Ads

Thursday, September 6, 2018

Raja Pedang Jilid 040

“Sayang aku masih belum mampu mengalahkannya sehingga dia dapat lari membawa kitab Im-sin-kiam. Mencoba untuk merampas kitab itu dari tangannya bukan hal yang mudah, pula dia tidak bodoh dan takkan mau memperlihatkan diri. Nah, aku lalu ingat kepadamu, Beng San. Kau yang berada disana bersama Phoa Ti dan The Bok Nam. Kau tentu mendapat warisan ilmu silat dari mereka. Siapa tahu Im-sin-kiam telah kau warisi dari Phoa Ti. Sekarang kau harus buka rahasia Im-sin-kiam itu kepadaku, Beng San.”

Beng San mengerutkan keningnya. Biarpun baru belasan tahun usianya, namun dia cerdik dan sudah sering kali berhadapan dengan orang-orang jahat pada akhir-akhir ini sehingga membuat dia waspada dan hati-hati.

“Kakek tua mengapa kau begitu serakah? Kau sudah mendapatkan Yang-sin-kiam, kenapa masih ingin mendapatkan Im-sin-kiam pula?”

“Bocah bodoh, masa kau tidak tahu? Yang-sin-kiam memang hebat dan sukar ada tokoh lain yang akan dapat mengalahkan aku. Akan tetapi celakanya, Yan-sin-kiam tidak berdaya kalau bertemu dengan Im-sin-kiam, sebaliknya Im-sin-kiam takkan berdaya menghadapi Yang-sin-kiam. Ibarat api dan air, baru berguna kalau keduanya disatukan dan bekerja sama. Hayo, Beng San anak baik, kau beritahukan kepadaku bagaimana pelajaran Im-sin-kiam yang kau terima dari Phoa Ti.”

Beng San menggelengkan kepala.
“Sayang, Kakek Song-bun-kwi. Aku tidak bisa.”

la tidak mau menjawab berterang karena anak ini memang agak sukar kalau disuruh membohong. Dengan jawaban “aku tidak bisa” di dalam hatinya di maksudkan bahwa dia tidak bisa membuka rahasia itu, bukannya tidak bisa menceritakan isi Im-sin-kiam!

Song-bun-kwi memandangnya dengan mata liar dan amat tajam menusuk, seperti hendak menjenguk isi hati Beng San. Tiba-tiba dia membentak,

“Berdiri!”

Beng San bangkit berdiri dan tiba-tiba kakek itu menyerangnya dengan pukulan tangan kanan dikepal keras menumbuk ke arah dadanya. Penyerangan ini dilakukan sungguh-sungguh akan tetapi gerakannya sengaja diperlambat sehingga mudah diikuti. Namun demikian, andaikata dibiarkan saja, dada Beng San tentu akan pecah berantakan kalau terkena pukulan itu.

Beng San sudah mempelajari Yang-sin-kiam dengan tekun. Tubuhnya sudah memiliki daya tahan dan daya gerak yang otomatis. Apalagi setelah matanya melihat bahwa serangan itu adalah “sebuah jurus dari Yang-sin-kiam, dengan amat mudahnya dia tahu bagaimana harus melawan dan melayaninya.

Untuk melayani serangan Yang-sin-kiam, paling tepat memang menggunakan jurus Im-sin-kiam, karena dengan demikian segala daya serangan itu selalu lumpuh, juga akan membuka kelemahan-kelemahan.

Akan tetapi Beng San tidak mau berlaku bodoh. Dengan mengumpulkan semangat dia “menutup” pikiran dan ingatannya akan Im-sin-kiam, dan mencurahkan ingatannya kepada Yang-sin-kiam sehingga menghadapi penyerangan ini, dia menggunakan jurus Yang-sin-kiam yang sesuai untuk menghindarkan diri.

Karena dia sudah hafal benar akan seluruh gerakan Yang-sin-kiam, maka tidaklah terlalu sukar bagi Beng San untuk menghindarkan serangan itu karena dia sudah tahu kemana serangan itu akan menuju dan bagaimana perkembangan selanjutnya. Tentu saja andaikata kakek itu mempergunakan kecepatan, amat sukar bagi Beng San yang masih belum berpengalaman dan belum terlatih itu untuk menghadapinya.

Setelah menyerang sebanyak tiga jurus semuanya dapat dihindarkan oleh Beng San dengan mudahnya, Song-bun-kwi menjadi makin kagum dan juga penasaran. Tiga macam jurus yang dia pergunakan tadi, biarpun dia lakukan dengan lambat yang memang dia sengaja, namun belum tentu ada tokoh persilatan yang akan mampu memecahkannya.

Hanya orang yang sudah mengenal betul Ilmu Silat Yang-sin-kiam baru dapat memecahkan semudah yang dilakukan Beng San. Dari kagum dan heran dia menjadi penasaran sekali lalu dia melanjutkan penyerangannya secara bertubi-tubi, mengeluarkan seluruh jurus Yang-sin-kiam yang kesemuanya hanya mempunyai delapan belas jurus pokok.

