Ads

Monday, September 10, 2018

Raja Pedang Jilid 046

Sungguh patut disayangkan bahwa kesalah fahaman antara Hoa-san Sie-eng dan Kun-lun Sam-hengte makin membesar dengan adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi antara mereka.

Seperti telah diketahui, setelah melaporkan semua peristiwa yang menimpa dirinya di depan gurunya yaitu ketua Hoa-san-pai Lian Bu Tojin, Sian Hwa dan tiga orang suhengnya pergi turun dari Gunung Hoa-san untuk mencari tiga orang saudara murid Kun-lun-pai untuk memprotes perbuatan Kwee Sin. Sesuai dengan petunjuk guru mereka, empat orang murid Hoa-san-pai langsung pergi mengunjungi orang tertua dari Kun-lun Sam-hengte, yaitu Bun Si Teng di Sin-yang.

Kedatangan mereka berempat disambut oleh Bun Si Teng dan adiknya Bun Si Liong yang sudah sembuh daripada luka-lukanya. Dua orang saudara Bun ini sudah pernah bertemu dengan Sian Hwa, dan biarpun diantara tiga orang jago Hoa-san yang lain baru Kwa Tin Siong mereka pernah melihatnya, namun dua orang lagi, Thio Wan It dan Kui Keng, pernah mereka mendengar namanya.

Karena yang datang adalah jago-jago ternama dari Hoa-san, dua orang saudara Bun ini menyambut dengan penuh penghormatan, akan tetapi melihat wajah para tamu yang nampaknya mengandung sesuatu yang tidak puas dan marah, mereka menjadi heran dan berlaku hati-hati.

Bun Si Teng dan Bun Si Liong segera menyambut kedatangan mereka dan memberi hormat. Bun Si Teng sambil menjura berkata.

“Ah, kiranya Hoa-san Sie-enghiong (Empat Orang Gagah dari Hoa-san) yang datang mengunjungi gubuk kami yang buruk. Selamat datang! Adik Sian Hwa, silakan duduk”

Kepada tunangan sutenya ini, Bun Si Teng bersikap manis.
“Liong-te, lekas beri tahu soso-mu (kakak ipar-mu) untuk menemani Adik Sian Hwa.”

“Tak usah repot-repot, Ji-wi tak perlu repot-repot. Kami datang untuk minta keadilan dan minta dibereskannya sebuah urusan besar, bukan untuk datang minum arak atau bercakap-cakap kosong!”

Ucapan ini dikeluarkan oleh Thio Wan It, orang ke dua dari Hoa-san Sie-eng yang terkenal berangasan.

Dua orang saudara Bun mengerutkan kening. Benar-benar tak sopan tamu ini, pikir Bun Si Liong sambil memandang orang pendek gemuk berbaju hitam itu dengan mata menaksir-naksir. Akan tetapi Bun Si Teng yang lebih tua dan berpengalaman, segera dapat menduga bahwa tentu terjadi hal yang amat gawat sehingga orang-orang gagah ini bersikap seperti itu.

“Saudara-saudara berempat jauh-jauh datang membawa urusan penting apakah? Tentu kami selalu siap untuk membantu kalian. Harap Sie-enghiong segera ceritakan kepada kami berdua,” kata Bun Si Jeng, masih ramah-tamah.

Bu-eng-kiam Thio Wan It yang sudah amat tak sabar karena marahnya menghadapi urusan sumoinya, segera melangkah maju dan berkata kasar.

“Sekarang ini, Hoa-san Sie-eng berhadapan dengan Kun-lun Sam-heng te sebagai orang-orang gagah yang hendak membereskan urusan penasaran! Kedatangan kami ini adalah karena perbuatan yang amat tak patut dan keji dari orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte. Kwee Sin harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya dan Ji-wi berdua ini harus pula bertanggung jawab dan dapat segera menyeret Kwee Sin kepada kami!”

Kata-kata ini seperti halilintar menyambar bagi dua orang saudara Bun itu. Bun Si Teng yang lebih sabar menekan dada dan mukanya agak pucat, adapun Bun Si Liong sudah meraba gagang pedang dan goloknya sambil mengeluarkan suara gerengan seperti harimau terluka, matanya tajam menyapu keempat orang tamu itu. Baiknya Bun Si Teng memberi isyarat kepada adiknya supaya bersabar dan dia sendiri lalu berkata.

