Ads

Wednesday, September 19, 2018

Raja Pedang Jilid 066

“Hoa-san Sie-eng…… jangan lanjutkan pertempuran. Orang-orang Kun-lun tidak bersalah!” tiba-tiba Beng San tak dapat menahan dirinya lagi, berteriak-teriak dan melompat ke dekat pertempuran.

Semua orang kaget sekali melihat ini, akan tetapi yang bertempur terus saja bertempur. Kui Lok dan Thio Ki marah sekali melihat sikap Beng San. Mereka berdua ini memang sudah merasa amat iri hati kepada Beng San ketika mendengar pujian Kwa Hong dan Thio Bwee betapa Beng San dengan “gagah berani” telah menyusul dan menolong dua orang dara cilik itu ketika diculik orang. Sekarang mereka melihat Beng San berteriak-teriak, mereka mendapat kesempatan untuk melampiaskan kemarahan mereka. Dua orang jago cilik ini lalu menerjang maju ke arah Beng San.

“Kacung busuk! Mau apa kau berteriak-teriak? Hayo kembali ke tempat kerjamu'”

Dua orang jago cilik ini lalu memukuli Beng San, diturut oleh beberapa orang tosu yang juga tidak suka kepada Beng San. Terjadi keanehan ketika dua orang anak dan beberapa orang tosu ini memukul Beng San.

Kui Lok dan Thio Ki menjerit kesakitan dan tangan kanan mereka patah tulangnya ketika memukul tubuh Beng San. Para tosu yang memukulnya kurang keras, juga berjingkrak kesakitan karena tangan mereka telah menjadi merah seperti terbakar, dan bengkak-bengkak!

Tanpa mempedulikan mereka ini, Beng San langsung berjalan menuju ke gelanggang pertempuran. Dua orang saudara Bun itu sudah roboh mandi darah dan Beng San menubruk mereka sambil berseru.

“Mereka tidak bersalah….. ah, pertumpahan darah terjadi hanya karena fitnah! Alangkah bodohnya, bermata seperti buta”

Dengan sedih Beng San mengusapi darah yang mengucur keluar dari dada Bun Si Teng dan Bun Si Liong.

“Dua orang pendekar gagah harus melepaskan nyawa hanya karena menurutkan nafsu belaka, hanya karena fitnah…..”

Bun Si Teng dan Bun Si Liong belum tewas, akan tetapi mereka sudah terluka parah dan hanya jiwa mereka yang gagah perkasa saja yang membuat mereka roboh tanpa mengeluarkan keluhan sakit sedikit pun juga!

Melihat sikap dan kata-kata Beng San, Kwa Tin Siong kaget dan heran sekali. Apalagi ketika melihat betapa cucu-cucu murid Hoa-san, yaitu Kui Lok dan Thio Ki menderita patah tulang tangan sedangkan beberapa orang tosu lagi bengkak-bengkak tangannya. la makin curiga akan dugaannya bahwa Beng San bukanlah anak sembarangan dan mungkin sekali dari fihak musuh. Sekarang terbukti betapa Beng San menyedih jatuhnya dua orang Kun-lun-pai dan kata-katanya yang tidak karuan.

“Beng San, apa maksud kata-katamu ini?” Kwa Tin Siong membentak sambil menghampiri dengan pedang di tangan.

Beng San yang melihat bahwa dua orang Kun-lun-pai itu tak mungkin dapat tertolong lagi, segera bangkit berdiri dengan tegak. Matanya bersinar tajam menakutkan dan mukanya menjadi merah kehitaman. la membanting kaki ke atas tanah dan berkata.

“Hoa-san Sie-eng, apakah kalian tidak melihat bahwa kalian telah membunuh orang-orang tidak berdosa? Kalian telah kena fitnah. Kwee Sin bukan orang yang berdosa, dia tidak membunuh ayah Nona Llem Sian Hwa. Semua ini memang diatur oleh pemerintah Mongol dengan bantuan Ngo-lian-kauw! Kwee Sin hanya mempunyai kesalahan kecil yaitu dia roboh oleh kecantikan ketua Ngo-lian-kauw. Yang membunuh ayah Nona Liem adalah kaki tangan Ngo-lian-kauwcu yang menyamar sebagai Kwee Sin dan sebagai orang-orang Pek-lian-pai. Ah, sayang orang-orang gagah sampai mudah tertipu!”