Sebetulnya, baik Yang-sin-kiam maupun Im-sin-kiam setiap jurus pokoknya dapat dipecah pula menjadi tiga sehingga jumlah seluruhnya adalah lima puluh empat jurus. Akan tetapi oleh karena hanya ingin melihat apakah betul-betul bocah itu sudah hafal akan jurus-jurus Yang-sin-kiam, kakek ini hanya mengeluarkan jurus-jurus pokok saja. Hebatnya, delapan belas jurus pokok itu dengan amat mudahnya dapat dihindarkan dan dipecahkan oleh Beng San!





Penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh Song-bun-kwi ini bukan semata-mata hendak melihat apakah Beng San betul-betul sudah hafal akan Yang-sin-kiam, akan tetapi maksudnya yang tersembunyi adalah hendak memancing agar supaya bocah ini dalam keadaan terdesak mau menggunakan Im-sin-kiam.

Setelah dia melihat bahwa semua gerakan Beng San untuk menghindarkan serangan-serangan itu adalah jurus-jurus Yang-sin-kiam pula, dia baru percaya akan keterangan anak itu tadi bahwa Beng San hanya mewarisi Yang-sin-kiam saja.

Hatinya mengkal sekali. Tiba-tiba dia tertawa bergelak, lalu menangis.
“Ha-ha-ha-hi-hi-hi! Tebakanmu tadi keliru, Beng San. Aku membawamu kesini memang hendak membunuhmu. Kau hafal akan Yang-sin-kiam, ini tidak baik. Hanya aku seorang yang tahu akan Yang-sin-kiam, maka kau harus mati sekarang juga! Sayang kau tidak becus Im-sin-kiam…..”

Kakek ini mengangkat tangannya ke atas dan Beng San sudah siap sedia hendak menyelamatkan diri sedapat mungkin. Tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu disitu telah berdiri seorang bocah perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun

Beng San sampai bengong terlongong melihat bocah ini. Tidak karena bocah baju merah itu cantik manis dan mungil sekali, dengan sepasang mata seperti bintang dengan rambut hitam panjang bergantung di pundak, akan tetapi dia bengong saking kagum menyaksikan gerakan yang bukan main cepatnya itu.

Bocah itu berdiri memandang kepadanya dan tersenyum! Senyumnya membuat matahari seakan-akan bersinar makin terang. Tidak hanya bibir dan gigi yang mengambil peran dalam senyum ini, bahkan mata dan hidungnya juga tersenyum. Beng San tak dapat menahan hatinya untuk tidak membalas dengan senyum lebar.

Song-bun-kwi menurunkan tangannya dan menghela napas.
“Bocah edan, mengganggu orang tua saja.”

la lalu menoleh dan memandang kepada anak perempuan baju merah itu, lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya, sepuluh jari tangan itu bergerak-gerak pula. Anak perempuan itu tersenyum lagi, melirik ke arah Beng San, mengangguk kepada Song-bun-kwi lalu meloncat pergi, cepat dan cekatan laksana burung walet.

“Kurang ajar, tentu anak penggembala itu yang mengajaknya main-main sampai ke sini!” Song-bun-kwi bersungut-sungut dan betul saja dari jauh terdengar bunyi kerbau menguak. “Keparat, harus mampus semua!” Sekali Song-bun-kwi berkelebat kakek ini sudah lenyap dari situ.

Semua kejadian ini membuat Beng San duduk terlongong. Bocah perempuan yang aneh dan ternyata gagu itu, yang begitu cepat gerakan-gerakannya, lalu kakek yang aneh ini. Benar-benar dia terheran-heran dan amat kagum sampai lupa bahwa dia belum lolos daripada ancaman bahaya besar dari si kakek yang seperti gila itu.

la hanya mendengar suara kerbau-kerbau menguak beberapa kali disusul jerit menyeramkan, lalu sunyi. Tiba-tiba dia mencium bau harum dan….. ketika menengok, di belakangnya sudah berdiri Hek-hwa Kui-bo, wanita tua yang masih cantik itu, dengan saputangan suteranya yang beraneka warna dibuat main-main di tangan kiri.

“Kui-bo…..!” tak terasa lagi Beng San berseru untuk menyembunyikan rasa kagetnya.

Wanita itu tersenyum manis.
“Bagus, anak baik. Kau masih ingat kepadaku yang menjadi gurumu?”

“Kau bukan guruku,” jawab Beng San, suaranya dingin.

Hek-hwa Kui-bo memandang tajam. Di dalam hatinya wanita ini sudah amat heran melihat bocah ini masih belum mati ketika ia sengaja memberi pelajaran tiga macam ilmu menguasai tenaga Yang-kang dahulu itu.

“Hei bocah tak kenal budi. Bukankah aku dulu pernah memberi pelajaran ilmu kepadamu?”

“Memang betul, kau memberi pelajaran Thai-hwee, Siu-hwee dan Ci-hwee kepadaku. Akan tetapi itu bukan berarti bahwa kau guruku karena aku tidak pernah mengangkat kau sebagai guru. Pula aku tidak tahu apa gunanya pelajaran-pelajaran itu.” .

