Ads

Monday, October 15, 2018

Raja Pedang Jilid 111

Aduh, Beng San bergidik. Benar-benar berbahaya permainan cinta. Cinta kasih dua orang dara ini sama berbahayanya dengan dua ujung pedang mereka. Ia terpaksa mengeluarkan kepandaiannya, sekali tangannya bergerak dia telah dapat merampas dua pedang itu dari tangan Thio Eng dan Kwa Hong.

Dua orang gadis itu seketika melongo karena tidak tahu bagaimana caranya pedang mereka tahu-tahu sudah terampas dan kini Beng San dengan muka sedih mengembalikan pedang mereka, mengangsurkan dengan gagang pedang di depan.

Thio Eng dan Kwa Hong seperti mendapat komando lalu merenggut pedang masing-masing dari kedua tangan Beng San dan otomatis kedua pedang mereka sudah menyerang lagi! Tapi kembali dengan gerakan aneh, tahu-tahu pedang mereka sudah berpindah tangan. Lagi-lagi Beng San mengangsurkan pedang itu terbalik sambil berkata,

“Adik-adikku yang baik, kasihanilah aku. Aku benar-benar sayang kepada kalian.”

Mendadak dua orang gadis itu bercucuran air mata.
“San-ko….. kiranya kau….. kau tidak hanya mempermainkan cinta orang…… juga telah mempermainkan orang dengan berpura-pura tolol dan bodoh,…..”

Setelah berkata demikian, dengan isak tertahan Kwa Hong membalikkan tubuh dan lari pergi.

“Orang she Tan….. jadi kau….. sejak di perahu dulu….. kau telah mempermainkan aku? Ah, alangkah kejam kau…..”

Sambil menangis Thio Eng juga berlari pergi dari situ dengan terhuyuhg-huyung dan lemas.

Tinggal Beng San yang berdiri melongo, memandangi dua pedang di kedua tangannya, berulang-ulang menarik napas panjang dan menjadi bingung. Apakah artinya itu semua? Benarkah dua orang gadis itu mencintanya? Ah, tak mungkin rasanya. Mencinta dia, cinta sebagai seorang kekasih yang menghadapkan dia menjadi suami mereka? Aneh!

Dengan kedua pedang masih dipeganginya, terbayanglah wajah gadis gagu, tersenyum-senyum kepadanya dengan wajah diliputi kesayuan, kemudian terngiang di telinganya pesan mendiang Lo-tong Souw Lee bahwa dia harus mengawini perampas Liong-cu Siang-kiam kalau pencurinya itu wanita, maka terbayang pula wajah puteri Cia yang cantik jelita, gadis yang luar biasa ilmu pedangnya itu.

Hatinya terasa perih kalau teringat kepada dua orang gadis tadi. Akan tetapi apakah yang dapat dia lakukan? Mereka cinta kepadanya, itu bukanlah kesalahannya. Tak mungkin dia mengimbangi cinta kasih setiap orang gadis Dan memang sesungguhnya hatinya masih bersih daripada perasaaan ini. Agaknya hanya kepada gadis gagu itulah dia dapat mencinta, atau….. kepada puteri pencuri pedangkah?

“Setan!”

Beng San memaki diri sendiri mengusir bayangan semua gadis itu. Sepasang pedang rampasannya dia simpan, dijadikan satu dan disembunyikan di balik jubahnya.

“Tak mungkin memikirkan gadis-gadis itu, paling perlu sekarang aku pergi mencari kakakku di kota raja.”

Makin diingat makin yakinlah hatinya bahwa pemuda she Tan yang datang ke Hoa-san-pai bersama Pangeran Souw Kian Bi itu tentulah Tan Beng Kui, kakaknya. Masih ingat betul dia akan muka kakaknya itu. Hanya satu hal yang amat meragukan. Andaikata benar pemuda itu kakaknya, bagaimana dia bisa menjadi seorang yang begitu tinggi kedudukannya dan menjadi sahabat si Pangeran Mongol.

la harus menemui Tan Beng Kui atau pemuda itu dan bicara secara terang-terangan. Dengan cepat Beng San lalu kembali ke kota raja, berusaha sekuat hatinya untuk melupakan peristiwa yang dia alami dengan Kwa Hong dan Thio Eng.

Setibanya di kota raja, dia mendengar berita yang amat mengejutkan hatinya. la sengaja bermalam di rumah penginapan dimana dia mengintai lima orang gagah itu dan mendengar berita bahwa empat orang kakek gagah itu, ialah Kim-mouw-sai Lim Seng jago Kwi-bun, Kang-jiu Bouw Hin jago Bi-nam murid Siauw-lim-pai dan dua orang kakek Phang pejuang dari Hun-lam, telah tewas semua dikeroyok perajurit-perajurit kerajaan yang dipimpin oleh Tan-ciangkun (Panglima Tan)! Jadi kakaknya sendiri yang telah memimpin barisan membunuh empat orang tokoh pejuang gagah perkasa! Sebetulnya apakah yang terjadi disitu?

