Ads

Sunday, November 25, 2018

Rajawali Emas Jilid 046

“Ha-ha-ha, kau hendak mengamuk lagi? Ha-ha, Li Cu, mati hidupmu di tanganku, tahu?”

“Aku tidak takut! Kau iblis bermuka manusia. Terkutuklah kau!”

“Ha-ha-ha, makin manis saja kalau kau marah-marah.”

Pedangnya bergerak perlahan dan “brettt!” sekarang pakaian dalam yang menempel di tubuh Li Cu robek pula oleh ujung pedang. Li Cu menjerit ngeri dan menutupkan matanya yang penuh air mata. Akan tetapi apa dayanya? Tubuhnya tak mampu bergerak.

Tiba-tiba tubuh Beng Kui terlempar ke belakang, menimpa meja yang tadi ia pakai makan minum sampai meja itu patah-patah kakinya! Kaget bukan main Beng Kui yang tadi merasa seakan-akan tubuhnya bisa terbang melayang begitu saja. Cepat ia meloncat bangun sambil mempersiapkan pedang yang masih terpegang olehnya.

Ketika ia membalikkan tubuh memandang, matanya terbelalak lebar seakan-akan hendak meloncat keluar dari tempatnya. Ia melihat Beng San sudah berdiri di depannya dengan sepasang mata yang bersinar-sinar penuh api kemarahan, dan sepasang mata itu sekarang bercahaya ganjil dan menyeramkan seperti dahulu!

Ia masih belum mau percaya kalau Beng San yang tadi melemparkannya. Tak mungkin! Bukankah tadi setelah ia hantam belakang kepala Beng San dengan punggung pedangnya, adiknya itu roboh dan pingsan? Tentu saja manusia yang sudah mabok kemenangan dan mabok pangkat ini tidak sadar bahwa di dunia ini kekuasaan manusia sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan.

Manusia yang merasa dirinya menang, yang merasa dirinya kuat sendiri, yang merasa dirinya benar sendiri, menyatakan bahwa manusia seperti ini adalah manusia yang berjiwa rendah. Atau setidaknya, pada saat itu hati nuraninya dikuasai oleh iblis.

Segala kemenangan, kekuatan dan kebenaran seluruhnya terletak di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Merupakan rahmat-Nya bagi manusia. Oleh karena itu, segala rahmat dari Tuhan harus dipersembahkan kemudian kepada-Nya dengan jalan mengakui dengan segala kerendahan hati bahwasanya kesemuanya itu datang dari pada-Nya. Pengakuan yang tulus akan hal ini akan menjauhkan manusia dari mabok kemenangan serta kekuasaan.

Pada saat punggung pedang di tangan Beng Kui tadi menghantam belakang kepala Beng San, Tuhan memperlihatkan kekuasaan-Nya. Hantaman itu tepat mengenai jalan darah yang menjurus ke kepala, menggetarkan urat saraf di kepala Beng San yang terganggu ketika dia dahulu terpukul oleh kedukaan karena kematian isterinya.

Bagaikan air yang mengalir kembali setelah bendungannya dibuka, ingatan Beng San kembali perlahan-lahan dan semua ini ditambah oleh pendengarannya ketika Beng Kui dan Li Cu berdebat. Terbukalah semua ingatan dan pengertiannya dan sekaligus membuat ia marah bukan main. Baiknya ia dapat cepat sadar kembali dan dapat mencegah sebelum Beng Kui melakukan perbuatan yang lebih biadab lagi.

“Beng San….!”

Li Cu berseru lirih, namun di dalam seruan lirih ini terkandung jerit yang memecahkan kesunyian angkasa, penuh kekagetan, penuh keheranan, penuh gairah dan harapan.

Beng San melirik ke arah Li Cu, akan tetapi cepat-cepat ia membuang muka ketika melihat keadaan nona itu yang tubuhnya bagian atas tidak tertutup lagi baik-baik karena bajunya yang koyak-koyak lebar itu.

Tanpa banyak cakap ia lalu meloloskan bajunya sendiri dan melemparkan bajunya ini diatas tubuh Li Cu yang tidak tertutup. Barulah ia berani berpaling. Mereka berpandangan sejenak, keduanya dengan mata berlinang air mata. Beng San sudah tahu semua ketika tadi ia mendengar percakapan antara Li Cu dan Beng Kui.

