Ads

Sunday, December 9, 2018

Rajawali Emas Jilid 073

“Ha-ha-ha, minumlah, nikmatilah kesenangan untuk lidah dan mulut kita. Nanti kuceritakan,” kata kakek itu sambil menenggak arak dalam cawannya.

Terpaksa Kun Hong juga minum araknya dan ternyata, betul seperti dikatakan kakek itu, arak di dalam cawannya amat harum dan enak.

“Kau lihat baik-baik, yang di dalam tanganmu itu hanya daun biasa,”

Kun Hong melihat dan… betul saja, cawan yang kosong tadi sudah berubah pula menjadi daun yang tadi, tanpa ia ketahui.

“Ini… kau main sulap, Locianpwe,” katanya tertawa.

“Kau sudah menggirangkan hatiku, Kun Hong. Maka aku harus membikin senang sedikit hatimu. Ketahuilah, yang kuperlihatkan tadi adalah ilmu yang disebut menguasai pikiran orang lain (semacam hypnotisme). Memang amat berbahaya memiliki ilmu ini dan sebagian orang yang tidak mengerti akan menganggapnya sebagai hoat-sut (ilmu sihir) yang jahat, semacam ilmu hitam. Akan tetapi anggapan itu keliru. Ilmu kepandaian tidak ada yang jahat. Hitam atau putihnya, jahat ataupun baiknya, tergantung dari si pemilik ilmu itu sendiri.

Hoat-sut (menguasai pikiran orang) ini kalau dimiliki oleh orang yang berjiwa bersih, tentu akan banyak mendatangkan kebaikan seperti yang baru saja kuperlihatkan. Bukankah makan roti kering dan minum air tawar tidak begitu sedap? Dan bukankah menambah kenikmatan setelah ingatanmu kukuasai sehingga kau menganggapnya sebagai roti enak dan arak wangi?

Nah, untuk segala petunjukmu tadi tentang kebahagiaan, aku harus membalas. Kau adalah ahli membaca kitab, nah ilmu ini terdapat dalam kitab ini. Kau baca dan pelajarilah, tentu kelak berguna untukmu. Ilmu yang kuperlihatkan tadi baru sepersepuluhnya saja dari isi kitab ini.”

Ia mengeluarkan sebuah kitab yang sudah lapuk dan Kun Hong menerimanya dengan pernyataan terima kasih. Tentu saja ia girang sekali mendapat hadiah kitab istimewa itu.

“Sekarang, marilah kau ikut denganku, Kun Hong. Ikutlah dengan aku pergi ke kaki gunung ini untuk menjumpai The Kok yang sekarang menjadi Ketua Hwa-i Kai-pang.”

Kun Hong terkejut dan memandang.
“Locianpwe, kau tidak….”

Kakek itu tertawa dan menggelengkan kepalanya.
“Jangan kuatir. Sudah lenyap semua nafsuku untuk membunuh orang. Aku harus menemuinya. Ha-ha-Ha! kau benar. Dia telah membunuh muridku, biarlah kesadarannya sendiri yang akan menghukumnya.” Kakek itu lalu berdiri dan mengajak Kun Hong turun gunung.

Demikianlah kisah pertemuan Kun Hong dengan Sin-eng-cu Lui Bok dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Kun Hong dan Sin-eng-cu Lui Bok telah tiba di tempat para pengemis Hwa-i Kai-pang.

Dari jauh Kun Hong melihat ribut-ribut diantara pengemis yang memenuhi pekarangan depan rumah perkumpulan itu dan ia mendapat keterangan dari pengemis yang dijumpainya bahwa dua orang pembantu ketua sedang ribut hendak bertempur dalam perebutan kedudukan ketua. Kun Hong merasa kuatir sekali dan ia dari jauh segera berteriak-teriak,

“Heeiii…, berhenti… dua orang pengemis tua saling pukul memperebutkan apa sih?”

Semua pengemis dan para tamu yang hadir di tempat pertemuan itu terkejut dan segera menengok. Bahkan dua orang pembantu ketua yang sedang bertempur itupun menghentikan perkelahian mereka dan menengok karena suara teriakan itu benar-benar nyaring dan mengejutkan semua orang.

Sementara itu, Kun Hong sudah mendahului Sin-eng-cu Lui Bok, memasuki gelanggang pertempuran menghadapi Coa-lokai dan Sun-lokai yang memandangnya dengan heran.

“Ji-wi Lo-enghiong, kenapa saling hantam sendiri ? Aku mendengar bahwa Ji-wi memperebutkan kedudukan Ketua Hwa-i Kai-pang. Kalau tidak salah Hwa-i Kai-pang adalah perkumpulan pengemis, kenapa yang hendak menjadi ketuanya menggunakan kekerasan? Apakah hendak menjadi ketua perkumpulan tukang pukul? Benar-benar salah sekali.”

Coa-lokai memandang dengan mata terbelalak marah.
“Kau ini bocah kurang ajar datang dari mana dan apa urusanmu dengan kami?”





