Ads

Wednesday, September 19, 2018

Raja Pedang Jilid 067

Beng San berjalan cepat siang malam. Hanya kalau sudah hampir tak kuat lagi saking lelahnya maka dia mengaso. la bermaksud pergi ke Shan-si, untuk bersembunyi di Kelenteng Hok-thian-tong dimana dahulu dia pernah bekerja sebagai kacung. la harus dapat menyembunyikan dirinya untuk beberapa tahun lamanya, demikian kata pesan Lo-tong Souw Lee.

Setelah tubuhnya kuat betul dan ilmu-ilmu silat itu sudah dia latih sebaiknya, baru dia boleh memperlihatkan dirinya. Dan ucapan pesanan kakek buta itu benar-benar tepat. Buktinya setiap kali dia memperlihatkan diri, pasti timbul hal-hal yang hebat. Lebih baik dia kembali ke daerah Sungai Huang-ho dan bersembunyi di kelenteng Hok-thian-tong. Terbayang olehnya para hwesio kelenteng itu yang rata-rata amat sabar dan baik.

Kurang lebih sebulan kemudian sampailah dia di tepi Sungai Huang-ho. Dari tepi sungai itu ke utara, kurang lebih tiga puluh li lagi adalah Shan-si dimana terdapat kelenteng yang ditujunya. la sudah lelah sekali dan hari sudah menjelang senja. Beng San mencari tempat yang enak di tepi sungai, di bawah sebatang pohon. la mengumpulkan daun-daun dan ranting-ranting kering untuk membuat api unggun malam nanti apabila hawa udara dingin dan apabila banyak nyamuk akan mengganggunya. Sebagian daripada daun-daun kering dia jadikan tilam tempat dia tidur.

Perutnya lapar tidak dipedulikannya. Beng San sudah terlentang di bawah pohon, mengenangkan pengalaman-pengalamannya selama dalam perjalanan ini. Ada hal yang amat berkesan di hatinya, yaitu kemana saja dia berjalan, dia selalu melihat para petani bersikap penuh semangat menentang pemerintah Mongol yang sudah banyak membikin sengsara rakyat.

la mulai mendengar nama besar pemimpin-pemimpin rakyat disebut-sebut orang. Yang paling terkenal dan sering kali dia dengar adalah nama besar Ciu Goan Ciang yang menurut para petani itu mempunyai kepandaian seperti dewa, malah memiliki ilmu kesaktian yang ajaib-ajaib.

Diam-diam Beng San mengenang semua itu dan mengingat-ingat kembali apa yang dia dengar dari Tan Hok, menghubung-hubungkan semua peristiwa antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai berhubung dengan suasana pemberontakan terhadap pemerintah Mongol ini.

Beng San adalah seorang anak kecil yang semenjak dahulu hanya mempelajari ilmu filsafat dan kebatinan, malah akhir-akhir ini mempelajari ilmu silat. Akan tetapi tentang politik dia sama sekali tidak mengerti.

“Aku takkan pusing-pusing dengan segala urusan itu kalau aku sudah berada di dalam bangunan Kelenteng Hok-thian-tong yang luas,” pikirnya dan dia mengenang kembali masa dia kecil bekerja sebagai kacung di kelenteng itu.

Suasana di dalam kelenteng hanya tenteram, aman dan damai. Apabila melihat orang luar, tentu hanya orang-orang yang datang hendak bersembahyang, yaitu orang-orang yang datang dengan maksud baik, dengan hati bersih dan maksud-maksud memohon belas kasihan Yang Maha Kuasa melalui para dewa yang dipuja masing-masing pendatang. Alangkah senangnya, pikirnya hidupnya akan tenteram dan dia dapat meneruskan latihan-latihannya dengan aman.

Saking lelah dan laparriya, begitu matahari terbenam Beng San sudah tertidur. Enak sekali dia tidur, tidak tahu bahwa dia telah tidur setengah malam, bahwa bulan hampir purnama sudah naik tinggi dan bahwa dia lupa membuat api unggun. Tidak tahu dia betapa bahayanya dia tertidur tanpa api unggun di tempat terbuka seperti itu, di dekat Sungai Huang-ho lagi yang daerahnya masih liar dekat dengan hutan-hutan besar.

la bangun sambil menepuk pahanya. Di bagian celana yang robek, nyamuk menggigit pahanya dan mengisap darah sepuasnya.

“Nyamuk keparat!”

Beng San bangun duduk ketika mendengar suara nyamuk berngiung-ngiung di sekeliling kepalanya. Teringat dia bahwa dia belum membuat api unggun. la menoleh ke arah tumpukan kayu dan daun yang kelihatan jelas di bawah sinar bulan purnama yang menerobos di antara celah-celah daun pohon.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika selain tumpukan kayu ini dia melihat barang lain lagi yang membuat jantungnya serasa berhenti berdetak. Sepasang barang berkilauan seperti lampu. Sepasang mata….. dan segera terlihat olehnya bahwa mata yang mencorong itu adalah mata seekor binatang yang sebesar lembu muda, berkulit loreng-loreng! Harimau yang besar sekali!