“Nona, biarlah kubebaskan kau dari totokan….”

“Beng San, awas!” teriak Li Cu.

Beng San dengan tenang tapi cepat menggeser kakinya dan tangannya bergerak kekiri Pedang Liong-cu-kiam menyambar lewat di pinggir kepalanya.

“Beng Kui, kau benar-benar tak tahu diri….” ia mencela sambil melompat ke tengah ruangan, terpaksa belum dapat membuka totokan atas diri Li Cu.





Namun kemarahan Beng Kui sudah memuncak. Sepasang matanya menjadi merah dan berputar-putar liar.

“Kau orang gila banyak tingkah… mampuslah!” bentaknya dan pedangnya kembali menyambar-nyambar.

Banyak orang bilang bahwa orang gila menganggap diri sendiri waras dan menganggap orang waras sebagai orang gila. Kiranya keadaan Beng Kui cocok dengan pendapat ini. Dia memaki gila akan tetapi dia sendirilah yang mengamuk seperti orang gila. Pedangnya mengeluarkan suara dan berubah menjadi segulung sinar panjang yang melayang-layang dan menyambar-nyambar hebat ke arah Beng San.

Namun, sekaligus Beng San sudah mendapatkan kembali semua kepandaiannya yang memang tak pernah hilang, hanya “terlupa” oleh ingatannya. Secara otomatis kakinya bergerak-gerak dan semua serangan pedang itu dapat ia hindarkan dengan amat mudahnya.

“Beng Kui, kau orang tua yang tidak mau dihormati adiknya. Sekali lagi sekarang aku beri kesempatan kepadamu untuk pergi dari sini dengan aman. Pergilah tapi tinggalkan Liong-cu-kiam.”

“Jangan banyak cakap!”

Beng Kui malah memaki dan pedangnya terus menyerang. Tiga kali Beng San minta kepada kakaknya untuk pergi dengan aman, namun jawabannya selalu serangan maut yang ditujukan kepadanya secara nekat.

“Kau memang keras kepala!” seru Beng San kemudian.

Pada saat itu pedang di tangan Beng Kui menusuk dadanya. Beng San tiba-tiba menggunakan gerakan merendahkan tubuh, kemudian dari bawah tangannya bergerak ke atas, yang kanan merampas gagang pedang yang kiri memukul dengan pukulan Pek-in Hoat-sut.


Hawa pukulan yang mengandung uap putih itu melumpuhkan seluruh tenaga Beng Kui dan dengan mudah pedang di tangannya berpindah tempat! Ia masih hendak menerjang dengan tangan kosong, namun kaki kiri Beng San menendangnya sehingga ia tepental keluar ruangan itu dan bergulingan sampai jauh.

Beberapa orang anak buah Beng Kui menyerbu ke dalam.
“Pergilah kalian!” seruan Beng San ini demikian berpengaruh, apalagi disertai dorongan tangan kiri ke depan yang membuat tiga orang sekaligus terjengkang tanpa tersentuh tubuhnya, sehingga merekat semua menjadi kaget dan jerih.

Pada saat itu, terdengar hiruk pikuk diluar dan terdengar suara banyak orang berlari-lari pergi meninggalkan tempat itu, seakan-akan takut menghadapi sesuatu yang hebat.

“Song-bun-kwi setan tua jangan ganggu orang-orang ini! Nona Kwa Hong, orang-orang ini adalah teman-teman Tan Beng Kui-enghiong, jangan ganggu!” Terdengar suara Hek-hwa Kui-bo.

Beng San terheran-heran dan hanya berdiri di tengah ruangan itu, pedang Liong-cu-kiam di tangan, celananya robek-robek dibagian yang ditendang Beng Kui tadi, sedangkan tubuhnya bagian atas telanjang karena bajunya tadi ia lemparkan kepada Li Cu. Ia kelihatan seperti seorang bajak sungai!

Berturut-turut mereka meloncat masuk. Mula-mula Song-bun-kwi, disusul Kwa Hong dan kemudian sekali Hek-hwa Kui-bo. Tiga orang itu begitu memasuki ruangan berdiri tertegun seperti melihat setan di tenga hari! Adapun Beng San begitu melihat Song-bun-kwi, segera menjura dengan hormat dan berkata,

“Gak-hu (Ayah Mertua)….”

