Ads

Sunday, November 4, 2018

Rajawali Emas Jilid 017

Seperti orang gila Kwa Hong menerjang kearah pedang ditangan Beng San yang menjadi kaget sekali mendengar ucapan terakhir yang keluar dari mulut Kwa Hong.

“Apa kau bilang….??”

Ia meloncat ke samping, mukanya kini berubah hijau sekali, hijau mengerikan. Inilah sifat aneh dari Raja Pedang Tan Beng San. Di dalam tubuhnya sudah penuh dengan dua macam hawa, yaitu hawa Thai-yang dan Im-kang yang amat luar biasa sehingga tiap kali ia merasa kaget atau malu, mukanya berubah hijau, Sebaliknya kalau marah mukanya akan berubah merah sekali sampai kehitaman!

Dapat dibayangkan betapa hebat rasa kagetnya ketika ia mendengar ucapan Kwa Hong yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya itu.

“Hayo… kau bunuh aku dan anak kita…. mahluk yang tidak tahu apa-apa di perutku ini….” Kwa Hong masih maju-maju sambil rnenangis terisak-isak.

“…. Hong-moi….! Kau maksudkan… kau… kau mengandung… karena… dahulu itu??”

Setelah berkata demikian, Beng San terhuyung-huyung pedang pusaka Hoa-san-pai terlepas dari tangannya. Ia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya, seluruh tubuhnya gemetar lemah.

Sementara itu, pertempuran antara Koai Atong dan Lian Ti Tojin berjalan amat serunya. Mereka berdua secara mati-matian bertempur, mengerahkan seluruh kepandaian mereka.

Ilmu silat yang dimiliki Lian Ti Tojin adalah ilmu silat Hoa-san-pai yang aseli dan selama puluhan tahun kakek ini sudah melatih diri sehingga tingkat ilmunya benar-benar sudah jauh melampaui tingkat kepandaian aseli dari Koai Atong.

Akan tetapi, biarpun baru beberapa bulan mempelajari gerakan rajawali emas, ternyata Koai Atong telah mempelajari ilmu gerakan yang hebat sekali dan kepandaian baru inilah yang menyelamatkan dia sehingga sampai sekian lamanya belum juga Lian Ti Tojin berhasil memukulnya roboh.

Disamping ini, memang Lian Ti Tojin sudah terlalu tua, sudah berpuluh tahun tidak pernah bertanding dan selain ini juga telah menderita luka dalam yang hebat ketika tadi “bertanding kekuatan” dengan Beng San melalui suara. Biarpun makin lama Koai Atong makin terdesak hebat, namun tidaklah mudah bagi Lian Ti Tojin untuk merobohkannya dengan cepat.

Semenjak tadi Koai Atong kebingungan. Berkali-kali ia berteriak minta bantuan Kwa Hong, namun agaknya Kwa Hong sama sekali tidak pernah rnendengarnya. Kemudian setelah melihat Kwa Hong dikalahkan Beng San dan melihat “isterinya” itu menangis tersedu-sedu minta mati, makin kalut pikiran Koai Atong. Gerakannya makin tidak karuan dan beberapa kali ia terkena pukulan Lian Ti Tojin.

Namun Begitu roboh ia bangun kembali dan menyerang lagi dengan nekat. Koai Atong sudah muntah-muntah darah dan ia maklum bahwa sebentar lagi ia pasti takkan kuat menahan. Pikiran ini membuat ia menjadi nekat. Ketika Lian Ti Tojin mendesaknya, ia malah membiarkan dirinya dipukul, akan tetapi juga kesempatan ini ia pergunakan untuk menghantam pundak lawannya itu dengan Jing-tok-ciang, menggunakan seluruh tenaganya yang masih ada.

“Plakk-plakk-blugg!”

Tubuh Koai Atong terpental dan roboh tak berkutik lagi karena nyawanya sudah melayang, akan tetapi juga tubuh Lian Ti Tojin terlempar, Ia masih dapat mengimbangi dan tidak roboh, hanya terhuyung-huyung dengan muka pucat lalu muntahkan darah segar tiga kali.

Mukanya yang seperti tengkorak itu makin menakutkan ketika ia menoleh ke arah Beng San dan Kwa Hong. la melihat Beng San menutupi muka dengan kedua tangan, sedangkah Kwa Hong yang tadinya menangis ketika melihat Koai Atong tewas, cepat menyambar pedang pusaka Hoa-san-pai diatas tanah dan cambuknya.

Lian Ti Tojin marah sekali kepada Kwa Hong, biarpun ia sudah terluka parah ia masih mengerahkan tenaga dan melompat menerjang. Kwa Hong juga meloncat ke atas punggung burungnya dan pada saat Lian Ti Tojin menubruk, ia disambut “tendangan” cakar burung rajawali. Tubuhnya bergulingan sampai beberapa meter jauhnya dan kakek ini bangun berdiri lagi dengan terheran-heran bukan main.