“Bohong! Kau anak kecil tahu apa? Kau berfihak kepada Pek-lian-pai dan Kun-lun!” Kwa Tin Siong membentak marah.

Tiba-tiba Bun Si Teng dah Bun Si Liong bergerak, Bun Si Liong tertawa terbahak-bahak lalu….. berhenti bernapas, mukanya masih tersenyum. Bun Si Teng dengan terengah-engah mengulurkan tangan, merangkul Beng San.

“Aku puas….. kau benar anak….. kau benar. Siapa namamu…?

“Aku Beng San,” kata Beng San yang sudah berlutut di dekat Bun Si Teng.

“Kau telah membersihkan nama Kwee-sute dan Kun-lun-pai. Terima kasih. Alangkah bodohku….. ha-ha-ha, bukan hanya Kun-lun Sam-hengte yang bodoh….. malah Hoa-san Sie-eng goblok, hanya menurutkan nafsu belaka….. Beng San, anak baik, kau anak luar biasa….. kau berjanjilah bahwa kelak kau akan mengamat-amati putera tunggalku….. Bun Lim….. Kwi…..” Orang gagah itu menjadi lemas dan rohnya menyusul roh adiknya.





Hoa-san Sie-eng berdirl terlongong. Mereka masih terpukul oleh keterangan Beng San, merasa ragu-ragu. Pada saat itu tampak bayangan orang berkelebat dan Lian Bu Tojin sudah berdiri disitu.

“Ah, dia hebat….. tak terkejar olehku…..”

Tiba-tiba kakek ini mengeluarkan seruan kaget melihat tubuh Bun Si Teng dan Bun Si Liong rebah mandi darah dalam keadaan tak bernyawa pula.

“Apa….. apa yang telah terjadi…..?” tanyanya, memandang kepada empat orang muridnya.

Hoa-san Sie-eng tak dapat menjawab, masih bingung dan amat khawatir, kalau-kalau keterangan Beng San itu benar. Berarti mereka membunuh orang-orang yang tidak berdosa!

“Beng San, kau lagi disini? Apa yang kau lakukan disini?”

Lian Bu Tojin membentak lagi ketika melihat Beng San berlutut di depan mayat kedua orang saudara Bun itu.

“Locianpwe, dua orang gagah dari Kun-lun-pai yang tidak berdosa ini telah dikeroyok dan dibunuh oleh murid-muridmu yang gagah!” kata Beng San dengan suara keras.

Kemudian dia mengulangi lagi penuturannya yang tadi di depan ketua Hoa-san-pai. Kakek ini berubah air mukanya mendengar keterangan itu, akan tetapi dengan bengis dia lalu bertanya.

“Bocah, dari mana kau tahu semua itu?”

“Saya bertemu dengan orang-orang Pek-lian-pai dan merekalah yang menceritakan semua itu kepadaku.”

“Bohong kalau begitu. Orang-orang Pek-lian-pai itu jahat dan bohong!” seru Kwa Tin Siong penuh harap.

Tentu saja dia tidak mengharapkan kebenaran keterangan Beng San, karena kalau benar terjadi hal demikian, berarti pihak Hoa-san-pai telah melakukan perbuatan yang kurang patut terhadap Kun-lun-pai.

Lian Bu Tojin meraba-raba jenggotnya yang panjang.
“Urusan ini amat berbelit-belit dan amat penuh rahasia. Keterangan bocah ini mungkin sekali benar, akan tetapi juga bukan mustahil dia dipergunakan oleh Pek-lian-pai untuk mengacau kita. Betapapun juga, kalian sudah terburu nafsu membunuh dua orang Kun-lun-pai ini. Keadaan sudah terlanjur begini, sungguh tidak menyenangkan sekali. Pinto sendiri masih ragu-ragu siapakah yang benar siapa yang salah. Kwee Sin ditolong dan dibawa pergi oleh seorang iblis wanita jahat, Hek-hwa Kui-bo. Terang bahwa ada pihak yang bersekongkol dengan Kwee Sin, tapi…..” Tiba-tiba kakek itu berseru, “He, bocah, kau hendak lari kemana?”

Tubuhnya berkelebat ke depan dan di lain saat kakek ini sudah memegang lengan tangan Beng San yang hendak lari.

