Ads

Tuesday, November 13, 2018

Rajawali Emas Jilid 034

Gunung Min-san berada di tapal batas antara Propinsi Se-cuan, Cing-hai, dan Kan-su. Gunung ini amat indah pemandangannya dan merupakan pegunungan yang subur. Sungai-sungai besar yang amat terkenal seperti Sungai Kuning dan Sungai Yang-ce-kiang, boleh dibilang mendapatkan sumber mata airnya dari Pegunungan Min-san ini, sungguhpun masih banyak pegunungan lain yang menjadi sumbernya pula.

Di antara puncak-puncak Pegunungan Min-san inilah menjadi tempat tinggal Song-bun-kwi Kwee Lun yang dahulunya amat terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Song-bun-kwi. Ia dijuluki Song-bun-kwi (Setan Berkabung) karena selalu memakai pakaian putih berkabung semenjak isterinya meninggal dan ia hidup merantau dengan puteri tunggalnya, Kwee Bi Goat.

Setelah sekarang Kwee Bi Goat menikah dengan Tan Beng San dan hidup bahagia di Min-san, Kwee Lun ini tidak patut lagi dijuluki Song-bun-kwi karena ia tidak lagi berpakaian berkabung, juga tidak lagi hidup seperti yang sudah-sudah, yaitu seperti manusia iblis yang ditakuti orang. Kakek ini sekarang hidup tenang dan tenteram di Pegunungan Min-san ini, malah setiap hari bertani atau samadhi memperdalam ilmu batinnya.

Adapun Kwee Bi Goat yang dahulunya gagu (baca cerita Raja Pedang), tapi sekarang telah sembuh, menjadi isteri yang cantik jelita dan penuh kasih sayang bagi Beng San. Suami isteri ini bersama Kakek Kwee hidup aman dan damai di Min-san. Namun, nasib manusia memang tidak menentu seperti air laut, kadang-kadang surut.

Baru beberapa bulan saja mereka hidup penuh madu kasih dan kebahagiaan di Min-san, datanglah seorang tosu dari Hoa-San-pai yang minta bantuan Beng San untuk menolong Hoa-san-pai yang sedang ditimpa malapetaka karena pengamukan Kwa Hong.

Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Beng San yang mengingat akan hubungannya dengan Hoa-san-pai dahulu, terpaksa pergi meninggalkan isterinya yang tercinta yang diakhiri dengan kehancuran hatinya sehingga membuat ia tidak berani pulang dan tidak berani bertemu muka dengan isterinya!

Berbulan-bulan Bi Goat menanti kembalinya suaminya dengan hati penuh rindu dan kekuatiran. Akhirnya ia tidak dapat menahan lagi hatinya yang penuh rasa kegelisahan. Ia takut kalau-kalau suaminya tertimpa bencana karena sudah terlalu lama meninggalkan rumah tanpa ada kabar beritanya dan juga tidak kelihatan pulang. Bi Goat lalu minta pertolongan ayahnya untuk pergi menyusul Beng San ke Hoa-san dan mencarinya sampai dapat.

“Hemmm, baru ditinggal beberapa bulan saja kau sudah rewel!” Kwee Lun mengomel. “Sudah lama aku tidak meninggalkan gunung, kalau turun gunung kutakut akan kumat penyakitku yang lama!”

Kakek yang dulu dijuluki setan berkabung itu mula-mula menolak permintaan puterinya. Ia sudah mulai senang dengan hidup bersunyi di puncak yang indah itu, menikmati ketenteraman hidup di hari tua.

“Ayah, jangan salah mengerti. Bukan sekali-kali karena aku terlalu manja dan tidak bisa ditinggalkan suami yang pergi menjalankan tugas sebagai orang gagah. Tetapi, harap Ayah ketahui bahwa sekarang kandunganku sudah lima bulan. Bagaimana kalau sampai tiba saatnya melahirkan tidak ada ayahnya disini? Ayah, apa kau tidak kasihan kepadaku?” Suara Bi Goat menggetar dan hati kakek yang dulu dianggap manusia iblis itu mencair.

“Baiklah… baiklah… dasar bocah yang jadi mantuku itu tidak tahu diri! Akan kucari dia dan kuseret pulang!”

Sambil mengomel panjang pendek, kakek yang pernah menjadi tokoh nomor satu di dunia kang-ouw sebelah barat itu akhirnya turun gunung meninggalkan Min-san untuk menyusul dan mencari anak mantunya, Tang Beng San.

Sebulan sudah Song-bun-kwi Kwee Lun meninggalkan Min-san. Pada suatu sore Bi Goat duduk seorang diri di pekarangan depan rumahnya. Dengan penuh harapan, seperti setiap sore yang lalu, ia duduk menanti kalau-kalau ayah dan suaminya pulang.