Seorang jagoan ilmu silat yang bagaimanapun juga belum tentu akan dapat merobohkannya hanya dengan sekali “tendang” saja, akan tetapi burung itu ternyata benar-benar telah merobohkannya dengan tendangan yang bukan main hebatnya. Ia merasa kepalanya pening, pandang matanya berkunang dan baru sekarang ia merasa dadanya sakit sekali.





Tiba-tiba berkelebat sinar hijau di atas kepalanya. Lian Ti Tojin berusaha mengelak, namun telambat. Sambaran cambuk di tangan Kwa Hong dari atas itu amat dahsyat, apalagi rajawali emas terbang tanpa mengeluarkan bunyi. Belakang kepala Lian Ti Tojin terkena pukulan sebuah anak panah hijau dan kakek yang sudah tua renta ini roboh terjungkal, tewas tak jauh dari mayat Koai Atong.

Setelah berhasil menewaskan Lian Ti Tojin, Kwa Hong di atas punggung burungnya lalu menyerang dari atas hendak menyerang Beng San. Dengan suaranya yang melengking tinggi Kwa Hong memberi aba-aba kepada burungnya untuk menyerang Beng San yang lihai. Baru sekarang ia teringat untuk minta bantuan rajawali emas itu.

Beng San masih berdiri membungkuk dengan kedua tangan menutupi mukanya. Ketika merasa ada angin bertiup dari atas kepalanya, secara otomatis ia menggerakkan kedua tangannya ke atas. Inilah gerakan seorang ahli silat yang sudah tinggi tingkatnya. Ilmu kepandaian ini sudah mendarah daging di tubuhnya sehingga jangankan baru dalam keadaan berduka dan masih sadar, biarpun sedang tidur andaikata ada sesuatu tentu secara otomatis ia dapat menjaga diri. Penjagaan ini dilakukan sesuai dengan datangnya serangan, maka ketika ia merasa ada angin bertiup dari atas yang mengandung tenaga dahsyat, ia segera menangkis.

Hebat sekali tenaga tangkisan Beng San ini. Burung yang menerkamnya itu terpukul kembali oleh hawa tangkisan itu sehingga terbangnya menyeleweng dan terlempar ke samping dan beberapa helai bulunya gugur. Kwa Hong malah hampir terjungkal dari tempat duduknya!

Beng San kini memandang dan kaget melihat bahwa hampir saja ia mencelakai Kwa Hong tadi, maka katanya dengan suara lemah,

“Kwa Hong, kau bunuhlah aku yang penuh dosa, tapi pergunakan tanganmu sendiri….”

Kwa Hong yang sudah marah itu kembali memerintah burungnya menyambar. Burung rajawali itu sudah amat patuh kepada Kwa Hong. Apalagi tadi ia tertangkis hampir saja runtuh, maka iapun marah sekali. Sambarannya kini amat hebat, tidak hanya kedua kakinya menerkam, malah pelatuknya turut pula menyerang dan mematuk.

Namun, kini Beng San berada dalam keadaan sadar. Mana bisa burung itu mencelakainya? Dengan gerakan kaki yang ringan sekali Beng San dapat mengelak.

“Aku tidak mau terbunuh oleh burung bedebah ini, Hong-moi… kalau kau mau bunuh aku, turunlah dan bunuhlah aku dengan tanganmu sendiri….”

Kwa Hong mengeluarkan suara aneh seperti orang menangis tapi juga seperti suara ketawa, lalu disambungnya,

“Tidak….! Terlalu enak kalau kau mati… hi-hi-hik, kau harus hidup… Beng San, kau harus hidup menebus perbuatanmu yang menghancurkan hatiku….! Kau tunggu saja, kelak anak di kandunganku inilah yang akan membunuhmu. Anakmu sendiri… hi-hi-hik… anakmu sendiri akan membunuhmu….!”

“Hong-moi…, jangan….! Kau bunuhlah aku sekarang….!” teriak Beng San penuh kengerian, akan tetapi burung itu telah terbang ke atas amat cepatnya dan sebentar saja sudah membawa Kwa Hong amat jauh, hanya kelihatan sebuah titik kuning emas di angkasa raya!

Beng San merasa betapa matanya berkunang dan gelap, penuh oleh air mata sehingga ia pergunakan kedua tangannya untuk menutup mukanya dan menguatkan hati untuk menahan tekanan batin yang maha berat itu.

Entah berapa lamanya ia berada dalam keadaan seperti itu dan baru ia sadar ketika mendengar suara orang berkata,

“Tan-taihiap, kau telah menyelamatkan Hoa-san-pai kami dari tangan seorang iblis jahat. Tak lain kami semua murid Hoa-san-pai menghaturkan terima kasih, dan mohon petunjuk selanjutnya.”

Beng San cepat mengeringkan air matanya dan mengangkat muka memandang. Ternyata bahwa para tosu Hoa-san-pai semua telah muncul disitu dan berlutut di depannya!

