Ads

Saturday, September 8, 2018

Raja Pedang Jilid 041

Beng San bergidik. Dua orang ini, kakek Song-bun-kwi dan nenek Hek-hwa Kui bo, selain setingkat ilmu kepandaian-nya, agaknya setingkat pula kekejamannya. Mulailah dia berpikir tentang diri Hek-hwa Kui-bo. Mengapa wanita iblis ini membawanya pergi? Betulkah hanya untuk menolongnya dari ancaman Song-bun-kwi? Mustahil! Orang sekeji ini hatinya mana bisa mempunyai maksud baik?

Beng San terkejut ketika dia teringat bahwa yang mencuri kitab Ilmu Im-sin-kiam adalah Hek-hwa Kul-bo ini! Celaka, pikirnya. Manusia jahat ini tentu tidak akan jauh bedanya dengan Song-bun-kwi. Tentu akan mencoba untuk mendapatkan isi kitab yang satu lagi darinya.

Benar saja dugaannya. Ketika mereka tiba di tempat yang sunyi, di tengah sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon tua, Hek-hwa Kui-bo melepaskan tangannya, tersenyum-senyum dan memandang kepada Beng San.

“Beng San, aku tahu bahwa kau telah menjadi ahli waris dari Phoa Ti dan The Bok Nam, telah mempelajari dua macam ilmu silat, Yang-sin-kiam dan Im-sin-kiam. Kau memang anak baik dan patut menjadi murid orang yang pandai. Karena itu aku ingin sekali memimpinmu lebih lanjut agar kelak kau menjadi seorang jagoan yang tak terlawan di dunia ini. Nah, sekarang coba kau hadapi serangan-seranganku ini dengan Yang-sin-kiam yang sudah kau pelajari dari The Bok Nam!”

Tanpa menanti jawaban Beng San, Hek-hwa Kui-bo yang amat bernafsu untuk segera melihat Ilmu Silat Yang-sin-kiam, segera menyerang anak itu dengan jurus-jurus dari Ilmu Silat Im-sin-kiam, yang kitabnya ia rampas dari Phoa Ti.

Biarpun amat terdesak, Beng San yang memang cerdik itu maklum bahwa dia hendak dipancing. la cepat menghadapi serangan-serangan itu dengan ilmu yang sama, yaitu Im-sin-kiam, dan sengaja menutup semua ingatannya akan Ilmu Silat Yang-sin-kiam, juga sebaliknya daripada yang dia lakukan ketika dia berhadapan dengan Song-bun-kwi.

Akan tetapi Hek-hwa Kui-bo tidak kecewa, malah tersenyum manis dan berkata,
“Aha, kau hendak menggunakan Im-sin-kiam lebih dulu? Baik lakukanlah dengan sempurna agar aku dapat membimbingmu kalau keliru.”

Setelah berkata demikian, ia menyerang terus dengan Im-sin-kiam sampai delapan belas pokok jurus Im-sin-kiam ia mainkan seluruhnya. Diam-diam Hek-hwa Kui-bo kagum sekali melihat gerakan-gerakan Beng San yang biarpun kurang terlatih namun amat sempurna.

“Hayo sekarang kau gunakan Yang-sin-kiam, hendak kulihat apakah juga sebaik Im-sin-kiam yang kau pelajari!” serunya sambil mendesak lagi dengan Im-sin-kiam.

Tetapi Beng San tetap menghadapinya dengan ilmu silat yang sama. Beberapa kali Hek-hwa Kui-bo membentaknya, akan tetapi dia tetap tidak mau mengubah ilmu silatnya. Akhirnya Hek-hwa Kui bo menjadi jengkel dan berhenti menyerang.

“Eh, bocah kepala batu Kenapa kau tetap tldak mentaati perintahku?”

“Kau ini aneh saja? Kui bo. Bisaku ya Cuma itu tadi”.

“Apa kau tidak mempelajari Yang sin-kiam dari The Bok Nam”.

Beng San tidak mau menjawab pertanyaan ini, malah jawabannya menyimpang,
“Aku hanya bisa melayanimu dengan yang tadi, yang lain-lain tidak bisa”.

Keparat, pikir Hek hwa Kui-bo. Kalau begitu anak ini hanya mempelajari Im-sin-kiam. Ah, untung dia kurampas tadi dari Song-bun-kwi, kalau tidak, tentu Song-bun-kwi akan dapat menguras Im sin kiam dari anak ini. Di dunia ini mana boleh ada orang lain kecuali dia sendiri mengenal Im-sin-kiam?

