Ads

Friday, October 12, 2018

Raja Pedang Jilid 108

“Benar,” kata Kwee Sin. “Nona, katakanlah dulu mengapa kau mati-matian berusaha hendak membunuh keponakanku Lim Kwi? Apakah dosanya? Coba kau jelaskan, tentu aku akan mempertimbangkan baik-baik. Kalau memang ada yang bersalah, dia harus siap menerima hukuman."

Thio Eng tersenyum dingin mengejek, seakan-akan sinar matanya berkata,
“Seorang seperti kau mana memiliki pertimbangan yang adil?” Akan tetapi mulutnya berkata, “Hemmm, ingin benar aku mendengar bagaimana pertimbangan kalian yang sudah mencelakakan hidupku. Ayahku dibunuh oleh dua orang saudarai Bun murid Kun-lun-pai, yaitu ayah dan paman jahanam Bun Lim Kwi ini, apakah sudah tidak adil kalau aku sekarang hendak membalas dendam kepadanya untuk menebus dosa ayah dan pamannya itu? Kau sebagai paman gurunya, tentu akan membelanya, akan tetapi aku Thio Eng tidak takut mati dalam usaha membalas dendam ayahku!’

Kwee Sin mengerutkan kening.
“Kau she Thio? Siapakah nama ayahmu? Apakah Thio San?”

Di dalam kemarahannya, makin yakinlah Thio Eng bahwa musuh-musuhnya memang dua orang yang berdiri di depannya ini.

“Betul, Thio San ayahku yang terbunuh oleh dua orang saudara keparat Bun dari Kun-lun-pai dalam sebuah hutan.”

Kwee Sin tiba-tiba menjadi muram wajahnya. Teringat dia akan peristiwa itu, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu ketika dia bertempur melawan Thio San, kemudian tiba-tiba muncul Coa Kim Li yang menurunkan tangan jahat membunuh Thio San.

“Ah, salah….. kau keliru menyangka, Nona….. kau begitu yakin bahwa ayah Lim Kwi yang membunuh ayahmu, apakah kau melihatnya sendiri pembunuhan itu?”

Dalam pandang mata Thio Eng mulai tampak sinar keraguan.
“Aku….. aku mendapatkan ayah telah menggeletak mati dalam hutan, aku menangisi dan….. dan aku melihat pula dua orang saudara Bun di hutan itu, kukira….. siapa lagi yang membunuh ayah? Orang she Kwee, aku takkan percaya begitu saja pembelaanmu terhadap para suhengmu, kecuali kalau kau mengatakan siapa pembunuh ayahku. Apakah kau tahu siapa orangnya yang membunuh ayahku?”

Kwee Sin mengangguk.
“Tentu saja aku tahu…..” la menarik napas dan wajahnya kelihatan berduka sekali. “Semua salahku….. ah, betapa besar dosaku, semua gara-garaku…..”

Wajah Thio Eng yang cantik itu nampak beringas.
“Bagus, jadi kau yang menyebabkan kematian ayahku? Nah, terimalah pembalasanku!” Thio Eng menyerang lagi. Kali ini Kwee Sin tidak menangkis hanya mengelak ke kanan.

“Adik Eng, jangan begitu. Biarkan dia memberi penjelasan dulu.”

Beng San berlari mendekati Thio Eng dan memegang lengan gadis itu. Thio Eng hanya mendengus, akan tetapi tidak melanjutkan serangannya dan menanti Kwee Sin memberi penjelasan.

“Dengarlah baik-baik ceritaku, sembilan sepuluh tahun yang la!u…..”.

Kwee Sin lalu menceritakan semua pengalamannya dahulu ketika dia membantu kedua suhengnya mencari seorang bernama Thio San yang mereka anggap sebagai seorang penipu.

Seperti telah kita ketahui, Thio San seorang tokoh Pek-lian-pai hendak membeli kuda dari Bun Si Teng dan minta agar supaya rombongan kuda itu diantar ke sebuah hutan. Akan tetapi setibanya di tengah hutan, dua orang saudara Bun itu diserang oleh lima orang anggauta Pek-lian-pai yang dibantu oleh seorang wanita tak dikenal.

Bun Si Liong terluka dan Kwee Sin yang mendengar hal ini menjadi marah lalu pergi mencari Thio San di Hek-siong san. Dianggapnya bahwa Thio San adalah seorang yang menipu kedua suhengnya, tidak saja merampas dua puluh ekor kuda, malah telah melukai Bun Si Liong. Akhirnya di dalam hutan pohon siong itu , Kwee Sin bertemu dengan Thio San dan dalam pertempuran ini tiba-tiba muncul Kim-thouw Thian-li yang merobohkan Thio San dengan saputangan merahnya.