Sepasang mata Hek-hwa Kui-bo bersinar dan senyumnya melebar. Hatinya girang sekali karena sekarang ia merasa yakin bahwa anak ini tidak tahu akan maksud buruknya ketika menurunkan tiga macam ilmu itu.

“Anak baik, kau tidak tahu bahwa pelajaran yang kuturunkan kepadamu itu adalah pelajaran yang menjadi dasar ilmu silat tinggi. Aku suka kepadamu, Beng San, dan aku suka punya murid seperti kau ini. Kalau aku tidak suka kepadamu, masa aku turunkan ilmu-ilmu itu kepadamu? Justeru kedatanganku ini juga karena perasaan sukaku kepadamu itulah. Kau terancam bahaya, kalau Song-bun-kwi iblis itu kembali, kau tentu akan dibunuhnya. Karena itu, hayo kau ikut aku pergi sekarang juga.”

Tanpa menanti jawaban Beng San, Hek-hwa Kui-bo menangkap tangan bocah itu dan dilain saat Beng San merasa dirinya melayang seperti ketika dia dibawa pergi Song-bun-kwi.

la tidak melawan dan menyerahkan diri saja, maklum bahwa melawan pun takkan ada gunanya. Lagi pula, dia belum tahu apa maksud sebenarnya wanita ini, sungguhpun dia merasa pula bahwa memang dia terancam oleh Song-bun-kwi. Kiranya dibawa pergi Hek-hwa Kui-bo belum tentu sebesar bahayanya kalau dia berada bersama Song-bun-kwi.

Mendadak Hek-hwa Kui-bo menarik tangan Beng San sambil meloncat ke belakang sebuah batu besar yang berada di pinggir jalan. Nenek ini bersembunyi di belakang batu sambil memegang tangan Beng San erat-erat.

“Kui-bo, ada apa…..?”

Suara Beng San terhenti ketika tangan nenek itu yang sebelah lagi menotok lehernya dari belakang. Beng San marah dan mendongkol sekali hatinya. la tak dapat bergerak, tak dapat membuka suara, hanya mampu mendengar dan melihat.

Pada saat itu dia mendengar suara melengking dari jauh, suara tangis memilukan. Segera dia mengenal suara ini ketika makin lama suara itu makin mendekat. Bukan lain suara yang aneh dari Song-bun-kwi!

Sebentar saja kakek aneh ini sudah lewat jalan itu, dekat batu tanpa menoleh ke kanan kiri. Wajahnya muram, mukanya tunduk dan tubuhnya yang kecil kurus itu seperti bongkok. Setelah kakek ini lewat? jauh tak kelihatan lagi, Hek-hwa Kui-bo menarik lagi tangan Beng San sambil menepuk belakang lehernya rnembebaskan totokan.

“Kui-bo, kenapa kau takut kepada Song-bun-kwi?”

Beng San mengejek untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. la maklum sudah akan watak nenek ini yang tidak mau dikatakan takut, maka dia sengaja berkata demikian.

“Bodoh, siapa takut? Aku tidak ada waktu bermain-main dengan tua bangka itu. Hayo ikut!”

Hek-hwa Kui-bo lalu membawa lari lagi anak itu, kini ia sengaja menuju ke arah dari mana Song-bun-kwi tadi datang. Jelas bahwa ia memang sengaja hendak menjauhkan diri dari Song-bun-kwi.

“Kui-bo, apa itu?” Beng San menuding ke arah lereng gunung yang mereka lalui.

“Apalagi kalau bukan bekas tangan si tua bangka?” jawab Hek-hwa Kui-bo dingin, malah ia lalu terkekeh dan berkata. “Tua bangka mau mampus masih suka main-main bunuh orang. Heh-heh-heh!”

Ketika melihat lebih dekat dan lebih jelas, Beng San bergidik. Yang tadi dia lihat bertumpuk-tumpuk dan disambari burung-burung hitam di lereng itu bukan lain adalah bangkai belasan ekor kerbau dan mayat tiga orang anak penggembala yang baru berusia belasan tahun seperti dia.

Tak salah lagi, tentu dalam kemarahannya tadi Song-bun-kwi telah pergi meninggalkannya sebentar untuk membunuhi tiga orang penggembala dengan kerbau-kerbau mereka ini. Alangkah kejamnya hati si Setan Berkabung itu.

“Tua bangka keji si Song-bun-kwi!” Beng San tak terasa memaki.

Hek-hwa Kui-bo tertawa, giginya yang masih kuat itu putih berkilat sebentar.
“Apa kau bilang? Keji? Hi-hi-hi, tidak ada artinya itu. Dulu, puluhan tahun yang lalu, untuk merampas seorang mempelai wanita dia membunuh mempelai pria, seluruh keluarga dan semua tamu yang hadir pada malam pesta pernikahan itu.”

Beng San melototkan matanya, Ngeri dia membayangkan.
“Kenapa para tamu dibunuh semua.”

“Goblok kau! Song-bun-kwi tidak sebodoh kau. Tentu saja untuk menutup mulut mereka.”






No comments:

Post a Comment