Ads

Saturday, October 6, 2018

Raja Pedang Jilid 095

“Ji-wi Locianpwe, terima kasih kalau ji-wi sudi mendengarkan kata-kata saya selanjutnya. Akan tetapi lebih dulu saya peringatkan bahwa mungkin apa yang akan saya katakan ini tidak enak didengarnya, bukankah Nabi Lo-cu pernah bersabda demikian.

Kata-kata jujur tak enak didengar,
kata-kata enak didengar tidak jujur.
Orang yang mengerti tidak mau cekcok.
yang suka cekcok tidak mengerti.
Orang yang tahu tidak sombong
yang sombong tidaklah tahu.
Orang bijaksana tidak kikir,
ia menyumbang sehabis-habisnya
namun ia makin menjadi kaya.
la memberi sehabis-habisnya,
namun ia makin berlebihan.
Jalan yang ditempuh langit
selalu menguntungkan, tidak pernah merugikan.
Jalan yang ditempuh orang bijaksana selalu memberi,
tidak pernah merebut.

Kembali dua orang kakek itu mengangguk-angguk dan Lian Bu Tojin sambil tersenyum berkata lirih,

“Syair dalam To-tik-keng bagian terakhir.”

Beng San makin senang melihat bahwa Lian Bu Tojin sudah bisa tersenyum dan Wajah Pek Gan Siansu kembali sabar seperti tadi.

“Ji-wi Locianpwe hampir saja lupa akan sifat-sifat kebajikan dan hampir saja membiarkan terjadinya kekerasan yang amat patut disayangkan. Bukankah Nabi Locu pernah pula mencela kekerasan?

Di waktu hidup, manusia lemah dan lemas,
kalau mati menjadi kaku dan keras.
Segala benda hidup di waktu tumbuh lemah dan lemas
kalau mati menjadi kering dan getas (mudah patah)
Maka dari itu;
KAKU KERAS adalah teman kematian,
LEMAH LEMAS adalah teman kehidupan.
Inilah sebabnya maka senjata keras mudah menjadi rusak
Pohon kayu keras mudah menjadl tumbang dan patah.
Oleh karena itu :
Yang kuat keras akan tumbang menduduki tempat bawah,
yang lemah dan lemas akan terus bersemi di tempat yang atas.

Dua orang kakek itu kernbali saling pandang dan mengangguk-angguk. Memang semua ujar-ujar To-tik-king yang diucapkan Beng San untuk mengingatkan mereka ini amat cocok dengan isi hati mereka tadi sebelum mereka dibikin panas oleh orang-orang yang lebih muda.

“Heee! Apakah kita ini disuruh mendengarkan bualan penjual obat?” seorang muda yang duduk di belakang yang tadi sudah “panas” sekarang berteriak mengejek.

“Kita mau dijadikan banci-banci yang tidak memiliki kejantanan!” Giam Kin tertawa menghina. “Urusan hendak dibicarakan melalui segala macam syair busuk oleh seorang sastrawan jembel. Apakah kedua fihak sudah tidak punya nyali lagi untuk mengandalkan kepandaian sendiri?”

“Ha-ha-ha! Betul itu.'” Souw Kian Bi menambah minyak dalam api. “Aku tidak mengerti yang manakah yang sebetulnya tidak berani, Kun-lun-pai ataukah Hoa-san-pai!”

Mendengar suara-suara mengejek ini, Kiam-eng-cu Lien Sian Hwa sudah habis kesabarannya. Kebencian nona ini terhadap Kun-lun-pai memang sudah amat mendalam. Hal ini tidak aneh karena nona ini merasa sakit hati sekali kepada bekas tunangannya, Kwee Sin yang dianggapnya telah membunuh ayahnya, kemudian malah membunuh dua orang suhengnya, Thio Wan It dan Kui Keng.





Ia tadipun sudah kurang sabar melihat gurunya hendak berunding secara damai. Kini dengan api dan minyak yang dinyalakan Giam Kin dan Souw Kian Bi melalui mulut mereka yang berbisa, nona jagoan Hoa-san-pai ini meloncat maju sambil mencabut pedang.

“Keparat Souw Kian Bi! Siapa takut? Hoa-san-pai tak pernah takut, biar harus menghadapi seorang manusia macammu sekalipun!”, Nona ini memang juga benci kepada Souw Kian Bi yang pernah menghinanya dahulu.

Souw Kian Bi tersenyum-senyum sedangkan para tamu lain berdebar tegang dan gembira. Pangeran Mongol ini menggerakkan pundaknya.

“Nona manis, kita semua sekarang sedang mengurus persoalan antara Hoa-san-pai Kun-lun-pai, kenapa kau memilih aku untuk ditantang? Kalau kau tidak berani terhadap Kun-lun-pai, jangan mencari musuh lain. Ha-ha-ha!”