Seperti telah diketahui di bagian depan, Phang Khai dan Phang Tui dua orang kakek itu, gagal menangkap Kwee Sin malah mereka sendiri hampir celaka kalau tidak tertolong oleh penolong rahasia. Setelah mereka sadar dan mendapatkan diri mereka berada di halaman kelenteng dimana mereka bermalam, keduanya menjadi terheran-heran dan juga marah terhadap seseorang yang mereka anggap telah mengkhianati mereka.





Pada malam ketiga, seperti telah dijanjikan, mereka mengunjungi rumah penginapan itu dan mengadakan pertemuan dengan Kang-jiu Bouw Hin, Kim-mouw-sai Lim Seng, dan nyonya Liong yang menjadi perantara dan orang kepercayaan Ji-enghiong yaitu dua orang tokoh perjuangan yang menjadi pemimpin-pemimpin daripada gerakan rahasia atau jelasnya menjadi kepala jaringan mata-mata yang bergerak di dalam kota raja!

Bouw Hin dan Lim Seng sudah hadir disitu lebih dulu. Nyonya Liong belum juga datang. Terhadap Bouw Hin dan Lim Seng, dua orang kakek Phang tidak mau menceritakan pengalaman mereka di gedung Kwee Sin.

Akhirnya datang juga nyonya Liong yang kelihatan gelisah dan berduka. Semua ini tak terlepas dari pandang mata kedua kakek Phang yang penuh selidik. Mereka melihat betapa mata yang bening itu sekarang nampak sayu dan ada bekas-bekas air mata. Begitu memasuki kamar itu nyonya Liong segera memberi pesannya dengan suara perlahan dan tergesa-gesa.

“Kalian lekas pergi dari sini, keadaan berbahaya. Saudara Bouw Hin dan Lim Seng harap segera berangkat ke tempat markas para pendekar yang dipimpin oleh saudara Su Souw Hwee dan Tan Yu Liang. Katakan bahwa Ji-enghiong sendiri yang memesan supaya mereka memutar pasukan ke arah selatan untuk bergabung dengan pasukan besar Panglima Kok Ci Seng, dan ji-wi Saudara Phang-lopek harap segera mencari pasukan saudara Tan Hok dan minta pasukannya membantu teman-teman di barat yang mengalami pukulah hebat. Harap kalian cepat-cepat pergi dan jalankan tugas dengan baik, keadaan amat gawat disini.”

Sambil berkata demikian, nyonya itu memandang kepada kedua orang saudara Phang itu dengan sinar mata menyesal.

Phang Tui yang tidak sabar lalu berkata,
“Tentu saja semua tugas itu kami terima dengan baik dan akan kami jalankan seperti biasa. Akan tetapi ada satu hal yang kami minta supaya nona Lee bicara terus terang dan memberi penjelasan yang sewajarnya.”

Mendengar Phang Tui menyebutnya nona Lee, “nenek” itu mengeluarkan suara tertahan.

“Phang-lopek, apa….. apa maksudmu…..?”

Dalam gugupnya, nenek ini lupa akan penyamarannya, suaranya tidak parau seperti biasanya melainkan merdu dan halus, suara seorang wanita muda!

Phang Khai sekarang berdiri di samping adiknya, suaranya terdengar keren penuh tuntutan.

“Nona Lee, tak usah kau berpura-pura lagi, kami sudah tahu bahwa kau adalah seorang nona muda yang menjadi pembantu Pangeran Souw Kian Bi dan Tan-ciangkun. Semua itu tidak apa dan kami takkan peduli karena kenyataannya kau bekerja untuk perjuangan kita. Akan tetapi apa artinya pengkhianatanmu kepada kami dan memberi tahu kepada Kwee Sin akan ancaman kami hendak menangkapnya? Katakanlah, apa artinya semua ini? Siapa sebenarnya engkau ini? Seorang teman pejuang ataukah seorang pengkhianat, ataukah seorang mata-mata musuh?” Suara Phang Khai lerdengar penuh ancaman.

Tubuh “nenek” itu gemetar.
“Phang-lopek, ahhh….. tiada kesempatan lagi. Terlalu panjang untuk diceritakan, juga rahasia….. ah, kalian percayalah kepadaku. Pergilah cepat-cepat meninggalkan kota raja, aku tak sempat bercerita….. entah lain kali, sudahlah, pergilah kalian...”

“Kau harus terangkan lebih dulu!”

Phang Tui membentak, sedangkan dua orang lain, yaitu Bouw Hin dan Lim Seng, hanya memandang dengan heran. Mereka belum tahu apa yang telah terjadi dan melihat sikap dua orang saudara Phang itu, timbul pula kecurigaan mereka terhadap nyonya Liong yang sekarang jelas adalah seorang nona muda she Lee adanya.