“Setan kecil, kalau begitu kau harus mampus di depan mataku”.

Hek-hwa Kui-bo lalu mengangkat tangan memukul kepala Beng San. Bocah ini mana mau menerima mati begitu saja. Ia cepat menjatuhkan diri ke belakang lalu meloncat dan lari.

Hek-hwa Kui-bo mengeluarkan suara ketawa terkekeh dan mengejarnya. Beberapa loncatan saja sudah cukup bagi Hek-hwa Kui-bo untuk menyusul Beng San. Sekali lagi ia memukul kini menggunakan saputangan suteranya yang menyambar ke arah belakang kepala Beng San.





Ujung saputangan itu mengancam jalan darah maut. Dalam detik-detik selanjutnya tentu Beng San takkan dapat terlepas dari cengkeraman maut kalau saja pada saat itu tidak terdengar seruan keras.

“Tahan!”

Ujung saputangan itu tertangkis oleh sebatang suling dan keduanya terhuyung mundur. Hek-hwa Kui-bo kaget sekali melihat kelihaian lawan akan tetapi ia menjadi lebih kaget ketika melihat bahwa yang menangkis sapu tangannya dengan suling tadi adalah Song bun-kwi!

Celaka, pikirnya. Kalau anak ini terampas lagi oleh kakek ini, berarti Im-sin-kiam akan terjatuh ke dalam tangan Song-bun-kwi dan kalau terjadi hal demikian, takkan berarti pulalah Im-sin-kiam di tangannya. Dengan penuh kemarahan la menerjang lagi, menggerakkan saputangannya hendak menghancurkan kepala Beng San yang berdiri bengong melihat tahu-tahu Song-bun-kwi sudah berada disitu menolongnya.

“Plak! Plakkk!” Dua kali ujung sapu-tangan bertemu dengan ujung suling.

Ketika keduanya terhuyung lagi mundur karena dorongan tenaga dahsyat dari masing-masing lawan, Song-bun-kwi meloncat ke depan dan sulingnya menusuk ke arah leher Beng San. Bocah ini tak dapat mempertahankan dirinya lagi, demikian cepatnya tusukan itu.

“Aihhh, tahan!”

Hek-hwa Kui-bo mengerakkan saputangannya yang panjang dan kembali nyawa Beng San tertolong, kali ini oleh saputangan Hek-hwa Kui-bo. Dan keduanya bertanding lagi. Memang aneh pertandingan itu. Mungkin orang takkan Percaya kalau tidak melihat sendiri. Mana di dunia ini ada orang bertanding karena seorang anak kecil, bukan memperebutkan anak itu melainkan berdulu-duluan…. membunuhnya!

Beberapa kali Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi kaget dan heran melihat betapa masing-masing selalu hendak menyerang Beng San, akan tetapi karena salah sangka dan curiga, mengira bahwa masing-masing itu hendak menjadikan Beng San pembuka rahasia masing-masing, mereka dengan sungguh-sungguh dan sengit saling serang sehingga terjadilah pertempuran yang amat hebatnya.

Pertempuran ini merupakan kelanjutan daripada pertempuran ketika mereka memperebutkan kitab yang masing-masing dapat merampasnya dari dua orang kakek Phoa Ti dan The Bok Nam.

Sementara itu, melihat betapa dua orang tua yang aneh dan kejam itu saling serang, Beng San mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri. Baru saja dia lari belum jauh, Song-bun kwi sudah membentak.

“Anak iblis, kau hendak lari kemana?” Secepat kilat tubuhnya melayang dan sulingnya menyerang dari belakang.

Akan tetapi kembali ujung saputangan di tangan Hek-hwa Kui-bo menggagalkan, serangan ini.

“Bukan orang lain, akulah yang akan membunuhnya!” bentak Hek-hwa Kui-bo sambil memandang kepada Song-bun-kwi dengan mata melotot.

“Kau?? Membunuhnya? Apakah sebabnya kau hendak membunuhnya?” seakan-akan baru terbuka pikiran kakek ini dan dia bertanya heran.

“Dia tidak boleh hidup di bawah satu kolong langit denganku. Mungkin bagimu berguna, bagiku tidak!” jawab Hek-hwa Kui-bo marah. Akan tetapi nenek ini pun bertanya heran, “Dan kau….. mengapa pula hendak membunuhnya?”

Song-bun-kwi tersenyum gemas, merasa diejek. Dikiranya nenek ini sudah tahu bahwa Beng San hanya mempelajari Ilmu Silat Yang-sin-kiam saja dan sudah mencuri ilmu ini.

