Ads

Thursday, October 4, 2018

Raja Pedang Jilid 087

“Bukankah kau….. saudara Beng San?” tanyanya penuh ragu karena biarpun ia masih mengenal pemuda yang bermata tajam aneh ini, namun ia tetap ragu-ragu melihat pemuda ini seperti seorang terpelajar.

la tidak ingat bahwa Beng San yang dulu, yang berpakaian buruk itu, memang semenjak kecil adalah seorang yang pandai baca tulis, jauh lebih pandai daripada dia sendiri maupun para murid Hoa-san-pai yang lain. Karena itulah sukongnya, Lian Bu Tojin, sayang kepada Beng San dan dijadikan kacungnya dan diberi pelajaran tentang kebatinan To.

Kwa Hong tertawa.
“Enci Bwee masih ingat.”

la memuji dan Beng San juga tersenyum sambil menjura kepada Thio Bwee sebagai penghormatan.

“Ah, benar….. kau Beng San…..!”

Kwa Tin Siong juga teringat sekarang setelah mendengar kata-kata Thio Bwee, juga Liem Sian Hwa teringat dan memandang kagum ketika Beng San menjura untuk memberi hormat kepada mereka.

Kwa Tin Siong teringat akan peristiwa dahulu, ketika kedua orang saudara Bun dari Kun-lun-pai tewas di Hoa-san-pai dan bagaimana sikap Beng San yang membela fihak Kun-lun. Biarpun ucapan bocah ini dahulu ternyata cocok dengan keadaannya, yakni bahwa Ngo-lian-kauw yang melakukan fitnah sehingga dua partai besar itu bermusuhan, namun sikap bocah ini dahulu sudah mencurigakan. Mengapa membela Kun-lun-pai sedangkan bocah itu mondok di Hoa-san?

“Beng San, kau dulu yang sudah meninggalkan kami, sekarang kau datang kesini dengan maksud apakah?” tanya Kwa Tin Siong, suaranya membayangkan kecurigaan.

Kwa Hong memandang ayahnya dengan kening berkerut dan ia menoleh ke arah Beng San, pandang matanya penuh kekhawatiran. Akan tetapi pemuda itu tersenyum kepadanya penuh arti, minta supaya dara itu jangan khawatir. Kemudian dia menjura kepada Kwa Tin Siong dan berkata.

“Kwa-enghiong, mohon maaf sebanyaknya kalau kedatangan saya ini merupakan gangguan terhadap Lo-enghiong sekalian. Sesungguhnya kedatangan saya ke Hoa-san ini mempunyai dua maksud. Pertama, karena saya merasa rindu kepada Lian Bu totiang dan Lo-enghiong sekalian, kedua kalinya, karena dalam perjalanan saya mendengar bahwa sebentar lagi Hoa-san-pai hendak merayakan ulang tahun, maka saya sengaja datang hendak memberi selamat dan menonton keramaian. Betapapun juga, saya masih belum lupa akan kebaikan budi Lian Bu totiang sekalian yang dulu sudah sudi menerima saya menjadi kacung disini.”

Ucapan ini terang sekali amat merendahkan diri, dua orang pemuda Hoa-san-pai mendengarkan sambil bersikap angkuh. Hanya bekas kacung, perlu apa diladeni? Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa mendengarkan dengan hati senang menyaksikan sikap yang amat sopan santun dari Beng San, sedangkan Thio Bwee dan Kwa Hong memandang dengan mata berseri.

Dua orang dara ini mana bisa melupakan ketika Beng San memanggul mereka seorang satu di kedua pundak ketika menyeberangi rawa-rawa? Dan sekarang Beng San telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan tegap, bahkan bagi Kwa Hong, di dalam lubuk hati kecilnya ia mengakui bahwa dibandingkan dengan dua orang suhengnya, dalam hal ketampanan Beng San jauh lebih menang!

Di dalam pergaulannya dahulu dengan Beng San, ia memandang Beng San sebagai seorang anak perempuan nakal memandang seorang bocah laki-laki yang dianggapnya nakal pula. Akan tetapi sekarang, pandang matanya adalah pandang mata seorang dara remaja terhadap seorang jejaka. Tentu jauh berbeda.

“Bagus kalau kau masih ingat kepada kami, Beng San. Tapi kedatanganmu agak terlampau pagi. Perayaan baru diadakan sepekan kemudian. Biarlah sementara itu kau berada disini. Mari kubawa kau pergi menghadap suhu.”

Beramai-ramai mereka semua kembali ke puncak. Hanya Thio Ki dan Kui Lok yang merasa tidak puas. Pertama karena urusan diantara mereka belum juga diselesaikan, kedua kalinya mereka merasa iri hati dan cemburu menyaksikan Beng San anak jembel itu sebagai tamu, apalagi melihat sikap Kwa Hong yang tersenyum-senyum dan manis terhadap Beng San.

