Ads

Monday, October 8, 2018

Raja Pedang Jilid 096

Pek Gan Siansu menarik napas panjang.
“Saudara muda ini ternyata lebih gagah dan berani daripada kita orang-orang tua….. ah, Lian Bu toyu, aku benar merasa menyesal kalau kedatanganku ini hanya menjadi pengganggu perayaan ulang tahunmu. Tentang usulku perjodohan tadi, biarlah sementara kutunda dulu, kelak kalau kau merasa setuju, kau boleh memberi kabar. Tentang Kwee Sin, aku orang tua akan merasa berterima kasih kalau saudara muda ini mampu membuktikan segala ucapannya dan mendatangkan Kwee Sin sebagai saksi utama. Lim Kwi, hayo kita pergi!"

Bu Lim Kwi, pemuda gagah itu, mengangguk. Tapi baru saja guru dan murid ini melangkah sejauh lima tindak, tiba-tiba melayang bayangan hijau yang disusul bentakan nyaring.

“Orang she Bun! Hutang nyawa bayar nyawa!”

Hebat sekali gerakan Bu Lim Kwi dan Beng San memandang kagum. Nampak pemuda ini seakan-akan tidak menghiraukan bayangan hijau yang menyambar ke arahnya akan tetapi tahu-tahu “traanggg…..!” bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang di tangan nona baju hijau terpental karena tangkisannya, menggunakan pedang yang tadinya tergantung di pinggang.

Tangkisan ini dia lakukan dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya tetap memondong pedang pusaka Kun-lun-pai! Bentrokan pedang ini tidak berhenti sampai disitu saja karena wanita baju hijau itu, Thio Eng, sudah melanjutkan serangannya bertubi-tubi secara hebat dan dahsyat sampai lima kali.

Terdengar bunyi pedang bertemu sampai lima kali dan pertemuan yang terakhir demikian kuatnya sehingga baik Thio Eng maupun Bun Lim Kwi terhuyung mundur! Semua ini berjalan dengan cepat sekali, hanya beberapa detik dan selama itu Pek Gan Siansu menolehpun tidak!

Melihat dua orang pemuda ini sudah terhuyung mundur, Beng San mendapat kesempatan bertindak tanpa memperlihatkan kepandaiannya. la berlari-lari dan berdiri di tengah-tengah antara mereka.

“Eng-moi (adik Eng)….. tahan pedang.”

“Tan-ko (kakak Tan), kau minggirlah dan jangan turut campur, ini urusan sakit hati yang terpendam bertahun-tahun lamanya!”

Wajah Thio Eng masih beringas bibirnya digigit dan matanya bersinar-sinar mengandung api kemarahan.

“Tidak, Eng-moi. Apakah kau hendak merusak semua usahaku tadi? Eng-moi, ingatlah, kau menjadi tamu disini, tidak selayaknya kalau kau melakukan apa saja sesukamu tanpa memandang muka tuan rumah.”

Thio Eng terpukul oleh kata-kata ini. Semenjak kecil ia dididik orang sakti, tentu saja ia mengenal aturan kang-ouw dan benar sekali apa yang dikatakan Beng San. Tadi ketika mendengar bahwa pemuda murid Kun-lun-pai itu bernama Bun Lim Kwi putera mendiang Bun Si Teng, ia tak dapat menahan kemarahannya lagi.

Ayahnya, Thio San, dibunuh oleh dua orang saudara Bun dan inilah keturunan mereka, inilah musuh besarnya. Saking marahnya, ia tadi sampai lupa bahwa dia dan pemuda musuh besarnya itu sedang menjadi tamu Hoa-san-pai maka tidak selayaknya ia menyerangnya di tempat itu.

Akan tetapi Thio Eng sudah terlalu marah, juga penasaran karena lima kali serangannya yang hebat tadi dapat ditangkis oleh lawannya. Kemarahannya sudah memuncak sehingga peringatan Beng Sen tidak berapa dipedulikannya.

“Maafkan aku, Tan-ko. Kali ini aku tidak mendengarkan siapa-siapa kecuali suara hatiku sendiri. He, orang she Bun. Kalau kau bukan pengecut, mari kita berkelahi sampai seorang di antara kita mati disini!” tantangnya mendesak kembali.

Bun Lim Kwi menjawab duka,
“Nona, aku tidak mengenalmu….. bagaimana kau bisa memusuhiku…..?”

Suara pemuda ini tenang dan sabar sekali, dan sepasang matanya memandang wajah Thio Eng penuh penyesalan, penuh kedukaan sehingga untuk sedetik hati Thio Eng terpukul.

“Ayahmu membunuh ayahku'” Thio Eng menyerang lagi

“Adik Eng, jangan berkelahi disini. Kau tamu…..!” Beng San coba membujuk.





