Ads

Sunday, November 4, 2018

Rajawali Emas Jilid 018

Mari kita mendahului perjalanan Beng San yang sedang menuju ke Sin-yang untuk mencari Thio Ki dan kita melihat apa yang terjadi di Sin-yang. Seperti telah dituturkan, Thio Ki adalah murid Hoa-san-pai juga, malah dalam tingkatnya, ia adalah cucu murid yang paling tua.

Thio Ki adalah kakak kandung Thio Bwee dan pemuda Hoa-san-pai yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka tampan ini sekarang telah bekerja membuka piauw-kiok di Sin-yang.

Pada masa itu, perusahaan piauw-kiok (kantor exspedisi) amat maju karena banyaknya orang jahat sehingga para saudagar selalu mengirim barang-barangnya yang berharga di bawah perlindungan jago-jago dari piauw-kiok, Karena kepandaiannya memang tinggi dan sebagai murid Hoa-san-pai, sebentar saja Thio Ki sudah membuat nama baik, ditakuti penjahat dan dipercaya langganan pengirim barang.

Thio Ki telah menikah dengan seorang gadis bernama Lee Giok. Bukan gadis sembarangan. Selain cantik jelita juga gadis ini hebat kepandaiannya, bahkan lebih tinggi ilmu pedangnya kalau dibandingkan dengan Thio Ki sendiri. Hal ini tidak aneh karena Lee Giok adalah seorang gadis keturunan bangsawan Kerajaan Goan yang lalu, yang menjadi murid dari Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan Si Raja Pedang Tanpa Tandingan!

Selain menjadi murid orang sakti, juga Lee Giok terkenal sebagai seorang gadis patriot yang dalam jaman perjuangan melawan Kerajaan Mongol telah berjasa besar.

Suami isteri ini hidup rukun dan damai di Sin-yang. Thio Ki amat mencintai isterinya itu, sungguhpun sebetulnya di dalam hati kecilnya Lee Giok tidak mencinta suaminya. Bukan karena Thio Ki kurang gagah atau kurang tampan, melainkan karena cinta kasih pertamanya telah gagal, dibawa mati seorang patriot besar murid Kun-lun-pai bernama Kwee Sin.

Hal ini tidak aneh karena sebagai seorang patriot tentu saja ia kagum kepada lain orang patriot dan ketika orang yang dicintanya itu Kwee Sin, meninggal dunia, hatinya menjadi hampa dan ia tidak banyak membantah ketika ia dijodohkan dengan Thio Ki, seorang pemuda yang selain gagah juga tampan. Hanya sedikit hal yang mengecewakan hati Lee Giok, yaitu bahwa suaminya ini sama sekali tidak memiliki jiwa patriotik.

Di Sin-yang mereka berdua hidup dalam keadaan cukup. Perusahaan Piauw-kiok yang didirikan Thio Ki mendatangkan hasil lumayan. Mereka dapat memberi sebuah rumah yang cukup besar dengan pekarangan yang luas juga. Karena pekerjaan suaminya itu mengharuskan suaminya lebih sering keluar rumah daripada berada di rumah, untuk mengurangi kesepian, Lee Giok memelihara banyak ayam dan binatang ternak lain di rumahnya. Juga ia menanam banyak kembang indah di pekarangannya.

Pada sore hari itu di pekarangan rumah Thio Ki nampak sunyi. Sehari itu tidak nampak Lee Giok atau pelayannya keluar dari dalam rumah. Padahal sudah tiga hari Thio Ki berada di rumah. Dan pada hari itupun Thio Ki tidak pergi ke perusahaannya. Akan tetapi mengapa kelihatan begitu sunyi? Malah-malah tiga orang pelayan rumah tangga sejak pagi tadi sudah disuruh pulang semua dan disuruh libur sepekan lamanya oleh Lee Giok. Para pelayan itu terheran-heran, akan tetapi tidak berani membantah kehendak nyonya rumah itu.

Apakah yang terjadi? Kalau kita menengok ke dalam rumah, keadaannya lebih aneh lagi. Thio Ki dan Lee Giok berada di ruang tengah, muka mereka agak pucat dan biarpun didalam rumah, mereka berpakaian ringkas dan di pinggang mereka tergantung pedang seperti orang yang siap akan bertempur!


Dan kedua orang suami isteri ini bersikap begini semenjak malam tadi.

Memang tidak aneh kalau diketahui sebabnya. Ada bahaya maut mengancam keselamatan mereka, bahkan keselamatan para pelayan dan malah semua yang hidup di dalam rumah itu terancam bahaya maut.

