Ads

Thursday, November 22, 2018

Rajawali Emas Jilid 045

Beng Kui tertawa mengejek,
“Sudah kukatakan tadi, kau tidak kubunuh sekarang. Kau perlu hidup untuk menyaksikan betapa aku akan membuat wanita tak tahu malu ini sebagai barang permainanku. Ya, aku harus membalas, dia harus menjadi permainanku, ha-ha… dan di depan matamu, Beng San! Kalau aku sudah bosan, baru kurusak mukanya dan kubebaskan dia dan kaupun akan kulempar ke dalam jurang di belakang rumah. Sudah terlalu sering kau merusak rencanaku, sudah terlalu banyak kau menggagalkan usahaku.”

Ia ketawa lagi dan berpaling kepada beberapa orang anak buahnya yang berada disitu, berdiri seperti patung.

“Sediakan hidangan untukku!”

Orang-orang itu memberi hormat sambil berlutut lalu mengundurkan diri. Beng Kui tertawa lagi.

“Lihat Beng San, lihat baik-baik. Biarpun kau sudah menggagalkan semua rencanaku, namun aku tetap dapat hidup sebagai raja. Dan kau akan kujadikan anjing, manusia bukan binatangpun bukan, hidup tidak matipun belum. Dan dia… ha-ha, perempuan yang mencintamu ini yang melempar aku memilih kau, dia akan melihat bahwa aku jauh lebih berharga daripadamu.”

Beng San sukar menangkap arti semua ucapan itu, ia berusaha mengingat-ingat dan memeras otaknya maka ia berdiri bengong seperti patung batu. Adapun Li Cu saking marahnya sampai seperti gagu tak dapat bicara, hanya pancaran matanya yang berapi-api seperti hendak membakar tubuh Beng Kui dengan api kebencian yang berkobar-kobar.

Akan tetapi di samping kebencian dan kemarahannya ini, diam-dian Li Cu menjadi terheran-heran. Belum pernah ia melihat suhengnya itu seperti sekarang ini. Alangkah jauh bedanya dengan dahulu. Makin memuncak herannya ketika hidangan yang mewah disediakan di atas meja.

Beng Kui makan minum seorang diri dengan sikap berlebihan. Orang-orang yang melayaninya kelihatan amat menghormat seakan-akan melayani seorang kaisar saja. Dilihat keadaannya sekarang dan dibandingkan dengan dahulu, agaknya lebih pantas kalau dikatakan bahwa Beng Kui telah berubah pikirannya atau tidak waras lagi pikirannya.

Setelah selesai makan, Beng Kui melemparkan beberapa potong tulang kepada Beng San sambil tertawa dan berkata,

“He, anjing… nih kuberi tulang, makanlah! Ha-ha-ha!”

Beng San berdiri tak bergerak, hanya memandang kepada kakak kandungnya yang seperti orang gila itu.

“Kui-ko ingatlah… kenapa kau menjadi begini….? kau seperti orang gila….”

“Keparat!” Tubuh Beng Kui bergerak tangannya kiri kanan menampar dan “plak-plak-plak!” muka Beng San sudah dihujani tamaparan yang keras sehingga Beng San terhuyung-huyung dan kedua pipinya menjadi merah.

“Bersihkan meja dan tinggalkan kami. Tutup pintu depan, jaga baik-baik!”

Beng Kui memberi perintah kepada orang-orangnya yang dengan sigap lalu mengerjakan perintah orang muda itu. Tak lama kemudian mereka bertiga sudah ditinggalkan pergi oleh para pelayan.

Beng San masih berdiri tegak, bekas tamparan kakaknya masih tampak di kedua pipinya. Setelah semua pelayan pergi, Beng Kui mencabut pedang Liong-cu-kiam dari pinggangnya, lalu menghampiri Beng San yang berdiri dengan sikap tegak, sama sekali tidak kelihatan takut. Kiranya biarpun kehilangan ingatan dan kepandaian, namun Beng San tidak pernah kehilangan keberanian dan ketabahannya.

“Hemm, kau hendak bunuh aku, Kui-ko? Mau bunuh boleh bunuh, aku tidak takut. Akan tetapi jangan sekali-kali kau mengganggu isteriku. Dia… tidak berdosa, kenapa kau menawannya? Lekas kau bebaskan dia!”

“Beng San keparat, hayo kau lekas berlutut! Hayo!”

