Ads

Tuesday, November 27, 2018

Rajawali Emas Jilid 052

”Demikianlah, Supek. Agaknya Bhe Lam itu tidak melupakan urusan lama dan biarpun teecu sudah menjadi tosu disini, dia masih mencari dan hendak membalas dendam. Perkenankan teecu pergi menemuinya dan sekali ini teecu takkan tanggung-tanggung membasminya agar ia tidak mengacau ketenteraman dunia.”

Setelah berkata demikiah Thian Beng Tosu lalu bergerak hendak pergi mencari musuh besarnya.

Kwa tin Siong menggerakkan tangan mencegah.
“Nanti dulu, jangan kau terlalu sembrono dan tergesa-gesa. Kalau dahulu dia pernah kau kalahkan dan sekarang berani datang menantang, sudah tentu ia mempunyai andalan yang kuat. Kalau tidak demikian, tak mungkin ia bersikap menantang. Pula, kalau hendak menuntut balas, mengapa harus sampai belasan tahun lamanya? Kita harus hati-hati dan jangan gegabah. Dengan mendatangi Hoa-san-pai, memasang bendera menghina bendera kita, itu saja menunjukkan bahwa ia memandang rendah kepada Hoa-san-pai. Setelah ia berbuat demikian jauh, bagaimana aku bisa tinggal diam saja?”

“Yang amat mengherankan adalah tempat ia menanti di Im-kan-kok,” kata Liem Sian Hwa sambil mengerutkan keningnya. “Im-kan-kok adalah tempat suci yang juga menjadi tempat larangan bagi kita, kenapa musuh justeru menanti disana? Thio Ki, kau harus berhati-hati, benar pendapat supekmu, kita semua harus menghadapi urusan ini bersama.”

Tiba-tiba Kun Hong tertawa,
“Orang itu tak tahu diri sekali berani mengganggu Hoa-san-pai. Twa-suko jangan takut, orang itu memberi waktu dua belas jam, tentu nanti tengah hari dia datang. Biarkan dia datang, hendak kita lihat bagaimana macamnya. Untuk mendatangi undangannya ke Im-kan-kok hanya akan membuat dia leluasa mengatur jebakan.”

“Hush, kau tahu apa tentang urusan ini?” ibunya membentak.

Kwa Tin Siong teringat akan sesuatu dan ia lalu bertanya dengan suara bengis,
“Kun Hong, kau tadi tahu akan gerakan ibumu, dari mana kau tahu? Hayo bicara, jangan kau sembunyikan sesuatu dariku!”

Leher Kun Hong mengkeret ketika ia dibentak ayahnya, wajahnya menjadi merah dan ia menjawab gugup,

“Ah, tidak sekali-kali aku melanggar larangan Ayah. Aku tak pernah mempelajari ilmu silat, hanya aku telah membaca catatan Ayah dan Ibu tentang ilmu silat Hoa-san-pai. Mempelajari tidak boleh, kalau membaca kan tidak ada larangan, bukan? Aku memang suka membaca apa saja, Ayah.”

Diam-diam Ketua Hoa-san-pai ini tertegun. Membaca begitu saja tanpa mempelajari prakteknya, namun sudah dapat melihat gerakan orang, benar-benar hal ini amat luar biasa dan membutuhkan kecerdikan yang jarang bandingannya. Ia kagum dan juga bangga sekali, akan tetapi mulutnya berkata,

“Hemm, lain kali kau tidak boleh membaca segala macam kitab pelajaran ilmu silat”

“Baik, Ayah,” kata Kun Hong sambil tunduk.

Karena menguatirkan keselamatan puteranya yang tidak pandai ilmu silat, Kwa Tin Siong hendak menyuruh puteranya itu tinggal saja di kamarnya, akan tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan perintah, tiba-tiba seorang tosu masuk dan melaporkan bahwa ada tiga orang tosu tua yaitu Pak-thian Sam-lojin datang berkunjung.

Wajah Kwa Tin Siong menunjukkan perasaan girang dan heran akan kunjungan yang tak tersangka-sangka ini. Tiga Orang Tua dari Utara itu adalah sahabat-sahabat baik mendiang gurunya, Lian Bu Tojin. Tentu saja kunjungan ini amat menyenangkan hatinya, apalagi diwaktu Hoa-san-pai sedang menghadapi ancaman musuh. Dari tiga orang kakek yang berkepandaian tinggi itu dapat diharapkan bantuannya.

“Persilakan mereka masuk,” katanya, lalu ia bersama isterinya, juga Thian Beng Tosu yang masih ingat akan nama tiga orang kakek itu segera menyambut di pintu ruangan.