Malam tadi, lewat tengah malam, dua orang suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi ini mendengar tindakan kaki ringan diatas genteng rumah mereka. Thio Ki adalah seorang yang biasa melakukan perjalanan dan biasa berhadapan dengan orang-orang jahat, juga Lee Giok bukanlah pendekar kemarin sore, maka mendengar suara ini mereka dapat meloncat keluar dari kamar, tanpa mengeluarkan suara ribut-ribut mereka berdua sudah mengejar, seorang lewat pintu belakang, seorang melalui pintu depan, terus meloncat keatas genteng rumah sendiri.





Akan tetapi mereka tidak melihat sesuatu dan setelah mencari-cari beberapa lama, mereka melihat berkelebatnya bayangan orang dari bawah, baru saja orang itu meloncat keluar dari ruangan dalam. Gerakan orang itu gesit dan ringan sekali. Akan tetapi Lee Giok dan Thio Ki sudah cepat menerjang ke depan menghadang dan Thio Ki membentak,

“Penjahat dari mana berani mampus mengganggu rumahku?”

Orang itu tertawa, suara ketawanya melengking tinggi dan sekali berkelebat sudah melayang melalui atas kepala suami isteri itu. Lee Giok dan Thio Ki kaget sekali cepat mengejar. Mereka tidak sempat melihat wajah orang itu.

Ketika melihat dua orang itu mengejar, Si Penjahat lalu membalikkan tubuh di tempat yang gelap, kedua tangannya bergerak dua kali ke depan seperti orang memukul. Thio Ki dan Lee Giok dapat menduga bahwa itu tentulah serangan gelap, mungkin senjata rahasia, maka mereka cepat berhenti dan siap siaga.

Tidak ada senjata rahasia melayang datang, tapi, tiba-tiba mereka merasa terdorong ke belakang dan hampir terjengkang roboh kalau tidak cepat-cepat berjungkir-balik. Mereka merasa dada mereka agak sesak sekali oleh tenaga dorongan yang tidak kelihatan itu. Pada saat mereka berdiri kembali, penjahat itu telah lenyap, hanya rneninggalkan gema suara ketawanya yang melengking tinggi, suara ketawa wanita! Juga meninggalkan ganda yang harum semerbak.

Thio ki dan Lee Giok mengejar sampai jauh keluar rumah, namun sia-sia saja. Dengan kecewa dan lesu mereka kembali memasuki rumah dan apa yang mereka lihat membuat mereka menggertak gigi saking marah, akan tetapi juga membuat wajah mereka pucat. Di dalam kamar mereka, di atas dinding yang putih, terdapat tulisan-tulisan corat-coret merah yang berbunyi:

Sebelum lewat besok malam, semua yang bernyawa di rumah ini akan mati.

Tidak ada tanda tangan apa-apa dan tulisan dilakukan dengan darah. Ketika mereka memeriksa ke belakang, ternyata dua ekor anjing peliharaan yang tidur di belakang telah mati dengan kepala pecah. Agaknya darah anjing ini yang dipakai untuk menulis “surat maut” itu.

“Apa kau mengenal suaranya?” akhirnya Thio Ki bertanya kepada isterinya.

Lee Giok menggeleng kepala dan keningnya berkerut,
“Jelas dia seorang perempuan, akan tetapi karena gelap tidak dapat mengenalnya. Suaranyapun seakan-akan pernah mendengarnya tapi entah dimana.”

“Kepandaiannya hebat….” Thio Ki menarik napas panjang. “Entah mengapa dia melakukan ini?”

“Dia tentu tidak datang seorang diri,” kata Lee Giok, sepasang matanya yang jeli itu bergerak-gerak cerdik. “Tulisan ini baru saja ditulis, darahnya masih belum beku, bangkai anjing itupun masih hangat. Tentu hal ini dilakukan pada saat kita mengejar penjahat perempuan itu. Yang datang kesini pada malam ini sedikitnya tentu dua orang, mungkin lebih.”

Thio Ki lebih gelisah mendengar ini. la tak dapat menyangkal pendapat isterinya yang cerdik itu.

“Seorang saja demikian lihainya, kalau mereka itu berkawan, benar… berbahaya….!”

“Tak perlu gelisah. Kalau orang sudah menghendaki untuk memusuhi kita, tidak ada jalan lain kecuali melawan mati-matian. Hanya aku ingin sekali tahu siapa mereka dan apa sebabnya… Apakah selama beberapa bulan ini menjadi piauwsu kau tidak menanam bibit permusuhan yang hebat dengan golongan hitam (penjahat)!”

“Tidak, tidak ada. Melihat tulisan ini, agaknya Si Penulis mempunyai dendam yang amat mendalam terhadap kita.” Muka Thio Ki makin pucat.

Tiba-tiba Lee Giok mengangkat alisnya, matanya bersinar-sinar.
“Ah, siapa lagi kalau bukan dia? Hemm, sejak dulu memusuhi aku, hemm… tapi… ah, kalau benar dia mengapa ilmu kepandaiannya begitu hebat?”

