Ads

Thursday, August 30, 2018

Raja Pedang Jilid 019

Thio Bwee yang berusia sepuluh tahun itu mewarisi kecantikan ibunya, juga pendiam dan manis sekali, sepasang matanya tajam serius, dagu di bawah bibirnya yang manis itu membayangkan kekerasan hatinya. Segera ia senang sekali dekat dengan bibinya yang sering kali dipuji-puji ayahnya sebagai seorang pendekar wanita Hoa-san-pai yang hebat ilmu pedangnya.

Adapun Kui Lok, anak tunggal Kui Keng, berusia sebelas tahun, memiliki watak seperti ayahnya, gembira dan agak nakal, akan tetapi juga bersifat angkuh, hal ini mudah dilihat dari bentuk mulut dan matanya. Ketiga orang anak ini nampak gagah-gagah, cocok benar menjadi keturunan dari Hoa-san Sie-eng, empat orang gagah dari Hoa-san-pai.

“Sayang,” katanya kepada tiga orang anak itu, “kalau Hong-ji tidak dibawa pergi Koai Atong dan berada disini bersama kalian, alangkah akan gembiranya.

“Bibi, sebagai anak Twa-supek, tentu kepandaian adik Hong hebat sekali, bukan?” Thio Bwee bertanya kepada bibi gurunya.

Sian Hwa mengangguk.
“Tentu saja, akan tetapi kau pun tentu sudah banyak mempelajari ilmu silat dari ayahmu. Coba, Bwee-ji, kau perlihatkan padaku.”

Thio Ki amat sayang kepada adiknya dan pemuda pendiam ini dapat mengerti isi hati adiknya, maka dia lalu berkata kepada Sian Hwa sambil memandang ke arah Kui Lok,

“Sukouw, tentu adikku malu karena menurut sepatutnya, saudara Kui Lok yang harus memperlihatkan dulu kepandaiannya.”

Dengan kata-kata ini, Thio Ki yang baru berusia dua belas tahun itu telah memperlihatkan sikapnya yang sungguh-sungguh dan memegang aturan. Kui Lok adalah putera dari orang ketiga Hoa-san Sie-eng, maka kalau dihitung urutan atau tingkatnya, masih lebih rendah daripada mereka yang menjadi putera-puteri Thio Wan It orang kedua dari Hoa-san Sie-eng.

Diam-diam Sian Hwa tidak senang menyaksikan sikap yang angkuh ini, akan tetapi karena iapun mengenal watak ji-suhengnya yang keras dan jujur, ia anggap saja bahwa sikap Thio Ki ini adalah warisan ayahnya.

“Betul juga, Lok-Ji. Hayo kau yang mendahului, kau perlihatkan apa yang sudah kau pelajari dari ayahmu,” katanya sambil tersenyum.

Kui Lok tersenyum dan berkata merendah, akan tetapi suaranya mengandung kebanggaan,

“Kepandaianku yang masih amat dangkal mana dapat disamakan dengan pewaris kepandaian ji-supek (Uwak Guru ke Dua)?”

Akan tetapi biarpun berkata demikian, tangan kirinya sudah bergerak dan tahu-tahu dia telah mencabut sebatang pedang pendek dari pinggangnya. Memang tiga orang anak pendekar Hoa-san-pai ini kesemuanya membawa pedang pada punggung masing-masing dan itulah kiranya yang membuat mereka nampak gagah sekali.

Melihat gerakan ini, Sian Hwa tersenyum dan bertanya heran.
“Kau menggunakan tangan kiri untuk bermain pedang?”

Agak merah kedua pipi Kui Lok yang tadinya putih itu.
“Betul, Sukouw, semenjak kecil saya lebih enak menggunakan tangan kiri daripada kanan, maka ayah sengaja melatih ilmu pedang dengan tangan kiri.”

“Kidal…..”

Thio Bwee berkata mencemooh karena gadis ini agak mendongkol juga melihat lagak anak itu.

“Akan tetapi, Sukouw…..” sambung Kui Lok cepat-cepat untuk menjawab cemoohan gadis cilik itu, “Biarpun tangan kiri, kiranya takkan kalah dengan tangan kanan…., eh, maksudku, tangan kananku sendiri, tentu.”

Sian Hwa tersenyum lagi. Gadis ini maklum akan ejekan-ejekan itu, dan diam-diam ia menyesal mengapa para suhengnya itu hanya melatih ilmu silat, agaknya kurang memperhatikan pendidikan watak sehingga anak-anak ini tidak pandai menguasai perasaan dan mudah tersinggung.

