Ads

Tuesday, November 27, 2018

Rajawali Emas Jilid 053

“Tahu tidak sama dengan mengerti, malah mengerti pun tidak sama dengan sadar, Ayah! Tahu saja tanpa mengerti isinya percuma. Mengerti sekalipun tanpa kesadaran takkan ada gunanya. Yang penting tahu, lalu mengerti akan isinya, sadar untuk menerapkan pengertian ini dengan batinnya, kemudian disusul dengan ketaatan bulat terhadap pengertian ini. Apa gunanya kalau kita hanya tahu dan mengerti bahwa membunuh itu jahat, akan tetapi kita malah nekat melakukannya? Pendeknya, anak tidak setuju kalau Hoa-san-pai mempunyai orang-orang yang suka menjadi pembunuh sesama manusia!”

“Hemm, hemmm, aneh sekali anakmu, Kwa-sicu!” kata Kui Tosu dengan muka merah. Tosu tua yang berangasan ini tak dapat menahan lagi kesabarannya. “Eh, kongcu cilik, habis kalau menurut pendapatmu, bagaimarna kita akan menghadapi gerombolan Harimau Hitam itu?”

“Alam mempunyai hukum yang diatur oleh Tuhan. Manusiapun mempunyai hukum yang diatur oleh pemerintahan negara. Kita sebagai manusia harus tunduk kepada hukum pula. Masyarakat telah diatur dengan adanya petugas-petugas yang berkewajiban mengatur hukum-hukum itu. Kalau ada hal yang tidak beres dan melanggar hukum, merekalah yang wajib mengurusnya. Sekarang gerombolan itu kalau sudah datang kesini, kita ajak bicara secara aturan. Kalau mereka tidak mau terima uluran dan hendak melanggar hukum, biar kita laporkan kepada lurah dan para petugas di dusun, tak jauh di kaki gunung sana.”

Meledak suara ketawa tiga orang tosu tua itu. ketika mendengar omongan ini. Kwa Tin Siong menjadi amat merah mukanya karena sikap Kun Hong ini jelas membuka kenyataan bahwa puteranya itu tidak tahu-menahu tentang dunia persilatan, dimana hukum yang dipakai adalah hukum persilatan yang jauh bedanya dengan hukum pemerintah.

“Kwa-sicu, kau benar-benar aneh sekali mendidik anakmu seperti ini! Ha-ha-ha, tidak nyana mendiang Lian Bu Tojin mempunyai cucu murid seperti ini!” Kun Tosu tertawa-tawa sambil memegangi perutnya saking geli.

“Locianpwe, harap maafkan puteraku, memang semenjak kecil tak pernah diberi pendidikan ilmu silat, melainkan ilmu surat dan filsafat. Betapapun juga, menurut pendapatku yang bodoh, jauh lebih baik tidak tahu akan ilmu silat sehingga jauh daripada bermusuh-musuhan seperti dalam penghidupan kita orang-orang persilatan.”

Pada saat itu terdengar suara nyaring diluar pintu, suara wanita yang berteriak-teriak,
“Hayo, mana dia si orang she Kwa? Suruh dia lekas keluar menyerahkan pedang Hoa-san Po-kiam dan kepalanya!”

Semua orang kaget sekali. Bagaimana bisa ada seorang musuh datang begitu saja tanpa diketahui oleh para penjaga yang sudah diatur serapi-rapinya? Kwa Tin Siong menyangka bahwa yang datang tentulah Kim-thouw Thian-li, maka ia lalu melangkah keluar, diikuti semua orang termasuk Pak-thian Sam-lojin.

Setelah mereka tiba di luar, semua orang ini dibikin bengong saking herannya. Bukan Kim-thouw Thian-li yang berdiri disitu, melainkan seorang gadis tanggung berusia sekitar tujuh belas tahun, yang berdiri dengan tegak di tengah pelataran depan kuil.

Gadis ini cantik sekali, sepasang matanya tajam bergerak-gerak cepat memandang ke kanan kiri, mulut kecil yang berbibir merah itu manis tersenyum-senyum setengah mengejek. Pakaiannya sederhana sekali, dari kain kasar dan dengan jahitan sederhana seperti biasanya pakaian gadis-gadis gunung, juga tidak kelihatan membawa senjata apa-apa sehingga benar-benar seperti seorang dara gunung yang cantik manis sekali.

Karena ia tidak bersenjata, maka ia mirip seorang gadis yang kurang waras pikirannya. Kalau tidak demikian, bagaimana seorang gadis seperti dia berani bicara tidak karuan di Hoa-san-pai? Berbeda kiranya kalau dia membawa senjata, tentu dia merupakan seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat maka berani membuka suara besar.

Melihat banyak orang keluar dari kuil dan sikap mereka rata-rata gagah, gadis itu kembali berteriak, suaranya nyaring, biarpun merdu dan halus namun jelas bernada keras mengancam,

“Mana Ketua Hoa-san-pai she Kwa?”

Dengan tenang dan sabar Kwa Tin Siong melangkah maju dan balas bertanya,
“Nona siapakah dan dari mana? Ada keperluan apakah kau mencari Ketua Hoa-san-pai she Kwa?”

