Ads

Wednesday, September 26, 2018

Raja Pedang Jilid 080

“Mengganggu katamu?” Bibir merah itu cemberut tapi tambah manisnya. “Kau laki-laki ceriwis! Laki-laki lancang mulut!”

Beng San menengok kekanan kiri, mengira bahwa ada orang laki-laki lain yang bersikap kurang ajar berdiri disitu dan dimaki oleh nona baju hijau ini. Tapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang berada disitu hanya dia seorang bersama bayangannya, dia mulai percaya bahwa dialah yang dimaki.

“Ceriwis? Apa ceriwis itu? Bermulut lancang? Aku…..?” la bertanya penuh keheranan.

“Ya, kau kurang ajar dan bermulut lancang! Berani memanggil-manggil seorang wanita yang tak kau kenal!”

Beng San melengak, makin terheran. la memang ahli filsafat, maka mendengar ucapan yang menyerangnya ini segera dia tangkis dengan kata-kata filsafat yang sifatnya berkelakar,

“Kalau orang yang saling tak mengenal semua berdiam diri tak berani memanggil, alangkah akan sunyinya dunia ini! Kalau tadinya tidak mengenal, setelah dipanggil bukankah jadi kenal?”

“Kurang ajar kau “. Gadis baju hijau itu makin marah.

“Kenapa kurang ajar? Aku minta tolong supaya diseberangkan kesana. Aku butuh menyeberang, kau memiliki perahu, bukankah itu sudah cocok?”

“Kau kira aku ini gadis tukang menyeberangkan orang? Kau kira aku mencari nafkah dengan menyeberangkan segala orang?”

“Pakai biaya pun aku sanggup bayar, aku punya uang,” jawab Beng San sejujurnya dan salah mengartikan kata-kata orang.

Sepasang mata itu berkilat-kilat, bibir yang tadinya cemberut agak tersenyum, seakan-akan ia mulai mengerti bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang tolol. Atau setidaknya, wajah yang tampan itu dan bentuk tubuh yang tegap menimbulkan simpatinya.

“Kau bawa uang banyak?”

“Banyak sih tidak, kiranya kalau hanya seratus tail perak ada.”

Dara baju hijau itu mengeluarkan suara mendengus seperti mengejek, lalu dengan dua kali mendayung saja perahunya meluncur seperti anak panah ke pinggir! Beng San diam-diam kaget sekali. Itulah gerakan tangan yang amat kuatnya, gerakan seorang ahli ilmu silat tinggi. Apalagi setelah dia melihat sebatang pedang dengan gagang dan sarungnya yang terukir indah menggeletak di perahu, tahulah dia bahwa dara baju hijau itu bukanlah orang sembarangan.

“Kau mau menyeberang? Nah, kau loncatlah ke perahu!”

Jarak antara perahu itu dengan tanah yang diinjak Beng San masih ada satu meter jauhnya, sedangkan tempat itu agak tinggi, ada dua meter. Beng San hendak menyembunyikan kepandaiannya, maka dia berpura-pura tidak berani dan berkata.

“Tolong dekatkan perahu sampai kesini, agar mudah aku turun. Meloncat dan sini, setinggi ini, mana aku berani?” la sengaja memperlihatkan muka ketakutan.

Gadis itu tertawa kecil. Deretan gigi yang putih mengkilap menyilaukan mata Beng San. Silau dia akan kemanisan muka gadis ini.

“Hi-hi-hi, kau ini laki-laki atau perempuan?”

Beng San mempunyai dasar watak nakal di waktu kecilnya, biarpun dia sekarang sudah dewasa, kenakalan kanak-kanak masih ada padanya. la mendongkol mendengar kata-kata itu dan dengan suara merajuk dia menjawab.

“Kau melihat sendiri bagaimana? Laki-laki atau perempuan?” Ia cemberut.

Dara baju hijau itu tertawa lagi, sekarang agak lebar sehingga dari atas terlihat dalam mulutnya yang merah dan sepasang lesung pipit di kedua pipinya. Manis benar!

“Masa seorang laki-laki takut meloncat dari tempat itu kesini? Seorang perempuanpun akan berani. Kau tak patut menjadi laki-laki atau perempuan, kiraku kau banci.”

Panas perut Beng San rasanya. Ia mengukur dengan pandang matanya dan akhirnya harus mengakui bahwa permainan sandiwaranya memang agak keterlaluan. Setiap orang laki-laki yang tidak mengerti ilmu silat, asal dia tidak terlalu penakut, tentu akan dapat meloncat ke perahu itu.