Akan tetapi Thio Eng yang sudah marah sekali sudah mengirim tusukan kilat ke arah dada Bun Lim Kwi.

Tiba-tiba mata Beng San menjadi silau ketika sesosok bayangan merah menyambar dari luar. Gerakan bayangan merah ini luar biasa cepatnya, seperti seekor burung garuda saja. Sambil melayang bayangan merah ini mengeluarkan sepasang senjata yang berkilauan seperti mengeluarkan api, sekali sepasang pedang digerakan sekaligus sudah menangkis pedang Thio Eng yang ditusukkan ke arah dada Lim Kwi dan pedang Lim Kwi yang hendak menangkis.

“Trang….. tranggg…..!”

Thio Eng dan Lim Kwi berseru kaget sambil melompat mundur. Ternyata pedang di tangan mereka itu ujungnya telah patah terkena tangkisan aneh dari bayangan merah ini.

Sementara itu, dengan gerakan cepat hampir tak dapat diikuti pandang mata, bayangan merah itu sudah menyimpan sepasang pedangnya kembali ke dalam sarung pedang besar di punggungnya. Sepasang mata bersinar-sinar tajam sebuah mulut mungil berbibir merah segar, wajah cantik seperti bidadari akan tetapi juga amat angkuh dan mengandung kekerasan hati yang mengerikan, seorang gadis cantik jelita sebaya Kwa Hong, berpakaian serba merah indah dari sutera merah panjang melambai-lambai, sepatunya juga merah berkembang batu kemala dengan kedua ujung sepatu dipasangi baja, meruncing. Seorang nona berpakaian serba merah yang luar biasa cantik, akan tetapi juga nampak gagah perkasa!

‘”Benar ucapan dia itu. Tamu tidak boleh meremehkan tuan rumah dan berbuat seenaknya sendiri!”

Suaranya merdu dan halus, akan tetapi mengandung keangkuhan tinggi seperti suara seorang puteri terhadap para abdinya! Kemudian dara jubah merah ini meloncat ringan, tahu-tahu sudah berada di depan Lian Bu Tojin, menjura dan berkata.

“Ayahku karena repot tidak dapat berkunjung ke Hoa-san. Oleh karena itu, aku mewakili keluarga Cia dari selatan sengaja berkunjung mengucapkan selamat kepada Hoa-san-pai. Selain itu, juga ayah menyuruh aku memberi tahu kepada semua orang gagah yang berkumpul ini hari di Hoa-san-pai, bahwa sebagai pemegang gelar Raja Pedang terakhir, ayah menetapkan hari perlombaan gelar Raja Pedang satu tahun kemudian dihitung mulai bulan ini, pada pertengahan bulan purnama, di puncak Thai-san. Nah, aku sudah berbicara, selamat tinggal, Lian Bu totiang!”

Suara gadis jelita ini selain angkuh, juga amat nyaring dan jelas, membuat semua tamu melongo kagum.

“Ayaaa, kiranya anak Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tak Terlawan) Cia Hui Gan? Bagus, sudah lama pinto ingin berkenalan dengan ilmu pedangnya!” kata-kata ini disusul meloncatnya dua orang kakek berkepala gundul.

Mereka ini adalah dua orang hwesio yang duduk di ruang tamu kehormatan dan yang semenjak tadi duduk diam saja. Seperti diceritakan di bagian depan, didalam ruang tamu kehormatan ini selain duduk para pimpinan partai besar, juga duduk dua orang hwesio ini, dua orang kakek petani dan tiga orang tosu.

Sejak tadi tujuh orang kakek ini duduk diam dan menonton sambil mendengarkan saja, akan tetapi begitu muncul nona baju merah ini, mereka kelihatan memperhatikan sekali. Kini dua orang hwesio itu melompat dan tahu-tahu mereka telah berdiri di depan nona tadi sambil menggerak-gerakkan tongkat baja masing-masing yang panjang dan berat.

Nona itu menggerakkan alisnya yang kecil hitam, matanya menyambar-nyambar lalu ia tersenyum. Senyum yang manis sekali akan tetapi matanya mengerling tajam laksana pisau. la memperhatikan kedudukan kaki dan cara dua orang hwesio memegang tongkat, lalu berkata.

“Agaknya Hwesio Hitam dan Hwesio Putih yang menegurku. Kalian berdua pernah dirobohkan dalam lima jurus oleh ayah, apa hubungannya dengan aku? Siapa yang ingin menonton pameranmu tongkat hitam dan putih itu?”

Suaranya masih nyaring tinggi, mengandung penuh ejekan dan tidak memandang mata sedikitpun juga.