Dengan pandang matanya yang tajam gadis itu memandang Kwa Tin Siong penuh selidik, lalu berkata,

“Sudah kukatakan tadi, dia harus menyerahkan Hoa-san Po-kiam kepadaku, juga kepalanya. Pedang dan kepalanya harus kubawa pergi.”





Jawaban ini demikian sewajarnya sehingga para pendengarnya menjadi bengong. Banyak tosu menganggap bahwa gadis ini tentu miring otaknya, kalau tidak demikian, masa mengajukan permintaan yang begitu gila?

Kwa Kun Hong menjadi marah. Dengan mata melotot ia melangkah maju dan berdiri dekat sekali di depan gadis itu. Lagaknya seperti seorang guru memarahi muridnya yang goblok. Telunjuknya menuding ke arah muka yang cantik.

“Nona cilik, apakah kau tidak pernah diajar orang tuamu? Ucapan apa yang kau keluarkan itu? Sungguh tidak patut! Mana ada aturan orang seperti kau ini hendak membunuh orang dan minta kepalanya? Ah, dosa… dosa…, benar-benar kau berdosa besar sekali. Apa kau tidak takut ditangkap oleh yang berwajib dan dijebloskan dalam penjara? Kalau terjadi demikian, aduh kasihan sekali kau yang masih begini muda!”

Gadis muda itu nampak bingung dan memandang kepada Kun Hong dengan tertarik.
“Penjara? Apa itu? Yang berwajib itu siapa? Kenapa aku hendak ditangkap?”

Kun Hong mengira bahwa gadis itu tentu takut dengan gertakannya, maka hatinya menjadi girang.

“Nah, belum apa-apa sudah takut, kau! Maka jangan sembarangan bicara. Yang berwajib itu tentu saja petugas pemerintah yang menjadi penegak hukum. Penjara itu adalah tempat orang-orang jahat dihukum. Kau masih muda, seorang gadis yang semestinya bersikap lemah lembut dan membantu pekerjaan ibu di rumah. Aku kasihan sekali kepadamu dan sungguh mati aku tidak ingin melihat kau sampai ditangkap dan dimasukkan penjara.”

Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa hanya menarik napas panjang menyaksikan sikap putera mereka yang tentu dianggap tolol oleh semua orang itu, akan tetapi karena gadis itupun kelihatannya bodoh, maka mereka itu mendiamkannya saja.

Tiba-tiba gadis muda itu kelihatan marah.
“Siapa berani menangkap aku? Aku tidak takut! Kau ini… kau menakut-nakuti aku. Apakah kau she Kwa?”

Kun Hong tersenyum lebar.
“Eh, eh, kiranya kau sudah mengenal aku? Dimana kita pernah bertemu? Bagiku, mimpipun belum pernah bertemu dengan kau yang lucu ini.”

“Siapa pernah bertemu dengan engkau? Apakah kau she Kwa?”

“Kalau belum pernah bertemu, bagaimana kau mengenalku dan mengerti bahwa aku she Kwa? Aneh sekali, aku memang betul she Kwa!”

Secepat kilat tangan gadis itu bergerak dan tahu-tahu leher baju Kun Hong telah ditangkapnya dan sekali tarik Kun Hong sudah berada dalam kekuasaannya. Semua orang kaget, Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa sudah bersiap menolong puteranya. Akan tetapi gadis itu hanya mengancam.

“Apakah kau Ketua Hoa-san-pai?”

Kun Hong kaget bukan main, lalu berkata gemas,
“Kau ini wanita apa laki-laki? Tenagamu amat besar dan kau tarik-tarik aku mau apa sih?”

“Kalau kau Ketua Hoa-san-pai akan kupenggal kepalamu!”

Kun Hong meleletkan lidahnya mengejek.
“Kau kira aku takut dengan ancamanmu? Andaikata aku benar-benar Ketua Hoa-san-pai, tentu aku akan mengaku dan tidak takut kau sembelih seperti ayam. Sayangnya aku bukan Ketua Hoa-san-pai.”

Gadis itu melepaskan leher bajunya dan mendorongnya perlahan, akan tetapi dorongan ini cukup membuat Kun Hong terlempar dan terguling dan berkata,

“Benar-benar kau jahat sekali, tak tahu dikasihani orang!”

Gadis itu mengomel,
“Syukur kau bukan Ketua Hoa-san-pai, aku tidak senang kalau harus membunuh orang lemah seperti kau. Tak mungkin lagi kalau kau Ketua Hoa-san-pai, menurut keterangan ibu Ketua Hoa-san-pai jahat. Kau… tak mungkin jahat, kau laki-laki lemah tak berguna.”

Kun Hong hendak membantah lagi akan tetapi Kwa Tin Siong menariknya ke belakang lalu menghadapi gadis itu. Suaranya keren ketika ia bertanya,

“Nona, sebenarnya kau ini siapa dan apa kehendakmu mengacau di Hoa-san-pai?”

“Apakah kau she Kwa? Dan siapa Ketua Hoa-san-pai?”

