Ads

Thursday, October 4, 2018

Raja Pedang Jilid 086

Di lain bagian dari puncak itu, dua orang pemuda saling berhadapan dengan muka merah. Mereka ini adalah Thio Ki dan Kui Lok. Thio Ki yang memiliki watak keras hati itu setelah pertemuannya dengan Kwa Hong di dalam taman, langsung mengejar dan mencari Kui Lok. Dua orang jago muda Hoa-san-pai ini sekarang berhadapan muka di tempat sunyi, sikap mereka mengancam.

“Thio-heng (kakak Thio), apakah keperluanmu mencari aku kesini hanya untuk menegur yang bukan-bukan itu?” Kui Lok bertanya dengan nada suara penuh ejekan.

“Sudah tentu!” jawab thio Ki marah. “Kui-te (adik Kui), kita masih terhitung saudara seperguruan dan karena aku lebih tua, maka sudah sepatutnya kalau aku yang memberi peringatan apabila kau menyeleweng daripada kebenaran! Sungguh tak patut apabila kau mencoba untuk membujuk dan menggoda hati Hong-moi, tak pantas sekali hal ini dilakukan oleh seorang murid Hoa-san-pai!”

Kui Lok tersenyum mengejek, sengaja tertawa masam.
“Heh-heh-heh, bagus sekali ucapanmu, Suhengl Di dunia ini, mana ada orang berhak melarangku bersikap manis kepada Hong-moi? Ha-ha-ha, kau sendiripun selalu bermuka-muka dan bersikap manis bukan main terhadap Kwa Hong. Mengapa aku tidak boleh?” Kui Lok menantang.

“Aku lain?” bentak Thio Ki. “Aku cinta kepadanya dan….. dan….. Kwa supek agaknya setuju kalau aku berjodoh dengan Hong-moi'”

Kui Lok tertawa mengejek.
“Apa hanya engkau seorang di dunia ini yang boleh mencinta? Tentang persetujuan Kwa-supek, hemmm….. kita lihat dulu nanti, Suheng. Kurasa Hong-moi sendiri belum tentu setuju, dan kau belum bertunangan secara resmi.”

Thio Ki yang berwatak keras itu tak dapat lagi mengendalikan kemarahan hatinya yang dibangkitkan oleh rasa cemburu,

“Kui Lok! Pendeknya mulai sekarang aku melarang kau mengaku mencinta Hong-moi, kularang kau bersikap terlalu manis!”

Kui Lok adalah seorang anak yang biasanya nakal dan gembira. Akan tetapi dalam persoalan ini diapun tidak mau mengalah dan sudah menjadi marah.

“Thio-heng, kau keterlaluan sekali. Ada hak apakah kau melarang aku? Kau adalah suheng dari Hong-moi, akupun demikian. Harapan kita masih setengah-setengah. Marilah kita berlumba secara jujur, siapa yang akhirnya bisa menjatuhkan hati Hong-moi, dialah yang beruntung. Kenapa kau bersikap begini kasar dan hendak main menang sendiri?”

“Cukup! Disana ada Bwee-moi yang mengharapkanmu, kau malah mengganggu orang yang menjadi cahaya harapanku. Pendeknya, aku melarang kau mendekati Kwa Hong”

“Eh-eh-eh, enaknya bicara! Kalau aku tetap mendekatinya, kau mau apa?”

Thio Ki mencabut pedangnya.
“Terpaksa aku melupakan persaudaraan!”

“Bagus! Orang she Thio, kau kira aku takut padamu?”

Kui Lok juga sudah mencabut pedang dengan tangan kirinya. Dua orang muda itu sudah saling berhadapan dengan pedang terhunus, siap untuk saling serbu, saling tikam dan saling bunuh.

Beginilah orang-orang muda kalau sudah dimabuk cinta. Lupa persaudaraan, lupa kewaspadaan dan tak tahu malu. Ya, tak tahu malu. Bukankah terang-terangan Kwa Hong menyatakan bahwa gadis ini tidak memilih seorang diantara mereka? Namun, tetap saja mereka memperebutkannya dengan persiapan mengorbankan nyawa.

“Bagus…… bagus….. Saudara Thio Ki dan Kui Lok, lekaslah kalian bertari pedang biarkan aku menontonnya, tentu indah dilihat.” Beng San muncul dari balik sebatang- pohon sambil bertepuk tangan dan tertawa-tawa.

Kui Lok dan Thio Ki yang tadinya sudah tegang dan siap untuk saling serang, menjadi kaget dan menengok. Mereka melihat seorang pemuda tampan berpakaian sutera biru seperti seorang pemuda pelajar. Tentu saja mereka tidak mengenal Beng San yang dulu mereka kenal sebagai seorang anak yang berpakaian seperti jembel.

Namun karena mereka ini memang jago-jago muda Hoa-san-pai yang berwatak angkuh dan merasa diri sendiri paling gagah dan paling lihai, mereka segera merasa tak senang dengan datangnya seorang asing ini.