“Aku sendiri terluka oleh Pek-lian-ting yang dilepas oleh Thio San di leherku, sehingga aku roboh pingsan lalu dibawa pergi oleh Kim-thouw Thian-li dan mungkin ketika itu Thio San telah tewas dan ditinggalkan di dalam hutan itu. Nah, demikianlah cerita yang sebenarnya. Mendiang Bun-suheng keduanya sama sekali tidak bertanggung jawab dan tidak tahu menahu tentang kematian ayahmu, Nona Thio. Ayahmu dahulu bertempur melawan Kim-thouw Thian-li.”





Dengan mata merah karena menahan turunnya air matanya, Thio Eng memandang kepada Bun Lim Kwi yang kelihatan lega dan kebetulan pemuda inipun memandang kepadanya dengan sayu tapi mulutnya tersenyum.

Thio Eng menjadi merah wajahnya, merasa telah berlaku keterlaluan terhadap Bun Lim Kwi, teringat olehnya sikap Lim Kwi kepadanya dan betapa ia sudah merobohkan Lim Kwi atas bantuan Giam Kin.

“Kalau….. kalau begitu….. aku telah salah tangan…..”

“Hampir saja, Nona. Hampir tamat hidupku di tanganmu, sayang bagimu, aku masih hidup berkat pertolongan saudara Beng San yang budiman ini…..” jawab Lim Kwi.

Thio Eng menoleh kepada Beng San, terheran lalu mengangguk-angguk.
“Hemm kiranya kau yang telah menolongnya, Tan-ko?”

“Aku mendapatkan dia menggeletak dengan luka berbisa, aku hanya membawanya dan minta tolong lain orang untuk menyembuhkannya. Eh, adikku yang baik, apakah kau telah menyerangnya dengan senjata beracun yang keji itu?”

Makin merah muka Thio Eng.
“Jangan menuduh sembarangan! Aku adalah murid suhu Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, mana sudi menggunakan racun? Ini gara-gara si Giam Kin iblis cilik itu yang menyerang dengan mendadak. Syukur kau telah menolongnya, Tan-ko, kalau tidak….. ah aku tentu berdosa membunuh orang tak berdosa. Siapa duga kalau bukan ayahnya yang membunuh ayahku? Ketika itu aku masih kecil….. aku melihat mayat-mayat menggeletak di hutan, aku menangis dan ditolong oleh suhu dan aku melihat ayahnya di hutan itu pula…..” Mendadak gadis itu menudingkan ujung pedangnya kearah Kwee Sin sambil membentak.

“Kiranya kau manusia she Kwee yang menyebabkan kematian ayahku. Kau menyerangnya dengan bantuan si iblis wanita dari Ngo-lian-kauw!”


la hendak menyerang Kwee Sin, akan tetapi Beng San memegang lengannya.
“Nanti dulu, adik Eng, jangan keburu nafsu. Kau sudah mendengar sendiri tadi. Kwee-enghiong ini mencari ayahmu untuk membela keadilan karena suhengnya dilukai dan sejumlah kuda dirampas. Aku telah mendengar bahwa sebetulnya ayahmu, Thio San itu, adalah seorang patriot sejati, seorang tokoh Pek-lian-pai mana dia mau merampas kuda? Semua ini adalah fitnah fihak Ngo-lian-kauw belaka yang berusaha atau bahkan bertugas untuk mengadu domba antara Pek-lian-pai dengan fihak Kun-lun atau fihak Kun-lun dengan fihak Hoa-san dan lain-lain.”

“Orang muda, bagaimana kau bisa tahu akan hal itu?” tiba-tiba suara Kwee Sin terdengar keras penuh selidik, sepasang matanya memandang tajam seperti ingin menjenguk isi hati Beng San.

Beng San mengangkat pundak,
“Kwee enghiong, tentu saja orang sebodoh aku mana bisa tahu akan itu semua? Tentu ada yang memberi tahu, yaitu orang-orang Pek-lian-pai sendiri.”

Thio Eng kelihatan kurang puas.
“Tan-ko biarpun dia kena fitnah, tapi sudah terang bahwa orang ini tidak baik, buktinya dia membantu Ngo-lian-kauw dan membantu fihak jahat.”

“Adik Eng, banyak di dunia ini terjadi kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja sebelumnya. Buktinya kau sendiri, kau mengejar-ngejar saudara Bun Lim Kwi, hendak membunuhnya bahkan sudah hampir membunuhnya karena bantuan serangan curang dari Giam Kin. Bukankah keadaan Kwee-enghiong dahulu juga hampir serupa? Karena salah faham, mengira ayahmu menipu suheng-suhengnya, dia mencari dan menantangnya, akan tetapi di dalam pertempuran, ayahmu dirobohkan secara pengecut oleh ketua Ngo lian-kauw. Nah, kalau kau sekarang menumpahkan semua kesalahan kepadanya, apakah orang lain juga tidak akan menimpakan semua kesalahan kepadamu tentang urusanmu dengan saudara Bun Lim Kwi? Ingatlah, dendam-mendendam bukanlah sifat yang baik. Urusan pembunuhan tak mungkin dapat diselesaikari dengan lain pembunuhan, karena hal itu akan berekor panjang, tali-temali dan akhirnya beberapa keturunan akan terus saling bermusuhan. Justeru untuk menjaga agar jangan terjadi demikian itulah maka aku di Hoa-san-pai tempo hari berjanji akan mencari Kwee-enghiong. Sekarang Kwee-enghiong sudah berada disini, tentu sebagai seorang jantan Kwee-enghiong akan berani mempertanggung-jawabkan kesemuanya kepada Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai.”