“Kau mainlah, biar kami melihatnya.”

Setelah memberi hormat kepada Sian Hwa dan mengerling penuh tantangan kepada Thio Ki dan Thio Bwee, Kui Lok mulai bersilat dengan pedangnya. la mainkan pedang tunggal dan caranya memainkan pedang itu memang hebat, apalagi karena dia menggunakan tangan kiri sehingga menjadi kebalikan daripada ilmu pedang yang aslinya.





Diam-diam Sian Hwa memperhatikan dan kagum juga akan kecepatan gerakan anak ini, kecepatan yang diutamakan dalam permainan pedang Hoa-san-pai. Yang amat mengagumkan hatinya adalah kekuatan yang dipergunakan dalam setiap serangan, demikian sungguh-sungguh dan selalu mematikan. Tak percuma anak ini menjadi putera tunggal suhengnya, Toat-beng-kiam si Pedang Pencabut Nyawa!

Setelah menghentikan permainan pedangnya, Sian Hwa berseru,
“Bagus sekali, Lok-ji, kau tidak memalukan ayahmu!”

Gadis ini malah bertepuk tangan memberi pujian. Hanya Thio Bwee dan Thio Ki yang diam saja, tidak mau memberi pujian. Tentu saja Kui Lok maklum akan hal ini, maka sambil menyarungkan pedangnya dia berkata.

“Harap saja sekarang saudara Thio Ki dan nona Thio Bwee tidak pelit-pelit lagi mengeluarkan kepandaian mereka.”

“Mana aku bisa melawan engkau? Kau hanya menggunakan tangan kiri, dan kalau aku pun menggunakan tangan kiri, aku tak dapat bersilat, sebaliknya kalau aku menggunakan tangan kanan, berarti aku licik, tentu saja tangan kanan lebih baik daripada tangan kiri,” Thio Bwee menjawab sambil merengut.

Sian Hwa tertawa.
“Hi-hi-hi, Bwee-ji, jangan kau bicara begitu. Lok-ji menggunakan tangan kiri karena memang semenjak kecil dia melatih diri dengan tangan kiri. Tangan kirinya sama dengan tangan kananmu, sebaliknya tangan kanannya sama dengan tangan kirimu. Hayo lekas kau memperlihatkan kepandaianmu kepada bibimu, anak manis.”

Thio Bwee tidak berani membantah bibi gurunya. Gadis cilik ini pun lalu mencabut pedangnya dan bersilat secepat ia bisa untuk memamerkan kelincahannya di depan bibi gurunya, terutama sekali di depan Kui Lok! Dan dia berhasil!

Memang, dalam hal kelincahan, yakni dalam hal ilmu ginkang (meringankan tubuh), gadis ini menang setingkat kalau dibandingkan dengan Kui Lok. Hal ini pun tidak aneh karena sebagai puteri Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) mengutamakan ginkang, tentu saja ayahnya telah menggembleng kedua anaknya itu dalam ilmu ini dan Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat memang tepat sekali kalau dimainkan secepatnya. Tubuh gadis cilik ini berloncatan ke sana ke mari bagaikan seekor burung walet saja, dan pedang diputar sedemikian cepatnya sampai hampir tidak kelihatan.

Setelah ia berhenti bersilat, kembali Sian Hwa bersorak memuji, akan tetapi sebagai seorang ahli silat Hoa-san-pai, tentu saja gadis ini cukup maklum bahwa kepandaian gadis cilik ini masih tidak mampu melawan ilmu pedang yang dimainkan dengan tangan kiri oleh Kui Lok. Gerakan Kui Lok lebih matang, pula tenaga bocah ini jauh lebih besar.

“Sekarang kau, Ki-ji, kau mainlah beberapa jurus agar puas hatiku.”

Thio Ki orangnya pendiam dan serius sekali. la memberi hormat kepada Sian Hwa dan berkata,

“Jika ada kekeliruan, mohon Sukouw memberi petunjuk.”

Terang bahwa kata-kata ini hanya sebagai basa-basi atau sopan-santun belaka karena tanpa menanti jawaban anak ini pun sudah mencabut pedangnya dan di lain saat dia pun sudah bermain pedang dengan kecepatan yang sama dengan adiknya tadi. Hanya kali ini Sian Hwa melihat bahwa kepandaian Thio Ki lebih unggul daripada adiknya, juga kalau dibandingkan dengan Kui Lok, Thio Ki menang kecepatan biarpun tenaganya seimbang, maka kalau ditarik kesimpulannya, di antara tiga orang anak itu, Thio Ki yang paling tinggi tingkatnya.