“Segala urusan dapat diurus, segala penasaran dapat diadili, akan tetapi harus diberi penjelasan lebih dulu apa sebabnya Sie-wi (Tuan Berempat) seperti marah-marah. Sute kami, Kwee Sin, bukan kami hendak menyombong, akan tetapi Kwee-sute sudah terkenal di empat penjuru langit sebagai seorang gagah yang tak pernah meninggalkan sifat-sifat satria. Siapakah yang tak pernah mendengar nama Pek-lek-jiu Kwee Sin murid termuda dari Kun-lun-pai yang selalu menjunjung tinggi keadilan dan membela kebenaran? Sekarang Sie-wi datang-datang menyatakan sute kami itu melakukan perbuatan yang amat tidak patut dan keji. Hemmm, tentu saja sukar bagi kami untuk dapat mempercayai. Tidak ada perbuatan Kwee-sute yang tidak patut!”

Liem Sian Hwa tak dapat menahan kemarahannya.
“Seorang yang bergaul dengan siluman betina dari Pek-lian-pai, setelah terlihat oleh ayahku lalu bersama siluman itu datang membunuh ayahku yang tua dan tidak berdaya, apakah hal ini kau anggap patut dan tidak keji?”

Bun Si Teng melengak, lalu saling pandang dengan adiknya. Bun Si Liong marah sekali, mulutnya sudah bergerak-gerak hendak membantah dan memaki. Akan tetapi orang gagah ini mempunyai sifat yang amat lucu, yaitu dia amat takut kalau berhadapan dengan wanita.

Andaikata yang mengeluarkan tuduhan itu bukan Sian Hwa melainkan orang diantara suheng-suheng nona itu, tentu Si Liong sudah memaki dan marah. Sekarang dia hanya berdiri dengan kedua tangan terkepal, kedua mata melotot, akan tetapi tidak melotot kepada Sian Hwa, melainkan kepada Kwa Tin Siong bertiga! Bun Si Teng sudah dapat menguasai hatinya pula. la kini menghadapi Kwa Tin Siong yang sejak tadi diam saja hanya memandang dengan mata tajam penuh selidik.





“Hoa-san It-kiam, namamu di dunia kang-ouw sudah tersohor sebagai seorang pendekar gagah dan adil. Kuharap saja sekarang kaupun akan bersikap seperti seorang yang adil. Adikku Kwee Sin tertimpa tuduhan yang amat berat. Setiap tuduhan harus disertai bukti-bukti dan dasar. Tanpa dasar dan bukti maka tuduhan itu adalah fitnah yang amat jahat. Apakah bukti dan dasarnya tuduhan terhadap Kwee-sute itu?”

Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong menarik napas panjang sebelum menjawab.
“Saudara Bun, akupun merasa amat menyesal dengan terjadinya hal yang menimpa sumoiku. Kalau kalian merasa penasaran karena sute kalian tertimpa tuduhan berat, bagaimana dengan kami? Sumoi kami tertimpa malapetaka yang lebih berat dan hebat lagi. Oleh karena itu, kita harus berani mempertanggung-jawabkan secara adil. Harus berani membela yang benar dan menghukum yang salah. Sikap begini sudah menjadi tugas kita sebagai orang gagah, bukan? Siapa saja yang salah harus dihukum, baik dia itu orang lain maupun adik sendiri. Sebaliknya, siapa saja orangnya asal dia itu Berada di pihak kebenaran, haruslah kita bela. Bukankah begitu juga pelajaran yang kalian terima dari suhu kalian?”

Bun Si Teng mengangguk-angguk.
“Kau betul. Hoa-san It-kiam, Kamipun takkan membela sute kami sendiri kalau dia betul-betul bersalah. Hanya kami amat sangsikan apakah sute kami bersalah, karena kami percaya, bahkan yakin bahwa Kwee-sute bukanlah seorang yang demikian jahat dan keji. Diapun sudah membuat nama besar di dunia kang-ouw. Oleh karena itu, tuduhan berat tadi harap kau jelaskan dan kau beri dasar-dasar atau bukti-bukti.”

