Ads

Tuesday, November 27, 2018

Rajawali Emas Jilid 051

Kakek waktu mempunyai kekuasaan yang amat mengherankan dan tak dapat dilawan oleh siapa dan apapun juga. Segala yang berada di dalam dunia ini ditelan oleh waktu, tidak pengecualian, mempergunakan daya keampuhannya yang berupa usia tua.

Benda paling keras macam besipun akhirnya menyerah kepada waktu, diganyang hancur oleh usia tua. Manusia yang paling pandai, yang paling gagah perkasa dengan kedudukan tertinggi, kekuasaan terbesar, akhirnya akan menyerah kepada Kakek Waktu. Semua akan musnah sedangkan waktu akan berjalan terus, menelan segala apa yang dihadapannya.

Yang sudah lampau hanya merupakan kenangan sepintas lalu saja, seakan-akan masa puluhan tahun hanya terjadi dalam sekejap mata. Sebaliknya, yang akan datang merupakan dugaan dan teka-teki yang takkan diketahui oleh seorangpun manusia. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa saja yang dapat menguasai Kakek Waktu, karena Tuhahlah pengatur dan pengisi waktu dengan segala macam peristiwa di dunia seperti yang dikehendaki-Nya.

Waktu memang amat aneh. Kalau diperhatikan dan diikuti jalannya, amatlah lambat ia merayap, lebih lambat daripada jalannya siput. Akan tetapi kalau tidak diperhatikan, amat cepatlah ia melewat, lebih cepat daripada terbangnya pesawat jet atau roket sekalipun.

Demikian pula dengan keadaan waktu di dalam cerita ini. Tanpa kita sadari lagi, tahu-tahu kita sudah dibawa oleh waktu terbang cepat tujuh belas tahun lamanya semenjak Kwa Tin Siong datang kembali ke Hoa-san-pai dan menjadi Ketua Hoa-san-pai sebagai pengganti gurunya, Lian Bu Tojin yang telah tewas oleh Kwa Hong dan Koai Atong. Tujuh belas tahun telah lewat bagaikan dalam sekejap mata saja!

Selama itu, tidak terjadi hal-hal penting. Memang harus diakui bahwa setelah Kaisar yang baru berhasil menghalau dan membasmi semua bekas teman seperjuangan yang hendak memberontak, keadaan pada umumnya menjadi aman tenteram.

Di Puncak Hoa-san-pai juga kelihatan aman dan damai semenjak terjadi keributan belasan tahun yang lalu, akibat sepak terjang Kwa Hong. Sekarang banyak kelihatan para tosu Hoa-san-pai bekerja disawah ladang, memikuli kaleng-kaleng air dari sumber. Bahkan dengan gembira selalu mereka kelihatan berlatih ilmu silat Hoa-san-pai di pelataran belakang kuil Hoa-san-pai yang besar itu.

Berbeda dengan belasan tahun yang lalu ketika Hoa-san-pai masih diketuai oleh Lian Bu Tojin sekarang Hoa-san-pai tidak lagi mempunyai murid-murid muda yang bukan tojin. Orang-orang kelihatan berlatih ilmu silat disitu semua adalah tosu-tosu Hoa-san-pa belaka.

Para tosu amatlah maju kalau dibandingkan dengan dahulu. Dahulu para tosu Hoa-san-pai kurang memperhatikan pelajaran ilmu silat yang agaknya “diborong” oleh murid-murid yang bukan tosu. Akan tetapi sekarang para tosu itu kelihatan amat maju dalam pelajaran ini. Ilmu silat yang mereka mainkan amat baik dan gerakan mereka menunjukkan latihan matang.

Tujuh belas tahun bukanlah waktu singkat untuk mematangkan ilmu silat bagi para murid Hoa-san-pai yang tadinya memang sudah memiliki kepandaian dasar. Apalagi yang melatih mereka adalah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, suami isteri yang sudah mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai, terutama sekali ilmu pedangnya.

Juga Thio Ki yang sekarang sudah menjadi tosu itu amatlah maju, merupakan murid kepala dan kini bahkan seringkali mewakili Ketua Hoa-san-pai untuk melatih para tosu di pelataran belakang kuil.

Thio Ki yang sudah menjadi tosu mempunyai nama pendeta Thian Beng Tosu dan ia merupakan tosu yang amat tekun mempelajari ilmu kebatinan untuk menghibur hatinya yang tertekan hebat.

Patut dikasihani nasib Thio Ki. Kalau ia terkenang kepada isterinya, Lee Giok yang menurut anggapannya sudah terbunuh oleh Kwa Hong, hatinya menjadi perih dan hanya dengan membaca kitab-kitab Agama To yang kedukaannya dapat terhibur.