Dua orang hwesio itu diam-diam terkejut. Lima tahun yang lalu mereka pernah dirobohkan dalam lima jurus saja oleh Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan. Ketika itu tentu dara ini masih kecil, kenapa sekarang sekali lihat saja sudah tahu? Mereka ini adalah hwesio-hwesio yang berilmu tinggi, tokoh pelarian dari Siauw-lim-pai yang memiliki ilmu tongkat tingkat tinggi.

Memang, karena kehebatan ilmu tongkatnya, maka keduanya dijuluki orang Hek-tung Hwesio (Hwesio Tongkat Hitam) dan Pek-tung Hwesio (Hwesio Tongkat Putih). Karena julukan ini pula maka sengaja Hek-tung Hwesio membuat tongkat dari logam baja hitam sedangkan Pek-tung Hwesio membuat tongkat dari logam baja putih.

Mereka sudah kenal dengan Lian Bu Tojin yang menganggap mereka orang setingkat karena memang ilmu silat mereka sudah amat tinggi, maka mereka diberi tempat di ruang tamu kehormatan.

“Ha-ha-ha, Nona. Kau sombong sekali. Agaknya kau mengandalkan kepandaian ayahmu untuk menjual lagak disini. Pinceng (aku) berdua bukan hendak melawan anak kecil, akan tetapi mengingat bahwa kau puteri tunggal Raja Pedang tentu ilmu pedangmu hebat. Kami hendak mencoba untuk mengalahkan pedang-pedangmu dalam lima jurus pula. Beranikah kau menghadapi kami?” kata Pek-tung Hwesio.

Terang bahwa hwesio ini hanya bermaksud menebus penghinaan dahulu dan hanya ingin mengalahkan nona itu dalam lima jurus sehingga kalau hal ini terjadi, sedikitnya dia dapat membersihkan mukanya.

Nona itu mencibirkan mulutnya.
“Kalian dua hwesio tua bangka hanya namanya saja menakutkan, tongkat-tongkat macam ini hanya untuk menakut-nakuti anjing dan maling kecil. Mengapa aku takut? Tapi kedatanganku kesini bukan Untuk melayani segala macam hwesio tua bangka tak tahu malu.”

Benar-benar galak nona ini, pikir Beng San mengerutkan keningnya. Masa terhadap dua orang hwesio tua sama sekali tidak menaruh hormat? Galak dan kurang ajar!

Dua orang hwesio itu marah sekali, namun sebagai orang-orang tua mereka dapat menahan kemarahan, malu untuk mengumbar nafsu marah di tempat umum.

“Bagus, kalau begitu!” kata Pek-tung Hwesio. “Coba kau layani kami selama lima jurus, Nona”

Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, dua batang tongkat panjang yang amat berat itu sudah melayang ke atas, menyambar-nyambar mengeluarkan suara mengaung. Beng San terkejut dan ngeri juga. Semua tamu juga merasa ngeri bahkan Lian Bu Tojin berseru.

“Harap Ji-wi (saudara berdua) maafkan seorang muda!”

Tidak sangka sama sekali bahwa ucapan ini diterima dengan marah oleh nona itu. Matanya berapi-api dan kedua tangannya bergerak.

“Srattt.”

Semua orang menjadi silau ketika nona itu sekarang telah mencabut keluar sepasang pedang yang amat tajam sampai sinarnya berkilauan. Kemudian nona itu berkelebat, terdengar suaranya,

“Lian Bu totiang, jangan pandang rendah orang muda!”

Kemudian ia menari! Ya, menari diantara sambaran-sambaran dua batang tongkat itu. Gerakannya indah bukan main, tidak seperti orang bersilat, melainkan seperti orang menari-nari. Pedangnya bermain menjadi dua gulung sinar seperti bunga, ikat pinggangnya yang merah itu bergulung-gulung pula seperti hidup, tubuhnya bergerak-gerak dengan indahnya.

Beng San sampai melongo. Baginya yang sudah memiliki pandang mata tajam sekali, maklum bahwa biarpun nona itu menitik beratkan gerakan untuk keindahan, namun justeru di dalam keindahan inilah letaknya kehebatan dan kelihaian ilmu pedang itu. Hanya dengan tekukan pinggang yang indah, sambaran tongkat putih ke arah tubuhnya dapat dihindarkan, dan hanya dengan mengembangkan pedang di kedua tangan dan meloncat lincah keatas, serampangan tongkat hitam mengenai angin. Untuk menambah keindahan yang tiada bandingnya ini, si nona baju merah masih menambah dengan senyum simpul yang manis menarik.

“Heee, mana ada aturan dua orang laki-laki mengeroyok seorang wanita?”

Beng San berteriak-teriak tanpa menyatakan bahwa mereka sudah bertempur sampai sepuluh jurus lebih. la bersikap ketolol-tololan.






No comments:

Post a Comment