Tak lama kemudian masuklah tiga orang kakek itu. Usia mereka sudah tua sekali, akan tetapi sikap mereka masih gagah. Tiga orang tosu yang mengenakan pakaian longgar, dengan wajah keren dan tindakan kaki ringan, tanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Melihat mereka, Kwa Tin Siong, isterinya dan Thian Beng Tosu segera menjura dengan hormat. Tiga orang kakek itu mengelus jenggot dan seorang diantara mereka yang tertua dan yang berjenggot panjang sekali segera berkata,

“Sudah lama kami mendengar bahwa Hoa-san-pai sudah berganti ketua. Menyesal kami tidak dapat datang ketika terjadi malapetaka di Hoa-san. Mula-mula memang kami ingin datang dan membalaskan sakit hati sahabat kami Lian Bu Tojin, akan tetapi kemudian kami mendengar bahwa Sicu telah menggantikan kedudukan mendiang sahabat kami itu. Betapapun juga, kami ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa Hoa-san-pai sudah bangun kembali. Siapa kira di tengah perjalanan kami melihat adanya gerombolan orang jahat yang mengancam Hoa-san-pai. Apakah Sicu sudah mengetahuinya?”





Kwa Tin Siong mempersilakan para tamunya duduk lalu menghaturkan terima kasih.
“Sam-wi Locianpwe benar-benar telah mencapaikan diri untuk memperhatikan keadaan Hoa-san-pai. Untuk budi kecintaan itu kami menghaturkan banyak terirna kasih. Memang benar seperti yang Locianpwe katakan tadi, ada segerombolan penjahat datang mengganggu, akan tetapi kiranya hal ini tak patut untuk membikin Sam-wi capai hati. Hanya urusan kecil saja.”

Kui Tosu, yaitu tosu tertua daripada tiga kakek itu, mengerutkan alisnya yang sudah putih. Ia memang berwatak berangasan.

“Hemm, Sicu sebagai murid dari Lian Bu Tojin sudah tentu telah mewarisi ilmu yang hebat dari Hoa-san-pai. Akan tetapi harap diketahui bahwa kepandaian tidak ada batasnya dan kiraku hari ini belum tentu kepandaian Hoa-san-pai akan dapat diandalkan untuk mengalahkan musuh. Tahukah Sicu siapa yang datang mengganggu?”

Diam-diam Kwa Tin Siong tidak senang mendengar ucapan ini. Dia adalah seorang gagah yang tak pernah takut menghadapi lawan, akan tetapi oleh karena tiga orang kakek ini datang sebagai tamu dan adalah sahabat-sahabat mendiang gurunya, ia menahan kesabaran dan bertanya,

“Yang saya ketahui hanya bahwa orang yang memimpin gerombolan pengacau itu bernama Bhe Lam, seorang penjahat Sin-yang berjuluk Hek-houw (Harimau Hitam). Penjahat cilik macam itu perlu apa diributkan?”

Tosu termuda dari tiga orang kakek itu yang bernama Lai Tosu tertawa bergelak,
“Ha-ha-ha-ha! Kalau hanya harimau hitam saja apa artinya? Besar atau kecil kalau hanya Hek-houw saja tidak lebih daripada seekor kucing hitam! Ketahuilah, Kwa-sicu, di belakang si Harimau Hitam itu masih ada dua mahluk yang lebih menakutkan lagi. Kau tahu siapa mereka? Yang seorang adalah Kim-thouw Thian-li Ketua Ngo-lian-kauw dan yang kedua adalah Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa)!”

Kwa Tin Siong kaget bukan main mendengar nama-nama ini. Tentu saja ia sudah mengenal Kim-thouw Thian-li yang sudah berkali-kali membikin keruh keadaan Hoa-san-pai, malah wanita inilah yang mula-mula merusak Hoa-san-pai sehingga terjadi hal yang berlarut-larut dan permusuhan yang menjadi-jadi (baca cerita Raja Pedang).

Kim-thouw Thian-li merupakan musuh besar Hoa-san-pai, berarti musuh besarnya. Kepandaian wanita itu memang hebat sekali, akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar untuk menghadapinya. Yang membikin Ketua Hoa-san-pai ini kaget sekali adalah disebutnya nama Toat-beng Yok-mo. Kakek iblis itu sudah belasan tahun menghilang dari dunia kang-ouw, kenapa sekarang bisa muncul bersama Kim-thouw Thian-li membantu Hek-houw Bhe Lam?