Berbeda dengan Thio Ki yang sudah menjadi tosu, Kwa Tin Siong tidak masuk menjadi tosu. Hal ini adalah karena ia mempunyai isteri, maka biarpun ia sudah menjadi Ketua Hoa-san-pai, namun ia tetap menjadi “orang biasa” dan bukan pendeta. Oleh karena itu pula, sebagai ketua umum Hoa-san-pai, ia mengangkat Thian Beng Tosu (Thio Ki) menjadi ketua bagian Agama To, dibantu oleh beberapa orang tosu tua yang menjadi ahli dalam keagamaan ini.

Kwa Tin Siong sendiri hidup rukun damai dengan isterinya dan puteranya, pekerjaannya sehari-hari selain memimpin para tosu Hoa-san-pai dalam ilmu silat, juga sering kali tampak ketua ini bekerja di sawah ladang bersama para tosu lainnya.

Seperti juga halnya dengan keadaan apa saja di jagat ini, bahwa segala sesuatu takkan kekal adanya, takkan ada hujan atau terang tiada akhir, takkan pula ada kedukaan ataupun kesenangan tiada akhir. Selama Kwa Tin Siong menjadi Ketua Hoa-san-pai, memang keadaan di puncak bukit itu tampak aman tenteram, penuh damai yang menyamankan hati.





Pada hari yang amat sejuk hawa udaranya, amat nyaman cahaya matahari pagi menembusi halimun gunung, amatlah tak tersangka-sangka akan datang hal-hal yang mengganggu ketenteraman Hoa-san-pai.

Gangguan itu mula-mula terjadi di malam hari tanpa ada seorangpun anggauta Hoa-san-pai yang tahu. Ketika pagi-pagi hari para tosu mulai dengan pekerjaan mereka sehari-hari, tiba-tiba seorang tosu berseru heran sambil menuding kearah atas kuil.

Seperti biasa, di puncak kuil itu berkibar bendera Hoa-san-pai yang berdasar kuning dengan tulisan biru, tanda dari perkumpulan Hoa-san-pai. Akan tetapi sekarang bendera itu agak turun dan di puncak tiang bendera berkibar sebuah bendera kecil yang asing.

Akan tetapi dari bawah jelas terlihat bahwa bendera itu adalah sebuah bendera berdasar warna merah dengan sulaman macan hitam. Menaruh bendera diatas bendera Hoa-san-pai hanya mempunyai satu arti, yaitu orang hendak menghina dan merendahkan Hoa-san-pai. Ribut-ribut di luar kuil ini menarik hati Thian Beng Tosu yang segera berlari keluar. Melihat bendera kecil itu, wajahnya segera berubah merah dan ia mengepal tinjunya menahan marah.

Tak lama kemudian Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa juga berlari keluar diikuti oleh seorang pemuda berusia delapan belas tahun yang berwajah tampan dan bersikap halus. Dia ini bukan lain adalah Kwa Kun Hong. Mereka diberi laporan oleh seorang tosu tentang peristiwa itu, maka tergesa-gesa keluar untuk rnenyaksikan.

Kwa Tin Siong sendiri, juga isterinya, tidak mengenal bendera merah dengan gambar harimau hitam itu. Akan tetapi ketika Kwa Tin Siong melihat sikap Thian Beng Tosu (Thio Ki) yang nampak marah, ia segera bertanya,

“Apakah kau mengenal bendera itu? Apa artinya ini?”

Thian Beng Tosu segera menjawab pertanyaan supeknya,
“Teecu mengenal baik, tak nyana sama sekaii bahwa kumpulan bangsat itu berani mengejar teecu (murid) kesini, malah, berani menghina Hoa-san-pai!” Ia menarik napas panjang. “Hemmm, tentu mereka telah mempunyai pimpinan orang pandai sehingga pada malam hari tanpa kita ketahui sama sekali dapat memasangkan bendera itu.”

Liem Sian Hwa adalah seorang tokoh Hoa-san-pai yang semenjak dulu berwatak keras dan gagah. Kedua telinganya sudah merah ketika ia menyaksikan penghinaan bendera itu, sekarang mendengar kata-kata murid keponakannya ia menjadi makin panas hatinya.

“Huh, memasang bendera begitu saja apa sih hebatnya?”

Baru saja ia berkata demikian, tubuhnya sudah melesat ke atas dengan gerakan ringan sekali dan tahu-tahu ia sudah meloncat tinggi di puncak tiang bendera! Tangan kirinya bergerak menyambar tiang bendera sehingga tubuhnya berjungkir-balik dengan lurus, kemudian tangan kanannya membetot bendera kecil itu terlepas dari tiang.