Beng San dengan hati terharu melihat bahwa Lian Bu Tojin, kakek tua ketua Hoa-san-pai yang baik hati itu sekarang kelihatan amat tua, mukanya berkerut-kerut tanda bahwa di hari tuanya kakek ini menderita tekanan batin yang hebat. Beng San dapat menduga bahwa yang menyebabkan ini semua tentulah pertentangan dengan Kun-lun-pai itu. la cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat.





“Totiang yang mulia, teecu Beng San datang menghadap dan memberi hormat, semoga Totiang selalu bahagia dan panjang usia.”

Lian Bu Tojin, ketua Hoa-san-pai, kelihatan lebih tinggi dan lebih kurus daripada delapan tahun yang lalu, tongkat bambu yang butut selalu masih dipegangnya dan tangan kirinya mengelus-elus jenggotnya yang panjang dan yang sekarang sudah hampir putih semua. la mengangguk-angguk dan tersenyum tenang.

“Ah, Beng San, kau mengingatkan pinto akan kejadian dahulu.” la menarik napas panjang. “Ternyata kau lebih waspada daripada pinto. Kalau saja pinto dahulu mendengarkan omonganmu ketika kau masih kecil….. ah, kau benar, memang Hoa-san-pai telah menjadi kotor, menanam permusuhan. Baiknya kau pergi dari sini, kalau tidak, kiranya kaupun akan terseret.”

Tosu itu menarik napas berulang-ulang dan nampaknya berduka. Beng San merasa kasihan sekali.

“Totiang, tidak baik dalam usia tua bersedih! Teecu teringat akan ujar-ujar dalam To-tik-king yang berbunyi:
Aku menderita karena mempunyai diri, Andaikan tak mempunyai diri, penderitaan apa dapat kualami?”

Tosu tua itu tertawa.
“Bagus! Kalimat dalam ujar-ujar nomor tiga belas! Memang demikianlah, Beng San. Malapetaka menimpa manusia hanya semata-mata karena manusia selalu mementingkan diri sendiri. Karena manusia mementingkan diri pribadi maka selalu hendak menang, selalu hendak senang sendiri, enak sendiri tanpa mempedulikan keadaan lain orang. Ingatkah kau akan beberapa kalimat dalam ujar-ujar nomor dua puluh tiga?”

Beng San berpikir dan menghubungkan kalimat-kalimat dalam ujar-ujar yang sudah dihafalnya baik-baik itu dengan keadaan yang dihadapi oleh tosu ini. la lalu menjawab,

“Apakah yang Totiang maksudkan itu kalimat yang berbunyi:
Angin keras takkan berlangsung sepenuh pagi,
hujan lebat takkan berlangsung sepenuh hari.
Siapakah penyebab ini selatedar pada langit dan bumi?
Kalau langit dan bumi pun tidak dapat berbuat tanpa henti,
apalagi seorang manusia?”

“Ha-ha-ha, bagus sekali, Beng San. Ah, memang kau lebih benar. Seribu kali lebih baik mempelajari filsafat dan mengerti, sadar, dan menuruti inti sarinya disesuaikan dalam hidup, daripada mempelajari segala macam ilmu kasar seperti ilmu silat yang hanya mendatangkan malapetaka dan permusuhan belaka…..”

Kembali dia menarik napas panjang. Kemudian wajahnya berseri lagi ketika dia bertanya,

“Bagaimana, anak yang baik, bagaimana kabarnya dengan Lo-tong Souw Lee? Apakah jago tua yang sakti itupun masih kuat menentang kehendak alam?”

“Tidak ada kekekalan di dunia ini, Totiang. Lo-tong Souw Lee sudah kembali ke tempat asalnya, beberapa bulan yang lalu.”

“Aaahhh, kesanalah jua tujuan akhir dari hidup. Siapa kuat melawannya? Baik dia raja maupun jembel, semua akan berakhir sama. Bertentangan? Pertempuran mati-matian? Yang kalah akan mati, apakah kiranya yang menang akhirnya takkan mati juga? Menang kalah hanyalah soal sementara, kalau sudah seperti Lo-tong Souw Lee, mana letak kemenangan dan kekalahan? Aaahhh, kalau manusia ingat akan hal ini…..”

Beng San merasa betapa kata-kata Ini amat mendalam artinya dan dia yang sejak kecil memperhatikan filsafat, termenung. Keadaan di ruangan itu menjadi sunyi. Di waktu menghadap ini, Beng San menghadap seorang diri, karena semua murid Hoa-san-pai maklum bahwa tanpa diundang mereka sama sekali tidak boleh mengganggu kakek itu.

“Kedatanganmu ini apakah hanya untuk menengok kami?” tiba-tiba kakek itu bertanya setelah sadar daripada lamunannya.

“Teecu mendengar berita bahwa Hoa-san-pai hendak merayakan ulang tahun yang ke seratus, maka teecu sengaja datang untuk memberi selamat dan juga menonton keramaian.”