Melihat kekuatiran di wajah tuan rumah, Bu Tosu orang ketiga dari Pak-khia Sam-lojin dengan sombong berkata,

“Kwa-sicu tak usah kuatir, Kim-thouw Sian-li dan Toat-beng Yok-mo boleh menakuti orang lain, akan tetapi lihat saja, ada pinto bertiga disini yang siap untuk meghancurkannya!”

Kwa Tin Siong belum hilang kagetnya dan ia berkata,
“Terima kasih atas janji Sam-wi untuk membantu kami. Akan tetapi benar-benar saya tidak mengerti mengapa Toat-beng Yok-mo dapat berada dengan mereka?”

“Ha-ha-ha, Kwa-sicu masih belum mendengar? Agaknya karena belasan tahun sibuk mengurus Hoa-san-pai, tidak tahu akan kejadian di dunia luar! Kakek tua bangka tukang obat itu tergila-gila kepada Kim-thouw Thian-li dan kabarnya ia telah memperisteri Ketua Ngo-lian-kauw itu. Ha-ha, benar-benar tua bangka tak tahu malu!” kata Lai Tosu.

“Akan tetapi Sicu tak perlu merasa kuatir,” sambung Kui Tosu tenang. “Biarkan mereka datang, kita atur jebakan untuk mereka. Para tosu supaya mengatur bai-hok (barisan terpendam) di sekeliling puncak, siap dengan senjata lengkap. Kami sudah melihat bahwa gerombolan mereka hanya terdiri dari tiga puluh orang lebih. Kita menang banyak. Kita biarkan mereka masuk dan Sicu boleh menghadapi Bhe Lam sedangkan kami bertiga akan menggempur Toat-beng Yok-mo. Tentang Kim-thouw Thian-li, kami rasa cukup kalau dihadapi oleh isterimu dan murid-muridmu. Sementara itu, para tosu datang mengurung dan mengeroyok anak buah mereka yang tidak banyak jumlahnya itu. Dengan cara ini, kami rasa kita akan dapat membunuh mereka semua, jangan ada yang bisa lolos agar kelak mereka tidak mendatangkan bencana pula!”

Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa mengangguk-angguk, setuju dengan rencana siasat ini. Akan tetapi tiba-tiba Kun Hong berseru marah,

“Tidak boleh….! Tidak boleh, jahat sekali itu! Masa kita Hoa-San-pai harus membunuhi orang-orang itu? Tidak boleh, mana ada aturan manusia membunuh manusia lain? Ini perbuatan terkutuk, oleh Thian!”

Semua orang kaget, apalagi Pak-thian Sam-lojin. Mereka menengok memandang kepada pemuda itu dengan heran.

“Kwa-sicu, siapakah orang muda ini?” tanya Kui Tosu.

“Dia adalah Kun Hong, anak kami yang bodoh,” jawab Kwa Tin Siong dan ia sudah melototkan matanya untuk menegur anaknya.

Akan tetapi Kui Tosu sudah mendahuluinya, bertanya dengan keren.
“Orang muda, kalau kau menganggap rencana kami itu tidak boleh dijalankan, habis kalau menurut pikiranmu bagaimana baiknya menghadapi musuh-musuh yang akan menyerbu?”

“Ha-ha, bocah berlagak pintar!” kata Lui Tosu. “Apakah kau ingin agar mereka itu datang menyerbu dan membunuh kita semua?”

“Tidak demikian maksudku. Harap Sam-wi Totiang tidak salah sangka,” jawab Kun Hong, suaranya tetap dan tegas. “Kalau ada seorang gila memaki-maki seorang waras, lalu si waras itu balas memaki-maki si gila, lalu bagaimana perbedaan antara mereka? Mana si waras dan mana si gila? Demikian pula, kalau ada orang jahat berencana hendak membunuh kita, lalu kita berencana pula untuk membunuh mereka, bukankah watak kita tiada bedanya dengan orang jahat itu? Mereka hendak membunuh kita, kitapun hendak membunuh mereka. Siapa diantara kita yang jahat? Siapa benar siapa salah?”

Kwa Tin Siong sendiri melengak mendengar omongan puteranya ini. Memang ia tahu bahwa watak puteranya amat keras dan juga amat berani dalam mengemukakan pendapatnya, akan tetapi tidak disangkanya akan seberani ini. Tiga orang kakek itu saling pandang dengan terheran-heran. Kui Tosu lalu membantah

“Tentu ada perbedaannya! Kita hendak membunuh mereka dengan dasar hendak membasmi orang-orang jahat!”