“Aku mau pergi saja. Selain Hoa-san-pai tidak baik membunuh orang tak berdosa, Hek-hwa Kui-bo sudah datang, aku bisa celaka…..” bantah Beng San.

“Kau dicari Hek-hwa Kui-bo?” Lian Bu Tojin bertanya heran.

“Semua orang jahat mencariku”

“Kenapa?”

Ketua Hoa-san-pai ini sudah menduga bahwa pasti ada rahasia aneh pada diri anak yang mencurigakan ini, maka dia takkan melepaskannya sebelum dapat mengetahui rahasianya.

Tentu saja Beng San tidak mau menceritakan tentang dirinya, apalagi tentang Im-yang Sin-kiam-sut. Tapi dia anak yang cerdik, dapat menghubung-hubungkan persoalan, maka dengan suara berbisik dia berkata.

“Tosu tua, apa kau lupa akan Lo tong Souw Lee? Siapa yang takkan mencari tempat persembunyiannya? Hek-hwa Kui-bo tentu akan senang mendengar bahwa aku dan Totiang mengetahui tempat tinggal kakek tua she Souw itu!”

Lian Bu Tojin cepat melepaskan tangan yang dicekalnya.
“Hush, gila kau siapa tahu tempat sembunyi orang itu?”

Orang tua ini celingukan ke kanan kiri, nampaknya berkhawatir sekali. Siapa tidak khawatir kalau dikatakan mengetahui tempat sembunyi Lo-tong Souw Lee? Semua orang jahat di dunia mencari-cari tempat sembunyi pencuri pedang Liong-cu Siang-kiam itu, dan kalau dia disangka mengetahui tempat sembunyinya, bukan mustahil kalau dimusuhi semua tokoh kang-ouw!

Beng San tersenyum.
“Totiang, aku hanya membawakan suratnya kepada Totiang, kiranya tidak aneh kalau orang yang sudah bersurat-suratan saling mengetahui tempat tinggalnya, bukan?”

“Hush, jangan main gila kau! Pinto tidak tahu tempat sembunyinya!”

“Kalau begitu biarkanlah aku pergi mencarinya, Totiang. Aku sudah tidak suka tinggal di Hoa-san.”

“Pergilah, pergilah cepat!”

Kakek itu kini malah mendesak agar supaya anak itu pergi, karena kalau dibiarkan saja disitu bicara tentang Lo-tong Souw Lee, jangan-jangan dia bisa terbawa-bawa dalam urusan perebutan Liong-cu Siang-kiam.

Beng San menoleh ke arah anak-anak yang melihat semua itu dari jauh, kemudian dia melambaikan tangan dan berkata,

“Nona Hong, Nona Bwee, selamat tinggal!”

la lalu membalikkan tubuh dan lari menuruni puncak Hoa-san-pai. Semua orang memandang bayangan anak aneh ini sampai lenyap di balik batu-batu besar. Lian Bu Tojin menghela napas panjang.

“Ah, sungguh celaka terjadi hal seperti ini. Lekas kalian kubur baik-baik jenazah dua orang murid Kun-lun-pai ini. Pinto harus berani mempertanggung-jawabkannya terhadap pertanyaan Pek Gan Siansu…..”

la menarik napas panjang berkali-kali sambil menggeleng kepala, penasaran sekali bahwa dalam usia setua itu harus menghadapi urusan pertumpahan darah yang terjadi antara murid-muridnya dan murid-murid Kun-lun-pai.

Kemudian dia meninggalkan murid-muridnya, memasuki pondoknya untuk bersamadhi. Begitu memasuki pondok, dia mendapatkan kekecewaan lain dengan tidak adanya Beng San.

Bocah itu begitu rajin dan amat cerdik dalam mempelajari filsafat-filsafat To. Bocah yang aneh dan sepak terjang bocah tadi diam-diam membangkitkan keheranan dan kekagumannya. Seorang anak kecil yang bekerja sebagai kacung, dahulu sudah berani mempertaruhkan nyawa untuk menolong Kwa Hong dan Thio Bwee. Tadi sudah berani mencela Hoa-an-pai dan mengeluarkan kata-kata yang gagah. Kalau kelak anak itu menjadi seorang yang pandai, dia takkan merasa heran.

**** 066 ****





No comments:

Post a Comment