingga menjadi amat kuat?

Di lain pihak, Kun Hong gelagapan dan bingung setengah mati mendengar ucapan kakek itu. Ia mengangkat tangan dan menggerak-gerakkan tangannya tanda menolak.

“Tidak bisa… tidak bisa, Pangcu. Aku yang bodoh mana bisa menjadi Ketua Hwa-i Kai-pang?”

Pada saat itu terdengar suara Coa-lokai yang keras dan kasar,
“Saudara-saudara para anggauta Hwa-i Kai-pang yang masih setia kepada Hwa-i Lo-kai, hayo kita lekas berlutut memberi hormat kepada pangcu yang baru!”

Pengemis tinggi besar itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Hong, di belakangnya banyak sekali para pengemis ikut berlutut. Hanya beberapa orang pengemis yang berpihak kepada Beng-lokai dan Sun-lokai tidak mau berlutut, hanya memandang kepada dua orang pemimpin mereka yang berdiri dengan muka merah.






No comments:

Post a Comment