Beng San menggigil. Biarpun anak ini sudah memiliki kepandaian yang tinggi dalam tubuhnya, namun dia masih belum menyadari betul akan hal ini. Tentu saja dengan kepandaiannya, dia takkan sukar melawan harimau ini atau setidaknya akan mudah dia menyelamatkan diri dengan meloncat ke atas pohon. Kepandaiannya memungkinkan dia melakukan hal-hal ini.

Akan tetapi dia sudah lumpuh, ketenangannya lenyap. Tak boleh terlalu disalahkan dia, siapa orangnya takkan menggigil kebingungan dan ketakutan kalau begitu bangun dari tidur sudah menghadapi seekor harimau sebesar ini yang berdiri hanya dalam jarak tiga meter di depannya!





Harimau itu memang sejak tadi sudah mengintainya. Kini melihat bocah itu bergerak, dia segera mengaum dan meloncat, menerkam ke arah Beng San. Beng San terkesima dan tak dapat bergerak, terpukau seperti kena sihir. Hanya matanya yang lebar itu terbuka melotot memandang, merasa ngeri karena seakan-akan sudah tampak olehnya gigi bertaring yang runcing serta kuku yang melengkung mengerikan.

Akan tetapi tiba-tiba tubuh harimau itu terhenti di tengah udara, malah terjengkang ke belakang, berkelojotan! dan mandi darah. Tepat di dadanya tertancap sebatang kayu hampir tembus ke punggungnya.

Siapakah yang “menyate” harimau ini? Beng San menengok ke kanan kiri, ke belakang dan alangkah herannya ketika dia melihat munculnya bayangan merah. Dara cilik berpakaian merah, si gagu bernama Bi Goat itu telah berada di depannya. Beng San sampai bengong terlongong, akan tetapi dia segera tersenyum ramah. Tak mungkin dia tidak akan gembira kalau bertemu dengan bocah ini, dara cilik cantik manis yang gagu, yang menimbulkan rasa sayang, rasa kasihan dan terharu, yang membuat dia timbul rasa hendak melindungi, hendak membelanya.

“Kau…..?” tegurnya sambil berdiri.

Akan tetapi kalau dulu Bi Goat tersenyum-senyum gembira dan mengajak dia bermain-main, kini sikapnya jauh berbeda. Gadis cilik ini nampak penuh ketakutan dan kekhawatiran, wajahnya yang biasanya hampir selalu kemerahan itu kini agak pucat. la menudingkan telunjuk kiri ke arah bangkai harimau, telunjuk kanan ke arah belakangnya agak ke atas, kemudian dia menuding ke dada Beng San.

Lalu dia meloncat dan menendangi bangkai harimau yang sudah tewas itu. Beng San memandang bingung, juga kagum betapa setiap kaki kecil itu menendang harimau, bangkai harimau yang besar itu pasti tersepak ke depan. Sungguh dahsyat tenaga kaki kecil ini pikirnya.

“Adik Bi Goat, kau hendak bilang apakah? Aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu. Kau telah membunuh harimau itu, hebat sekali kepandaianmu!”

Akan tetapi Bi Goat nampak tidak sabar karena Beng San tidak mengerti maksud gerak tangannya tadi. la membanting-banting kakinya, memegang tangan Beng San dan ditarik, diajak pergi.

“Eh, eh, malam-malam kau hendak mengajakku ke manakah?” Beng San terheran dan menolak.

Kembali Bi Goat menuding-nuding ke belakangnya dan pada saat itu terdengar suara melengking tinggi seperti orang menangis dari jauh. Seketika pucat muka Beng San. Celaka, kiranya Song-bun-kwi berada dekat situ. Kiranya Bi Goat ini tadi memberi isyarat bahwa Song-bun-kwi berada dekat dan menyuruh dia pergi bersembunyi. Tentu gadis cilik ini tadi hendak menyatakan bahwa karena auman harimau tadi, Song-bun-kwi akan menyusul ke situ dan Beng San akan celaka.

Sebelum Beng San meyakinkan dugaannya, Bi Goat sudah menarik tangannya diajak lari cepat sekali ke arah utara.

“Betul, ke utara. Tiga puluh li dari sini ada kelenteng besar, kita bisa sembunyi disana,” katanya sambil ikut berlari cepat.

Akan tetapi tiba-tiba Bi Goat menyeretnya meloncat ke dalam….. sungai. Gadis cilik itu tentu saja sudah hafal akan gerak-gerik ayahnya yang luar biasa, ia gagu tapi cerdik sekali. Setelah kedua orang anak itu terjun ke dalam Sungai Huang-ho, baru Beng San tahu akan maksud hati Bi Goat.

Gadis ini mengajaknya bersembunyi di bawah alang-alang yang tumbuh di pinggir sungai itu. Untung sekali Bi Goat tidak terlambat dalam tindakannya ini karena baru saja mereka bersembunyi di balik alang-alang dan merendam diri ke dalam air sungai, disitu sudah berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Song-bun-kwi sudah berdiri seperti patung memandangi bangkai harimau dan bekas tempat tidur Beng San. Kakek sakti ini terdengar menggerutu seorang diri.