“Tentu saja aku laki-laki sejati!” katanya mendongkol. “Tidak seperti kau, perempuan tukang merengek, belum bisa mendapatkan yang dicari-cari, sudah mulai mengeluh panjang pendek. Tentu saja aku berani meloncat kesitu!”

Dara itu seketika hilang senyumnya, kembali memandang tajam dan berkata, suaranya terdengar ganjil,

“Kalau begitu, kau loncatlah!”

Beng San beraksi seperti orang yang menghadapi pekerjaan berat. Kantong uang dia masukkan ke saku bajunya yang lebar, sedangkan bungkusan pakaian dia ikatkan pada lengannya. Kemudian dia mengambil posisi dan meloncat ke bawah.

Alangkah kagetnya ketika dia melihat gadis itu tiba-tiba mendayung perahunya ke depan sehingga perahu itu seolah-olah mengelak dari loncatannya! Tentu saja, dengan kepandaiannya meringankan tubuh Beng San dengan mudah sekali akan dapat bersalto ke arah perahu, akan tetapi dia memang sudah mengambil keputusan untuk menyembunyikan kepandaiannya. Apa boleh buat, dia melanjutkan loncatannya dan tentu saja ke….. air. Sebelum tubuhnya menimpa air dia sempat memaki.

“Siauw-kwi (Setan cilik)….!”

Ia hanya mendengar suara ketawa nyaring dan air muncrat tinggi, tubuhnya terus tenggelam.

Biarpun berusaha menyembunyikan kepandaiannya, kiranya Beng San takkan begitu sembrono untuk membiarkan dirinya tenggelam dan terancam bahaya kalau saja dia tidak memiliki kepandaian bermain di dalam air.

Baginya, permainan di dalam air bukanlah apa-apa lagi setelah delapan tahun dia bekerja sebagai nelayan, setiap hari hanya bermain dengan ikan dan air. la sengaja mengorbankan dirinya menjadi basah kuyup, tidak saja untuk menyembunyikan kepandaian, akan tetapi juga ingin membalas kenakalan gadis itu.

Dengan enak, seperti seekor ikan besar, dia menyelam terus ke bawah perahu gadis tadi dengan maksud hendak menggulingkan perahu dari bawah agar gadis itupun menjadi basah kuyup.

Tiba-tiba dia melihat seekor ikan yang sepaha besarnya, ikan yang gemuk dan sebagai bekas nelayan dia mengenal ikan ini sebagai ikan yang amat enak dagingnya, gemuk dan tidak berduri kecil.

Cepat tangannya meraih dan ikan itu sudah dia tangkap, kepalanya dia masukkan ke dalam bungkusan pakaian sehingga tak dapat bergerak melepaskan diri lagi. Kemudian dia hendak menangkap dasar perahu untuk digulingkan. Tapi gerakan ini dia tahan ketika dia mendengar air di atas memercik dan sebuah benda kehijauan menyelam. Ternyata dara baju hijau itu telah meloncat ke air dan menyelam dengan gerakan seorang ahli dalam air!

Beng San tersenyum nakal. Baiknya dia belum menggulingkan perahu, pikirnya. Kiranya bocah nakal ini masih berhati emas, kini berusaha menolongnya. Benar saja dugaannya, ketika dia meronta-ronta dan beraksi seperti orang yang tak pandai berenang, tenggelam dan akan hanyut, tiba-tiba tangan gadis itu meraihnya dan rambutnya telah kena dijambak dan ditarik ke atas!

Mendongkol lagi hati Beng San yang tadinya sudah dingin. Ikatan rambutnya sampai terlepas dan dengan rambut awut-awutan dia ditarik oleh dara itu seperti orang menarik ekor ikan besar.

“Laki-laki apa kau ini? Berenang pun tak pandai!” kata gadis itu mencemooh ketika sudah timbul ke permukaan air. “Hayo pegang pinggiran perahu dan naik,” perintahnya sedangkan dia sendiri dengan loncatan indah naik ke perahu.

“Aku….. aku tidak bisa….. tolonglah…..”

Beng San berpura-pura, kini sudah panas lagi perutnya dan otaknya diputar untuk membalas dendam. Gadis itu bersungut-sungut menghina, akan tetapi ia ulurkan tangan juga mencengkeram pundak Beng San dan menarik pemuda itu ke atas perahu.

Beng San terseret naik, dengan canggungnya dia mencoba melompat, tapi terhuyung-huyung dan akan jatuh menubruk gadis itu. Bungkusan pakaiannya melayang ke depan dan otomatis ikan besar itupun melayang dengan ekornya yang panjang menampar pipi gadis baju hijau.