Akan tetapi Beng San berdiri tegak dan memandang dengan matanya yang kini bersinar tenang dan bodoh. Teringat ia akan segala pelajaran filsafatnya dan ia menjawab,

“Kui-ko, aku hanya dapat berlutut kepada Tuhan, kepada nenek moyang, kepada ayah bunda, kepada guru, kepada pemimpin dan kepada orang yang telah kuperlakukan dengan keliru sehingga aku patut minta ampun kepadanya. Padamu aku tidak salah apa-apa, kenapa harus berlutut!”





“Keparat!”

Kaki Beng Kui bergerak dan lutut Beng San keduanya telah kena ditendang dengan cepat. Beng San tak dapat mempertahankan diri lagi dan jatuh berlutut. Beng Kui tertawa bergelak-gelak,

“Ha-ha-ha, akhirnya kau berlutut juga di depanku. Hemm, kau mengaku adik kandungku, akan tetapi semenjak pertemuan kita kau selalu menjadi perintang, selalu menjadi penghalang dan selalu menjadi pengacau hidupku! Sudah sepatutnya kalau kau kubunuh!”

“Beng Kui, kau ini manusia apakah? Cih, tak tahu malu, curang, dan benar-benar pengecut besar! Kau berani bertingkah setelah melihat Beng San kehilangan ingatannya. Coba kalau dia masih seperti biasa, aku berani bertaruh kau akan lari tunggang-langgang kalau bertemu dengan dia! Huh, muak perutku melihat mukamu!”

Ucapan ini keluar dari mulut Li Cu yang marah bukan main menyaksikan betapa Beng Kui memperlakukan Beng San seperti itu.

Pucat muka Beng Kui mendengar cacian yang luar biasa menghinanya ini. Selama hidupnya belum pernah Li Cu berani bicara seperti ini kepadanya, kepada dia yang menjadi kakak seperguruannya, juga menjadi bekas tunangan! Benar-benar penghinaan yang melampaui batas.

Sekali melompat ia telah berada di pinggir dipan, memandang kepada Li Cu yang rebah miring diatas dipan karena masih tertotok, namun sepasang matanya memandang tajam penuh kebencian.

“Kau berani menghinaku? Apa kau kira akupun tak dapat mempermainkan dan menghinamu?”

Pedangnya berkelebat dan “brettt” robeklah baju Li Cu. Baju luar berwarna merah itu robek lebar sekali sehingga tampak baju dalamnya yang berwarna merah muda, Beng Kui tertawa terbahak-bahak sedangkan Li Cu menjadi pucat sekail, tak berani mengeluarkan kata-kata lagi saking ngerinya melihat perbuatan bekas suhengnya yang seperti kemasukan iblis itu,

“Kui-ko, jangan kau ganggu isteriku!”

Beng San lari menghampiri dan mengangkat tangan hendak mencegah kakaknya bertindak lebih jauh.

Akan tetapi sambil membalikkan tubuh Beng Kui menendang lagi dengan kerasnya sehingga tubuh Beng San terlempar dan terbanting pada dinding. Namun Beng San sudah nekat. Ia bangun lagi, menghampiri dan berseru.

“Tak boleh kau menghina isteriku… Tak boleh…”

Sekali lagi ia terjungkal karena tendangan Beng kui pada perutnya. Kali ini agak sukar Beng San untuk bangkit. Tendangan itu membuat napasnya menjadi sesak. Akan tetapi sambil merangkak mendekati kakaknya lagi dan merangkul kedua kakinya

“Kui-ko, jangan…jangan kau menggangu isterku…, bunuhlah aku kalau kau kehendaki, tapi bebaskan dia….”

Beng Kui mehjadi gemas sekali, Pedang di tangannya berkelebat ke arah Beng San. Li Cu menjerit dan… rambut di kepala Beng San terbabat putus. Li Cu terisak-isak saking kuatirnya, akan tetapi Beng San sama sekali tidak kelihatan gentar biarpun tadi pedang itu hampir saja membabat putus batang lehernya.

“Kui-ko, sekali lagi kuminta, jangan kau ganggu isteriku.”

“Bangsat, kalau aku mengganggunya kau mau apa? Hayo kau mau apa?” Beng Kui menantang.

“Biarpun aku tidak pandai silat, aku akan melawanmu!” kata Beng San sambil berusaha untuk berdiri.

“Ha-ha-ha-ha, kau hendak melawan? Nah, terimalah bacokan ini!”

Pedang di tangannya berkelebat dan kini benar-benar melayang ke arah batang leher Beng San dengan cepat dan kuat.

“Beng San….!!”

Li Cu menjerit lagi dengan sekuat tenaga dan ia hampir pingsan melihat pedang itu menyambar leher kekasihnya.