“Siapakah? Siapakah yang kau maksudkan, isteriku?” Thio Ki bertanya penuh perhatian.

“Aku teringat akan Kim-thouw Thian-li…..”

Thio Ki menahan napas, iapun teringat sekarang. Memang agaknya kalau ada musuh besar wanita, kiranya dia itulah, Kim-thouw Thian-li (Dewi Berkepala Emas, ketua dari Ngo-lian-kauw (Agama Lima Terang)). Seorang siluman yang hebat dan kejam. Apalagi gurunya yang bernama Hek-hwa Kui-bo (Setan Betina Hitam). Bergidiklah Thio Ki teringat mereka itu dan bulu tengkuknya meremang.

“Kalau betul dia… Hek-hwa Kui-bo… ah… bagaimana baiknya?”

Ia nampak ketakutan sekali dan sekali lagi di lubuk hati Lee Giok tertikam oleh kekecewaan suaminya. Ia makin kenal betul bahwa di balik keangkuhan dan kegagahan Thio Ki terdapat sifat penakut yang tidak menyenangkan hatinya.

“Orang-orang seperti kita ini apakah pantas ketakutan menghadapi ancaman musuh?”

Dalam ucapan Lee Giok ini terkandung kekecewaan dan teguran yang amat terasa oleh Thio Ki. Maka ia segera berdiri dan menepuk dada sambil berkata,

“Jangan kuatir isteriku. Aku suamimu tentu saja tidak takut menghadapi musuh yang manapun juga, tidak pula takut menghadapi kematian sebagai seorang gagah. Hanya aku meragukan apakah kita mampu melawan mereka itu kalau benar-benar mereka terdiri dari Hek-wa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li?”

Agak senang juga hati Lee Giok. Memang beginilah seharusnya sikap orang yang menjadi suaminya.

“Kalau betul dugaan kita bahwa mereka itu adalah Kim-thouw Thian-li dan gurunya, sudah tentu kita bukanlah lawan mereka. Akan tetapi, nyawa berada di tangan Thian. Jangankan baru mereka berdua, biarpun kita diancam oleh seratus orang macam mereka, kalau Thian belum menghendaki mati, kiranya kitapun akan selamat. Sebaliknya, kalau Thian sudah menghendaki kematian kita, biarpun andaikata kita melarikan diri, tentu musuh akan dapat mengejar dan membunuh kita juga. Sama-sama mati, bukankah lebih baik mati sebagai orang gagah?”

“Kau betul, isteriku, Seribu kali lebih baik mati sebagai harimau yang baru mati setelah melakukan perlawanan gigih daripada mati sebagai seekor babi yang tidak melakukan perlawanan malah melarikan diri.”

“Bukan begitu saja, pendirian seorang gagah malah lebih tinggi lagi. Lebih baik mati sebagai seekor harimau daripada hidup sebagai seekor babi!”

Thio Ki mengangguk-angguk.
“Kau betul… kau betul….”

“Kita harus berjaga-jaga,” kata pula Lee Giok setelah agak lama mereka merenung, “Pertama-tama besok pagi-pagi tiga orang pelayan kita harus pergi dari sini pulang ke kampung masing-masing. Biar mereka berlibur sepekan, baru mereka diperbolehkan kembali kesini. Aku tidak suka kalau karena permusuhan kita, orang lain yang tidak tahu apa-apa ikut terancam bahaya.”

Demikianlah, pada keesokan harinya, tiga orang pelayan mereka suruh pulang, diberi bekal uang dan dipesan supaya jangan kembali sebelum sepekan, Kemudian suami isteri ini berjaga-jaga sehari penuh dengan pedang selalu di pinggang. Mereka makan sambil berjaga-jaga dan tidak pernah berpisah sebentar pun juga. Mereka maklum akan kelihaian lawan, maka biarpun siang hari, mereka tidak berani meninggalkan kewaspadaan. Apalagi setelah hari itu menjelang malam, mereka makin berhati-hati.

Pintu-pintu depan dan belakang mereka tutup dan dipalang kuat-kuat. Hanya pintu samping yang kecil mereka tutup saja tanpa dipalangi. Dengan cerdik Lee Giok memasangkan anak panah terpentang di busur yang dihubungkan dengan pintu-pintu dan jendela sehingga siapa saja berani memasuki rumah dengan jalan merusak, pasti akan disambut anak panah.

Sedangkan dia sendiri dan Thio Ki selain membawa pedang juga menyediakan kantong senjata rahasia piauw secukupnya. Tidak begini saja, malah di depan pintu Lee Giok menyebar paku-paku yang sudah ditekuk sehingga merupakan perintang bagi musuh.






No comments:

Post a Comment