Ads

Wednesday, September 26, 2018

Raja Pedang Jilid 079

Hebat sekali pertandingan ini. Terdengar suara bak-bik-buk ketika kepalan-kepalan itu mengenai sasaran, namun keduanya ternyata amat kuat tubuhnya, tidak roboh oleh pukulan, hanya terengah-engah dan mendesis-desis, memaki-maki.

Akhirnya, dengan sebuah tendangan yang tepat mengenai lambung lawan, disusul dua kali pukulan pada leher dan ulu hati, Tan Hok berhasil membuat lawannya roboh berdebuk seperti pohon tumbang.

Tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali ke arah Tan Hok. Pemuda raksasa ini mengangkat tangan kanan menangkis datangnya pukulan yang amat kuat dan cepat, namun lebih cepat lagi pukulan itu ditarik kembali dan sebuah pukulan lain secara gelap telah menghantamnya dari samping, tepat mengenai rusuknya. Tan Hok mengeluh dan roboh tergelimpang, muntah-muntah darah!

Beng San mendengar keluhan Tan Hok, cepat melompat mendekati. Kaget melihat temannya itu sudah roboh terlentang. Segera dia mengempit tubuh yang tinggi besar itu dengan tangan kirinya.

“Saudara-saudara, lari…..!” serunya.

Cepat dengan suara yang amat nyaring sehingga mengagetkan kedua fihak yang bertempur. Para anggauta Pek-lian-pai yang hanya tinggal beberapa orang dan mempertahankan diri dengan gigih dan nekat, melihat Tan Hok sudah roboh, menjadi kendor semangatnya. Apalagi ketika mendengar seruan Beng San, mereka lalu mencari kesempatan untuk mundur. Beng San sendiri mengamuk.

Dengan sebelah tangan menghadapi puluhan orang lawan, tangan kiri mengempit tubuh Tan Hok, dia menahan serbuan orang-orang itu yang hendak mengejar larinya sisa anggauta Pek-lian-pai.

Tak lama kemudian setelah melihat bahwa disitu tidak ada lagi anggauta Pek-lian-pai, Beng San lalu meloncat ke belakang dan dengan beberapa loncatan lagi dia telah dapat meninggalkan semua pengeroyoknya. Cepat dia berlari ke dalam hutan, menyelinap diantara pohon-pohon besar dan gelap.

Tiba-tiba dari balik pohon muncul bayangan orang yang bertubuh langsing. Tanpa berkata apa-apa orang itu melayangkan pukulan ke arah Beng San. Pukulan yang dilakukan perlahan saja, namun memiliki kecepatan dan kekuatan yang amat hebat.

Terkejut juga Beng San ketika merasa betapa angin pukulan ini tajam bagaikan mata pedang, maka maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan tangguh. Namun, dia merasa bukan waktunya untuk melakukan pertandingan. Luka Tan Hok harus diperiksa dan diobati, apalagi dengan mengempit tubuh Tan Hok, biarpun dia tidak takut menghadapi lawan itu, akan tetapi amat berbahaya bagi keselamatan Tan Hok sendiri. la mengerahkan tenaga di lengan kanan lalu menangkis pukulan itu.

Penyerang itu mengeluarkan seruan kaget, juga Beng San karena pemuda ini merasa betapa lengannya bertemu dengan tenaga yang lunak halus dan mengandung hawa mujijat, membuat lengannya tergetar.

Sementara itu, orang tadi sudah menyerang lagi dengan dua kali pukulan. Kembali Beng San menangkis, kini dia menggabung tenaga Im dan Yang di tubuhnya sehingga keadaan lengannya dijalari tenaga yang tiada bandingnya. Penyerangnya terpental ke belakang, mengeluarkan seruan tertahan lalu melesat pergi, lenyap ditelan kegelapan malam.

Beng San tidak peduli, hanya sedetik dia mengenal potongan tubuh orang itu. Tak salah lagi, penyerangnya adalah orang yang dia lihat bayangannya malam tadi ketika dia mencari tempat persembunyian Tan Hok. Dan lengan itu begitu halus dan lunak. Hanya ada dua macam keterangan untuk ini, pertama, pemilik lengan itu seorang laki-laki yang sudah memiliki Iweekang yang amat tinggi, ke dua, pemilik lengan itu adalah seorang wanita!

Menjelang fajar dia berhenti dan menurunkan tubuh Tan Hok diatas rumput. la memeriksa luka pada tulang rusuk setelah membuka baju pemuda raksasa itu. Beng San mengerutkan kening.

“Kejam…..” katanya perlahan.

Dua batang tulang rusuk patah dan kulitnya menghitam. la maklum bahwa hawa pukulan yang melukai Tan Hok mengandung tenaga Yang. Cepat dia menempelkan telapak tangan kirinya ke tulang rusuk yang sebelah lagi, mengerahkan tenaga Im di tubuhnya dan dengan cara menyalurkan hawa di dalam tubuh, dia mengobati luka Tan Hok. Tentu saja tidak dapat sekaligus sembuh, akan tetapi sejam kemudian dia merasa yakin bahwa Tan Hok tertolong nyawanya. Racun hawa pukulan telah dia basmi dengan tenaga Im tadi.