Beng-lokai pengemis tua gemuk pendek yang semenjak tadi hanya diam saja melihat dua orang temannya saling serang, sekarang berdiri dan dengan marah membentak

“Bocah tak tahu adat! Kau ini datang-datang mengacau, kau disuruh kai-pang dari manakah?”

Diserang bentakan-bentakan ini, Kun Hong tenang saja akan tetapi sebelum ia menjawab, kakek pengemis tua yang berdiri disitu, Hwa-i Lo-kai, berseru keras,

“Bagus sekali, Sin-eng-cu Lui Bok! Kau akhirnya datang juga mencariku. Akan tetapi, kuharap kau tidak membawa Hwa-i Kai-pang ke dalam urusan pribadi kita berdua. Kau tunggulah aku menyelesaikan dulu pemilihan ketua baru, setelah itu aku siap untuk mati di tanganmu!”

Semua mata sekarang menengok dan memandang ke arah kakek yang memasuki tempat itu yang bukan lain adalah Sin-eng-cu Lui Bok.

“Heh-heh-heh, Sin-chio The Kok. Tak nyana orang gagah seperti engkau ternyata wataknya pengecut, berani berbuat tidak berani bertanggung jawab dan kasihan sekali kau melarikan diri dan bersembunyi sampai belasan tahun.” Kakek ini terkekeh-kekeh menertawakan.

Muka Sin-chio The Kok atau Hwa-i Lo-kai menjadi merah sekali. Ia merasa malu dikatakan pengecut di depan begitu banyak orang dan namanya tentu akan menjadi buah tertawaan di dunia kang-ouw. Maka cepat ia menjawab dengan suara keras,

“He, Sin-eng-cu Liu Bok, dengarlah baik-baik. Memang perbuatanku melarikan diri dan bersembunyi darimu itu adalah perbuatan pengecut, akan tetapi ada sebab-sebabnya. Secara kebetulan aku bermusuhan dengan muridmu ketika aku merampok seorang pembesar korup dan muridmu itu membela pembesar tadi, Terjadi pertempuran antara kami dan dalam pertempuran itu ia tewas di ujung tombakku. Celakanya, setelah ia tewas, barulah aku mendengar bahwa dia adalah murid Sin-eng-cu Lui Bok. Hatiku menyesal bukan main. Telah puluhan tahun aku kagum dan menjunjung tinggi nama pendekar besar Sin-eng-cu Lui Bok. Sekarang aku telah membunuh muridnya. Aku menyesal dan ada dua hal yang menyebabkan aku melarikan dan menyembunyikan diri.

Pertama, karena aku maklum bahwa aku takkan menang, kedua dan ini sebetulnya yang terberat bagiku, aku tidak mungkin dapat bertanding sebagai musuh dengan pendekar yang sejak lama kukagumi dan kujunjung tinggi sebagai seorang pendekar budiman. Itulah Sin-eng-cu, yang menyebabkan aku menebalkan muka melarikan diri dan bersembunyi.

Akan tetapi hukum karma tak dapat dihindarkan manusia, agaknya Thian yang menuntunmu sampai kesini sehingga kau dapat menantang padaku dan agaknya memang Tuhan hendak menghabisi nyawaku sekarang juga. Hanya permintaanku, biarkanlah aku menyelesaikan lebih dulu pemilihan ketua Hwa-i Kai-pang setelah itu terserah kepadamu, aku tidak takut mati karena aku memang sudah cukup tua, Sin-eng-cu.”

Lega hati Sin-chio The Kok setelah mengeluarkan isi hatinya yang juga didengar oleh semua orang itu, akan tetapi Sin-eng-cu Lui Bok hanya tertawa-tawa saja dan diam-diam hati kakek inipun girang bahwa dia sebelumnya bertemu dengan Kun Hong. Kalau sampai dia membunuh orang yang segagah ini memang sayang sekali. Apalagi iapun maklum bahwa muridnya telah membela orang yang terkenal sebagai seorang pembesar korup dan sewenang-wenang, sungguhpun pembesar itu adalah paman muridnya.

Akan tetapi Coa-lokai yang amat setia kepada Hwa-i Lo-kai, ketika mendengar bahwa kakek tua renta yang kelihatan kurus kering itu adalah musuh besar ketuanya, segera membentak marah,

“Kau tua bangka berani menghina pangcu kami! Rasakan tanganku!” Coa-lokai menerjang dan langsung menyerang.

“Coa-lokai, jangan….!”

Sin-chio The Kok atau Hwa-i Lo-kai mencegah, namun terlambat sudah Coa-lokal sudah menyerang dengan hebat, malah mempergunakan pedangnya. Semua orang melihat betapa pedang di tangan Coa-lokai itu menyambar ganas dan agaknya kakek yang diserangnya itu sama sekali tidak bergerak, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu terdengar pedang berkerontangan di atas lantai dan tubuh Coa-lokai terlempar ke belakang. Padahal kakek itu hanya mengangkat sedikit tongkatnya yang butut! Ketika dilihat ternyata Coa-lokai yang merintih-rintih itu patah tulang lengannya!

