Ads

Friday, October 26, 2018

Raja Pedang Jilid 129

Tan Beng Kui yang kelihatan gagah dan bersemangat, berdiri dengan kedua. kaki terpentang, matanya bersinar-sinar dan dia menjawab,

“Pangeran Souw Kian Bi! Kau terlampau memandang rendah para pejuang. Kau kira kali ini akan dapat menghancurkan kami? Huh, manusia serendah engkau mana mampu menghancurkan kekuatan perjuangan rakyat? Kau bilang di puncak ini terkurung oleh prajurit-prajuritmu? Ha-ha-ha, apa kau kira percuma saja aku bertahun-tahun berjuang di kota raja? Bukan kami yang akan kau hancurkan, sebaliknya kau dan pasukan-pasukanmu itulah yang akah hancur. Kau lihat!”

Beng Kui mengeluarkan panah api, dilepaskan ke atas dan sinar biru melesat ke udara. Tak lama kemudian terdengar tambur dan terompet disusul sorak-sorai menggegap gempitakan puncak.

“Lihat, Pangeran Souw Kian Bi. Lihat baik-baik, puluhan ribu teman-teman kami sudah mengurung di kaki gunung, siap menggempur pasukan-pasukanmu!”

Tidak hanya Souw Kian Bi yang menengok, melainkan semua orang melihat ke bawah dan betul saja, seperti ular naga besar tampak pasukan pejuang sudah merayap ke atas dan sudah mulai diadakan pertempuran di bawah gunung.
“Dan kau tidak pernah mimpi bahwa pada saat ini di kota raja terjadi pula penyerbuan, Pangeran. Kau tidak ada tempat lagi untuk maju atau mundur. Ha-ha-ha!” Tan Beng Kui tertawa dan pangeran itu membentak marah.
“Kau bohong!”

Akan tetapi tiba-tiba dari bawah berlari naik seorang anggauta tentara kerajaan. Wajahnya pucat napasnya sengal-sengal ketika dia melapor,

“Lapor pada Pangeran. Ada berita bahwa kota raja sudah diduduki musuh…..”

Saking marahnya Pangeran Souw Kian Bi menggerakkan pedangnya dan….. robohlah pelapor ini dengan dada tertusuk pedang. Perbuatan ini seakan-akan menjadi tanda dimulainya pertempuran.

Tan Beng Kui sudah mengambil pedang dari tangan seorang pelayan, kemudian dengan gerakan luar biasa cepatnya dia menyerang Souw Kian Bi. Belasan orang pengikut pangeran itupun bergerak, akan tetapi mereka segera disambut oleh Lee Giok, Li Cu, dan dua belas orang pelayan.

Pertempuran antara Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui tidak berjalan lama. Sebentar saja pedang di tangan Beng Kui berhasil membacok leher pangeran itu yang menjerit dan roboh binasa. Pengikut-pengikutnya juga roboh seorang demi seorang. Pertempuran di bawah dan di lereng gunung makin menghebat. Semua tamu berdiri dan menjadi tegang.

Beng San semenjak tadi berdiri memandang kakaknya. Air matanya bercucuran dikedua pipinya. Tangannya yang memegang Liong-cu-kiam gemetar. Alangkah gagahnya kakak kandungnya. Alangkah hebatnya. Kiranya kakaknya yang selama ini dia anggap sebagai pengkhianat, ternyata adalah Ji-enghiong pemimpin pejuang di kota raja!

Jadi Kwee Sin, Lee Giok dan lain-lain itu adalah bawahan-bawahannya! Dan kakaknya ternyata adalah murid kepala dari Raja Pedang yang memiliki kepandaian lebih lihai daripada Li Cu. Hebat! Kenyataan ini menampar hatinya. Kalau dulu dia memandang rendah kakaknya, sekarang dia merasa betapa rendah dan hina dirinya kalau dibandingkan dengan Beng Kui.

Sekarang setelah semua musuh-musuhnya tewas, Tan Beng Kui menoleh kepada Hek-hwa Kui-bo, Kim-thouw Thian-li, Siauw-ong-kwi, dan Giam Kin. Sikapnya mengancam,

“Kalian berempat kaki tangan Pangeran Souw Kian Bi, apakah hendak menuntut balas?” tantangnya.

“Beng Kui, jangan lancang!” tegur Cia Hui Gan. “Mereka adalah tamu-tamu yang menghadiri perebutan gelar.”