Tan Hok mengeluh, membuka mata. Ketika melihat Beng San di sisinya, dia tersenyum!
“Kau hebat, Adik Beng San….. sudah kuduga….. kau lihai sekali…..”





“Kau yang hebat, Twako. Dua tulang rusukmu patah, masih bisa tersenyum,” kata Beng San, benar-benar bangga dan kagum.

Bangga karena Tan Hok adalah seorang yang sama nama keturunannya dengan dia. Bukankah dia, seingatnya, juga bernama keluarga Tan? Pantas saja dia dahulu begitu bertemu sudah merasa amat suka kepada Tan Hok dan sekarang dia merasa bangga mempunyai sahabat satu nama keturunan, yang demikian gagahnya.

Sambil meringis menahan rasa nyeri Tan Hok menggerakkan tangannya merogoh saku, mengeluarkan dua lipat kertas.

“Inilah dua surat itu, satu untuk ketua Hoa-san-pai, satu untuk ketua Kun-lun-pai. Lekas, adikku, pergilah kau ke Hoa-san, hadiri perayaan itu dan berikan ini kepada mereka. Jaga agar jangan sampai terjadi pertandingan hebat…..”

“Tapi kau…., Twako…..?”

“Aku tidak apa-apa, kurasa tidak terluka sebelah dalam. Tidak merasa apa-apa, hanya tulang rusuk, mudah….. yang penting adalah kehadiranmu disana dan surat-surat ini.”

“Baiklah, Twako,” kata Beng San menerima surat-surat itu dan menyimpannya, “Jaga baik-baik dirimu. Aku akan pergi ke Hoa-san, bukan sebagai seorang Pek-lian-pai, tapi…..”

“Hal itu bukan soal yang penting asal kau bisa mencegah agar kedua partai itu tidak saling bermusuhan, dapat insyaf dan kalau mungkin membantu perjuangan kita.”

Setelah memesan banyak-banyak, kedua orang sahabat itu berpisah. Tan Hok yang gagah perkasa itu biarpun menanggung nyeri hebat, masih dapat berjalan cepat untuk menjauhkan diri dari bahaya pengejaran pasukan Mongol.

Adapun Beng San juga cepat menuju ke Hoa-san. la ingin datang di Hoa-san sebelum perayaan hari ulang tahun diadakan. Terus terang saja dia ingin sekali bertemu dengan “anak-anak” itu, terutama sekali si “kuntilanak”!

Baru kurang lebih dua li Beng San berjalan di tengah hutan, menikmati keindahan suara burung-burung pagi yang mulai bernyanyi-nyanyi diantara daun-daun pohon, tiba-tiba dia berhenti, memandang tajam ke kiri.

Serentak bermunculan lima orang dari balik batang pohon besar. Kiranya mereka adalah sisa-sisa anggauta Pek-lian-pai, nampak sedih dan lelah, dipimpin oleh “pengemis” tua yang dahulu menyambut Beng San. Kakek pengemis inipun terluka lengannya, berdarah dan dibalut. Begitu melihat Beng San mereka lalu maju mendekat.

“Di mana Tan-hiante?” tanya pengemis tua itu, sekarang tidak berpura-pura lagi minta sedekah seperti dulu.

“Dia selamat, minta kutinggalkan di tengah hutan, kurang lebih dua li dari sini. Harap kalian lekas menyusulnya dan merawat lukanya. Dua buah tulang rusuknya patah-patah. Akan tetapi keselamatan nyawanya tidak terancam,” kata Beng San.

Kakek itu mengangguk-angguk dan melihat Beng San dengan kagum.
“Kau masih muda, sudah begitu lihai. Pantas Tan-hiante mempercayaimu. Kalau tidak ada kau, kiranya kami semua sudah tewas. Hanya kami berlima, berenam dengan Tan-hiante yang masih hidup. Orang muda, tentu kau sudah menerima tugas dari Tan-hiante pergi ke Hoa-san, bukan?”

Beng San mengangguk. Kakek itu memandangnya dari kepala sampai ke kaki penuh perhatian.

“Tak baik….., pakaianmu itu. Seperti petani muda. Padahal setiap orang petani sekarang dicurigai. Kau bawa bekal uang?”

Beng San kali ini menggeleng kepala.
“Lebih tak baik lagi. Tanpa uang akan mudah dicap pemberontak. Orang muda yang gagah, kau terimalah beberapa stel pakaian ini dan sedikit uang untuk bekal. Tak boleh kau tolak karena kau juga telah membantu perjuangan kami.”