Song-bun-kwi masih mengira bahwa Beng San kehilangan kepandaiannya, maka ia membentak,

“Aku bukan ayah mertuamu! Keparat, kau pembunuh anakku Bi Goat dan karenanya sekarang akan kupatahkan batang lehermu!”

Ia menerjang ke depan. Tapi sinar hijau menyambar dan menghalangi gerakan kakek ini. Sinar itu tidak lain adalah panah-panah hijau dari Kwa Hong.

“Perlahan dulu Song-bun-kwi!”

Memang Kwa Hong tidak ingin melihat Beng San terbunuh oleh orang lain. Mati atau hidupnya Beng San dialah sendiri yang berhak memutuskan pikirnya.

“Hong-moi kau juga disini?” tegur Beng San dengan suara halus.

Kwa Hong seketika menjadi pucat, apalagi ketika melihat pedang Liong-cu-kiam di tangan pemuda itu.

“Kau…sudah ingatkah….?”

“Bangsat, kau sudah membunuh anak perempuanku. Kalau kau sudah ingat, tentu kau takkan mungkir lagi!” Song-bun-kwi membentak sambil melangkah maju.

Beng San tersenyum sedih,
“Gak-hu, aku amat mencinta Bi Goat. Bagaimana aku dapat membunuhnya? Bi Goat meninggal karena berduka dan marah yang ditimbulkan oleh Hong-moi. Memang aku lama meninggalkan Bi Goat, akan tetapi hal itu adalah karena aku merasa amat berduka dan menyesal serta malu karena perbuatanku bersama Kwa Hong dahulu. Kemudian aku membantu orang-orang gagah melindungi Kaisar dari pengkhianatan beberapa orang, maka pulangku terlambat. Aku menyesal sekali, Gak-hu, tapi sesungguhnya bukan aku yang menyebabkan kematian isteriku. Dia tahu bahwa aku mencintanya. Tapi Tuhan lebih kuasa dari segala di dunia ini….” Beng San nampak sangat berduka.

“Keparat, kau bisa saja memutar omongan. Isteri melahirkan anak sampai mati tapi kau sebagai suami tidak menjaganya!”

“Ah, Gak-hu. Memang aku merasa berdosa besar. Sekarang dimanakah anakku itu, Gak-hu? Biarlah aku akan merawatnya penuh kasih sayang, sebagai pengganti Bi Goat dan….”

“Tutup mulut! Kau laki-laki mata keranjang, kau laki-laki hina-dina, kau… kau sudah main gila dengan perempuan lain. Hemmm hendak menyangkal, kau?”

Kakek ini menudingkan telunjuknya ke arah Li Cu yang masih rebah terselimut baju luar Beng San, rebah miring tak bergerak di atas dipan! Semua mata memandang dan Hek-hwa Kui-bo mengeluarkan suara ketawa genit penuh arti ketika melihat baju Beng San menyelimuti tubuh Li Cu. Wajah Li Cu sebentar pucat sebentar merah sekali. Namun Beng San tetap tenang.

“Aku tidak main gila dengan siapapun juga. Mungkin karena kehilangan ingatan aku menjadi seperti gila dan syukurlah… berkat pertolongan Nona Cia yang berbudi mulia sampai sekarang aku masih terlindung. Gak-hu, kau berikanlah puteraku.”

“Putera apa? Pedang inilah yang akan menghabisi nyawamu!”

“Nanti dulu, Song-bun-kwi. Akupun hendak bicara dengan Beng San!”

Kwa Hong menghadang di depan dan terpaksa Song-bun-kwi menunda penyerangannya. Kwa Hong kini menghadapi Beng San. Orang muda itu menjadi agak pucat. Baginya jauh lebih berat menghadapi Kwa Hong daripada menghadapi musuh yang manapun juga.

“Adik Hong, apakah selama ini kau baik-baik saja?” tanyanya, suaranya halus sewajarnya karena di lubuk hatinya orang muda ini benar-benar merasa kasihan sekali kepada gadis itu.






No comments:

Post a Comment