Adapun yang bicara tadi adalah tosu tua yang telah datang ke Min-san dan minta pertolongannya. Tentu saja ia menjadi kaget dan sibuk sekali melihat para tosu itu berlutut memberi hormat kepadanya. Cepat-cepat ia berkata,

“Para Totiang harap bangkit dan mari kita bicara baik-baik. Janganlah memberi hormat seperti ini, aku sama sekali tidak berani terima. Bangkitlah!”

Di dalam suaranya mengandung pengaruh yang tak dapat dibantah lagi, maka para tosu itu lalu bangun berdiri.

Setelah para tosu itu berdiri, terjadilah keributan. Beberapa orang tosu menuding-nuding dan mencela tosu-tosu lain yang tadinya mereka anggap taat dan tunduk serta membantu Kwa Hong. Para tosu itu tentu saja menjadi ketakutan dan menyangkal sehingga terjadi percekcokan dan keributan. Beng San yang memperhatikan keributan itu segera maju melerai sambil berkata,

“Para Totiang harap jangan cekcok sendiri. Tidak ada gunanya saling menyalahkan dan tidak perlu menekan mereka yang tadinya jatuh ke bawah pengaruh Kwa Hong. Di dunia ini, manusia manakah yang tak pernah menyeleweng dan bersalah? Tanpa adanya kesalahan dan dosa, manusia takkan dapat sadar dan bertobat, takkan mampu membedakan baik benar. Yang penting adalah kesadaran akan dosa itu, maka biarpun tadinya ada beberapa orang Totiang yang bertindak keliru, asal sekarang sudah sadar dan bertobat, kiraku tidak perlu ditekan terus.”

Para tosu dapat menerima ucapan ini dan kembali mereka berunding, kini dengan hati rukun dan tidak saling menyalahkan seperti tadi.

“Tan-taihiap, keadaan Hoa-san-pai kami sudah morat-marit dan rusak. Mohon petunjuk Tai-hiap bagaimana supaya Hoa-san-pai dapat dibangun kembali. Kami kehilangan pimpinan,” kata tosu tua.

“Aku sudah mendengar bahwa Saudara Kui Lok dan Thio Bwee diusir oleh Kwa Hong. Cucu murid yang masih ada sekarang hanyalah Thio Ki yang sekarang tinggal di Tin-yang menjadi piauwsu (pengawal barang). Para Totiang harap tinggal disini dan mengurus semua mayat ini secara baik-baik, biarlah aku yang pergi mengabarkan ke Sin-yang dan minta kepada Saudara Thio Ki untuk datang kesini dan mengurus pembangunan Hoa-san-pai. Kurasa hanya dia seorang yang berhak, karena diapun murid dari mendiang Lian Bu Tojin.”

Para tosu menyatakan persetujuan mereka dan berangkatlah Beng San turun gunung dengan wajah muram. Pertemuannya dengan Kwa Hong tadi benar-benar membuat ia berubah menjadi manusia lain.

Ketika ia mendaki Puncak Hoa-san, Ia merupakan seorang manusia bahagia karena selama ini ia tinggal di Min-san bersama isterinya, yaitu Kwee Bi Goat, hidup dengan penuh cinta kasih dan damai, saling mencinta dan rukun. Ketika ada tosu Hoa-san-pai datang dan menceritakannya tentang malapetaka yang menimpa Hoa-san-pai dan mohon pertolongannya, Beng San tak dapat menolak karena ia mengingat akan hubungannya dengan partai itu.

Isterinya mengatakan hendak ikut, akan tetapi oleh karena Beng San tahu bahwa akan buruk jadinya kalau isterinya itu bertemu dengan Kwa Hong, maka ia mencegah dan menyatakan bahwa tidak baik bagi kesehatan isterinya untuk melakukan perjalanan jauh, karena keadaan Bi Goat yang sedang mengandung itu.

Demikianlah ia tinggalkan Bi Goat di Min-san bersama ayah mertuanya, yaitu Song-bun-kwi Kwee Lun. Siapa sangka bahwa pertemuannya dengan Kwa Hong akan menghancurkan hatinya seperti ini!

“Aduh… aku tidak berharga lagi mendekati Bi Goat….”

Di sepanjang perjalanan menuju ke Sin-yang mencari Thio Ki, Beng San membayangkan isterinya dengan hati remuk redam. Setelah apa yang ia lakukan bersama Kwa Hong dan ternyata Kwa Hong mengandung keturunannya, ia merasa berdosa besar dan merasa tidak berharga untuk mendekati isterinya terkasih dan suci.

Ketika mendaki Puncak Hoa-san tadi ia masih merupakan seorang suami yang berbahagia, sekarang ia meninggalkan puncak dengan hati terjepit derita sengsara. Namun dasar seorang berwatak satria, sungguhpun diri sendiri mengalami penderitaan batin yang maha besar, namun ia terus melanjutkan usahanya untuk menolong Hoa-san-pai.

la harus mencari Thio Ki dan menarik orang muda kakak Thio Bwee itu agar suka turun tangan membangun kembali Hoa-san-pai yang dikacau oleh Kwa Hong.

**** 017 ****





No comments:

Post a Comment