Tak enak hati Beng San untuk menolak karena dia sudah dapat menyelami watak orang-orang ini. Ia menerima sebungkus besar pakaian dan sekantung uang perak, lalu menghaturkan terima kasih. Kemudian mereka berpisah.

Setelah disitu sunyi, Beng San hendak mentaati pesan kakek pengemis yang dia percaya sudah luas pengalamannya itu. Ia menanggalkan pakaiannya dan mengenakan satu stel pakaian pemberian mereka. Ternyata pas betul dan dia kini berubah sebagai seorang muda yang tampan dan pantas, mirip seorang pemuda terpelajar!

Memandangi pakaiannya, Beng San merasa malu sendiri. Baru bisa berpakaian pantas kalau sudah diberi orang lain, pikirnya. Pemuda macam apa aku ini! Betapapun juga, dengan pakaian bersih menutupi tubuhnya, bahkan masih ada beberapa stel lagi digendong di punggungnya, mengantongi bekal yang lumayan, dia merasa lebih lega. Semua ini akan melancarkan perjalananku, pikirnya. Dengan hati ringan dia lalu menyusuri tepi Sungai Yang-ce menuju ke Hoa-san.

Jalan yang dilaluinya makin sunyi. Bukan merupakan jalan umum lagi. Jalan setapak yang liar dan makin jauh ke utara, makin sunyi dan dia harus membuka jalan diantara tetumbuhan liar pinggir sungai. la harus menyeberang dan alangkah sukarnya menyeberangi sungai yang luar biasa lebarnya ini tanpa perahu. Tak mungkin itu. la berhenti di pinggir sungai, memandang kesana ke mari, mengharapkan adanya perahu agar dapat menyeberangkannya ke depan.

Tiba-tiba telinganya mendengar suara orang bernyanyi. Suara wanita, tak salah lagi, merdu dan nyaring. Makin lama suara itu makin jelas terdengar, Beng San berdiri terkesima ketika dia melihat seorang gadis berpakaian serba hijau mendayung perahu kecil di tengah sungai

Mendayung perlahan tapi sengaja menimpakan dayung ke air sehingga menimbulkan suara yang berirama, yang mengikuti irama lagunya. Merdu dan indah sekali bunyi dayung menimpa air memercik ke atas ini mengikuti suara nyanyiannya, indah dan aneh.

Mulut yang kecil mungil dan berbibir merah itu bergerak-gerak menyanyi. Wajahnya manis sekali, dengan sepasang mata yang lebar dan hidung kecil mancung, sepasang pipi kemerahan dan rambut yang dibiarkan terurai kacau ke kanan kiri itu menambah kemanisannya.

“Malam purnama sudah lalu,
bunga seruni sudah rontok,
aku yang merana seorang diri
kenapa belum mendapatkan yang kucari?”

Hanya demikian kata-kata yang dinyanyikan, diulang-ulang lagi, tapi tidak membosankan. Beng San yang mendengarkan dengan teliti dapat menangkap hal-hal yang mengharukan hatinya. Di dalam nyanyian itu dia dapat membayangkan perasaan yang penuh harapan, penuh kemarahan, penuh sesal, penuh semangat dan juga penuh rahasia.

Agaknya sudah lama nona itu mencari sesuatu. Apakah sesuatu itu? Orangkah? Bendakah? Dia sudah mulai merasa habis sabar dan jengkel, juga berduka. Namun, masih sangat mengharapkan untuk dapat menemukan yang ia cari-cari. Siapakah nona itu? Demikianlah Beng San berpikir. Siapapun juga dia, bukankah dia memiliki perahu yang akan dapat menolongku menyeberang? Boleh kucoba.

“Eh, Nona yang berperahu…..”. la memanggil.

Kalau saja Beng San menjadi dewasa di kota, tentu dia sekali-kali tidak berani memanggil seorang gadis yang berperahu seorang diri seperti ini. la tidak pernah bergaul dengan wanita, tidak mengerti pula akan tata cara kesopanan kota maka sikapnya terbuka dan jujur, sama sekali tidak mengerti bahwa sikap ini bisa dianggap kurang ajar atau ceriwis.

Nona berbaju hijau itu kaget mendengar teguran Beng San dan cepat menengok. Sepasang mata yang bersorot tajam dan galak menatap wajah Beng San yang memaksa diri tersenyum, biarpun hanya merasa tidak enak karena sikap nona itu seakan-akan hendak marah. la mengulangi kata-katanya.

“Nona berperahu yang baik hati. Tolonglah aku seorang pelancong menyeberang kesana dengan perahu,”

la mengatur kata-katanya supaya terdengar halus. Sejenak nona baju hijau itu tidak menjawab, hanya sepasang matanya menatap tajam tak pernah berkedip sehingga Beng San merasa makin tidak enak hatinya.

“Kuharap saja aku tidak terlalu mengganggumu dengan permintaan tolong ini,” katanya lagi.






No comments:

Post a Comment