Baik Hek-hwa Kui-bo maupun Siauw-ong-kwi sejak tadi sudah menjadi gelisah dan gentar. Menghadapi seorang Tan Beng Kui atau bahkan Cia Hui Gan bagi mereka tentu saja tidak menjadikan takut, akan tetapi karena mereka tadinya membantu pemerintah dan sekarang berhadapan dengan para pejuang, nyali mereka sudah menjadi kecil.

“Perebutan gelar sudah berubah menjadi pertempuran urusan kerajaan, biarlah kami pergi saja,” kata Siauw-ong-kwi yang cepat meninggalkan tempat itu bersama Giam Kin.

“Akupun pergi saja, lain kali bertemu kembali!” kata Hek-hwa Kui-bo yang cepat pergi diikuti Kim-thouw Thian-li.





Beng Kui sekarang menghadapi Beng San. Wajahnya nampak keras dan marah.
“Bocah gila, apakah kau masih tetap hendak mengikuti perebutan Raja Pedang pula? Huh, manusia rendah macam engkau, yang menghancurkan kehidupan seorang gadis baik-baik, kau tidak berharga melawan Suhu dan kau terlalu kotor melawan Sumoi. Kalau kau masih penasaran, hayo kau lawan aku! Kalau kau tidak berani, kau kembalikan pedang itu kepada Sumoi!” Sikap Beng Kui angkuh sekali dan dia memandang Beng San amat rendah.

Air mata yang mengalir turun di kedua pipi Beng San makin deras ketika mendengar kakak kandungnya yang gagah perkasa itu memakinya dan menyebut-nyebut tentang urusan Kwa Hong. Hatinya seperti diremas-remas. Dengan muka kehijauan dan suara gemetar dia bertanya.


“Kui-ko….. kenapa kau menaruh racun…..? Kenapa kau melakukan semua itu kepadaku….. kau….. kau yang ternyata seorang patriot dan pejuang mulia ini…..? Kenapa?”


“Goblok kau. Bodoh! Kalau tidak karena aku, bukankah sekarang kau sudah menjadi mayat di benteng itu? Yang menaruh racun bukan aku, melainkan Pangeran Souw Kian Bi. Aku diamkan saja karena menurut pandanganku, kau sudah terlampau untung untuk berjodoh dengar dia. Siapa kira, kau….. kau meninggalkannya. Alangkah rendahnya!”

“Aduh….. Beng Kui koko, aku….. aku mencinta gadis lain….. aku, aku….. menjadi korban racun…..”

“Jangan sebut aku koko lagi. Pendeknya, kau mau merebut gelar Raja Pedang atau tidak? Lekas sebelum habis sabarku!”

Tiba-tiba Beng San mengangkat dadanya dan berkata,
“Aku tidak peduli akan segala sebutan Raja Pedang. Aku tidak suka pula bertempur dengan siapapun juga, tidak mau ikut bertempur denganmu. Akan tetapi, aku harus mengambil kembali sepasang Liong-cu Siang-kiam, aku sudah bersumpah di depan suhu.”

“Keparat! Sumoi, tolong pinjam pedangmu!”

Li Cu menyerahkan pedang pendek di tangannya. Begitu memegang Liong-cu-kiam yang pendek, Beng Kui segera menerjang maju menyerang dengan dahsyat.

Beng San kagum melihat gerakan kakak kandungnya yang ternyata jauh lebih hebat dan kuat daripada gerakan Li Cu. Akan tetapi karena dia tidak suka melawan, dia cepat mengelak dan terus mengelak atau menangkis dengan Liong-cu Siang-kiam yang panjang. Sementara itu, Li Cu mendekati ayahnya dan tangan gadis ini dingin sekali ketika menyentuh tangan ayahnya. Cia Hui Gan berbisik.

“Li Cu, aku malu sekali menjadi Raja Pedang. Sekali ini, kalau orang muda adik Beng Kui itu mau kita semua akan dapat dia kalahkan dengan ilmu pedangnya Im-yang Sin-kiam-sut yang tulen. Kalau dia mau, mudah saja dia mengalahkan suhengmu. Aaahhh, sayang sekali…..”

“Apanya yang sayang, Ayah? Kenapa kau tidak turun tangan membantu Suheng?”

“Hush, masa aku harus berlaku begitu rendah? Lihat, adiknya itu benar-benar aneh tidak melawan sama sekali, entah apa maksudnya.”

Tiba-tiba dia menjadi pucat karena benar-benar terjadi hal yang luar biasa. Ketika pedang Beng Kui menyambar dalam sebuah serangan kilat, Beng San sengaja memasang pundaknya dan hanya menangkis sedikit. Beng Kui sendiri sampai kaget mengapa Beng San sengaja menerima sambaran pedangnya? Pundak pemuda itu terbabat dan terkupas kulit berikut sedikit dagingnya. Darah mengalir deras membasahi baju.