Para pelayan yang tidak kurang enam orang banyaknya, sudah selesai bekerja dan sedang asyik mengobrol di belakang rumah. Bi Goat duduk seorang diri menghadapi cangkir teh dan makanan yang mengandung daya penguat badan. Ayahnya banyak memberikan makanan seperti ini untuknya.

Mendadak ia mendengar suara aneh diudara. Ketika ia mengangkat muka, Bi Goat terheran-heran melihat seekor burung yang besar dan indah sekali terbang berputaran diatas puncak itu. Cahaya matahari senja yang merah membuat bulu burung itu kelihatan kuning kemerahan, amat indahnya seperti emas.

“Ah, burung rajawali kalau aku tidak salah….” kata Bi Goat kagum sekali.

Mendadak wajahnya berubah dan nyonya muda ini cepat bangkit berdiri dari kursinya. Ia melihat sesuatu yang aneh, sesuatu yang ajaib. Ada seorang wanita menunggang burung rajawali itu!





“Mimpikah aku?” gumamnya seorang diri sambil menggosok-gosok matanya.

Tidak, ia tidak mimpi. Malah kini burung itu menukik turun dan tak lama kemudian burung itu sudah sampai diatas tanah, hanya belasan meter jauhnya dari tempat Bi Goat berdiri.

Wanita muda dan cantik itu melompat turun dari punggung rajawali dan dengan hati berdebar Bi Goat mendapat kenyataan bahwa wanita itu sedang mengandung. Malah perutnya lebih besar daripada perutnya sendiri. Kandungannya sudah tua. Wanita itu melangkah maju, agak terhuyung-huyung.

Bi Goat adalah seorang yang pada dasarnya memiliki budi yang halus. Melihat wanita yang mengandung tua ini terhuyung-huyung dan nampak letih, mukanya pucat, ia cepat lari menghampiri dan merangkul pundaknya.

“Hati-hatilah, Cici….” katanya halus.

Wanita itu bukan lain adalah Kwa Hong! Kemarahannya ketika tadi turun dan menduga bahwa wanita cantik yang juga sudah mengandung di depannya itu tentulah isteri Beng San, agak mereda oleh sikap halus Bi Goat. Pernah ia melihat Bi Goat, akan tetapi hanya sebentar maka ia sudah lupa lagi (baca cerita Raja Pedang). Demlkian pula Bi Goat, biarpun pernah bertemu dengan Kwa Hong, tapi karena baru sekali dan hanya sebentar, iapun sudah lupa lagi.

“Dimana Beng San? Aku ingin bicara padanya,” kata Kwa Hong menahan marah, suaranya agak ketus dan sama sekali ia tidak menyambut baik sikap halus dari Bi Goat tadi.

Bi Goat terkejut, tapi ia menjawab juga.
“Suamiku sudah beberapa bulan turun gunung, sampai sekarang belum pulang,” jawabnya masih halus dan hati-hati ia bertanya, “Tidak tahu siapakah Cici ini dan ada keperluan apalah mencari suamiku?”

“Hemm, jadi kau ini Bi Goat, dara baju merah yang dulu gagu itu?” tanya Kwa Hong, suaranya mengejek dan pandang matanya menyapu Bi Goat dari atas ke bawah.

Kini Bi Goat mulai curiga. Pandang matanya tajam menyelidik.
“Kau siapakah dan apa keperluanmu datang ke Puncak Min-san ini?”

“Heh, kau sudah lupa kepadaku. Aku Kwa Hong….”

“Ohhh, murid Hoa-san-pai?”

“Bodoh! Ketua Hoa-san-pai, bukan murid! Aku datang mencari Beng San. Mana dia?”

“Sudah kukatakan tadi, dia sedang pergi.” Bi Goat mulai tak senang hatinya.

“Aku mencari Beng San, bukan suamimu.”

“Ben-San adalah suamiku!” jawabnya. Bi Goat sekarang agak ketus.

Kwa Hong tersenyum mengejek, lalu melirik ke arah perut Bi Goat. Tanyanya penuh ejekan,

“Berapa bulan kau mengandung?”

“Heee?? Kenapa….??” Wajah Bi Goat menjadi merah sekali. Kalau ia tidak ingat bahwa yang mengajukan pertanyaan inipun sedang mengandung, tentu ia akan menjadi marah. “Sudah enam bulan mengapa?”

Kembali Kwa Hong tersenyum mengejek.
“Seharusnya kau bilang baru enam bulan, bukannya sudah enam bulan. Jadi baru enam bulan, kan? Lihat kandunganku ini sudah sembilan bulan! Mana lebih dulu? Sebelum menjadi suamimu, Beng San sudah menjadi ayah anak yang kukandung ini, tahu??”