Kemudian dengan sebelah tangan pula ia menaikkan bendera Hoa-san-pai di puncak tiang seperti semula. Setelah semua ini ia lakukan dengan berjungkir balik dan dengan tangan kiri menahan tubuh di puncak tiang itu, ia menekan tiang dan tubuhnya melayang turun lagi, hinggap diatas tanah tanpa mengeluarkan suara dan mukanya sedikitpun tidak menunjukkan tanda bahwa ia telah mempergunakan banyak tenaga.

Para tosu berseru kagum dan memuji Sang Nyonya Ketua yang memang patut dipuji. Tidak percuma Liem Sian Hwa mendapat julukan Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang) karena memang gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang dimilikinya sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Kun Hong bersorak memuji,

“Hebat….! Ibu seperti burung saja, ah… bukan main indahnya gerakan Hui-liong Cai-thian (Naga Terbang ke Langit) tadi!”

Seketika wajah Liem Sian Hwa dan Kwa Tin Siong berubah terheran-heran. Mereka saling pandang, kemudian keduanya memandang kepada putera mereka dengan mata penuh selidik dan penuh pertanyaan.

Tentu saja mereka terheran-heran karena bagaimana pemuda itu bisa tahu bahwa gerakan tadi adalah gerakan Hui-liong Cai-thian? Padahal diantara para tosu, kiranya hanya Thian Beng Tosu seorang yang tahu akan ilmu meloncat Hoa-san-pai yang sukar ini, sedangkan Kun Hong sama sekali tidak pernah belajar silat semenjak kecilnya. Hampir saja Kwa Tin Siong mengajukan pertanyaan, akan tetapi perhatian mereka tertarik oleh seruan Thian Beng Tosu,

“Ah, surat apakah yang tertempel di bendera itu?”

Semua orang melihat. Benar saja. Pada bendera kecil itu terdapat sehelai surat yang ditempel dengan tusukan jarum. Liem Sian Hwa menyerahkan bendera, berikut surat kepada suaminya yang segera mengambil surat itu dan membacanya. Setelah membaca, keningnya berkerut dan berkatalah Ketua Hoa-sanpai ini kepada semua tosu yang mengerumuni tempat itu.

“Gerombolan penjahat bermaksud buruk terhadap kita. Mulai saat ini kalian semua boleh terus bekerja seperti biasa, akan tetapi jangan berpisahan, harus berkelompok sedikitnya lima orang. Kalau ada orang asing naik ke gunung, jangan sembrono dan jangan mencari perkara. Langsung laporkan kepada kami.”

Sambil berbisik-bisik dengan hati tegang para tosu itu ialu melanjutkan pekerjaan mereka. Kwa Tin Siong seanak isteri lalu masuk ke dalam mengajak Thian Beng Tosu.

“Ki-ji (Anak Ki),” Kata Kwa Tin Siong.

Memang sudah biasa ia memanggil Thio Ki dengan sebutan anak Ki, maka sampai Thio Ki menjadi tosupun masih disebut demikian.

“Apakah kau mengenal penulis surat ini?” Ia menyerahkan surat kecil itu kepada Thian Beng Tosu yang segera membacanya.

Kalau dalam waktu dua belas jam Thio Ki tidak turun mengantarkan nyawanya ke Im-kan-kok, terpaksa kami tidak melihat muka Ketua Hoa-san-pai lagi dan menyerbu Hoa-san-pai untuk mengambil nyawa Thio Ki.

Surat itu ditandai gambar harimau hitam dan tulisannya kasar lagi buruk, bukan tulisan seorang ahli. Membaca ini, seketika wajah Thio Ki atau sekarang bernama Thian Beng Tosu ini menjadi pucat, giginya beradu dan tangannya mengepal, surat itu diremasnya.


“Keparat betul Bhe Lam Si Macan Hitam itu!” katanya.

Thio Ki atau Thian Beng Tosu lalu bercerita. Dahulu sebelum ia menjadi tosu Hoa-san-pai dan masih menjadi seorang piauwsu (pengawal barang) di Sin-yang, pernah pada suatu hari barang kawalannya dirampok oleh segerombolan perampok yang dipimpin oleh Hek-houw Bhe Lam.

Seorang pembantunya tewas dan barang kawalan itu dirampas. Thio Beng Tosu atau dahulu masih bernama Thio Ki lalu bersama isterinya, Lee Giok, mendatangi sarang perampok itu dan setelah bertempur hebat, akhirnya mereka dapat mengalahkan Bhe Lam dan merampas kembali barang kawalannya. Bhe Lam berhasil melarikan diri setelah menderita luka berat.






No comments:

Post a Comment