“Koko, dalam hal ilmu pedang aku mengaku kalah. Kau dan suhumu patut disebut Raja Pedang. Buktinya pundakku sudah terluka!” seru Beng San, akan tetapi tiba-tiba dia melakukan gerakan yang amat aneh yang sekaligus mematikan daya tahan Beng Kui.

Pedang di tangan Beng Kui tertempel pedangnya, tak dapat digerakan atau ditarik kembali, kemudian tangan kiri Beng San cepat melakukan dua kali totokan ke arah tangan kanan kakaknya. Beng Kui merasa tangannya lumpuh dan sebelum dia sempat mencegah, pedang Liong-cu-kiam yang pendek sudah berpindah ke tangan Beng San!

Beng San lalu melangkah mundur dan dengan dua batang pedang di tangan, dia memandang kakaknya dengan air mata bercucuran, kemudian dia berlari pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Terdengar seruan Song-bun-kwi,
“Eh, Bi Goat, kau mau pergi kemana??”

Baru sampai di lereng gunung dimana tidak ada perang yang terjadi di lereng sebelah sananya, Beng San merasa ada angin menyambar lewat dan tahu-tahu Bi Goat sudah berdiri di depannya. Gadis ini terus memeluknya dan menangis, berkata, “ah-ah-uh-uh” tidak karuan. Lemas seketika hati Beng San menghadapi kekasihnya ini.

“Bi Goat….. kekasihku….. pujaan hatiku, jangan….. jangan kau mengejarku. Jangan kau mencegah kepergianku….. aku terlampau hina dan terlampau rendah untukmu, Bi Goat…..”

Mendengar ini, makin menjadi tangis Bi Goat dan makin erat dia mendekap Beng San.

“Aduh, Bi Goat….. kau menghancurkan hatiku. Relakan aku, Bi Goat, aku….. aku….. ah, aku malah tidak pantas lagi hidup di dunia ini…..”

Bi Goat seperti hendak menjerit-jerit tapi yang keluar dari mulutnya hanya ‘ha-ha-uh-uh saja, akhirnya gadis itu menjadi lemas dan….. roboh pingsan dalam pelukan Beng San. Tentu saja pemuda ini menjadi kaget sekali. la cepat duduk di atas tanah sambil memangku kepala Bi Goat, digoyang-goyangnya tubuh nona itu sambil dipanggil-panggilnya penuh kekhawatiran,

“Bi Goat….. Bi Goat….. jangan mati…..!” la seperti orang gila dan menangis seperti anak kecil.

Tiba-tiba gadis itu bergerak dan terdengar suara yang merdu,
“Beng San….. kalau kau pergi….. lebih baik aku mati saja …..”.

Beng San terkejut seperti disengat ular berbisa. la menoleh ke kanan kiri dan melihat di sebelah kirinya Song-bun-kwi berdiri dengan muka pucat sekali. Sekilas pertemuan pandang mata antara dia dan Song-bun-kwi terjadi persamaan pengertian akan apa yang mereka berdua dengar tadi.

“Beng San….. Beng San, Jangan tinggalkan aku …..”

“Bi Goat, kau bicara” Beng San melompat bangun dan memeluk gadis itu, lupa semua kedukaan hatinya.

“Bi Goat, anakku! Akhirnya kau dapat bicara lagi! Ha-ha-ha-ha-ha!”

Song-bun-kwi tertawa terbahak-bahak, kemudian….. menangis.
“Ha-ha-ha, benar juga si setan Yok-mo, setelah mengalami kekagetan, kau bisa bicara lagi…..”

“Ayah….. kalau kau tidak menahan Beng San supaya selalu disampingku, aku tidak saja akan gagu lagi, malah aku akan mati di bawah kakimu!”

“Ya, ya, baik begitu. Heh, Beng San! Apakah kau mencinta Bi Goat?”

“Betul, Locianpwe, akan tetapi aku terlampau hina….. aku….. aku berdosa dan telah…..”

“Stop! Mana ada manusia tak berdosa di dunia ini? Dosaku seribu kali lebih besar daripada dosamu! Jangan pedulikan manusia-manusia sombong itu. Hayo ikut kami ke Gunung Min-san dan hidup bahagia disana. Ha-ha-ha, anakku bisa bicara, anakku mendapat suami yang hebat. Sebentar lagi aku akan menimang cucuku yang mungil. Ha-ha-ha, orang she Kwee, pantaskah kau menerima kurnia sebesar ini?”.






No comments:

Post a Comment