“Tidak…. tidak bisa , tak sempat lagi…..”

“Kalau begitu, kami akan memaksamu!”

Phang Tui dan Phang Khai bergerak dan menghadapi “nenek” itu dengan pedang di tangan.

Pada saat itu terdengar suara gerakan orang di luar dan terdengarlah bentakan keras,
“Tangkap mata-mata pemberontak!”

Sinar senjata rahasia melayang masuk kamar dan terdengar suara keras disusul padamnya lampu penerangan.

Phang Khai, Phang Tui, Bouw Hin dan Lim Seng cepat mencabut senjata dan menerjang keluar. Akan tetapi mereka disambut oleh gerakan pedang yang amat cepat, dihujani pula dengan senjata-senjata rahasia. Karena keadaan amat gelap, maka mereka repot sekali dan beberapa buah senjata rahasia telah mengenai tubuh mereka.

“Tan Ciangkun, kau sudah disini? Ha-ha-ha, ternyata kau lebih cepat daripada aku. Bunuh semua mata-mata ini! Ha-ha-ha, tikus-tikus ini belum kenal kelihaian Pangeran Souw Kian Bi!”

Orang yang bicara ini mainkan pedangnya dengan hebat sekali dan empat orang pejuang itu biarpun sudah mempertahankan diri, namun mereka tidak kuat menghadapi desakan dua pedang dan hujan senjata rahasia itu. Beberapa jurus kemudian mereka roboh, terluka parah oleh pedang dan senjata rahasia. Di dalam gelap, Phang Khai dan Phang Tui yang sudah roboh itu mendengar bisikan suara merdu dan halus, suara “nenek Liong”. Demi mendengar bisikan ini, Phang Tui berseru.

“Ayaaaaa, celaka…., bodoh benar aku …”

Phang Khai berseru pula.
“Aduhhh….. kalau begitu pantas mampus!”

Penerangan dinyalakan dan ternyata empat orang pejuang itu sudah tewas semua. Tentu saja Beng San hanya mendengar berita tentang kematian empat orang mata-mata pemberontak di tempat itu.

Ketika dia melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya, dia mendengar bahwa yang membuka rahasia mereka itu adalah seorang tokoh yang amat terkenal di kota raja yaitu Lee-siocia. Beng San membayangkan wajah nona cantik yang menemui Kwee Sin di malam itu, lalu teringat pula dia akan nyonya Liong. Diam-diam dia berpikir keras, tapi tak juga dapat mengerti apa maksudnya semua itu. Ketika dia mendengar pula bahwa pemimpin penyerbuan yang menewaskan empat orang mata-mata pemberontak itu adalan Tan-ciangkun, diam-diam Beng San menjadi sedih sekali.

“Hemmm, ternyata kakakku telah menjadi kaki tangan Mongol, agaknya menjadi kaki tangan Pangeran Souw Kian Bi yang jahat itulah. Celaka sekali, kalau orang-orang Han seperti kakakku dan Kwee Sin menjadi kaki tangan penjajah, seperti ribuan orang lain yang dapat dipikat dengan harta dan pangkat, bagaimana rakyat bisa terhindar daripada penindasan penjajah? Aku harus mengingatkannya.” demikian Beng San mengambil keputusan di hatinya.

Malam hari itu dia berada di depan rumah gedung besar tempat tinggal Tan-ciangkun yang terjaga kuat oleh perajurit-perajurit tinggi besar. Sengaja Beng San memilih waktu malam hari agar dapat bicara dengan bebas, dan memilih waktu tuan rumah sudah selesai tugas dan sedang beristirahat.

la menduga-duga apakah kakaknya itu sudah berkeluarga dan diam-diam dia harus mengakui bahwa gedung tempat tinggalnya itu benar-benar mewah dan megah. Melihat Beng San longak-longok di depan pintu gerbang, seorang penjaga membentaknya.

Beng San malah melangkah maju menghampiri penjaga itu dan berkata ramah.
“Harap kau suka beritahukan kepada Tan-ciangkun bahwa adiknya Tan Beng San datang hendak bertemu.”

Penjaga itu tertegun, memandang lebih teliti lalu memberi hormat karena diapun melihat persamaan wajah antara pemuda ini dengan komandannya.

“Silakan Kongcu masuk dan menanti di ruang tamu, saya akan melaporkan kedatangan Kongcu,” katanya.

Tak lama kemudian Beng San dipersilakan masuk dan penjaga itu sendiri pergi keluar. Beng San memasuki ruangan dalam dengan hati berdebar tegang. la akan berhadapan dengan Beng Kui, orang yang selama ini selalu dirindukan, yang selalu dia bayangkan dan dia impikan. Kakak kandungnya!






No comments:

Post a Comment