“Tidak diperingati berarti tidak menghormati kepada pendiri Hoa-san-pai. Diperingati pasti akan memancing datangnya kekeruhan. Di jaman yang keruh ini, setiap peristiwa memancing datangnya peristiwa lain yang selalu memusingkan. Beng San, pinto mempunyai firasat bahwa dalam perayaan sepekan kemudian ini pasti akan terjadi hal-hal yang tidak enak. Pertentangan antara kami dan Kun-lun-pai makin menjadi-jadi, makin diperpanas oleh para anak murid kedua fihak. Aku mendengar desas-desus bahwa Pek Gan Siansu sendiri akan datang. Baik sekali demikian, kami orang-orang tua tentu akan dapat membikin perhitungan secara damai. Kau seorang anak yang mendalam pengertianmu, Beng San. Pinto girang sekali kau datang, kau tinggallah disini dan kau menjadi saksi dari usaha kami orang-orang tua mencari jalan damai. Dengan hadirmu disini, pinto merasa lebih tenang.”

Beng San merasa heran sekali. Apa gerangan yang mendatangkan perasaan ini dalam hati Lian Bu Tojin? la merasa bangga dan juga berterima kasih sekali, maka tanpa ragu-ragu dia berkata,

“To-tiang, percayalah, teecu yang bodoh pasti akan membantu dan menyokong pendirian Totiang yang mulia ini”.

“Beng San, apakah kau sudah mewarisi kepandaian Lo-tong Souw Lee?” pertanyaan ini tiba-tiba diajukan dan ketika Beng San mendongak, ia terkejut sekali melihat sepasang mata tua itu mencorong dengan tajamnya memandangnya penuh selidik.

Celaka, pikirnya. la hendak menyembunyikan kepandaiannya, dan diapun tidak mungkin dapat berbohong kepada kakek ini.

“Semenjak kecil teecu amat suka mempelajari filsafat dan kiranya selama teecu berkumpul dengan Lo-tong Souw Lee, semua petuah dan wejangan orang tua itu telah teecu pelajari dengan baik”.

Jawabannya menyimpang dan dia berpura-pura tidak tahu menahu tentang maksud pertanyaan tadi yang tentu saja dimaksudkan pelajaran ilmu silat

“Kau tidak mempelajari ilmu silat?”

Sifat pertanyaan ini menggirangkan hati Beng San. la tak usah berbohong lagi sekarang.

“Teecu pernah mempelajari satu dua macam pukulan, akan tetapi tidak pantas disebut-sebut di depan Totiang.”

Kakek itu menarik napas panjang.
“Kau benar. Ilmu silat tidak patut dibicarakan, karena hanya mendatangkan keributan belaka. Andaikata Hoa-san-pai dahulu tidak mengembangkan ilmu silat, kiranya sampai sekarangpun Hoa-san-pai takkan mempunyai musuh.”

Mulai hari itu, Beng San diperkenankan tinggal di Hoa-san, malah mendapat kehormatan, untuk tinggal satu rumah dengan Lian Bu Tojin. Kakek ini amat suka bercakap-cakap dengan Beng San yang Juga amat rajin tidak melupakan pekerjaannya yang dahulu, yaitu dia dengan tekun membersihkan tempat tinggal kakek itu, melayani segala keperluan Lian Bu Tojin.

Pada suatu hari Lian Bu Tojin yang melihat Beng San mencuci lantai rumahnya, menarik napas panjang, mengelus-elus jenggotnya dan berkata.

“Sayang kau tidak suka ilmu sitat, Beng San. Kalau kau suka, pinto tentu akan merasa senang dan lega sekali menarik kau menjadi murid pinto. Kau memenuhi syarat-syarat untuk menjadi murid terbaik, kau mengenal bakti, mengenal pribudi, mengenal kesetiaan dan wawasanmu tepat, pandanganmu jauh dan luas. Pinto benar-benar mengharapkan bantuanmu dalam menghadapi percobaan beberapa hari yang akan datang ini. Kiranya pandanganmu dan kata-katamu akan dapat membantu banyak untuk meredakan ketegangan.”

“Akan teecu coba sekuat tenaga teecu, Totiang,” demikian jawaban Beng San, jawaban yang keluar dari lubuk hatinya.

Sementara itu, sikap Thio Ki dan Kul Lok masih angkuh sekali terhadap Beng San. Kwa Hong dan Thio Bwee bersikap manis, akan tetapi juga kelihatan memandang rendah. Tentu hal ini karena mereka berempat merasa menjadi murid-murid Hoa-san-pai yang memiliki ilmu silat tinggi, sedangkan Beng San itu pemuda apakah? Lemah dan “hanya pandai membersihkan lantai” kata Thio Ki. Malah Kui Lok pernah menyatakan kekhawatirannya bahwa Beng San yang pandai menjilat-jilat itu akan membujuk Lian Bu Tojin untuk menurunkan ilmunya.

“Ha-ha-ha, andaikata dia pandai menjilat dan berhasil membujuk, tanpa memiliki dasar ilmu silat, mana dia bisa berlatih?”






No comments:

Post a Comment