“Bocah setan itu tidak boleh hidup di atas satu permukaan bumi denganku, tiada gunanya bagiku dibiarkan hidup!”

Heran dan kagetlah Hek-hwa Kui-bo mendengar ini. lapun sebaliknya mengira bahwa Beng San hanyalah mempelajari Im-sin-kiam saja dan ilmu ini sudah dioper oleh Song-bun-kwi, mengapa sekarang kakek ini bicara sebaliknya? Dia memang cerdik, maka tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh.

“Bocah iblis, dia memperdayakan kita!” Sambil berkata demikian tubuhnya melesat ke depan untuk mengejar Beng San.

Song-bun-kwi juga bukan seorang bodoh. Sekilas saja dia seperti disadarkan. Kalau Hek-hwa Kui-bo tadinya tidak membutuhkan anak itu dan hendak membunuhnya, tentu anak itu mengaku hanya mempelajari Im-sin-kiam saja dan kepadanya membohong hanya mempelajari Yang-sin-kiam. Celaka, anak itu harus dia tangkap! lapun melesat ke depan dan kini dua orang sakti itu berlumba untuk memperebutkan Beng San, bukan untuk membunuhnya seperti tadi!

Kasihan sekali Beng San. Biarpun dia tanpa disengaja dan disadarinya telah mewarisi sepasang ilmu silat pedang yang luar biasa hebatnya, namun sebagai seorang anak kecil menghadapi dua orang sakti itu, apakah dayanya? la melarikan diri secepatnya, menyelinap di antara pohon-pohon raksasa yang amat tua.

Tiba-tiba kakinya tersandung akar pohon dan tubuhnya terguling. Beng San merasa terjatuh di atas sesuatu yang lunak dan ketika dia dengan terengah-engah memandang, ternyata dia jatuh keatas pangkuan seorang kakek yang duduk bersila dengan kedua mata meram.

Kakek ini berpakaian serba hitam maka tadi hampir tidak kelihatan dan di punggungnya nampak gagang sepasang pedang tipis. Jenggot kakek ini luar biasa, panjang sekali sampai ke perutnya, telinganya lebar seperti telinga gajah, tubuhnya kurus dan mulutnya sudah ompong sama sekali, tidak ada sebuah pun giginya, Nampaknya sudah tua sekali.

Selagi Beng San bengong dan lupa bahwa dua orang pengejarnya sudah amat dekat di belakangnya, kakek itu berkata, suaranya halus lirih seperti berbisik.

“Anak, kau pegang sepasang pedang ini, dengan tangan kiri mainkan Im-sin-kiam dan tangan kanan mainkan Yang-sin-kiam, tentu kau dapat menahan mereka”.

Beng San sudah putus asa menghadapi dua orang sakti yang mengejarnya. Melawan dengan nekat pun dia tidak punya harapan. Akan tetapi sekarang setelah mendengar bisikan kakek ini dan tangannya tahu-tahu telah memegang sepasang pedang, hatinya menjadi berani dan besar. Apalagi ketika dia melihat bahwa sepasang pedang yang tidak sama panjangnya itu berkilau-kilauan seperti mengeluarkan api.

Pada saat itu, hampir berbareng, Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi tiba di depan Beng San. Baiknya mereka itu sekarang bukan berlumba untuk membunuhnya, melainkan berlumba untuk menangkapnya, maka keduanya tidak mau mempergunakan senjata masing-masing yang ampuh.

Melihat dua orang itu sudah datang dan tangan mereka diulur untuk mencengkeramnya, Beng San meloncat. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tubuhnya tak dapat terlepas dari tubuh kakek tua renta itu. Terdengar bisikan di belakang kepalanya,

“Lawan mereka dengan tenang, pergunakan Im-yang Sin-kiam, aku yang mendorongmu dengan tenaga dan mengatur kecepatan gerakan-gerakanmu.”

Sudah terlalu sering Beng San bertemu dengan tokoh-tokoh besar yang berwatak aneh dan berkepandaian tinggi, maka keadaan kakek tua renta ini biarpun amat aneh, tidak amat mengherankan Beng San dan serta-merta bocah cerdik ini dapat menduga bahwa kakek inipun seorang sakti maka diapun mentaati semua petunjuknya.

Begitu ia mendengar bisikan ini dia lalu mempersiapkan sepasang pedangnya, dan dengan gerakan-gerakan Im-sin-kiam di tangan kiri dan Yang-sin-kiam di tangan kanan, dia mainkan ilmu silat pedang yang sudah dihafalkannya benar-benar itu dengan kedua tangan.







No comments:

Post a Comment