Kwa Tin Siong tersenyum pahit.
“Seorang yang sudah memiliki kepandaian setingkat dengan kita, kalau sudah melakukan sesuatu, bagaimana bisa dicari buktinya? Kadang-kadang kejadian tanpa buktipun sudah jelas, cukup jelas untuk ditarik kesimpulan dan diambil keputusan siapa yang bersalah. Nah, kau dengarlah baik-baik. Pada suatu hari, beberapa pekan yang lalu, ayah dari Liem-sumoi yaitu Liem Ta lopek, pulang ke rumah sambil marah-marah dan menyatakan kepada Liem-sumoi bahwa dia melihat Kwee Sin berpelesir bersama seorang perempuan cabul dari Pek-lian-pai, dan Liem-lopek menyatakan hendak memutuskan tali perjodohan antara Liem-sumoi dan Kwee Sin. Liem-sumoi merasa penasaran dan diam-diam ia pergi ke Telaga Pok-yang dimana Kwee Sin terlihat oleh ayahnya. Sayang ia tidak dapat melihat dengan mata kepala sendiri, akan tetapi dari keterangan tukang-tukang perahu disana ia mendapat keterangan bahwa memang betul Kwee Sin dan seorang perempuan berada disitu beberapa hari lamanya. Dengan hati berat Liem-sumoi pulang ke rumahnya dan didapatinya ayahnya telah luka-luka hebat. Sebelum meninggal dunia, Liem-lopek masih sempat menyatakan bahwa yang menyerangnya adalah Kwee Sin dibantu seorang perempuan cantik.”

“Penasaran…… penasaran…..!” Bun Si Liong berteriak-teriak. “Tak mungkin, dia itu Kwee-sute. Tak mungkin! Mana buktinya bahwa yang melakukan pembunuhan itu adalah Kwee-sute?”

“Twa-suheng!” Kui Keng meloncat maju. “Kenapa Suheng masih simpan-simpan keterangan? Jelaskan saja sekalian. Eh, Kun-lun Sam-hengte, jangan coba-coba menutupi. Kesalahannya sudah jelas karena menurut kesalahan sute kalian, keterangan Liem-sumoi, di tubuh Liem-lopek itu terdapat paku-paku Pek-lian-ting dan bekas pukulan Pek-lek-jiu! Nah, mau bilang apa lagi? Paku-paku Pek-lian-ting tentulah paku-paku yang dilepas oleh perempuan siluman dari Pek-lian-pai itu dan pukulan Pek-lek-jiu….. hemmm, bukankah julukan Kwee Sin adalah Pek-lek-jiu?”

“Bohong! Buktikan bukti itu” Bun Sin Liong membanting-banting kakinya. “Siapa saja yang pernah mempelajari Pek-lek-jiu tentu dapat mempergunakannya. Apakah hanya sute? Tentang paku-paku Pek-lian-ting, aku mau percaya kalau Pek-lian-pai memusuhi kalian, karena Pek-lian-pai juga memusuhi kami. Akan tetapi tentang Kwee-sute, tetap aku tidak mau menerima kalau dia dituduh!”

“Ha-ha-ha, rupanya Kun-lun Sam-heng-te mau menang sendiri saja! Agaknya hanya mengandalkan kegagahan sendiri dan tak memandang kepada orang lain. Suheng, Sute, dan Sumoi, agaknya urusan ini hanya bisa dibereskan di ujung pedang!” kata Thio Wan It mengejek sambil meraba gagang pedangnya.

“Boleh sekali!” Bun Si Liong berteriak sambil mencabut sepasang senjatanya, yaitu sebatang pedang dan sebatang golok. “Apakah Hoa-san Sie-eng berempat datang hendak mengeroyok kami berdua? Jangan kira kami takut! Kun-lun Sam-hengte tak pernah mundur setapak pun menghadapi pengeroyokan siapa saja!”

“Ho-ho sombongnya! Kami Hoa-san Sie-eng bukanlah tukang keroyok! Untuk menghadapi kalian berdua saja cukup dengan pedangku. Orang she Bun, kalau kau ada kepandaian, keluarlah!” Thio Wan It berkata mengejek dan begitu kakinya bergerak, tubuhnya melesat keluar.

“Baik, hendak kukenal kelihaian Bu-eng-kiam!” seru Bun Si Liong yang meloncat keluar pula.

Semua orang mengejar keluar dan ternyata bahwa dua orang jago itu sudah bertanding dengan hebat. Suara beradunya senjata tajam berdenting-denting nyaring disusul bunga api berpijar-pijar, gerakan dua orang jago ini gesit dan tangkas dan amat kuat. Diantara debu yang berhamburan berkelebat ujung pedang dan golok mencari nyawa.

Thio Wan It, sesuai dengan julukannya, Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) amat cepat gerak-geriknya. Pedangnya diputar sedemikian cepatnya sehingga lenyap dari pandangan mata dan bagi lawan yang tinggi ilmunya, pedang ini hanya bisa diduga dari mana datangnya dengan mendengar suara anginnya saja.

Gerakan-gerakan Thio Wan It yang mainkan Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat, boleh diumpamakan seekor burung walet yang menyambar-nyambar kesana kemari amat sukar diduga perubahan-perubahan gerakannya.






No comments:

Post a Comment