Sin-chio The Kok terkejut sekali. Bukan main hebatnya kepandaian dari Sin-eng-cu Lui Bok ini. Ia cepat menjura dan berkata,

“Pembantuku telah tak tahu diri menyerangmu, akulah yang mintakan maaf dan harap Sin-eng-cu suka bersabar menanti sampai aku selesai mengadakan pemilihan ketua.”

Sin-eng-cu Lui Bok tertawa dan hanya berkata,
“Silakan…, silakan….”

Kun Hong melangkah maju dan menjura kepada Ketua Hwa-i Kai-pang itu.
“Tidak tahunya Locianpwe ini yang bernama Sin-chio The Kok dan sekarang menjadi Ketua Hwa-i Kai-pang. Pangcu, aku kebetulan datang bersama Susiok Sin-eng-cu mendengar bahwa disini hendak diadakan pemilihan ketua baru. Kenapa kau membiarkan saja orang-orangmu berebutan kedudukan ketua? Kalau kau sendiri yang menjadi ketuanya, perlu apa diganti lagi? Kulihat kau seorang yang berjiwa gagah, kenapa hendak mundur? Kalau perkumpulan yang bertujuan memperbaiki nasib orang-orang jembel yang sengsara ini terjatuh kedalam tangan ketua tukang berkelahi, bukankah akan celaka?”

“Ha, betul sekali omonganmu, Siauw-kongcu!” Tiba-tiba Coa-lokai yang sudah berdiri lagi dengan tangan dibalut berkata keras. “Memang Pangcu tidak perlu diganti lagi!”

“Pangcu, kalau terpaksa dilakukan penggantian ketua, kurasa satu-satunya orang yang patut menggantimu adalah orang tua tinggi besar ini,” Kun Hong menudingkan telunjuknya ke arah Coa-lokai. “Dia jujur dan setia sekali kepadamu.”

Memang biarpun masih muda, pandangan mata Kun Hong amat mendalam dan sekali melihat saja ia tahu bahwa Coa-lokai adalah seorang yang setia dan jujur, sama sekali tidak memiliki pamrih untuk memperebutkan kedudukan, terbukti dari pembelaannya kepada ketuanya dan menyerang Sin-eng-cu tadi, kemudian kata-katanya sekarang.

Diam-diam Hwa-i Lo-kai kagum memandang Kun Hong. Bocah ini benar-benar luar biasa dan ucapannya seperti orang yang sudah matang pengalamannya saja. Kalau bocah ini menyebut susiok (paman guru) kepada Sin-eng-cu, tentulah dia memiliki kepandaian hebat pula.

Pada saat itu, Sun-lokai dan Beng-lokai sudah siap mendekati Kun Hong. Sun-lokai berseru marah,

“Untuk apa mendengarkan omongan bocah gila itu? Usir saja dia dari sini, mengacaukan pemilihan ketua!”

“Betul, Pangcu. Bocah ini mencampuri urusan kita. He, bocah tak tahu aturan, lebih baik kau tutup mulutmu dan pergi dari sini. Kalau tidak, mulutmu akan kuhancurkan dengan kepalanku!”

“Ji-wi Lo-kai jangan kurang ajar terhadap tamu!” Hwa-i Lo-kai cepat mencegah karena ia merasa tidak enak sekali terhadap Sin-eng-cu.

Kun Hong tersenyum dan Sin-eng-cu hanya tersenyum-senyum saja.
“Pang-cu, apakah dua orang ini juga pembantu-pembantumu? Alangkah jauh bedanya dengan Coa-lokai.”

“Eh, orang muda, kau tadi datang-datang melawan kami bertempur untuk menentukan kemenangan. Ada hak apakah kau mencampuri urusan Hwa-i Kai-pang?” bentak, Sun-lokai.

Kini Kun Hong bicara dengan muka sungguh-sunggu,
”Lo-kai, aku mendengar bahwa perkumpulan ini adalah perkumpulan Hwa-i Kai-pang dan perkumpulan pengemis, tentu bertujuan untuk menolong para pengemis dan memperbaiki nasib mereka. Akan tetapi mengapa untuk menentukan seorang ketua harus memilih yang pandai ilmu silat dan kalian tadi saling gempur sendiri? Apakah Hwa-i Kai-pang mau dijadikan perkumpulan tukang pukul?”

“Kau mengaku keponakan Sin-eng-cu, tapi omongan apa yang kau keluarkan ini?” Sun-lokai membentak, makin marah, “Kalau ketua kita seorang yang lemah, mana bisa memimpin Hwa-i Kai-pang?”

“Ah, salah sama sekali!” Kun Hong berseru penasaran, “Apakah hanya seorang tukang pukul saja yang dapat memimpin? Memimpin dengan cara kekerasan dan kekuatan sama sekali tidak baik.”






No comments:

Post a Comment