Seketika wajah Bi Goat menjadi pucat sekali. Ucapan Kwa Hong itu betul-betul merupakan pedang yang menusuk tembus jantungnya. Gemetar seluruh tubuhnya dan suaranya menggigil ketika ia berseru,

“Kau… kau bohong….!!”

Kwa Hong memperlebar senyumnya.
“Kalau tidak percaya kau tanyakan saja kepada Beng San. Hayo, mana dia? Panggil dia keluar, dia harus menyaksikan kelahiran anaknya….” Tiba-tiba Kwa Hong mengeluh sambil memegangi perutnya.

“Dia sedang pergi… hee, bagaimana ini?? Kau kenapa, Cici….?”

Bingung juga Bi Goat melihat Kwa Hong tiba-tiba terhuyung dan tentu sudah roboh kalau tidak cepat ia tangkap lengannya. Ia melihat wajah Kwa Hong pucat sekali, mulutnya merintih-rintih dan keadaannya hampir pingsan.

Memang pada dasarnya Bi Goat seorang yang berhati mulia. Biarpun ia tadi marah sekali dan perasaannya seperti ditusuk-tusuk mendengar ucapan Kwa Hong, namun melihat keadaan nyonya muda yang akan melahirkan itu ia menjadi tidak tega dan cepat-cepat menolong.

“Biarlah… aku… aku harus melahirkan… di tempat tinggal… Beng San….” demikian Kwa Hong mengeluh perlahan ketika siuman.

Sementara itu, Bi Goat sudah berseru memanggil para pelayannya dan Kwa Hong lalu digotong masuk ke dalam rumah. Karena dia sendiri sedang mengandung, maka Bi Goat memang sudah mengundang seorang wanita tua yang ahli menolong orang beranak dan yang disuruh tinggal di rumahnya. Maka Kwa Hong dapat menerima pertolongan yang cepat.

Dalam keadaan setengah sadar saking menahan sakit, Kwa Hong mengigau dan bercerita kepada Bi Goat tentang perhubungannya dengan Beng San dahulu, juga tentang pertemuannya yang terakhir. Semua diceritakan oleh Kwa Hong sehingga Bi Goat yang mendengarkan ini hanya dapat menangis dengan hati hancur.

Dia amat mencinta Beng San, sejak dahulu ia mencinta Beng San dengan seluruh jiwa raganya. Ia tidak rela kalau Beng San membagi cintanya dengan wanita lain, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan parah luka yang ditimbulkan oleh penuturan Kwa Hong ini di dalam hatinya.

Pada tengah malam hari itu, dari dalam rumah Bi Goat terdengarlah suara pertama dari seorang bayi yang terlahir. Tangisnya memecahkan kesunyian malam, nyaring melengking. Tangis seorang bayi laki-laki yang montok dan sehat. Tak lama kemudian terdengar lengking lain susul-menyusul menjawab tangis bayi ini, suara lengking tinggi yang datangnya dari atas rumah.

Itulah suara lengking rajawali emas yang menanti munculnya Kwa Hong sambil mendekam diatas wuwungan genteng rumah itu. Entah mengapa binatang itu melengking, mungkin karena tangis bayi itu hampir sama dengan suaranya sendiri.

Biarpun hatinya hancur, Bi Goat siang malam menunggu Kwa Hong dan merawatnya dengan baik. Sepekan kemudian Kwa Hong sudah sembuh, Ia menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, lalu ia keluar dari rumah itu memanggil rajawali emas.

Burung itu yang mulai tak sabar dan setiap hari berkaok-kaok di depan rumah, menjadi girang sekali dan menyambar turun, Bi Goat yang berwajah pucat sekali mengikuti Kwa Hong dari belakang.

“Cici Hong, kau baru sepekan melahirkan, jangan pergi dulu….” katanya menahan.

Akan tetapi Kwa Hong tidak peduli, membawa anaknya melompat ke arah punggung rajawaii, lalu berkata,

“Katakan kepada Beng San kalau dia pulang, bahwa aku tidak bisa membunuhnya karena kalah kuat, dan aku tidak bisa membunuhmu karena kau telah menolongku ketika aku melahirkan. Akan tetapi kelak anak inilah yang akan membunuh Beng San, kau dan semua anak anak dan keluargamu!”

Setelah berkata demikian, Kwa Hong menepuk leher rajawali emas yang segera melengking tinggi dan melesat terbang keatas dengan cepat sekali.

Untuk beberapa lama Bi Goat berdiri bengong kemudian ia mengeluh dan tubuhnya menjadi lemas. Ia roboh pingsan di depan pintu rumahnya! Para pelayan segera mengejar keluar dan sibuk menolong nyonya muda yang menderita kehancuran hati ini.






No comments:

Post a Comment