Beng San terjungkal dan tak bergerak. Akan tetapi lehernya tidak putus dan tidak ada setetespun darah keluar. Kiranya tadi Beng Kui hanya menakut-nakuti saja dan membalik pedangnya sehingga punggung pedangnya yang menghantam belakang kepala Beng San, bukan mata pedangnya.

Pukulan ini keras sekali dan Beng San tersungkur, tak mampu bangun kembali. Ia merasa seperti melayang-layang dari tempat yang amat tinggi penuh bintang beraneka warna beterbangan di sekelilingnya. Ia jatuh terus ke bawah, makin lama makin cepat. Mula-mula melalui ruangan yang putih seperti salju, lalu ruangan merah seperti darah, Kemudian setelah melalui beberapa ruangan yang beraneka warna ia tidak melihat apa-apa lagi.

Hanya perasaannya masih menyatakan bahwa ia terus melayang-layang ke bawah. Telinganya mendengar suara yang mengerikan, mengiang-ngiang dan mendengung-dengung, kadang-kadang rendah, lalu disusul suara ketawa terbahak-bahak yang bergema di sekelilingnya, disusul suara tangis yang memilukan!

Apakah aku sudah mati? Dimana aku berada? Bukan aku yang mati, melainkan Bi Goat! Ah, Bi Goat sudah mati dan ia mengunjungi kuburannya. Bi Goat isterinya yang tercinta, telah mati. Apakah aku juga sudah menyusulnya dan sekarang terseret?

“Bi Goat… Bi Goat….” Ia mencoba untuk memanggil, namun tidak terdengar suaranya.

“Beng San….!!”

Teriakan ini seperti terdengar dari tempat yang amat jauh dan Beng San merasa seakan-akan ia berhenti melayang. Tahu-tahu ia merasa telah berada di atas bumi. Mimpikah aku? Siapa yang memanggilku tadi? Apakah Bi Goat? Ia merasa kini bahwa tubuhnya sedang rebah tertelungkup. Ah, tentu ia mimpi, tapi….

“Beng San….!!”

Makin keras panggilan ini, suara wanita dan jerit itu menyayat hati benar. Ia membuka mata. Benar saja, ia sedang rebah tertelungkup. Akan tetapi mengapa di atas lantai? Kedua kakinya sakit dan lehernya juga sakit. Ia menoleh ke atas. Apa yang dilihatnya membuat ia bengong dan terbelalak. Gilakah dia? Kenapa dia melihat semua ini? Ia melihat Beng Kui kakaknya dan Li Cu yang tidak dapat bergerak di atas dipan dan Beng Kui yang berdiri di dekat dipan sambil tertawa-tawa.

“Beng San…!!” Kembali Li Cu memekik dan kembali Beng Kui tertawa,

“Ha-ha-ha, kau boleh seribu kali memanggilnya. Dia tak dapat bangun lagi, anjing lemah itu. Ha-ha, Li Cu, benar-benar aku masih hampir tak dapat percaya kalau kau dapat jatuh cinta kepada orang gila!”

“Beng Kui, kenapa kau begini kejam? Apakah kau hendak membunuh adik kandungmu sendiri? Apakah kesalahannya? Kalau begitu, kau bunuh aku juga, Beng kui.”

“Tidak, kau takkan kubunuh. Sayang kecantikanmu. Aku masih cinta kepadamu, Li Cu. Dan kau, mau tidak mau, harus menemaniku di dalam hutan ini.”

“Tidak! Aku lebih baik mati! Beng Kui ingatlah. Aku… aku hanya cinta kepada Beng San. Aku mau mati atau tidak bersama dia. Kalau kau sudah membunuhnya, kau bunuhlah aku. Kalau kau lakukan itu, aku bersumpah takkan menaruh dendam kepadamu. Bunuhlah aku.” Li Cu terisak-isak menangis.

“Benar-benar aneh kau ini, Li Cu. Beng San sudah gila, dia selain gila juga menjadi orang lemah. Kau dianggap isterinya yang bernama Bi Goat, yang sudah mati. Terang bahwa ia tidak mencintamu sebagai Li Cu, melainkan mencintamu sebagai Bi Goat. Kenapa kau bisa membalas cinta kasih orang gila macam itu? Aku belum membunuhnya, Li Cu. Akan tetapi, kalau kau dengan suka rela mau menjadi isteriku, aku akan bebaskan dia. Sebaliknya, kalau kau tetap keras kepala, aku akan membunuhnya setelah menyiksanya seperti anjing gila, dan kau tetap akan kujadikan isteriku!”

Sepasang mata Li Cu terbelalak lebar dan kemarahahnya tak dapat ditahannya lagi.
“Keparat, kau! Iblis kau! Tuhan akan mengutukmu, jahanam!”






No comments:

Post a Comment