“Kau siapa? Mau apa lancang masuk kesini?” tanya Thio Ki mengerutkan keningnya. juga Kui Lok memandang tajam dengan mata dipelototkan untuk memperlihatkan ketidak senangan hatinya.





Beng San tertawa, wajahnya berseri-seri.
“Saudara-saudara Thio dan Kui agaknya sudah lupa lagi kepadaku. Padahal belum ada sepuluh tahun kita berpisah. Aku Beng San.”

Thio Ki dan Kui Lok saling pandang, untuk detik itu lenyap permusuhan diantara mereka. Terang bahwa mereka heran melihat Beng San yang sekarang sudah berubah menjadi seorang pemuda yang bertubuh tegap dan berwajah tampan.

“Uuuhhhhh…… Beng San…..?” Thio Ki berkata dengan suara menghina.

“Hemmm, kau disini? Mau apa kau kesini? Kau mengintai kami, ya?” kata Kui Lok, mengancam.

“Ah, tidak. Aku datang dan melihat kalian hendak bermain pedang, sungguh aku ingin melihatnya. Dahulupun kalian amat pandai, apalagi sekarang, tentu indah permainan pedang kalian.”

Kembali Kui Lok dan Thio Ki saling pandang dan keduanya menjadi curiga. Tentu Beng San sudah mendengar pertengkaran mereka tadi!

“Kau tadi sudah lama mengintai kami? Mendengar apa yang kami bicarakan?” Thio Ki menuntut.

Beng San tersenyum.
“Tidak tahu, agaknya kalian bicara tentang angin atau burung.”

la sengaja mengatakan demikian tanpa menyinggung nama Kwa Hong, sedangkan kata-kata Hong dapat diartikan angin atau juga nama burung hong!

Thio Ki yang keras hati itu timbul keangkuhannya.
“Beng San, kau kurang ajar sekali. Orang macam kau ini mengapa berani muncul disini tanpa ijin? Kau patut dipukul”.

“Benar, Suheng. Kita pukul saja jembel ini biar minggat dari sini!” kata Kui lok yang teringat betapa dahulu bersama Thio Ki dia pernah memukuli Beng San.

Dua orang pemuda itu melangkah maju dan tangan mereka melayang untuk menampar pipi dan memukul pundak. Betapapun juga, sebagai jago-jago muda dari Hoa-san mereka tidak sudi membunuh orang yang lemah, hanya memukul untuk memberi hajaran saja dan untuk mengusir Beng San.

“Eh, eh, eh….. kenapa main pukul? Aku tidak bersalah apa-apa…..”

Beng San terhuyung-huyung ke belakang setelah terkena gamparan dan pukulan. Tentu saja serangan-serangan yang dilakukan tidak untuk membunuhnya ini sama sekali tidak dia rasakan, akan tetapi dia pura-pura kesakitan dan terhuyung-huyung ke belakang.

Thio Ki dan Kui Lok tidak peduli, mendesak terus hendak memukuli Beng San sampai pemuda itu melarikan diri. Beng San pura-pura mengangkat kedua tangan melindungi kepala dan mukanya sambil berteriak-teriak,

“Jangan pukul…… jangan pukul!”

“Ki-ko dan Lok-ko, siapa yang kalian pukuli itu?”

Tiba-tiba Kwa Hong sudah berdiri disitu. Wajah dara ini agak pucat, apalagi ketika ia melihat bahwa di tangan Thio Ki dan Kui Lok masih memegang pedang terhunus.

Memang ketika memukuli Beng San, Kui Lok masih memegang pedang dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanan Thio Ki juga masih memegang pedang. Kedatangan Kwa Hong itu sebetulnya karena ia merasa amat gelisah, takut kalau-kalau dua orang pemuda itu mengadu nyawa, maka melihat mereka memegang pedang, ia menjadi khawatir sekali. Hanya ia merasa terheran-heran mengapa dua orang pemuda itu malah memukuli seorang pemuda yang kelihatan lemah dan tidak pandai ilmu silat.

Thio Ki dan Kui Lok dengan muka merah karena jengah lalu meloncat mundur. Setelah dua orang pemuda yang keranjingan itu mundur, baru Beng San berani menurunkan kedua tangan dari mukanya. la memandang Kwa Hong, sebaliknya gadis itu memandang kepadanya.

Dua pasang mata bertemu, dari fihak Beng San penuh kekaguman. Sekarang dia dapat melihat jelas keadaan Kwa Hong. Benar-benar melebihi yang sering kali dia bayangkan. Cantik molek dan gagah perkasa. Sepasang mata yang melebihi beningnya daripada mata ikan emas, rambut yang hitam mengkilap, alis yang panjang kecil dan hitam sekali di atas kulit muka yang putih kemerahan, hidung yang kecil, mulut yang manis, ah… bukan main, sekarang Kwa Hong si kuntilanak itu telah berubah menjadi seorang dara yang jelita.