“Betul, akulah Kwa Tin Siong Ketua Hoa-san-pai.”

Gadis itu memandang tajam, tampaknya ragu-ragu.
“Kaupun tidak pantas menjadi orang amat jahat. Jangan kau membohong. Kalau benar kau orang she Kwa Ketua Hoa-san-pai, mana pedang pusaka Hoa-san Po-kiam?”

Kwa Tin Siong tersenyum. Sikap gadis cilik itu amat menarik hatinya, biarpun aneh dan agak sombong, namun lucu dan banyak memiliki sifat-sifat menimbulkan rasa sayang. Ia mencabut Hoa-san Po-kiam sambil berkata,

“Inilah Hoa-san Po-kiam. Nah, percayakah kau sekarang bahwa aku adalah Ketua Hoa-san-pai? Sekarang katakanlah, kau ini bernama siapa dan sebetulnya apa yang menyebabkan kau bersikap begini aneh?”

Mendadak gadis itu menggerakkan kedua tangannya dan menyerang Ketua Hoa-san-pai itu dengan pukulan-pukulan yang cepat bertubi-tubi. Kwa Tin Siong kaget bukan main. Bukan kaget karena diserang, baginya sudah terlalu biasa menghadapi serangan-serangan mendadak.

Akan tetapi ia kaget dan heran sekali melihat cara menyerang dari gadis itu. Melihat gerakan lengan kiri yang pertama-tama memukul dadanya, tak salah lagi itu adalah gerak tipu Burung Hong Mematuk Hati dari ilmu silat Hoa-san-pai. Akan tetapi digerakkan amat aneh dan dengan kecepatan luar biasa sehingga hampir saja dadanya kena pukul!

Sebelum ia kehilangan kagetnya setelah berhasil mengelak, serangan kedua sudah tiba pula. Kali ini juga sebuah gerak tipu dari ilmu silat Hoa-san-pai yang disebut Sepasang Naga Mengejar Awan. Lagi-lagi ia melengak dan repot sekali menggunakan tangan kirinya menangkis sambil membuang diri ke belakang karena sepasang kepalan gadis itu bergerak terlalu cepat dan juga aneh sekali.

Dia adalah Ketua Hoa-san-pai, semenjak kecil sudah melatih diri dengan ilmu silat Hoa-san-pai dan sudah hafal, malah ilmu silat ini sudah mendarah daging dalam dirinya. Akan tetapi mengapa diserang dua kali dengan tipu dari ilmu silat ini ia menjadi repot sekali?

Yang hebat adalah perubahan-perubahan yang susul-menyusul dari serangan gadis itu. Karena begitu Kwa Tin Siong membuang diri ke belakang, tahu-tahu gadis itu sudah menyerangnya lagi, kini dengan gerak tipu yang amat dahsyat, yaitu yang disebut Harimau Sakti Menerkam Kuda. Dengan kedua tangan terbuka gadis itu sudah meloncat dan menyambar ke arah punggungnya dengan jari-jari tangan terbuka.

Tentu saja Kwa Tin Siong merasa tidak enak untuk balas menyerang seorang gadis cilik seperti itu. Apalagi gadis itu ternyata selalu mempergunakan jurus-jurus dari ilmu silat Hoa-san-pai dalam menyerangnya. Akan tetapi karena diam-diam ia mengakui bahwa gerakan gadis ini agak berbeda dengan ilmu silatnya sendiri walaupun jurus-jurus itu sama benar, malah diam-diam ia terkejut karena daya penyerangan gadis cilik ini amat dahsyat, ia lalu mengambil keputusan untuk memberi hukuman sedikit kepadanya.

Melihat gadis itu menerjangnya dengan gerakan Harimau Sakti Menerkam Kuda, ia membiarkan gadis itu sudah melayang dekat, lalu tiba-tiba ia menggerakkan tangan kiri menangkis ke depan dengan pengerahan tenaga Iwee-kangnya.

Terdengar seruan kaget dari kedua pihak. Gadis itu kaget sekali ketika tangan kanannya tergetar dalam pertemuan dengan tangkisan Ketua Hoa-san-pai itu sampai seluruh tubuhnya ikut tergetar, akan tetapi, Kwa Tin Siong kaget bukan main ketika dalam keadaan seperti itu, tak tersangka-sangka sama sekali tangan kiri gadis itu sudah menotok ke arah pergelangan tangan kanannya yang mememegang pedang dan sekaligus dapat merampas pedang itu dari tangannya!

Merah kini wajah Kwa Tin Siong. Pedang pusaka Hoa-san-pai dapat terampas dari tangan Ketua Hoa-san-pai, benar-benar hal ini merupakan hal yang amat memalukan! Ia harus mengakui bahwa gerakan-gerakan gadis ini dalam ilmu silat Hoa-san-pai amat mahir dan juga amat aneh, akan tetapi perampasan pedang tadi terjadi karena ia tidak menyangka sama sekali dan karena ia sudah banyak mengalah terhadap gadis muda itu.

“Bocah tak tahu diri! Kau benar-benar makin kurang ajar. Hayo kau kembalikan pedangku!” katanya keren.






No comments:

Post a Comment