“Setan busuk, siapa takut? Boleh orang-orang Kun-lun-pai maju, aku Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa takkan mundur setapak!”

Sepasang pedangnya sudah siap di kedua tangan dan mukanya yang cantik itu menjadi merah, matanya berapi-api.

Beng San melototkan matanya ke arah Giam Kin dan Souw Kian Bi. Hatinya ingin sekali memberi hajaran kepada dua orang itu, akan tetapi dia menenangkan hatinya, lalu berkata lagi keras-keras.

“Ji-wi Locianpwe, harap suka mendengarkan kata-kataku sampai habis!”

Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin memang amat tertarik oleh ucapan Beng San tadi, maka mereka segera memberi tanda dengan tangan, mencegah orang-orang itu ribut sendiri. Lian Bu Tojin malah membentak Sian Hwa,

“Sian Hwa kau duduklah kembali, jangan lancang mendahului pinto!”

Keadaan menjadi tenang kembali dan Beng San melanjutkan kata-katanya dengan suara nyaring.

“Ji-wi Locianpwe sebagai ciangbunjin-ciangbunjin (ketua) partai besar, hendaknya bertindak wajar dan sesuai dengan ujar-ujar yang mulia itu. Urusan antara kedua partai Ji-wi seyogianya diurus mempergunakan kelemasan, yaitu dengan secara damai dan mengusut keadaan yang sebenarnya. Asal sudah didapatkan siapa “salah”, kemudian yang salah mengakui kesalahannya, bukankah semua akan menjadi beres? Pembunuhan tak dapat diselesaikan dengan pembunuhan lain lagi, karena hal itu akan menjadi makin berlarut, dendam dan sakit hati akan bertumpuk-tumpuk tiada habisnya.”

Kembali kedua orang kakek itu mengangguk-angguk dan semua tamu sekarang mulai memperhatikan Beng San. Siapakah pemuda ini? Aneh dan berani sekali sungguhpun kelihatan tidak memiliki kepandaian silat sama sekali.

“Tadi ada beberapa orang saudara yang menyinggung-nyinggung bahwa pokok persoalan ini yang menjadi biang keladinya adalah Kwee Sin orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte. Pendapat ini keliru! Pek-lek-jiu Kwee Sin memang mempunyai kelemahan dan kesalahan, namun bukanlah dia yang melakukan pembunuhan terhadap ayah Liem-taihiap!”

Kembali suasana menjadi ramai, akan tetapi dengan isyarat tangan dua orang ketua partai itu dapat menenteramkan suasana.

“Baik Kun-lun-pai maupun Hoa-san-pai adalah partai-partai yang terkena fitnah jahat dan yang menyebar fitnah ini memang sengaja melakukan hal ini untuk mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Mengapa demikian? Mudah sekali diduga. Orang-orang atau fihak tertentu tidak ingin melihat dua partai besar ini bersatu dan umumnya mereka tidak ingin melihat rakyat bersatu padu, lebih senang melihat perpecahan-perpecahan dimana-mana. Orang gagah yang menitipkan surat kepadaku berkata bahwa apabila Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai dapat membuang perasaan mau menang sendiri dan mau bersatu, maka dua partai itu akan merupakan kekuatan yang maha hebat dan dapat dipergunakan untuk menolong negara dan rakyat. Ji-wi Locianpwe, sekarang rakyat sedang menderita, negara sedang kacau-balau, pergerakan patriotik bangkit dimana-mana, orang-orang gagah tidak ada yang ketinggalan untuk menanam sahamnya dalam perjuangan, untuk menyumbangkan setitik keringat, setetes darah, kalau perlu bahkan selembar nyawanya untuk tanah air. Masa dalam waktu seperti ini, Ji-wi Locianpwe hendak membawa anak murid masing-masing untuk saling gempur dan saling bermusuhan? Dimanakah letaknya jiwa ksatria Ji-wi Locianpwe? Dimanakah letak jiwa patriotik jika Ji-wi (kalian) yang mengaku pendekar-pendekar bangsa tidak berusaha membela tanah air sebaliknya malah saling gempur dan saling bunuh? Semestinya Ji-wi malah bekerja sama membangun dan menghalau musuh, eh, siapa kira, Ji-wi malah bekerja sama tanpa disadari untuk merusak dan tanpa disadari pula malah membantu musuh rakyat dengan jalan mentaati kehendak mereka. Ya, memang kehendak merekalah agar supaya kita saling hantam dan karenanya kita menjadi lemah sehingga mudah kelak mereka menguasai kita!”

Kini ramailah lagi para tamu. Giam Kin, Souw Kian Bi dan temannya yang sejak tadi memandang Beng San, bangkit berdiri, muka mereka sebentar merah sebentar pucat. Inilah kata-kata berbahaya sekali, kata-kata seorang pemberontak terhadap pemerintah Mongol!