Di fihak Kwa Hong, sinar mata gadis ini perlahan-lahan berseri-seri, mulutnya tersenyum lucu ketika ia mengenal Beng San, lalu terbukalah bibirnya berkata setengah tertawa.

“Kau….. kau….. eh, si bunglon…..!”

Beng San cemberut.
“Benar,” katanya dingin, “dan kau si kuntilanak masih tetap galak….”

Thio Ki dan Kui Lok melangkah maju, hendak memukul lagi. Akan tetapi Kwa Hong yang sudah maklum akan maksud mereka, segera mendahului.

“Aha, Beng San. Benar-benar kaukah ini? Eh, Ki-ko dan Lok-ko, apakah kalian lupa? Dia ini Beng San. Hi-hi-hi, benar Beng San…..!”

Serta-merta Kwa Hong melangkah maju dan memegang tangan Beng San, mengamat-amati wajah pemuda itu yang seketika menjadi agak kemerahan.

“Hi-hi-hi, kau Beng San yang bisa berubah-ubah mukamu. Benar, kau sudah menjadi….. orang sekarang. Ah, hampir aku pangling kalau tidak melihat matamu. Kau dari mana? Hendak kemana? Ada keperluan apa datang kesini?”

Bingung juga Beng San dihujani petanyaan dari mulut yang manis itu.
“Aku….. aku sengaja datang, mendengar bahwa Hoa-san-pai hendak mengadakan perayaan seratus tahun. Aku datang sampai kesini, melihat dua saudara Thio dan Kui bertari pedang. Mereka agaknya tidak mengenalku, dan menyangka aku orang jahat maka aku hendak dipukuli. Baiknya kau keburu datang…… eh, Nona Hong…….”.

Kwa Hong tertawa. Lega bahwa dua orang suhengnya itu tidak jadi mengadu nyawa. la seorang yang cerdik sekali. Tentu dua orang itu tadinya memang sudah hendak bertempur, buktinya sudah mencabut pedang. Kalau hanya menghadapi seorang lemah seperti Beng San, tak mungkin dua jago muda itu menghunus pedang. Tentu selagi mereka hendak bertempur, tiba-tiba datang Beng San, membuat mereka marah dan memukulinya.

“Bagus sekali kau datang, Beng San. Apa kau sudah bertemu dengan ayah? Dengan sukong? Mereka tentu terheran-heran melihat kau datang. Baik sekali kau mau datang, jadi tidak melupakan hubungan lama.”

Dengan ramah-tamah Kwa Hong bicara dan dua orang kakak seperguruannya memandang dengan hati penuh cemburu dan iri hati. Tak pernah Kwa Hong memperlihatkan sikap demikian manis terhadap mereka.

“Ki-ko dan Lok-ko, masa kalian tidak mengenalnya. Lihat itu sepasang matanya, mana ada orang lain bermata seperti dia? Semestinya kalian mengenalnya dan tidak memukulinya. Dia jauh-jauh sudah datang untuk menghadiri perayaan, menjadi seorang tamu, masa harus dipukuli? Kalian benar-benar sembrono sekali, kalau terdengar ayah atau sukong bukankah mendapat marah?”

Tiba-tiba ia berhenti bicara karena mendengar suara kaki mendatangi, dan tak lama kemudian muncullah Thio Bwee, Kwa Tin Siong, dan Liem Sian Hwa. Mereka bertiga ini baru saja kembali dari tempat dimana mereka bertemu dengan Giam Kin. Karena baru saja ada seorang pemuda membuat onar, kini melihat bahwa tiga orang anak murid Hoa-san-pai berdiri berhadapan dengan seorang pemuda asing lagi, segera Kwa Tin Siong menjadi curiga dan cepat menghampiri sambil memandang tajam.

“Siapakah saudara muda yang asing ini?” tanyanya.

Kwa Hong lari menghampiri ayahnya memegang tangan ayahnya dengan sikap manja.
“Ki-ko dan Lok-ko, jangan beri tahu ayah dulu! Ayah, coba lihat baik-baik, dan Bibi juga. Kaupun lihatlah baik-baik Enci Bwee, perhatikan dia dan coba katakan, siapa dia ini?”

Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa memandang penuh perhatian, akan tetapi dua orang dari Hoa-san Sie-eng ini tidak dapat mengenal pemuda tampan berbadan tegap yang berpakaian seperti seorang pelajar itu. Terlalu banyak persoalan dan urusan yang meruwetkan pikiran membuat mereka sama sekali tidak dapat ingat lagi kepada Beng San.

Akan tetapi tidak demikian dengan Thio Bwee. Seperti juga Kwa Hong, gadis ini pernah ditolong oleh Beng San, biarpun ia tak pernah mengenangkan Beng San, namun kiranya wajah pemuda ini tak dapat ia lupakan begitu saja.






No comments:

Post a Comment