“liiiihhhhh…, apa ini…..?” teriak gadis itu kaget sambil menangkis.

Pipinya tidak terkena tamparan ekor ikan, akan tetapi air dan lendir ikan dari ekor itu melayang dan tak dapat dicegah lagi membasahi mukanya. Lendir ikan yang manis itu memasuki mulut dan hidungnya yang mancung.

“Uiuhhhhh…..”

Gadis itu hampir muntah dan meludah-ludah, kemudian cepat mencelupkan mukanya dan kepalanya ke dalam air dari pinggir perahu sehingga untuk ke dua kalinya kepalanya basah kuyup. Beng San menahan ketawanya, perutnya terasa kaku saking geli hatinya.

Dara baju hijau itu menarik kembali kepalanya dari air, mengusap air dari muka. Mukanya basah kuyup, pipinya makin kemerahan, rambutnya basah awut-awutan. Tapi aneh, makin manis saja dia! Matanya memperlihatkan kemarahan ketika ia memandang ke arah ikan sebesar paha yang kepalanya berada dalam bungkusan pakaian.

“Dari mana ikan itu?” bentaknya.

“Tentu saja dari air, masa ikan dari gunung?” Beng San menggoda.

“Jangan main-main! Kau yang hampir mati tenggelam, bagaimana bisa mendapatkan ikan di air?” Gadis itu memandang penuh curiga.

Ah, bodoh aku, celaka kali ini, pikir Beng San. Akan tetapi otaknya cepat bekerja.
“Entah, aku tadi tenggelam, dalam bingungku aku menggerak-gerakkan tangan dan tahu-tahu aku merasa bungkusan menjadi berat. Agaknya ikan bodoh ini terjerat oleh tali bungkusan pakaianku dan tak dapat terlepas lagi.”

Gadis itu memperhatikan muka Beng San yang berlagak bodoh, lalu berkata marah,
“Memang ikan bodoh, seperti kau, laki-laki goblok.”

Beng San tunduk, agak lega hatinya. Untuk melenyapkan sama sekali kecurigaan gadis itu, dia mengangguk dan berkata perlahan,

“Memang dia bodoh seperti aku.”

“Air ikan itu tadi mengotori mukaku, sekarang kau harus membayar. Nah, kau makan ikan ini mentah-mentah!”

Beng San membelalakkan matanya. Seharusnya dia marah kepada gadis nakal ini, akan tetapi aneh, muka yang manis ini tidak patut dimarahi. Sukar baginya untuk bisa marah, malah dia menganggap sikap gadis ini lucu sekali. la sama sekali tidak dapat melihat sinar jahat dalam pandang mata yang bening itu.

“Ah, mana bisa ikan dimakan mentah?. Ikan ini enak sekali dagingnya kalau di-panggang. Aku sudah biasa memanggang ikan seperti ini. Apalagi daging di kepala dan ekornya, waaah, gurih dan sedap. Perutku lapar, apakah kau tidak lapar? Kalau ada api disini, aku bisa memanggang ikan ini, lumayan untuk kita berdua, bisa melegakan perut lapar.”

Beng San terus saja bicara tentang kelezatan daging ikan itu. Si gadis mendengarkan dan akhirnya tertarik juga.

la mengangguk dan berkata, suaranya masih aja ketus,
“Kau boleh panggang, tapi awas, kalau kau bohong, kalau ikan itu tidak enak, kau harus makan sendiri sampai habis dengan tulang-tulangnya. Tahu?”

Gadis itu lalu memasuki kepala perahu yang dipasangi bilik bambu. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi dan alangkah mendongkol dan iri hati rasanya hati Beng San ketika melihat bahwa gadis itu sudah bertukar pakaian baru yang kering dan enak! Juga pakaian yang dipakainya kini terbuat daripada sutera hijau.

“Eh, kenapa kau masih belum memanggang ikan itu?” bentaknya melihat Beng San masih duduk terlongong.

“Bagaimana aku bisa memanggang ikan?”

Beng San tidak dapat menyembunyikan suaranya yang mendongkol karena melihat gadis itu sudah bertukar pakaian kering sedangkan dia sendiri masih basah kuyup.

“Kulihat ada tempat api di perahu ini, tapi tidak ada apinya. Dan ikan ini harus dibuang sisiknya, harus dipotong-potong. Kau kerjakanlah itu, nanti aku yang memanggang.”

“Cih, tak bermalu! Kau bersihkan dan potong-potong sendiri.”






No comments:

Post a Comment