“Ketahuilah, Ji-wi Locianpwe,” Beng San bicara terus tanpa pedulikan sikap para tamu. “Ji-wi telah kena dipermainkan oleh fihak Ngo-lian-kauw! Ngo-lian-kauw yang mengatur semua ini, yang menyamar sebagai Pek-lian-pai dan yang mendorong Kwee Sin ke dalam jurang lumpur. Ngo-lian-kauw yang melakukan semua pembunuhan sambil menyamar, jadi dalam hal ini, fihak Hoa-san-pai maupun Kun-lun-pai tidak salah. Seharusnya Ji-wi memusuhi Ngo-lian-kauw!”

Berubah air muka dua orang kakek itu.
“Tapi…., tapi kenapa Kwee Sin tidak mau mengaku salah dan malah pergi dengan orang-orang Ngo-lian-kauw? Kenapa pula dia melakukan semua itu? Beng San, kalau kau berusaha membersihkan diri Kwee Sin, kau kurang berhasil,” kata Lian Bu Tojin menggeleng kepala dengan sangsi.,

“Toyu, memang bekas muridku Kwee Sin itu menyeleweng, akan tetapi sekarang dia tidak kuanggap muridku lagi. Andaikata kau suka mengulurkan tangan kepada Kun-lun-pai dan mengajak kami bersama kalian menggempur Ngo-lian-kauw, percayalah, aku sendiri takkan ragu-ragu untuk menghancurkan kepala manusia durhaka bernama Kwee Sin!” kata Pek Gan Siansu gemas.

“Bagus kalau begitu.” Lian Bu Tojin berseru girang. “Pek Gan Siansu, mendengarkan kesanggupanmu, pinto nyatakan bahwa mulai sekarang Hoa-san-pai tidak menganggap Kun-lun-pai sebagai lawan, bahkan sebagai kawan untuk bersama membasmi Ngo-lian-kauw yang jahat dan menangkap Kwee Sin!”

Orang-orang yang menyetujui dilakukan perdamaian antara dua partai ini bersorak girang, tetapi mereka yang menghendaki perpecahan menjadi marah dan kecewa.

“Enak benar bocah ini!” Souw Kian Bi membentak marah. “Ji-wi ciangbunjin (dua ketua) dari Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai yang sudah tua-tua mengapa mudah saja ditipu dan dibohongi bocah seperti ini? Ji-wi harus ingat bahwa bocah ini bukanlah apa-apa, kenapa percaya begitu saja? Enak benar dia kalau kelak ternyata bahwa kata-katanya itu bohong semua, bukankah ji-wi akan ditertawai oleh seluruh kolong langit? Dua orang ketua yang besar dan terkenal diingusi oleh seorang bocah tak bernama. Apalagi mendengar kata-katanya bocah ini sudah sepatutnya kutangkap atau kubunuh mampus. Dia patut kucurigai sebagai pemberontak! Ji-wi Lo-cianpwe, saya tidak mau bertindak demikian disini karena menghormatinya sebagai tamu Hoa-san-ciangbunjin. Akan tetapi, dia harus dapat membuktikan dulu omongannya. Dia harus dapat membuktikannya dengan membawa Kwee Sin kesini agar semua kata-katanya itu dapat dicocokkan dengan pengakuan Kwee Sin. Bukankah ini adil namanya?”

Dalam kata-kata ini terkandung ancaman hebat. Memang, semua orang maklum bahwa Souw Kian Bi adalah orang Mongol, maka dia itu berhak mengecap siapa saja menjadi pemberontak. Dua orang kakek itu saling pandang, Pek Gan Siansu bertanya,

“Orang muda, kau tadi bicara tentang orang gagah yang menitipkan surat dan pesanan, siapakah dia itu?”

Beng San yang sudah merasa kepalang tanggung, tak dapat mundur kembali, menjawab dengan sejujurnya,

“Beliau she Ciu.”

Mendengar ini, dua orang kakek Itu menjadi pucat mukanya dan mereka cepat membungkuk tanda menghormat. Sebaliknya, Souw Kian Bi menyumpah-nyumpah dan berteriak,

“Awaslah siapa saja yang merasa berdosa, aku Souw Kian Bi sudah mendengar dan melihat semua. Hayo, saudara Tan, kita pergi!”

Beng San dengan berani memandang ke arah mereka, terutama sekali ke arah orang she Tan yang dia yakini adalah kakak kandungnya, Tan Beng Kui itu. Akan tetapi, orang she Tan ini memandang kepadanya dengan mata melotot, lalu membuang ludah dengan sikap menghina, mengebutkan lengan baju dan pergi mengikuti Souw Kian Bi.

Para tamu yang merasa tidak setuju dengan omongan Beng San dan yang selama ini bahkan membantu pemerintah Mongol menentang para pemberontak, memandang dengan sikap mengancam, malah ada yang ikut meniru perbuatan Souw Kian Bi meninggalkan tempat itu tanpa pamit.






No comments:

Post a Comment