“Hemmm, membunuh harimau dengan timpukan sia-san (panah gunung). Bagus Bi Goat. Tapi kenapa lari pergi? Hemmm, ada orang lain disini, siapa…..?”

Dengan langkah lebar kakek itu lalu berjalan mengejar ke utara, langkahnya lebar jalannya kelihatan perlahan saja akan tetapi sebentar saja lenyap dari situ.

Beng San hendak keluar dari belakang rumput alang-alang, akan tetapi tiba-tiba leher bajunya ada yang mencengkeram dan dia ditarik kembali ke balik alang-alang. Ternyata yang mencengkeramnya adalah Bi Goat yang sebelum dia memprotes, telapak tangan yang kecil dari tangan kanan gadis itu sudah membungkam mulutnya.

Beng San terheran-heran, juga merasa geli. la merasa seperti anak kecil dihadapan gadis ini. Akan tetapi, segera dia mendapat kenyataan betapa cerdik gadis ini dan betapa gegabah dan bodohnya dia sendiri.

Seperti seorang iblis, tahu-tahu Song-bun-kwi telah datang lagi di tempat tadi, berdiri seperti patung memandangi harimau. la bergidik dan merasa bulu tengkuknya meremang! Seandainya dia mengeluarkan suara dan mulutnya tidak dibungkam oleh tangan gadis gagu itu, ah, tentu Si Iblis Berkabung itu sudah akan mendapatkannya.

la menoleh untuk memandang Bi Goat dengan terima kasih, akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika dia sudah kehilangan gadis cilik itu. Entah kemana perginya Bi Goat yang tadi berada di sebelahnya!

Selagi dia kebingungan, mendadak sekali pundaknya ditarik orang ke bawah sampai kepalanya terbenam ke dalam air. la gelagapan, akan tetapi kembali ada tangan kecil yang menyusupkan setangkai alang-alang yang berlubang ke mulutnya.

Baiknya Beng San juga tergolong anak cerdik, maka seketika dia dapat menangkap maksud perbuatan aneh dari Bi Goat ini. Tentu dia disuruh bersembunyi dengan seluruh tubuhnya di dalam air dan tangkai alang-alang itu dapat dipergunakan untuk bernapas.

Maka diapun mengisap hawa dari tangkai itu yang menyembul ke atas bersembunyi di antara rumpun alang-alang. Dengan girang dan berterima kasih dia memegang tangan kiri Bi Goat.

Dua orang anak itu sambil berendam ke dalam air saling berpegang tangan, hati mereka berdebar penuh ketegangan dan kekhawatiran. Di dalam air Beng San tidak tahu apa yang terjadi di atas, andaikata tahu dia pasti akan bergidik kengerian karena beberapa detik setelah kepalanya terbenam air, Si Iblis Berkabung itu menggunakan tangannya mencengkeram remuk sebuah batu, kemudian menyambitkan pecahan batu ini ke sekelilingnya, juga ke permukaan air dan ke dalam alang-alang!

Andaikata kepala dua orang anak tadi masih bersembunyi di dalam alang-alang, tentu akan terkena sambitan pecahan batu yang cukup ampuh untuk menembus kulit kepala!

Setelah berendam kurang lebih satu jam, barulah Bi Goat berani muncul kembali ke permukaan air. la lalu memberl isyarat kepada Beng San untuk meloncat keluar dari air. Segera mereka berdiri di tepi sungai, basah kuyup dan saling berpandangan. Tiba-tiba gadis cilik itu tersenyum lega. Bukan main manisnya setelah tersenyum. Hati Beng San serasa diremas-remas.

Ingin dia memeluk Bi Goat, ingin dia memondongnya, menggendongnya seperti anak kecil. Gadis cilik gagu yang sudah menolong nyawa-nya, yang biarpun gagu tapi luar biasa cerdiknya dan sekarang tersenyum-senyum begitu manisnya. Tiba-tiba dia melihat Bi Goat menggigil kedinginan.

“Kasihan kau, Bi Goat. Kau dingin? Biar kubuatkan api unggun.”

Bi Goat segera memegang lengannya dan mengguncang-guncangnya. Alisnya berkerut dan kepalanya digeleng-gelengkan. Beng San teringat dan dia merasa malu sendiri. Ah, bagaimana dia sampai kalah oleh anak perempuan yang jauh lebih muda ini dan gagu pula lagi? Kenapa dia begini kurang hati-hati? Kalau dia membuat api unggun, sama saja seperti memberitahukan tempatnya kepada Song-bun-kwi. Biarpun kakek itu sudah jauh, ada tanda sedikit saja pasti cukup untuk memanggil kembali kakek yang lihai sekali itu.

“Bagaimana baiknya? Kau kedinginan, Bi Goat.”

Gadis cilik itu hanya menggeleng kepala, lalu memberi isyarat kepada Beng San untuk melanjutkan perjalanan ke utara.

“Kau tentu ikut denganku, bukan? Bi Goat, kau ikut bersamaku, ya?”






No comments:

Post a Comment