“Bagus, bagus! Wah, kalian memang hebat!” Sian Hwa memuji setelah Thio Ki berhenti bersilat pedang.

“Aaah, Sumoi! Kalau kau memuji terlalu tinggi anak-anak itu, mereka bisa menjadi besar kepala.”

Tiba-tiba terdengar Kui Keng berseru gembira sambil tertawa-tawa. Kui Keng memasuki ruangan itu bersama Thio Wan It dan Kwa Tin Siong.

“Kui-susiok (Paman Guru Kui), saudara Lok puteramu ini memandang rendah aku dan kakak Ti!” tiba-tiba Thio Bwee berseru.

Semua orang terkejut, termasuk Thio Wan It, akan tetapi Kui Keng hanya tersenyum, sepasang matanya berseri.

“Memandang rendah bagaimana?”

“Habis, dia sengaja memamerkan kepandaian dan bermain pedang dengan tangan kiri, bukankah itu menghina sekali?” kata gadis cilik itu.

“Ha-ha-ha-ha-ha! Dia bermain dengan tangan kiri karena memang dia itu kede (kidal)! Ha-ha-ha!” Semua orang disitu tertawa dan Thio Bwee sengaja memperlihatkan muka heran.

“Aaah, jadi dia ini kidal? Habis kalau makan, apakah juga menggunakan tangan
kiri juga, Susiok?” tanya pula Thio Bwee.

“Ha-ha-ha, tentu saja tidak. Kalau makan tangan kanan dan kalau….membersihkan tubuh pakai tangan kiri.”

Kui Keng tertawa-tawa lagi, karena memang orang ini sifatnya gembira sekali. Kui Lok yang tadinya mendongkol karena ejekan Thio Bwee, sekarang ikut tertawa-tawa seperti ayahnya dan diam-diam kalau anak perempuan itu memandang kepadanya, dia menjulurkan lidahnya mengejek!

“Sudahlah, anak-anak semua supaya pergi menghadap Sukong (Kakek Guru),” kata Thio Wan It. “Ki-ji, kau yang paling tua, kau harus dapat memimpin dua orang adikmu. Kalian bertiga tinggal baik-baik di Hoa-san, taati setiap petunjuk dan perintah Sukong. Kami orang-orang tua akan turun gunung untuk waktu kurang lebih dua bulan.”

“Lok-ji, kau harus yang akur bermain-main dengan dua saudaramu, jangan nakal,” Kui Keng memesan kepada puteranya pula.

Setelah berpamit kepada Lian Bu Tojin empat orang pendekar Hoa-san-pai ini lalu turun gunung, meninggalkan tiga orang anak itu di bawah pengawasan ketua Hoa-san-pai. Ketika turun gunung, Kwa Tin Siong menjelaskan kepada Liem Sian Hwa tentang keputusan perundingan mereka tadi, yaitu bahwa untuk membereskan urusan Sian Hwa terhadap Kwee Sin yang amat mencurigakan gerak-geriknya, mereka akan langsung mendatangi orang tertua dari Kun-lun Sam-heng te, yaitu Bun Si Teng yang menjadi pedagang kuda dan tinggal di Sin-yang.

“Sesuai dengan pesan suhu,” demikian Kwa Tin Siong menutup penjelasannya “Kita tidak boleh bertindak sembrono terhadap Kun-lun Sam-hengte yang selama ini mempunyai nama baik sebagai pendekar-pendekar gagah dari Kun-lun. Oleh karena itu, sebelum kita mengambil tindakan terhadap Kwee Sin, kita harus lebih dulu rnemberi tahu kepada kedua saudara Bun Si Teng dan Bun Si Liong tentang kesesatan sute mereka Kwee Sin. Dengan cara demikian berarti kita cukup menghormat dan memandang muka Kun-lun-pai.”

Sian Hwa hanya mengangguk-angguk saja. Di dalam hati gadis ini tidak cocok, karena ia merasa gemas dan sakit hati sekali kepada bekas tunangannya yang selain sudah membunuh ayahnya, juga sudah amat menghinanya itu. Kalau bisa, ingin ia sekali berjumpa terus menyerang dan mencincang tubuh Kwee Sin!

**** 019 ****





No comments:

Post a Comment