“Apa Totiang mengira bahwa merekapun tidak mempunyai dasar dengan kehendak mereka membunuh kita? Setiap perbuatan tentu ada dasarnya, yaitu dasar untuk kemenangan sendiri, untuk kebaikan sendiri. Pendapat seorang takkan sama, dasar yang dipakai orang tidak sama pula. Semua orang memperebutkan kebenaran, kebenaran sendiri tentu!”

“Habis, kalau menurut pendapatmu, bagaimana?” Kui Tosu mulai marah.

Karena bocah ini adalah putera Ketua Hoa-san-pai, maka ia mau melayaninya, kalau bukan putera Kwa tin Siong, tentu tidak sudi bicara dengannya.

“Maaf, Totiang. Harap Totiang, juga Ayah dan Ibu dan para susiok dan suheng suka menjawab dulu pertanyaanku. Kalau kukatakan bahwa yang berhak atas sesuatu benda adalah pembuatnya, apakah salah kata-kataku ini?”

“Tentu saja begitu,” jawab Thian Beng Tosu karena yang lain-lain tidak menjawab.

“Nah, Suheng sudah menjawab dan membetulkan kata-kataku. Yang berhak atas sesuatu adalah pembuatnya. Lalu, siapakah yang membuat manusia ini hidup di dunia? Salahkah kalau kukatakan bahwa Tuhan yang memberi hidup?”

Kembali pemuda ini berhenti dan memandangi mereka dengan sepasang matanya yang bersinar tajam.

“Benar pula, Kun Hong,” jawab Thian Beng Tosu.

“Nah, kalau kita semua mengakui bahwa yang memberi hidup adalah Tuhan, berarti hidup kita ini milik Tuhan. Oleh karena itu pula, hanya Tuhanlah yang berhak untuk mengakhiri hidup kita, jadi hanya Tuhan pula yang berhak membunuh manusia. Kalau kita sudah tahu akan hal ini, mudah saja bagi kita menjawab. Perbuatan membunuh itu baik atau jahat?”

Tidak ada yang menjawab, Kun Hong penasaran dan menghadapi ayahnya.
“Ayah selalu mengajar agar supaya aku hanya mengatakan apa yang menjadi isi hatiku. Mengapa sekarang pertanyaanku tidak ada yang menjawab? Ayah, bukankah menurut sebab-sebab tadi, membunuh itu baik ataukah jahat?”

“Memang, membunuh adalah perbuatan yang tidak baik,” akhirnya ayahnya berkata perlahan.

Mata Kun Hong berseri-seri dan bersinar-sinar.
“Nah, kalau perbuatan membunuh ini termasuk perbuatan jahat, mengapa kita merencanakan hendak membunuh orang malah? Mengapa kita hendak membalas kejahatan dengan kejahatan pula? Kalau orang lain yang hendak membunuh termasuk golongan penjahat, habis kita ini apa kalau juga meniru perbuatan mereka? Membalas perbuatan baik dengan kebaikan pula adalah sikap seorang budiman. Membalas kejahatan dengan kebaikan hanya mungkin dapat dilakukan oleh alam, hanya mungkin dapat dilakukan oleh Tuhan. Hanya manusia yang sudah dapat menyatukan diri dengan alam saja yang akan mencapai kebajikan ini, yaitu membalas kejahatan dengan kebaikan. Akan tetapi seorang manusia bijaksana, seorang budiman biarpun belum dapat membalas kejahatan dengan kebaikan, sedikitnya harus dapat membalas kejahatan dengan keadilan!”

Semua orang disini maklum bahwa yang dikemukakan oleh pemuda itu adalah ajaran-ajaran dalam agama dan filsafat yang memang telah dipelajarinya semenjak ia kecil.

“Semua orang telah mempelajari kebenaran, akan tetapi tidak berani membela dan mempertahankan kebenaran yang dipelajarinya itu! Ayah, dan ibu, dan semua susiok dan suheng. Hoa-san pai takkan bernama kalau dibangun dengan darah dan pembunuhan. Hoa-san-pai adalah perkumpulan untuk menuntun orang-orang mempelajari Agama Tao agar manusia dapat membersihkan diri daripada kejahatan, bagaimana mungkin mengajar orang membersihkan diri dari kejahatan dengan jalan terjun ke dalam kejahatan itu sendiri?”

Melihat pemuda ini makin bersemangat, Kwa Tin Siong merasa tidak enak hati dan ia lalu membentak,

“Kun Hong, kau ini anak kecil hendak memberi pelajaran kepada orang-orang tua? Soal begitu saja, kita semua sudah tahu, apalagi Sam-wi Locianpwe ini. Yang kau kemukakan itu adalah pelajaran-pelajaran yang masih rendah dan semua juga sudah mengetahuinya.”






No comments:

Post a Comment