Thio Eng kalah bicara, dengan bersungut-sungut menyimpan kembali pedangnya. Kwee Sin menjadi kagum. Kalau tadinya dia hendak menguji kepandaian Beng San, sekarang terbuka pikirannya dan dia merasa bahwa dia akan membuat diri sendiri tidak berharga sebagai seorang jantan kalau dia tidak berani pergi ke Hoa-san. Akan tetapi kalau dia pergi ke Hoa-san, tentu dia akan menemui kesulitan besar. Dalam keraguannya dia menoleh kepada Bun Lim Kwi.

“Lim Kwi, bagaimana pendapatmu. Biarlah kau mewakili ayahmu dan pamanmu dalam hal ini, berilah pendapatmu bagaimana aku harus bertindak?”

Suara Kwee Sin gemetar, tanda bahwa di dalam hatinya dia merasa menyesal bukan main.

“Kwee-susiok, segala perbuatan sudah terlanjur, menyesalpun takkan ada gunanya tanpa bukti penyesalanmu itu. Kalau, Susiok suka mendengarkan pendapat keponakanmu, marilah kita pergi menghadap suhu di Kun-lun-pai, menyerahkan semua kesalahan dan selanjutnya mentaati semua perintahnya. Biarlah saya akan menemani Susiok andaikata Susiok harus menghadap ke Hoa-san-pai. Ingatlah, Susiok, semua ini demi kebaikan bukan hanya kebaikan Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai agar jangan bermusuhan terus, akan tetapi pada hakekatnya untuk kebaikan perjuangan bangsa kita yang sedang berusaha merobohkan pemerintah penjajah.”

Kata-kata Bun Lim Kwi bersemangat, kemudian pemuda ini menuturkan secara singkat tentang pertemuan di Hoa-san-pai tempo hari yang hampir saja mengakibatkan pertempuran besar-besaran kalau saja tidak dilerai oleh Beng San.

Kwee Sin mendengarkan dengan kagum. Juga Beng San girang sekali mendengar ini.
“Bagus sekali kalau begitu, saudaraku Bun Lim Kwi! Aku percaya sepenuhnya kepadamu. Kau pergilah bersama Kwee-enghiong ke Hoa-san-pai. Terserah kalau kau hendak singgah ke Kun-lun-pai lebih dulu, pokoknya Kwee-enghiong harus dapat mengakhiri permusuhan antara dua partai besar ini. Aku sendiri masih banyak urusan yang harus diselesaikan.”

Ucapan Beng San ini keluar dari hati yang jujur. Karena memang dia merasa girang sekali akan hasil usahanya. Mencari Kwee Sin dan membawanya ke Hoa-san-pai sudah berhasil dan dia percaya bahwa Bun Lim Kwi pasti akan menjaga nama baik Kun-lun-pai dan membawa bekas paman gurunya itu ke Hoa-san.

Soal ke dua, yaitu tentang permusuhan antara Lim Kwi dan Thio Eng, juga sudah selesai dengan adanya penjelasan dari Kwee Sin bahwa pembunuh ayah Thio Eng ternyata adalah Kim-thouw Thian-li.

Tinggal dua soal lagi yang tak kalah pentingnya, bahkah amat penting baginya, yaitu, mencari nona Cia yang nyata-nyata telah memegang Liong-cu Siang-kiam, ke dua mencari Tan Beng Kui yang dia yakin adalah kakak kandungnya.

Bun Lim Kwi menyanggupi permintaan Beng San dan bersama Kwee Sin dia lalu meninggalkan tempat itu setelah lebih dulu menjura kepada Thio Eng dan berkata,

“Nona Thio, aku bersyukur kepada Thian bahwa kau telah insyaf sekarang bahwa aku bukanlah musuh besarmu dan….. dan….. semoga kita akan dapat saling bertemu kembali dalam keadaan yang lebih….. baik…..”

Kwee Sin sebelum pergi sempat berkata kepada Beng San,
“Orang muda, sebetulnya aku masih penasaran. Kau ini….. murid siapakah? Dan sampai di manakah kepandaianmu…..”

Beng San buru-buru menjawab,
“Ah, Kwee-enghiong jangan main-main. Mana aku memiliki kepandaian apa segala? Sudahlah, selamat jalan, Kwee-enghiong, dan kalau ada jodoh kelak kita pasti akan bertemu kembali.”






No comments:

Post a Comment